Bab 2 Part 1

"Begini ini senyum kalem dan gaya bicara yanv lamban!" kata Dea getir pada Emily yang ikut berusaha keras agar koper Dea tetap tegak. "Pria ini lebih parah daripada pria-pria yang mondar-mandir dengan bodoh di Bursa Saham setiap kali ada krisis keuangan."

"Barangkali dia baru saja mengalami hari yang berat," kata Emily.

"Bukan dia saja!" gerutu Dea, berhenti untuk menyeka dahi dengan punggung lengannya. Panas menerpa dan memantul kembali di landasan sampai-sampai ia mengira dirinya akan kehabisan napas, tapi ia memaksa dirinya untuk terus. Lebih baik ia pingsan basah kuyup oleh keringat daripada minta tolong pada si sinis Mr. Chase.

Tiba di pesawat, Chase melemparkan koper yang dibawanya ke bagasi dan berbalik untuk melihat kedua gadis Inggris itu menyeret koper satunya melintasi landasan. Si rambut cokelat yang menyebut dirinya Dea itu jelas sudah kepayahan, tapi ia pasti lebih suka mati daripada minta tolong.

Yah, kalau memang itu yang diinginkannya, biarlah. Itu toh bukan urusanku, pikir Chase. Tapi mau tidak mau ia melihat betapa Dea tampak kelelahan ketika akhirnya berhasil menarik kopernya ke pesawat. Wajahnya merah muda berkilau cerah dan rambut cokelatnya yang lurus terselip lemas di belakang telinganya.

Chase menunjukkan letak bagasi. "Kau mau menaruh sendiri koper itu di sana atau aku yang melakukannya?"

Dea melemparkan pandangan kesal. Mengangkar koper itu lima belas senti saja ia tidak sanggup, apalagi sampai setinggi itu.

"Terima kasih," katanya kaku, sebal pada Chase kareba dengan mudahnya ia melempar koper itu ke dalam pesawat.

Seolah belum cukup dipermalukan, Dea masih harus naik ke dalam pesawat, proses yang membuatnya menyesal telah keras kepala meributkan soal pakaian. Tentu saja, mereka tidak punya tangga. Sayap pesawat terpasang tinggi di badan pesawat, dan ia harus memanjat di bawahnya dengan meletakkan kaki pada rangkanya lalu mengangkat badan ke atas. Dengan jins dan sepatu bot, Emily bisa melakukannya dengan mudah, menyaksikan upaya Dea dengan seringai kemenangan.

Sambil menggertakkan gigi, Dea mencoba mencontoh Emily, tapi sol sepatunya selalu terpeleset pada rangka yang licin dan ia tidak memperoleh pijakan untuk menarik dirinya ke dalam kabin.

Ia mendengar Chase menghela napas di belakangnya, dan sesaat kemudian ia didorong minggir dengan kasar. Chase melompat naik ke kabin dengan mudah dan menjulurkan tangan.

"Ayo, kubantu," katanya.

Dea rela memberikan semua harta bendanya asal tidak perlu menerima tawaran itu, tapi pilihannya adalah menyambut uluran tangannya atau ditinggal sendiri di landasan. Dea sangat sadar akan jari-jari Chase yang kuat saat tangannya menggenggam tangannya sendiri dan menariknya tanpa kesulitan.

Wajah Dea yang sudah merah karena kepanasan dan dipermalukan menjadi semakin merah padam saat ia merangkak naik dan jatuh dengan posisi konyol di samping Chase. Dalam kejadian ini, entah bagaimana roknya tersingkap dan Chase bisa melihat pahanya yang tidak ideal. Kalau Chase mengharapkan bisa melihat kilasan tungkai yang langsing keemasan, ia pasti kecewa. Paha Dea sudah pasti bukan bagian tubuhnya yang paling menarik.

Bagus kalau dia kecewa, batin Dea sambil cepat-cepat membetulkan gaunnya. Ia berharap tadi memutuskan untuk tinggal di landasan.

Satu-satunya yang bisa menenangkan hatinya adalah pikiran bahwa Chase juga berharap ia tidak ikut serta.

Apa boleh buat, tampaknya mereka akan terikat satu sama lain untuk beberapa waktu ini.

Selain alisnya yang terangkat sedikit, yang entah kenapa terasa lebih buruk daripada seringai terang-terangan, Chase tampaknya sama sekali tidak memerhatikan paha Dea. Namun ia cepat-cepat melepaskan tangan Dea, menarik pintu, dan bergerak ke depan, dengan mudah duduk di kursi pilot.

Dea ditinggalkan untuk merapikan dirinya sendiri, kemudian duduk di salah satu kursi penumpang yang sempit di belakang Emily yang menyeringai penuh arti padanya. Dea memelototinya.

Chase menekan tombol-tombol di atas kepalanya, tidak memedulikan keduanya. Dea hanya berharap Chase tahu apa yang dikerjakannya. Ia belum pernah naik pesawat sekecil ini sebelumnya, apalagi yang memakai baling-baling. Pesawat ini juga tampak ringkih. Ia mengetuk panel samping dengan ragu. Oh, betapa ia menginginkan pesawat jumbo jet, mesin yang besar, dan pilot berseragam biru laut berhias tali kepang keemasan.

"Sabuk pengaman?"

Ia terkejut saat Chase tiba-tiba menoleh padanya dan menatapnya dengan pandangan biru dingin yang melemahkan saraf.

"Oh... Ya..." ia mencari-cari sabuk pengamannya dengan gugup, tapi jarinya kaku di bawah tatapan dingin Chase dan rasanya lama sekali baru ia bisa memasang sabuk pengamannya.

"Sudah tenang?" tanya Chase di ambang sabar.

"Saya sedikit terganggu dengan berat badan saya dan saya punya masalah besar dengan rambut saya, tapi secara keseluruhan, ya, bisa dikatakan saya sama terkendalinya dengan siapa pun."

"Apa?" Chase menatap Dea seolah-olah ia baru saja mengeluarkan tentakel dan berubah menjadi makhluk luar angkasa, barangkali begitulah tampaknya Dea di mata Chase.

Dea memutar matanya. "Ya, saya sudah memasang sabuk pengaman."

Dengan tatapan tajam terakhir, Chase kembali memerhatikan kontrol pesawat dan segera mereka melaju di landasan, baling-baling tampak kabur di hidung pesawat. Gemuruh suara mesin menembus kabin, memekakkan telinga. Perut Dea terasa aneh saat pesawat terangkat ke udara; ia menutup mata dan mencengkeram tempat duduknya. Jika ia selamat dari perjalanan ini, ia tidak akan, sekali lagi tidak akan, pernah membiarkan Emily memengaruhinya untuk melakukan sesuatu.

Saat ia merasa pesawat sudah terbang mendatar, dengan hati-hati ia membuka mata, mengambil risiko melirik ke luar jendela, dan segera menyesali tindakannya. Dataran di bawah tampak sangat jauh, hamparan merah kecokelatan yang rata, meluas tidak terbatas ke segala arah. Dea bisa melihat bayang-bayang kecil pesawat ikut bergerak di tanah di bawah mereka, dan berharap ia juga berada di bawah dan bukan mengawang di udara.

Di kursi depan, Emily sedang mengoceh, tampak tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa ia duduk di ketinggian seribu kaki dalam kaleng timah rapuh yang dimotori sesuatu yang hanya sedikit lebih baik daripada karet gelang. Tampak jelas ia telah pulih dari kekecewaan awalnya dan sedang berusaha sebaik-baiknya untuk menarik perhatian Chase, meskipun tidak terlalu berhasil, dilihat dari jawaban Chase yang hanya sepotong-potong. Setelah merasakan cara Chase mengangkatnya ke dalam pesawat, kekuatannya tidak perlu dipertanyakan lagi, dan tidak seorang pun bisa menyebutnya ia banyak bicara. Tapi menurut Dea, Chase tidak mirip imajinasi Emily tentang tipe pria kuat dan pendiam.

Setidaknya, Dea berharap begitu. Ia punya perasaan tidak enak bahwa Chase bukan orang yang bisa diajak main-main. Tampak jelas ia bukan tipe yang bisa menerima hal yang bukan-bukan.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Permata Adinda

Permata Adinda

semangat thor, 😇 jn lupa lanjut

2023-07-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!