Bab 1 Part 4

"Apa menurutmu dia orangnya?" Emily terdengar kecewa, kemungkinan karena pria itu tidak mengenakan kemeja kotak-kotak. Ia juga sama sekali tidak terkesan tenang. Dari kejauhan saja ia sudah kelihatan tidak sabaran. Di sisi lain, ia jelas-jelas tinggi dan langsing, pikir Dea. Dan dadanya bidang, itu tidak bisa diabaikan. Dari segi bentuk badan, pria itu adalah segalanya yang diinginkan Emily.

"Tidak mungkin," sahut Dea. "Dia tidak pakai topi."

Emily jelas-jelas berusaha melihat sisi baiknya. "Dia bisa menerbangkan pesawat," katanya. "Itu bagus."

Kalaupun pria itu tahu kedua gadis sedang mengawasinya dari balik jendela kaca besar, ia sama sekali tidak menunjukkannya. Malah sebaliknya, ia mendorong pintu ayun dengan kuat layaknya eksekutif kota besar yang paling menyebalkan dan melangkah berderap masuk ke terminal.

Dea melirik Emily penuh simpati. Postur tubuhnya mungkin bagus, bahkan lebih mengesankan setelah dilihat dari jarak dekat, tapi sisanya jelas-jelas mengecewakan. Ia hanyalah pria bertampang sangat biasa, dengan ekspresi gusar.

Dea menilai pria itu berusia awal tiga puluh, tapi ada sesuatu yang membuatnya tampak lebih tua dari itu. Jelas-jelas tidak peduli pada gaya berpakaian yang menurut Emily sangat romantis, ia mengenakan jins dan kemeja cokelat kusam. Malahan, cokelat kusam sepertinya merupakan tema penampilannya. Wajahnya cokelat dan rambutnya cokelat kusam, dan Dea sepenuhnya memperkirakan akan mendapati mata yang cokelat kusam juga. Namun saat pandangan pria itu menyapu mereka, Dea terkejut karena matanya sama sekali bukan cokelat melainkan biru dingin, dan sangat tidak bersahabat.

Ketika mata yang dingin itu bertemu dengan matanya, Dea merasa ada sentakan kecil dan sensasi aneh menjalari tulang belakangnya. Sambil menaikkan dagu, Dea balas menatapnya. Ia tidak akan terintimidasi oleh koboi berkemeja cokelat.

Chase langsung merasa lesu setelah ia mengamati kedua gadis di hadapannya. Begini saja rupanya gadis yang "cocok" menurut Nick. "Mereka sempurna," kata Nick antusias sebelum naik pesawat. Tak diragukan lagi ia segera lupa sama sekali tentang mereka. Chase tidak menilai mereka sempurna. Gadis yang satu pirang dan cantik, berkostum gadis koboi untuk alasan tertentu, sedang yang satu lagi berambut cokelat gelap dan, demi Tuhan, tampak seperti akan pergi ke pesta dengan gaun minim dan sepatu hak tingginya. Bibirnya lebar dan penuh, sepertinya tidak sesuai dengan ekspresi angkuh yang ia tunjukkan. Chase sulit memutuskan mana di antara keduanya yang kelihatan lebih konyol.

Cocok? Sempurna? Terima kasih, Nick, ia menghela napas dalam. Ia sendiri menganggap mereka tidak lebih dari masalah.

Seakan-akan masalahnya belum cukup saja.

Terang-terangan dia mengamati keduanya secara bergantian, mencoba menebak yang mana Emily Williams. Ia memilih si congkak berambut cokelat. Emily nama yang konservatif dan kuno, dan ia sesuai dengan tipe itu.

Atau mungkin tidak, dengan bibir penuh seperti itu.

"Emily Williams?" Suaranya terdengar lebih kasar daripada yang diinginkannya, dan si rambut cokelat sama sekali tidak terkesan.

"Ini Emily," katanya sambil menunjuk si pirang yang tersenyum ragu. "Saya Dea Stevenson."

Suaranya terdengar sangat jelas dan sangat Inggris. Chase menebak-nebak apakah gadis itu mengharapkan dirinya membungkuk hormat.

"Dee?" ulangnya. "Nama apa itu? Ada hubungannya dengan lebah dan dengung?"

"Dea," Dea berkata dingin. "Anda pasti Mr. Chase."

Chase mengangkat sebelah alisnya. "Kebanyakan orang memanggilku Chase."

Dea tampak tidak memedulikan hal itu. Mungkin dia tidak suka disamakan dengan "orang kebanyakan", pikir Chase.

"Apakah Mr. Sutherland tidak mengatakan bahwa kami akan datang?"

"Aku tidak akan berada di sini kalau dia tidak bilang," tandas Chase ketus. "Aku punya banyak urusan yang lebih penting daripada menunggu di bandara, kalau-kalau ada dua orang koki yang akan datang."

"Kita semua punya urusan yang lebih penting," sergah Dea. "Tapi itu tidak menghalangi kami untuk berkeliaran di sini sepanjang sore. Pesawatnya tiba dua jam yang lalu!"

"Maaf kalau begitu," kata Chase, sama sekali tidak terdengar menyesal. "Kami sedang melepaskan sekawanan ternak ke lapangan, dan aku tidak bisa meninggalkan mereka lebih cepat dari ini."

"Apa kami seharusnya berterima kasih karena Anda sudi meluangkan waktu untuk datang dan menjemput kami?"

"Dea..."

Dea menyelipkan rambutnyaa ke belakang telinga dengan jengkel dan menatap mata biru Emily yang penuh permohonan. Ia tahu masih terlalu dini untuk memulai perseteruan terbuka, tapi ada sesuatu pada pria ini yang mengganggunya.

"Kalian seharusnya bersyukur setidaknya aku tidak lupa," kata Chase, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada bicara Dea. "Aku harus secepatnya kembali," tambahnya cepat. "Jadi jika kalian sudah siap, kusarankan kalian mengambil barang-barang dan kita akan segera pergi."

"Naik pesawat?" Emily secara ajaib kembali bersemangat karenanya.

"Itu cara yang paling cepat," Chase menatapnya sekilas. "Bukan masalah, kan?"

"Oh, sama sekali tidak, sudah lama aku ingin bepergian naik pesawat kecil," Emily meyakinkan Chase. "Ini sangat mengasyikan!"

Chase menahan helaan napas. Satu terlalu bersemangat dan satunya lagi sudah jelas akan membenci setiap menit yang ada. Mereka sudah pernah mencoba kedua tipe ini dan sulit untuk mengatakan mana yang lebih sulit diatasi. Yang bersemangat, mungkin. Gadis yang tidak suka pedalaman biasanya menangis dan ngotot minta pulang keesokan harinya. Mungkin Dea Stevenson akan sama. Meski ia tidak tampak seperti gadis yang gampang menangis. Terlalu angkuh untuk itu, tebak Chase, mengingat dagu yang terangkat tinggi.

"Mana barang-barang kalian?"

Mereka memberi isyarat ke arah dua koper besar di sudut ruangan, dan Chase lagi-lagi mengangkat sebelah alisnya. "Membawa gaun malam dan bak cuci piring ya?" sindirnya.

Dea mendidih. "Terpikir oleh kami untuk membawa beberapa buku dan barang-barang lain untuk mengisi waktu," katanya dingin. Ia tidak akan bilang-bilang soal hair-dryer. "Kami tidak ingin merasa bosan!"

"Kalian tidak akan sempat bosan di Callula Downs," kata Chase, tak terkesan oleh pemikiran mereka.

Dea membuka mulut untuk mengatakan bahwa ia sendirilah yang akan menilai apa yang membuatnya bosan dan apa yang tidak, tapi Chase sudah bergerak menuju koper-koper tersebut. "Ini punyamu?" tanyanya pada Emily sambil mengambil koper yang biru.

"Ya agak sedikit berat, aku khawatir..."

Emily berhenti bicara saat Chase mengangkat koper itu dengan satu tangan dan mengalihkan pandangannya ke koper yang merah, lalu ke Dea. "Mau dibawakan juga koper yang ini?" tanyanya.

Dea mengangkat dagu dengan angkuh. "Saya bisa mengangkatnya sendiri, terima kasih."

"OK."

Dea semakin kesal karena Chase menuruti kemauannya dan berjalan menuju pintu sambil menenteng koper Emily seolah-olah koper itu kosong. Ia bahkan tidak perlu meletakkan koper itu untuk membuka pintu. Dea ditinggal sendiri, berusaha keras untuk mengikutinya melintasi area parkir pesawat. Kopernya beroda, tapi karena beban yang berat, koper itu selalu miring dan mengenai pergelangan kakinya. Kejengkelannya semakin bertambah.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!