Wanita Buronan
Kinanti bukanlah anak orang berada. Ia juga tidak memiliki koneksi dengan mereka yang berpangkat tinggi. Kinanti hanyalah seorang pekerja keras yang mati-matian mengejar cita-citanya untuk menjadi orang sukses. Niatnya hanya satu, agar kedua orangtuanya bisa hidup enak. Agar adik-adiknya bisa bersekolah dengan layak. Hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang.
Karena itu, ketika ia berhasil mendapatkan pekerjaan di PT. Bara Kahuripan, salah satu perusahaan tambang yang tergolong bonafide, Kinanti sungguh senang bukan kepalang. Ia berandai-andai, mungkin impiannya untuk mengangkat derajat keluarganya dapat segera terwujud.
Meskipun harus memulai semuanya dari posisi paling bawah, Kinanti tidak pernah goyah. Hanya ada kata dedikasi dan determinasi dalam kamus hidupnya. Karena itu, tidak ada hal yang cukup melelahkan bagi Kinanti. Sulitnya dunia kerja bukan apa-apa jika dibandingkan sulitnya hidup sebagai orang miskin. Sesuatu yang telah Kinanti jalani selama hidupnya. Dan Kinanti berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan dengan mudah melepaskan mimpinya.
...****************...
"Mbak Kinanti." Panggil seorang wanita menghampiri Kinanti yang sibuk bekerja.
Kinanti melepaskan sebelah earphonenya dan menjawabnya.
"Iya, kenapa Mbak Bella?" Tanya Kinanti kepada wanita bernama Bella itu.
Bella adalah sekretaris divisi tempat Kinanti bekerja. Divisi Keuangan dan Pemasaran.
"Pak Bagas memanggil Mbak ke ruangannya." Lanjut Bella sambil tersenyum.
"Oh, baiklah. Terimakasih ya Bella." Jawab Kinanti sambil bergegas berdiri.
Kinanti dengan semangat melangkahkan kakinya menuju ruangan kepala divisinya. Tentu saja Kinanti bersemangat. Kinanti yakin ini semua pasti terkait dengan promosinya untuk diangkat menjadi ketua tim. Kinanti akhir-akhir ini bekerja sangat keras untuk mendapatkan posisi itu. Siang hingga malam, bahkan tak jarang Kinanti lembur 4 hari dalam seminggu untuk mencapai targetnya. Lagipula seingat Kinanti ia tidak pernah berbuat kesalahan dalam bekerja. Jadi Kinanti yakin sepenuhnya panggilan ini pasti mengenai promosinya.
Kinanti mengetuk pintu ruangan Pak Bagas. Tidak berapa lama, terdengar suara Pak Bagas yang mempersilahkan Kinanti untuk masuk. Kinanti lalu membuka pintu ruangan tersebut dan tersenyum pada Pak Bagas. Laki-laki berusia 50 tahun itu membalasnya dengan senyum penuh wibawa.
"Silahkan duduk, Kinanti." Ujar Pak Bagas mempersilahkan Kinanti untuk duduk di hadapannya.
Dengan mantap Kinanti duduk di hadapan atasannya. Senyum tersungging di bibirnya seolah ia percaya dengan firasatnya. Pak Bagas hanya tersenyum melihat Kinanti yang terlihat bersemangat.
"Sepertinya kamu sudah tahu ya mengapa saya memanggil kamu kesini?" Tanya Pak Bagas ramah.
Kinanti mengangguk bersemangat. Sebenarnya bukan itu saja yang membuatnya percaya diri dengan promosinya. Tetapi beberapa hari lalu, Pak Bagas secara langsung memberikan selamat yang meskipun tidak dijelaskan untuk apa.
"Selamat ya, Kinanti. Sebentar lagi kamu akan mendengar kabar baik." Ucap Pak Bagas hari itu.
Sungguh Kinanti bukan orang yang terlalu percaya diri. Tapi siapa sih yang tidak percaya diri jika sudah mendengar ucapan seperti itu dari atasannya langsung?
"Ya, seperti firasat kamu. Memang saya memanggil kamu kesini untuk membicarakan promosi kamu." Kata Pak Bagas.
Kinanti mendengarkannya dengan saksama.
"Terkait promosi kamu, saya sudah meninjaunya dengan baik. Target kamu bulan ini semuanya terpenuhi dan progress tim kamu maju dengan sangat pesat loh." Jelas Pak Bagas sambil melihat-lihat berkas laporan Kinanti.
Kinanti mendengarkan dengan khusyuk sambil sesekali mengangguk. Wah, ia sudah tidak sabar lagi menunggu kabar baiknya.
"Tapi mohon maaf, Kinanti." Ucap Pak Bagas. Ia berhenti sejenak, tampak ragu melanjutkan kata-katanya.
Mendengar sepatah maaf itu, jantung Kinanti rasanya akan melorot dari rusuknya. Kenapa Pak Bagas harus minta maaf? Kinanti gugup. Ia khawatir promosinya gagal dan keluarganya yang sudah menunggu kabar baik ini pasti akan kecewa. Rasanya Kinanti tidak sanggup mendengar kelanjutan perkataan Pak Bagas.
"Maaf kenapa, Pak?" Tanya Kinanti penasaran.
"Maaf saya tidak bisa mempromosikan kamu sebagai ketua tim. Bukan karena kinerjamu karena kinerjamu sangat bagus. Tapi karena ada antrian senior sebelum kamu yang mestinya harus naik jabatan lebih dulu dibandingkan kamu. Mereka ini memiliki masa kerja yang lebih lama dibandingkan kamu, jadi rasanya kurang adil kalau saya memberikan promosi kepada kamu lebih dulu." Lanjut Pak Bagas.
Kinanti terduduk lesu. Ia tidak bisa berkata apa-apa karena hal ini tidak pernah ada dalan skenarionya. Harapannya sudah melambung setinggi langit karena ia yakin akan mendapatkan promosi itu. Tapi ternyata kenyataan harus menghempaskannya kembali ke tanah. Menegaskan posisinya bahwa tidak semudah itu bagi Kinanti untuk terbang dengan sayap yang lebih kuat.
"Maaf ya saya sudah menjatuhkan ekspektasi kamu. Tapi saya punya penawaran lain untuk kamu kalau kamu tidak keberatan." Kata Pak Bagas.
Sebenarnya Kinanti sudah tidak bersemangat lagi untuk mendengarkan penawaran Pak Bagas. Tapi sebagai bawahan yang baik, tentu saja Kinanti harus tetap memasang telinganya walaupun hatinya kecewa setengah mati.
"Penawaran apa, Pak?" Tanya Kinanti.
"Saya ingin memindahkan kamu menjadi Sekretaris Direktur. Saya rasa kamu akan lebih cocok berada disana. Memang kamu tidak akan punya kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin, tapi saya rasa bukan hal buruk untuk seorang wanita menjadi sekretaris, bukan?" Jawab Pak Bagas.
Mendengar tawaran itu, rasanya Kinanti ingin sekali menolaknya mentah-mentah. Karena alasan Kinanti mengincar posisi sebagai Ketua Tim bukan hanya posisi itu akan memberinya kesempatan untuk unjuk gigi, tetapi seorang Ketua Tim seringkali mendapatkan insentif yang cukup besar jika timnya berhasil memenuhi target. Apalagi alasannya kalau bukan tentang material?
Sementara itu menjadi Sekretaris memang sebuah pekerjaan yang stabil dan nyaman bagi seorang wanita. Tapi Kinanti tidak menyukai pekerjaan monoton yang membosankan. Sungguh rasanya menyesakkan dada bagi Kinanti jika ia harus terikat di mejanya sepanjang hari.
"Kalau kamu masih ragu, kamu bisa mempertimbangkannya dulu di rumah. Mungkin bisa kamu diskusikan dengan orangtuamu terlebih dahulu. Nanti kalau kamu sudah bisa memutuskannya, kamu bisa langsung temui saya, ya." Kata Pak Bagas seolah menangkap keraguan dari raut wajah Kinanti.
Kinanti mengangguk dan pamit untuk undur diri dari hadapan atasannya.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit ya, Pak." Ucap Kinanti sambil mengundurkan dirinya dari ruangan Pak Bagas.
Pak Bagas tersenyum sambil memberikan isyarat mempersilahkan Kinanti untuk meninggalkan ruangannya.
Kinanti berjalan kembali ke mejanya dengan lesu. Promosi yang selama ini diidam-idamkannya kini hanyalah sebatas mimpi. Ia gagal mendapatkannya hanya karena perihal senioritas yang konyol. Dan Kinanti malah ditawarkan pekerjaan monoton itu. Sungguh Kinanti dalam posisi yang dilematis. Mungkin benar kata Pak Bagas, lebih baik jika ia mendiskusikan perihal ini dengan kedua orangtuanya.
...****************...
Kinanti duduk di meja makan bersama ayah dan ibunya. Matanya menatap ke langit-langit seolah-olah memikirkan bagaimana ia harus mengatakannya kepada kedua orangtuanya. Pak, Bu, Kinanti gagal naik jabatan? Apakah sebaiknya seperti itu? Kinanti bingung harus bagaimana karena ia takut kedua orangtuanya yang telah berharap sebegitu besarnya akan merasa kecewa.
Kinanti menatap sekeliling rumahnya. Rumah ini sudah menjadi jauh lebih baik dibandingkan saat ia kecil dulu. Semuanya karena kerja keras Kinanti dan ayahnya. Atap yang dulunya hanya dari asbes dan sering bocor, sekarang dapat diganti dengan genteng. Ibunya pun tidak perlu khawatir jikalau hujan datang. Dindingnya yang semula hanya dari batako, sudah diganti dengan beton yang kuat sehingga meskipun angin bertiup kencang, rumahnya akan aman.
Perabot di dalam rumahnya pun Kinanti ganti satu persatu dengan menyisihkan gajinya setiap bulan. Karena itu, Kinanti tidak boleh sedikitpun kehilangan pekerjaannya.
"Kamu mau bicara apa, Nak?" Tanya ayahnya melihat Kinanti yang tampak bimbang.
Kinanti ragu dan bingung harus memulainya bagaimana. Tapi pada akhirnya kedua orangtuanya juga wajib tahu, kan?
"Kinanti batal naik jabatan, Pak, Bu." Jawab Kinanti lesu.
Raut wajah ayah dan ibunya tampak kecewa dan Kinanti tahu benar itu. Namun mereka berusaha tersenyum agar putri sulungnya tidak merasa sedih.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Toh nanti pasti ada kesempatan lagi kan?" Kata Ibunya menenangkan Kinanti.
"Iya, Bu. Tapi sebenarnya Kinanti ditawarin posisi lain, Bu. Cuma Kinanti bingung harus menerimanya atau tidak."Ucap Kinanti.
"Memangnya posisi apa, Nak?" Tanya Ayahnya kemudian.
"Sekretaris Direktur, Pak." Jawab Kinanti lesu.
"Nak, sebenarnya Bapak dan Ibu tidak terlalu mengerti tetang hal seperti ini. Kamu kan tahu Bapakmu cuma tamatan SMA dan Ibu ini cuma tamatan SMP. Tapi selagi pekerjaan itu bisa memberi hidup yang lebih baik, Ibu rasa kamu harus menerimanya, Nak." Jawab Ibunya.
Kinanti manggut-manggut mendengarnya. Mungkin jawaban ibunya ada benarnya. Persetan dengan passion dan ambisi. Untuk sekarang Kinanti harus menghasilkan uang yang banyak dulu agar keluarganya bisa hidup enak dan nyaman. Kinanti pun memantapkan hatinya untuk menerima tawaran pekerjaan itu.
Dan mulai besok, hari baru Kinanti sebagai seorang Sekretaris Direktur akan dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments