Matahari Di Tengah Kegelapan

Matahari Di Tengah Kegelapan

Tawuran

Bismillah.

"Astagfirullah, Giya kok belum siap-siap." Tegur ibu Imah pada putri semata wayangnya.

Giya masih asyik menonton tv sambil memakan beberapa cemilan. "Sebentar lagi bu tanggung, Giya juga tinggal salin kok," jawabnya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari tv.

"Terjadi tawuran antara dua kelompok gangster. Beberapa pelaku sudah diamankan oleh polisi, ada juga yang mengalami luka-luka. Tawuran ini sudah kesekian kalinya terjadi di kota J, oleh kelompok gangster."

Deg!

Jantung Giya terasa berhenti berdetak saat mendengar penjelasan dari reporter di dalam berita barusan, pasalnya Giya dan sang ibu akan pindah ke kota tersebur. Perlahan tangan Giya membuka sebuah amplop yang baru saja dikirim ke rumahnya.

'Selamat anda diterima di Universitas Binawan dengan beasiswa sampai lulus.'

Deg!

Darah Giya kini yang terasa berhenti mengalir setelah membaca amplop biru yang baru saja dia buka. Giya tidak tahu apakah dia harus bahagia atau menyesal telah diterima di universitas Binawan Jakarta. Bahagia karena mendapat beasiswa. Menyesal karena kampus yang dia pilih terdapat di tempat yang terasa  tidak akan aman untuk dirinya yang menyukai ketenangan.

"Astagfirullah," ucapnya pelan. "Bismillah aja dulu," Giya segera bangkit dari tempat duduknya.

"Giya cepet keburu kita ketinggalan mobil. Dari tadi disuruh siap-siap malah asyik leha-leha." Peringat ibu Imah.

"Iya ibu," sahut Giya cepat-cepat ganti baju.

Melihat putrinya masih santai-santai membuat ibu Imah menggelengkan kepalanya pelan, sejujurnya beliau juga tidak ingin pindah ke kota, mereka sudah sangat betah tinggal di desa yang nyaman dan asri. Yah, mau bagaimana lagi, ibu Imah dipindahkan tugas bekerja di kantor yang berada di kota. Terpaksa mereka harus pindah.

7 menit berlalu Giya sudah rapi, dia segera menemui ibunya yang masih mengeluarkan barang-barang mereka.

"Terus rumah kita ini gimana bu?" tanya Giya memastikan.

"Tidak usah dijual, tetap biarkan saja begini nanti ibu suruh orang buat ngurusnya. Kapan-kapan kita bisa main kesini kalau libur."  Jelas ibu Imah membuat Giya mengangguk paham.

Ibu dan anak itu kini sudah berada di dalam mobil, mereka menikmati pemandangan diluar mobil selama perjalan menuju kota.

"Giya nanti mau daftar di kampus mana? Biar ibu yang cari uangnya buat kamu kuliah." Ibu Iman mulai membuka pembicaraan dengan putrinya di dalam mobil.

Keduanya saling menatap lekat satu sama lain, dalam benaknya Giya bersyukur berhasil mendapatkan brasiswa dari salah satu Universitas yang dia coba daftar. Giya tidak akan merepotkan ibunya untuk biaya kuliah.

"Giya lupa kasih tau ibu." Ujarnya sambil menyodorkan amplop biru yang tadi sempat dia buka lebih dulu.

"Coba tebak bu, apa coba."

"Cek! Kamu ya." Ujar ibu Imah sambil membuka amplop yang diberikan putrinya baru saja.

"Masya Allah ini benar Giya?" tanya ibu Imah tanpa memalingkan netranya dari amplop yang masih beliau pegang.

"Benar bu, Alhamdulillah Giya dapat beasiswa."

"Universitas Bimawan." Baca ibu Iman merasa tidak asing dengan nama kampus barusan.

"Ibu kayaknya pernah denger nama kampus ini, tapi dimana ya."

"Kampus yang terdekat dari tempat tinggal kita nanti bu." Ujar Giya memberitahu.

Giya tidak memberitahu ibunya jika tempat mereka tinggal rawan akan gangster yang sering melakukan tawuran. Bagaimanapun juga mereka butuh ketenangan.

Giya dan ibunya yang asyik mengobrol tidak terasa kalau mobil yang mereka tumpangi sudah masuk di jalan kota.

"Pernah denger pastilah bu, Giya kan memang pernah kasih satu sama ibu." Tambah Giya lagi melanjutkan perkataannya.

"Kamu benar juga, tapi jauh nggak kampusnya dari tempat tinggal kita?"

"Nggak terlalu jauh kok bu, udah Giya kasih tau juga kan. Paling sekitar 25 menit kalau naik angkot atau taksi. Tadi Giya sudah cek google maps."

Brak!

Giya dan ibunya yang sedang asyik mengobrol dikagetkan dengan suara orang yang sedang berkelahi.

"Astagfirullah, gimana kita keluarnya pak." Kaget ibu Imah.

Pasalnya ada beberapa anak muda sedang tawuran di tengah jalan tersebut. Pantas saja jalan yang mereka lewati sepi.

Gleg!

Giya menelan ludahnya kasar melihat pemandangan yang amat mengerikan di depan sana, walaupun dia jago bela diri tapi tetap saja jika ramai-ramai orang tawuran seperti orang kesetanan membuat Giya takut.

"Gimana kita keluar pak." Ibu Imah sudah mulai khawatir, mengingat putrinya punya trauma jika melihat orang berkelahi secara brutal.

Ibu Imah menatap Giya yang berusaha tetap bersikap baik-baik saja. Sungguh Giya tidak ingin membuat ibunya khawatir apalagi di tengah-tengah tempat bahaya ini.

"Are you oke sayang?" tanya Ibu Imah memastikan.

"I'm fine mom." Sahutnya sedikit gemetar.

"Terus kita gimana ini pak?" tanya ibu Imah lagi sambil memegang tangan putrinya.

"Saya usahakan dulu bu, Insya Allah kita bisa keluar dengan selamat." Jawab pak supir setenang mungkin.

Ibu Imah bernafas lega mengetahui supir mereka tidak panik, Giya juga tampak baik-baik saja.

Bruk!

Sampai dua orang anak mudah mendekat kearah mobil mereka saling menghajar secara brutal satu sama lain. Melihat hal itu ibu Imah bergidik ngeri sedangkan Giya melotot tak percaya apalagi mereka berkelahi tempat di samping tempatnya duduk.

Giya membuka sedikit kaca mobilnya, entah keberanian dari mana Giya memakai dua laki-laki yang sedang berkelahi tersebut.

"Woi, kalian pada gak waras ya!" teriak Giya, dia sudah mengumpulkan keberaniannya.

Sontak saja kedua orang yang sedang berkelahi itu menatap Giya. Tapi hanya laki-laki yang mengenakan masker saja yang dapat melihat Giya. Tanpa sengaja netra Giya dan laki-laki itu bertemu, kebetulan Giya mengenakan masker dan topi.

"Sorry." Ucap orang itu lalu segera menjauh masih dengan kemarahan yang ada.

Perlahan seperti ada celah untuk mobil yang Giya dan ibunya tumpangi, pak Supir segera memanfaatkan hal tersebut untuk segera keluar dari tempat tawuran seperti itu.

"Ya Allah Giya, kamu bikin ibu takut aja."

Giya menghembuskan nafas pelan. "Giya juga nggak tau bu, kok berani marahin orang tadi."

"Sudah jangan sampai kita ketemu hal seperti itu lagi. Anak muda jaman sekarang benar-benar bahaya, tawuran dimana-mana hal-hal buruk terus saja menimpa para anak muda." Ibu Imah tak habis pikir.

"Memang bu, kalau di kota tawuran seperti tadi sudah biasa. Apalagi para gangster yang terus marak dimana-mana. Jangankan jalan sepi, di perumahan warga maupun dimana saja mereka berani tawuran." Sahut pak supir.

"Aduh kenapa pula pak supir harus bilang perumahan juga sih. Jangan sampai ibu ingat berita di tv waktu di desa." Batin Giya tak berani bersuara.

"Ya Allah semakin tak tertolong anak muda sekarang. Mau jadi apa mereka nanti." Ibu Imah tak habis pikir.

"Tapikan masih ada anak muda yang peduli akan agama dan negara mereka bu. Masih ada anak muda yang ingin menggapai cita-citanya. Mengwujudkan apa yang mereka inginkan." Sahut Giya sedikit tidak setuju atas perkataan ibunya.

Terpopuler

Comments

Fania kurnia Dewi

Fania kurnia Dewi

Mampir yaaa

2023-08-27

2

🍒Cherry©Arz

🍒Cherry©Arz

lanjutkan kak, semangat ya😁😁😁

2023-07-17

2

Ilmara

Ilmara

Imah bukan kak?

2023-07-05

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!