NovelToon NovelToon

Matahari Di Tengah Kegelapan

Tawuran

Bismillah.

"Astagfirullah, Giya kok belum siap-siap." Tegur ibu Imah pada putri semata wayangnya.

Giya masih asyik menonton tv sambil memakan beberapa cemilan. "Sebentar lagi bu tanggung, Giya juga tinggal salin kok," jawabnya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari tv.

"Terjadi tawuran antara dua kelompok gangster. Beberapa pelaku sudah diamankan oleh polisi, ada juga yang mengalami luka-luka. Tawuran ini sudah kesekian kalinya terjadi di kota J, oleh kelompok gangster."

Deg!

Jantung Giya terasa berhenti berdetak saat mendengar penjelasan dari reporter di dalam berita barusan, pasalnya Giya dan sang ibu akan pindah ke kota tersebur. Perlahan tangan Giya membuka sebuah amplop yang baru saja dikirim ke rumahnya.

'Selamat anda diterima di Universitas Binawan dengan beasiswa sampai lulus.'

Deg!

Darah Giya kini yang terasa berhenti mengalir setelah membaca amplop biru yang baru saja dia buka. Giya tidak tahu apakah dia harus bahagia atau menyesal telah diterima di universitas Binawan Jakarta. Bahagia karena mendapat beasiswa. Menyesal karena kampus yang dia pilih terdapat di tempat yang terasa  tidak akan aman untuk dirinya yang menyukai ketenangan.

"Astagfirullah," ucapnya pelan. "Bismillah aja dulu," Giya segera bangkit dari tempat duduknya.

"Giya cepet keburu kita ketinggalan mobil. Dari tadi disuruh siap-siap malah asyik leha-leha." Peringat ibu Imah.

"Iya ibu," sahut Giya cepat-cepat ganti baju.

Melihat putrinya masih santai-santai membuat ibu Imah menggelengkan kepalanya pelan, sejujurnya beliau juga tidak ingin pindah ke kota, mereka sudah sangat betah tinggal di desa yang nyaman dan asri. Yah, mau bagaimana lagi, ibu Imah dipindahkan tugas bekerja di kantor yang berada di kota. Terpaksa mereka harus pindah.

7 menit berlalu Giya sudah rapi, dia segera menemui ibunya yang masih mengeluarkan barang-barang mereka.

"Terus rumah kita ini gimana bu?" tanya Giya memastikan.

"Tidak usah dijual, tetap biarkan saja begini nanti ibu suruh orang buat ngurusnya. Kapan-kapan kita bisa main kesini kalau libur."  Jelas ibu Imah membuat Giya mengangguk paham.

Ibu dan anak itu kini sudah berada di dalam mobil, mereka menikmati pemandangan diluar mobil selama perjalan menuju kota.

"Giya nanti mau daftar di kampus mana? Biar ibu yang cari uangnya buat kamu kuliah." Ibu Iman mulai membuka pembicaraan dengan putrinya di dalam mobil.

Keduanya saling menatap lekat satu sama lain, dalam benaknya Giya bersyukur berhasil mendapatkan brasiswa dari salah satu Universitas yang dia coba daftar. Giya tidak akan merepotkan ibunya untuk biaya kuliah.

"Giya lupa kasih tau ibu." Ujarnya sambil menyodorkan amplop biru yang tadi sempat dia buka lebih dulu.

"Coba tebak bu, apa coba."

"Cek! Kamu ya." Ujar ibu Imah sambil membuka amplop yang diberikan putrinya baru saja.

"Masya Allah ini benar Giya?" tanya ibu Imah tanpa memalingkan netranya dari amplop yang masih beliau pegang.

"Benar bu, Alhamdulillah Giya dapat beasiswa."

"Universitas Bimawan." Baca ibu Iman merasa tidak asing dengan nama kampus barusan.

"Ibu kayaknya pernah denger nama kampus ini, tapi dimana ya."

"Kampus yang terdekat dari tempat tinggal kita nanti bu." Ujar Giya memberitahu.

Giya tidak memberitahu ibunya jika tempat mereka tinggal rawan akan gangster yang sering melakukan tawuran. Bagaimanapun juga mereka butuh ketenangan.

Giya dan ibunya yang asyik mengobrol tidak terasa kalau mobil yang mereka tumpangi sudah masuk di jalan kota.

"Pernah denger pastilah bu, Giya kan memang pernah kasih satu sama ibu." Tambah Giya lagi melanjutkan perkataannya.

"Kamu benar juga, tapi jauh nggak kampusnya dari tempat tinggal kita?"

"Nggak terlalu jauh kok bu, udah Giya kasih tau juga kan. Paling sekitar 25 menit kalau naik angkot atau taksi. Tadi Giya sudah cek google maps."

Brak!

Giya dan ibunya yang sedang asyik mengobrol dikagetkan dengan suara orang yang sedang berkelahi.

"Astagfirullah, gimana kita keluarnya pak." Kaget ibu Imah.

Pasalnya ada beberapa anak muda sedang tawuran di tengah jalan tersebut. Pantas saja jalan yang mereka lewati sepi.

Gleg!

Giya menelan ludahnya kasar melihat pemandangan yang amat mengerikan di depan sana, walaupun dia jago bela diri tapi tetap saja jika ramai-ramai orang tawuran seperti orang kesetanan membuat Giya takut.

"Gimana kita keluar pak." Ibu Imah sudah mulai khawatir, mengingat putrinya punya trauma jika melihat orang berkelahi secara brutal.

Ibu Imah menatap Giya yang berusaha tetap bersikap baik-baik saja. Sungguh Giya tidak ingin membuat ibunya khawatir apalagi di tengah-tengah tempat bahaya ini.

"Are you oke sayang?" tanya Ibu Imah memastikan.

"I'm fine mom." Sahutnya sedikit gemetar.

"Terus kita gimana ini pak?" tanya ibu Imah lagi sambil memegang tangan putrinya.

"Saya usahakan dulu bu, Insya Allah kita bisa keluar dengan selamat." Jawab pak supir setenang mungkin.

Ibu Imah bernafas lega mengetahui supir mereka tidak panik, Giya juga tampak baik-baik saja.

Bruk!

Sampai dua orang anak mudah mendekat kearah mobil mereka saling menghajar secara brutal satu sama lain. Melihat hal itu ibu Imah bergidik ngeri sedangkan Giya melotot tak percaya apalagi mereka berkelahi tempat di samping tempatnya duduk.

Giya membuka sedikit kaca mobilnya, entah keberanian dari mana Giya memakai dua laki-laki yang sedang berkelahi tersebut.

"Woi, kalian pada gak waras ya!" teriak Giya, dia sudah mengumpulkan keberaniannya.

Sontak saja kedua orang yang sedang berkelahi itu menatap Giya. Tapi hanya laki-laki yang mengenakan masker saja yang dapat melihat Giya. Tanpa sengaja netra Giya dan laki-laki itu bertemu, kebetulan Giya mengenakan masker dan topi.

"Sorry." Ucap orang itu lalu segera menjauh masih dengan kemarahan yang ada.

Perlahan seperti ada celah untuk mobil yang Giya dan ibunya tumpangi, pak Supir segera memanfaatkan hal tersebut untuk segera keluar dari tempat tawuran seperti itu.

"Ya Allah Giya, kamu bikin ibu takut aja."

Giya menghembuskan nafas pelan. "Giya juga nggak tau bu, kok berani marahin orang tadi."

"Sudah jangan sampai kita ketemu hal seperti itu lagi. Anak muda jaman sekarang benar-benar bahaya, tawuran dimana-mana hal-hal buruk terus saja menimpa para anak muda." Ibu Imah tak habis pikir.

"Memang bu, kalau di kota tawuran seperti tadi sudah biasa. Apalagi para gangster yang terus marak dimana-mana. Jangankan jalan sepi, di perumahan warga maupun dimana saja mereka berani tawuran." Sahut pak supir.

"Aduh kenapa pula pak supir harus bilang perumahan juga sih. Jangan sampai ibu ingat berita di tv waktu di desa." Batin Giya tak berani bersuara.

"Ya Allah semakin tak tertolong anak muda sekarang. Mau jadi apa mereka nanti." Ibu Imah tak habis pikir.

"Tapikan masih ada anak muda yang peduli akan agama dan negara mereka bu. Masih ada anak muda yang ingin menggapai cita-citanya. Mengwujudkan apa yang mereka inginkan." Sahut Giya sedikit tidak setuju atas perkataan ibunya.

Alpha?

Bismillah.

"Tapikan masih ada anak muda yang peduli akan agama dan negara mereka bu. Masih ada anak muda yang ingin menggapai cita-citanya. Mengwujudkan apa yang mereka inginkan."

"Kamu benar sayang, sudah jangan marah begitu. Sebentar lagi kita sampai." Ibu Imah tidak ingin melanjutkan beradu argumen dengan putrinya.

Benar saja tak lama kemudian mobil yang ditumpangi Giya dan ibunya sudah sampai di dekat rumah yang lumayan mewah tapi terlihat begitu sederhana. Giya baru pertama kali menatap rumah di depannya sekarang ini saja sudah jatuh cinta.

"Masya Allah, rumahnya bagus sekali bu. Tidak terlalu mewah, tidak terlalu sempit juga, ukuran minimalis yang begitu pas."

"Alhamdulillah kalau kamu suka rumahnya. Semoga kita bisa betah tinggal disini ya."

"Aamiin bu." Sahut Giya.

Kedua perempuan berbeda usia itu segera masuk ke dalam rumah. Giya membantu ibunya membawa bara-barang bawaan mereka.

Ceklek!

Pintu rumah minimalis tersebut akhirnya terbuka juga dan memperlihatkan dengan jelas bentu di dalam rumahnya. Lagi-lagi Giya kembali jatuh cinta dengan isi di dalam rumah. Bagaimana tidak jatuh cinta, semua barang tertata dengan sangat rapi. Barang-barang yang ada di dalam rumah itu juga diletakan di tempat yang sangat pas dan serasi.

"Pilihan ibu memang tidak ada duanya." Puji Giya sambil memeluk erat lengan ibu Imah yang masih berdiri di dekatnya.

Ibu Imah mengelus sayang pucuk kepala putrinya yang tertutup dengan topi. "Kamar kamu di lantai atas sayang."

"Siap bu, Giya beresin barang-barang Giya dulu ya bu." Pamit Giya segera menuju lantai atas.

Ibu Imah menghela nafas lega setelah melihat Giya naik ke lantai atas dengan gembira. "Semoga kamu bisa beradaptasi dengan cepat di tempat baru sayang."

Menurut ibu Imah ketenangan putrinya yang harus beliau perhatikan lebih dulu. Giya memang sudah beranjak dewasa,  tapi tetap saja bagi ibu Imah. Giya merupakan putri kecilnya yang harus selalu beliau jaga.

ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ

Pagi hari telah menyapa. Giya dan ibunya sudah semalam resmi tinggal di ibu kota.

Giya sudah siap dengan styelan kampusnya. Hari ini, hari pertama dia akan menuntut ilmu di kampus yang berada di kota.

"Bismillah lancarkanlah semua Ya Rabb." Doa Giya.

Bagi Giya perlu memoles make up di wajahnya, karena dia memang tidak suka menggunakan rias wajah. Giya lebih nyaman jika tidak mengoleskan apapun di sekitar wajahnya.

"Ibu Giya berangkat ya. Assalamualaikum." Salam Giya pada ibunya setelah selesai sarapan.

"Wa'alaikumsalam," sahut ibu Imah sambil menggelengkan kepala melihat putrinya sedikit terburu-buru. Wajar saja hari ini pertama kali Giya masuk kampus baru.

Giya merasa bersyukur pengajuan beasiswa yang diajukan diterima, rezeki memang tidak akan kemana. Rezeki orang tidak mungkin tertukar bukan tidak akan salah dapat pada pemiliknya. Sepertinya itulah yang terjadi pada Giya.

Giya menuju kampusnya dengan menaiki kendaraan umum. Seperti perkiraan Giya dia akan sampai dalam waktu 25 menit, jika menggunakan kendaraan umum. Setelah membayar ongkos Giya segera turun dari dalam angkot.

"Masya Allah besar sekali kampusnya. Bahkan lebih besar dari kampusku dulu," gumun Giya.

Giya tidak sadar jika di dalam kampus barunya saat ini tengah terjadi kekacauan. Dia berjalan santai saja memasuki area kampus, seperti tidak ada hal apapun yang terjadi.

Sampai netranya melotot sempurna kala melihat ramai-ramai orang yang sedang tawuran, anehnya para mahasiswa dan mahasiswi yang ada hanya mampu menatap perkelahian orang-orang itu dari kejauhan tanpa berniat melerai mereka.

"Astagfirullah, kenapa aku bisa melihat perkelahian seperti ini lagi. Baru saja satu hari satu malam aku berada di kota sudah dua kali melihat kekacauan yang terjadi." Ucap Giya, tubuhnya sedikit gemetar melihat perkelahian orang-orang itu.

Tidak tahu dia sadar ataupun tidak perlahan kaki Giya melangkah hendak menuju tempat orang-orang berkelahi di depan sana. Dia memang sudah gila, namun Giya sendiri tidak tahu apa yang dia lakukan. Untung saja ada seorang yang menepuk pundak Giya.

"Tunggu, jangan kesana." Ucap orang yang menepuk pundak Giya.

Sontak Giya yang kaget langsung menoleh ke belakang. "Kenapa tidak boleh kesana?" heran Giya.

"Bahaya. Kamu mahasiswi baru ya?" tanya balik seorang perempuan yang tadi menepuk pundak Giya. Giya mengangguk saja sebagai jawaban.

"Pantes," sahutnya.

"Pantes kenapa?" bingung Giya.

"Aku kasih tau ya, kalau mau kuliah dengan tenang di kampus ini. Jangan pernah cari masalah sama para geng Alpah."

"Hah! Geng Alpah?" cengoh Giya yang tidak maksud sama sekali.

"Geng Alpah itu merupakan kelompok geng motor yang sangat terkenal di ibu kota, semua orang siapa yang tak mengenal mereka. Sayangnya mereka suka sekali membuat kekacauan, bahkan di tempat ini mereka tidak segan jika tidak ketahuan pihak kampus. Dan sekarang orang-orang yang berkelahi di depan sana mereka para geng Alpah dan musuh bebuyutan mereka geng Sigma." Jelasnya tanpa Giya bertanya.

Mendengar cerita gadis di depannya ini Giya mengerutkan dahinya. Mengapa mereka harus memakai nama Alpha, jika hanya membuat kekacauan saja. Begitu pikir Giya.

"Maaf siapa nama kamu? Aku Giya." Ucap Giya memperkenalkan dirinya.

Perempuan disebelah Giya ini malah terkekeh. "Maaf aku lupa, heheh! Aku Jia, senang bisa kenal denganmu. Sekarang kita teman!" ucap Jia pede.

"Jia aku mau tanya sesuatu, kenapa mereka harus pake nama Alpha?"

"Kamu tahukan Alpah itu apa?"

"Alpha diartikan sebagai pemimpin. Mereka yang tergolong dalam kepribadian ini cenderung percaya diri, punya prinsip yang kuat, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup, dan pastinya mandiri. Mereka tipe orang yang punya power dan sulit ditaklukkan." Papar Giya.

"Nah itu kamu tahu."

"Tapi untuk mereka yang membuat onar dan selalu membuat resah banyak orang tidak pantas disebut Alpha!"

"Sudah Giya biarkan saja, aku akan memberitahumu sesuatu. Kamu lihat laki-laki yang berdiri disana, memakai baju serba hitam dan masker menggunakan jaket Alpah beda dari yang lain." Giya mengangguk saja.

"Dia Hamzah, ketua geng dari Alpha. Aku kasih saran lebih baik kamu jangan sampai terlibat masalah dengan orang itu."

Giya mengikuti arah telunjuk Jia, siapa sangka tatapan Giya bertemu dengan tatapan ketua dari geng Alpha itu.

"Dia, tunggu dulu. Aku seperti pernah melihat mata elang itu, tapi dimana." Batin Giya.

Giya tersadar jika pandanganya bertemu dengan laki-laki bernama Hamzah itu segar mengalihkan tatapannya, Giya kembali menatap Jia yang berdiri di sebelahnya.

"Benar kata Jia, aku tidak boleh berurusan dengan orang berbahaya seperti itu. Semoga aku tidak pernah bertemu dengannya." Doa Giya.

"Kamu nggak salah namanya Hamzah, Jia?" sungguh nama dan kelakuan yang tidak sesuai menurut Giya.

"Memang, nggak pas bangetkan sama kelakuannya." Sahut  Jia.

Ternyata bukan dirinya saja yang protes akan nama bad boy kampus itu yang memiliki gelar Hamzah.

Takdir Giya

Bismillah.

Giya dan Jia masih asyik mengobrol, mereka berdua sepertinya memang cocok menjadi teman. Saling menyambung satu sama lain jika diajak ngobrol, Giya sudah tidak peduli lagi keributan di depan sana, Jia lebih asyik menurutnya, lewat Jia juga dia bisa tahu banyak tentang kampus.

"Ji anterin aku ke ruang pak Adam yuk." Ajak Giya.

Pak Adam adalah dosen yang bertanggung jawab atas semua mahasiswa dan mahasiswi di kampus internasional Jakarta. Di dalam surat pemberitahuan Giya, dia disuruh untuk menemui pak Adam terlebih dahulu.

"Ayo, aku kasih tau ruangannya." Jia menarik pelan tangan Giya agar ikut dengan nya.

Di dalam benaknya Giya merasa aneh atas keributan yang baru saja dia saksikan. Kemana semua dosen yang bertanggung jawab di kampus ini. Mengapa membiarkan saja keributan yang ada, lalu bukankah ini kampus internasional. Kenapa sepertinya reputasi kampus sangat jelek jika seperti ini. Begitulah pikir Giya.

"Ji, ada keributan kok nggak ada satupun dosen atau petugas yang membereskan, malah dibiarin aja." Giya tidak bisa menahan rasa penasarannya.

Kedua orang itu tetap melanjutkan jalan mereka sambil terus ngobrol membahas tentang para pembuat kekacauan.

Huft! Jia menghembuskan nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan Giya.

"Dosen sama pihak kampus gak ada yang tau Giya, karena tidak ada yang melapor. Mereka yang ketahuan oleh dua kubu itu telah melapor akan terkenal masalah, jadi semua orang memilih bungkam."

"Astagfirullah." Kaget Giya mendengar penjelasan dari Jia. Sebegitu liarkah orang-orang itu.

"Jadi sekali lagi aku saranin jangan dekat-dekat sama mereka. Yah, selain tidak ada yang berani melawan mereka. Banyak fans yang tergila-gila dengan Hamzah dan Nizam. Ketua dan wakil ketua geng Alpah."

Giya mengangguk mengerti, benar apa yang dikatakan oleh Jia. Dia tidak boleh berurusan dengan orang yang bernama Hamzah dan geng Alpah lainnya.

"Ingat Giya, fokuslah dalam kuliahmu dan hindari orang-orang yang berbahaya itu. Para dosen aja tidak berani macam-macam dengan geng Alpah. Belum lagi nanti bisa saja berurusan dengan para fans Alpah the geng." Batin Giya mengingatkan diri sendiri.

"Kita sampai." Ucap Jia saat mereka berdiri tempat di ruangan pak Adam.

"Aku cuman bisa nganter sampek sini Gi, semoga saja kita bisa satu kelas. Aku duluan ya." Pamit Jia yang didetujui oleh Giya, setelahnya barulah Jia mengetuk pintu di depannya itu.

saat sudah mendapatkan persetujuan dari pemilik ruang tersebut Giya segera masuk untuk menemui pak Adam.

"Giya Syalia, fakultas komunikasi." Ucap seorang laki-laki paruh baya, yang Giya yakini itu pak Adam.

"Benar pak." Jawab Giya cepat.

"Baiklah Giya selamat bergabung, sayang senang memiliki mahasiswi seperti kamu. Semoga kedepannya kamu akan memberikan prestasi baik untuk kampus ini."

"Aamiin."

"Silakan ke gedung fakultas komunikasi, ambil kelas A."

"Baik pak terima kasih." Ujar Giya lalu dia segera pamit pada pak Adam.

Langsung saja Giya mencari letak gedung fakultas komunikasi, pasalnya hampir semua fakultas ada di Universitas Binawan.

10 menit berlalu, akhirnya Giya menemukan fakultas yang dia cari. Gedung fakultas komunikasi tepat berada dipanggil tengah-tengah antara gedung fakultas lainnya. Untung saja Giya langsung menemukan kelasnya.

"Giya, kamu anak komunikasi dan berada di kelas A juga?" tanya Jia yang baru saja akan masuk kelas.

Giya mengangguk, Jia terlihat senang mengetahui dia dan Giya berada disatu jurusan juga satu kelas.

"Kita memang ditakdirkan berjodoh." Senang Jia.

*********

Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah hampir satu minggu lebih Giya berstatus sebagai mahasiswa di universitas Binawan. Satu minggu ini pula, Giya tak pernah lagi melihat kekacauan yang terjadi di kampus.

Giya juga merasa sangat bersyukur, dia hanya melihat Hamzah si bad boy kampus satu kali. Kini Giya jadi merasa aman, sudah segala cara dia punya untuk menghindari Hamzah jika nanti mereka bertemu, tapi Giya harap mereka tidak akan pernah bertemu.

"Pagi ibu." Sapa Giya melihat ibunya sudah berada di ruang makan untuk sarapan.

"Pagi Giya, gimana kuliah kamu selama satu minggu ini?" tanya ibu Imah.

"Alhamdulillah lancar bu." Sahutnya.

"Lalu pekerjaan ibu di kota bagaimana? Apakah baik-baik saja sama seperti di kampung?"

"Baik-baik saja, ibu bahkan mendapatkan bonus dari atasan. Oh iya, hampir saja ibu lupa. Minggu depan rencananya ibu mau buka toko kue."

"Masya Allah, Alhamdulillah ibu serius?" tanya Giya lagi belum percaya sepenuhnya.

"Serius Giya."

Lalu ibu dan anak itu kembali melanjutkan obrolan mereka, sambil sarapan. Tak butuh waktu lama Giya sudah menyelesaikan sarapannya.

"Ibu Giya berangkat duluan ya. Assalamualaikum." Pamit Giya sambil bersalaman dengan ibu Imah, saat Giya menyalami ibunya. Ibu Imah menyelipkan uang di tangan beliau untuk jajan Giya.

"Terima kasih bu." Ujar Giya mencuri ciuman di pipi ibunya, setelah itu barulah Giya pergi. Tak lupa ibu Imah juga menjawab salam putrinya.

Seperti biasa dia akan menaiki angkot untuk berangkat ke kampus. Giya bukanlah gadis yang memiliki gengsi setinggi langit, jadi baginya ke kampus dengan angkot sudah biasa sekali.

"Alhamdulillah hari ini cuacanya sangat mendukung, semoga kalau toko ibu sudah buka ramai pembeli." Ucap Giya pada dirinya sendiri.

Giya asyik dengan pikirannya sendiri, sesekali dia mengucapkan Alhamdulillah, karena dirinya dan ibunya dipermudah saat berada di kota. Sampai dia tidak sadar jika di depannya ada seorang yang sedang merokok sambil memunggungi dirinya.

Bruk!

"Astagfirullah hal-adzim." Kaget Giya, dia segera memungut buku-bukunya yang berserakan, sedangkan orang yang berdiri di sembarang tempat itu hanya diam saja, sambil menatap marah Giya.

Sambil memunguti bukunya Giya mengerut tidak jelas. "Ada tempat lain bukan untuk bersantai, kenapa harus di tengah jalan begini." Protes Giya sambil mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang yang baru saja dia tabrak.

"Nona perhatikan langkah anda! Anda yang menabrak saya." Sahut orang itu tidak ada ramah-ramahnya.

Deg!

Giya kaget setengah mati dibentak oleh orang yang tidak dia kenal, bersamaan dengan itu tatapnya kembali bertemu dengan laki-laki bermata elang ini, kali ini Hamzah tidak memakai masker.

"Dia, bukankah dia Hamzah si bad boy kampus. Astagfirullah, tamat sudah riwayatmu Giya." Giya akui Hamzah tampan, pantas saja fansnya membludak di Universitas internasional jakarta, mungkin itu juga alasan kenapa Hamzah selalu memakai masker untuk menutupi wajah tampanya. Pikir Giya.

Padahal Giya sudah membuat rencana agar tidak bertemu Hamzah selama di kampus atau dimanapun. Sampai hari ini akhirnya Giya bertemu dengan Hamzah dengan cara yang membuat laki-laki itu menggeram marah dan sekarang laki-laki itu saat ini sedang menatap dirinya dengan tajam.

"Ya Allah kenapa harus ketemu Hamzah sih." Gerut Giya merasa menyesal sekali.

"Maaf saya tidak sengaja." Ucap Giya pada akhirnya.

Giya buru-buru ingin pergi, tapi siapa sangka Hamzah mencegahnya.

"Mau kemana lo?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!