Bismillah.
"Tapikan masih ada anak muda yang peduli akan agama dan negara mereka bu. Masih ada anak muda yang ingin menggapai cita-citanya. Mengwujudkan apa yang mereka inginkan."
"Kamu benar sayang, sudah jangan marah begitu. Sebentar lagi kita sampai." Ibu Imah tidak ingin melanjutkan beradu argumen dengan putrinya.
Benar saja tak lama kemudian mobil yang ditumpangi Giya dan ibunya sudah sampai di dekat rumah yang lumayan mewah tapi terlihat begitu sederhana. Giya baru pertama kali menatap rumah di depannya sekarang ini saja sudah jatuh cinta.
"Masya Allah, rumahnya bagus sekali bu. Tidak terlalu mewah, tidak terlalu sempit juga, ukuran minimalis yang begitu pas."
"Alhamdulillah kalau kamu suka rumahnya. Semoga kita bisa betah tinggal disini ya."
"Aamiin bu." Sahut Giya.
Kedua perempuan berbeda usia itu segera masuk ke dalam rumah. Giya membantu ibunya membawa bara-barang bawaan mereka.
Ceklek!
Pintu rumah minimalis tersebut akhirnya terbuka juga dan memperlihatkan dengan jelas bentu di dalam rumahnya. Lagi-lagi Giya kembali jatuh cinta dengan isi di dalam rumah. Bagaimana tidak jatuh cinta, semua barang tertata dengan sangat rapi. Barang-barang yang ada di dalam rumah itu juga diletakan di tempat yang sangat pas dan serasi.
"Pilihan ibu memang tidak ada duanya." Puji Giya sambil memeluk erat lengan ibu Imah yang masih berdiri di dekatnya.
Ibu Imah mengelus sayang pucuk kepala putrinya yang tertutup dengan topi. "Kamar kamu di lantai atas sayang."
"Siap bu, Giya beresin barang-barang Giya dulu ya bu." Pamit Giya segera menuju lantai atas.
Ibu Imah menghela nafas lega setelah melihat Giya naik ke lantai atas dengan gembira. "Semoga kamu bisa beradaptasi dengan cepat di tempat baru sayang."
Menurut ibu Imah ketenangan putrinya yang harus beliau perhatikan lebih dulu. Giya memang sudah beranjak dewasa, tapi tetap saja bagi ibu Imah. Giya merupakan putri kecilnya yang harus selalu beliau jaga.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Pagi hari telah menyapa. Giya dan ibunya sudah semalam resmi tinggal di ibu kota.
Giya sudah siap dengan styelan kampusnya. Hari ini, hari pertama dia akan menuntut ilmu di kampus yang berada di kota.
"Bismillah lancarkanlah semua Ya Rabb." Doa Giya.
Bagi Giya perlu memoles make up di wajahnya, karena dia memang tidak suka menggunakan rias wajah. Giya lebih nyaman jika tidak mengoleskan apapun di sekitar wajahnya.
"Ibu Giya berangkat ya. Assalamualaikum." Salam Giya pada ibunya setelah selesai sarapan.
"Wa'alaikumsalam," sahut ibu Imah sambil menggelengkan kepala melihat putrinya sedikit terburu-buru. Wajar saja hari ini pertama kali Giya masuk kampus baru.
Giya merasa bersyukur pengajuan beasiswa yang diajukan diterima, rezeki memang tidak akan kemana. Rezeki orang tidak mungkin tertukar bukan tidak akan salah dapat pada pemiliknya. Sepertinya itulah yang terjadi pada Giya.
Giya menuju kampusnya dengan menaiki kendaraan umum. Seperti perkiraan Giya dia akan sampai dalam waktu 25 menit, jika menggunakan kendaraan umum. Setelah membayar ongkos Giya segera turun dari dalam angkot.
"Masya Allah besar sekali kampusnya. Bahkan lebih besar dari kampusku dulu," gumun Giya.
Giya tidak sadar jika di dalam kampus barunya saat ini tengah terjadi kekacauan. Dia berjalan santai saja memasuki area kampus, seperti tidak ada hal apapun yang terjadi.
Sampai netranya melotot sempurna kala melihat ramai-ramai orang yang sedang tawuran, anehnya para mahasiswa dan mahasiswi yang ada hanya mampu menatap perkelahian orang-orang itu dari kejauhan tanpa berniat melerai mereka.
"Astagfirullah, kenapa aku bisa melihat perkelahian seperti ini lagi. Baru saja satu hari satu malam aku berada di kota sudah dua kali melihat kekacauan yang terjadi." Ucap Giya, tubuhnya sedikit gemetar melihat perkelahian orang-orang itu.
Tidak tahu dia sadar ataupun tidak perlahan kaki Giya melangkah hendak menuju tempat orang-orang berkelahi di depan sana. Dia memang sudah gila, namun Giya sendiri tidak tahu apa yang dia lakukan. Untung saja ada seorang yang menepuk pundak Giya.
"Tunggu, jangan kesana." Ucap orang yang menepuk pundak Giya.
Sontak Giya yang kaget langsung menoleh ke belakang. "Kenapa tidak boleh kesana?" heran Giya.
"Bahaya. Kamu mahasiswi baru ya?" tanya balik seorang perempuan yang tadi menepuk pundak Giya. Giya mengangguk saja sebagai jawaban.
"Pantes," sahutnya.
"Pantes kenapa?" bingung Giya.
"Aku kasih tau ya, kalau mau kuliah dengan tenang di kampus ini. Jangan pernah cari masalah sama para geng Alpah."
"Hah! Geng Alpah?" cengoh Giya yang tidak maksud sama sekali.
"Geng Alpah itu merupakan kelompok geng motor yang sangat terkenal di ibu kota, semua orang siapa yang tak mengenal mereka. Sayangnya mereka suka sekali membuat kekacauan, bahkan di tempat ini mereka tidak segan jika tidak ketahuan pihak kampus. Dan sekarang orang-orang yang berkelahi di depan sana mereka para geng Alpah dan musuh bebuyutan mereka geng Sigma." Jelasnya tanpa Giya bertanya.
Mendengar cerita gadis di depannya ini Giya mengerutkan dahinya. Mengapa mereka harus memakai nama Alpha, jika hanya membuat kekacauan saja. Begitu pikir Giya.
"Maaf siapa nama kamu? Aku Giya." Ucap Giya memperkenalkan dirinya.
Perempuan disebelah Giya ini malah terkekeh. "Maaf aku lupa, heheh! Aku Jia, senang bisa kenal denganmu. Sekarang kita teman!" ucap Jia pede.
"Jia aku mau tanya sesuatu, kenapa mereka harus pake nama Alpha?"
"Kamu tahukan Alpah itu apa?"
"Alpha diartikan sebagai pemimpin. Mereka yang tergolong dalam kepribadian ini cenderung percaya diri, punya prinsip yang kuat, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup, dan pastinya mandiri. Mereka tipe orang yang punya power dan sulit ditaklukkan." Papar Giya.
"Nah itu kamu tahu."
"Tapi untuk mereka yang membuat onar dan selalu membuat resah banyak orang tidak pantas disebut Alpha!"
"Sudah Giya biarkan saja, aku akan memberitahumu sesuatu. Kamu lihat laki-laki yang berdiri disana, memakai baju serba hitam dan masker menggunakan jaket Alpah beda dari yang lain." Giya mengangguk saja.
"Dia Hamzah, ketua geng dari Alpha. Aku kasih saran lebih baik kamu jangan sampai terlibat masalah dengan orang itu."
Giya mengikuti arah telunjuk Jia, siapa sangka tatapan Giya bertemu dengan tatapan ketua dari geng Alpha itu.
"Dia, tunggu dulu. Aku seperti pernah melihat mata elang itu, tapi dimana." Batin Giya.
Giya tersadar jika pandanganya bertemu dengan laki-laki bernama Hamzah itu segar mengalihkan tatapannya, Giya kembali menatap Jia yang berdiri di sebelahnya.
"Benar kata Jia, aku tidak boleh berurusan dengan orang berbahaya seperti itu. Semoga aku tidak pernah bertemu dengannya." Doa Giya.
"Kamu nggak salah namanya Hamzah, Jia?" sungguh nama dan kelakuan yang tidak sesuai menurut Giya.
"Memang, nggak pas bangetkan sama kelakuannya." Sahut Jia.
Ternyata bukan dirinya saja yang protes akan nama bad boy kampus itu yang memiliki gelar Hamzah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Ilmara
Lanjut kak
2023-07-05
3