Tiba-Tiba Khitbah
"Ara, nanti pulang kerja langsung ke rumah ya, Nak!" ucap ummi terdengar sangat lembut di telinga Zahra.
"Apa ada acara hari ini, Ummi?" tanya Zahra penasaran.
"Nak, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"
Kata-kata Ummi Fatimah selalu terngiang-ngiang di dalam benak Zahra, padahal ada setumpuk pekerjaan di meja kerjanya yang deadline dua jam lagi. Terlebih atasannya sangat mengandalkan Zahra untuk proyek mereka, jadi tumpukan pekerjaan dan kata-kata ummi menjadi beban mental untuk Zahra.
Bahkan, berkali-kali ummi juga menghubungi Zahra, beliau mengingatkan agar sang anak tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, Zahra seperti seorang remaja yang di kekang dengan sikap dan kata-kata yang membuat gadis itu semakin tidak ingin pulang ke rumah.
Zahra mumet, ia menggaruk-garuk kepala yang ditutupi hijab merah muda, meski kepala itu tidak gatal sama sekali. Rasanya pundaknya terasa berat, ia seolah menjunjung gunung di pundaknya.
Zahra Alia sebenarnya mengalami beban mental yang menyesakkan dada, karena ia sangat yakin kalau orang tuanya pasti akan menjodohkannya lagi dengan seseorang. Karena ini tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang orang tuanya kenalkan kepada putri kesayangannya itu.
Memang tidak dipungkiri, usia dua puluh sembilan tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi Zahra tinggal di pelosok kampung yang memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib di dalam keluarga. Ya, usia Zahra adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarnya, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang, wanita yang belum menikah terlihat sangat tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka.
Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri mereka lupa kalau usia sudah tidak lagi muda. Seperti Zahra, ia tergolong sempurna sebagai wanita, bahkan banyak yang ingin menjadi seperti dirinya.
"Bosan ah!"
Zahra meletakkan pulpen dan tumpukan map yang berisi berkas-berkas penting itu. Zahra memilih meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikirannya kembali jernih.
"Ara, Zahra, kok bengong?"
Terdengar oleh Zahra suara yang tidak asing tengah memanggil-manggil namanya.
Alexander, lelaki dua puluh lima tahun yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikat Zahra. Lelaki terbaik yang selalu ada di setiap suka dan duka Zahra. Lelaki hebat yang menjadi sandaran hati, tempat mencurahkan semua isi hati baik senang maupun sedih. Ya, lelaki yang tidak lain adalah seorang pengusaha muda yang berhubungan pekerjaan dengan Zahra.
Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya, dengan penampilan rapi dan gagah rupawan itu adalah seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat.
"Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Alex sembari mencubit hidung Zahra yang sangat jauh dari kata mancung.
Tetesan air mata yang sedari tadi Zahra tahan akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Alex malah membuat Zahra semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Zahra ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah ia tanggung kepada lelaki yang ada di depannya. Ia ingin bersandar di bahu lelaki itu dan Zahra ingin lelaki itu membantunya keluar dari masalahnya.
"Pak Bos, sepertinya Ummi akan menjodohkan ku lagi," ucap Zahra dalam isak tangisan.
"Paling nanti gagal lagi, Jelek."
Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghibur Zahra, hingga gadis cantik itu tertawa di dalam tangisnya.
"Sudah ah, jangan cengeng. Udah waktunya pulang, yuk jalan!"
"Tidak, aku ingin pulang saja," tolak Zahra lembut.
"Biasanya juga pulang menjelang magrib," ucap Alex sembari melihat arlojinya. Tentu saja karena ia tidak suka wanita yang selalu ia panggil sekretaris pribadinya itu pulang. Ya, Alex memang sering meminta bantuan Zahra menyelesaikan pekerjaannya di perusahaan jika sang gadis senggang selepas jam dinasnya.
"Aku hanya ingin pulang."
"Sini, biar aku antar!"
Alex menggenggam tangan Zahra dan berniat mengantarkan gadis cantik itu pulang, tapi Zahra menolak, karena ia tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahnya, walaupun lelaki itu adalah sahabat baik dan rekan kerjanya.
Bagi Zahra, Alex seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dari Zahra, tapi kedewasaan sikapnya membuat Zahra merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya. Namun, tetap saja Zahra tidak ingin memperkenalkan Alex kepada keluarganya.
Tapi, Alex memiliki energi luar biasa yang membuat wanita seperti Zahra terhipnotis. Ia seperti magnet yang membuat gadis itu lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajah lelaki itu saja hati Zahra sudah merasa teramat sangat bahagia.
"Aku pulang sendiri saja."
Dengan gerakan sigap, Zahra melepaskan genggaman tangan Alex, berjalan cepat dan langsung mengendarai sepeda motornya agar cepat sampai di rumah.
"Ara, tunggu!" Teriakan Alex tidak Zahra hiraukan, karena gadis cantik itu sudah menyetir dengan kecepatan 60 km/detik agar kedua orang tuanya tidak khawatir.
"Nanti aku telepon," sorak Alex lag yang terdengar samar di telinga Zahra.
Zahra terus melajukan kendaraannya hingga dalam tiga puluh menit sampailah ia di depan rumahnya.
Zahra langsung menuju kamar karena baju kerja yang ia kenakan terasa sangat gerah. Ia ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan kedua orang tuanya, terutama ummi. Tapi, ummi tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol dengan putri sulungnya itu.
Tok ..., Tok ..., Tok ....
Terdengar oleh Zahra sang ummi mengetuk pintu kamarnya, tapi ia bersikap tidak peduli, seolah tidak mendengar.
Zahra hanya bergegas, ia segera membaringkan tubuhnya di ranjang, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, bahkan ia berpura-pura menutup mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuanya itu, agar ia dikira tengah tertidur. Ya, sebuah kebohongan klise yang tidak masuk akal.
Untuk saat ini Zahra tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluarganya, ia hanya ingin mengurung dirinya di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamanya.
'Maafkan, Ara, Ummi."
Ada rasa bersalah di dalam hati Zahra karena telah mengabaikan orang tuanya. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung di diri Zahra, sebuah keyakinan kalau orang tuanya pasti akan membahas masalah perjodohan atau pernikahan yang tidak pernah akan berakhir sampai Zahra benar-benar menikah.
"Zahra, ayo keluar, Sayang!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Fitray Uni
menarik tinggalin jejak dulu nih kakak
2024-02-12
1
Utayiresna🌷
aku lanjutkan bacanya😁
2024-02-12
1
Utayiresna🌷
aku masukin ke rak buku dan like nya karena aku suka sama ceritanya. semangat ya kak Nulis nya.💪
2024-02-12
1