Ummi Fatimah keluar dari kamar dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah beliau. Sementara Zahra, terlihat dalam kebingungan dan ketidakberdayaan. Namun pada akhirnya memutuskan mengganti pakaiannya, tapi bukan dengan pakaian terbaik yang ummi Fatimah pilihkan untuknya, namun dengan baju yang sudah ketinggalan zaman yang jarang sekali ia gunakan. Tanpa menggunakan make up, bedak atau pun lipstik, Zahra keluar dari kamarnya dengan menggunakan gamis berwarna abu-abu dan jilbab berwarna merah muda yang menutupi dadanya. Penampilan Zahra tidak seperti anak gadis pada umumnya ketika bertemu dengan pasangannya, tetapi lebih ke ibu-ibu pengajian yang tidak tahu fashion sama sekali, terlihat sangat kampungan, bahkan Zahra sendiri tidak suka dengan gayanya, tapi ini adalah salah satu usaha penolakannya kepada orang tuanya.
"Zahra, sini, Nak!"
Sebuah panggilan yang merupakan kode dari ummi Fatimah, kalau Zahra harus segera keluar dari kamarnya.
Dengan langkah kaki berat, Zahra melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya dengan hati yang berkecamuk. Tidak ikhlas tentu saja, tidak rela apalagi, yang jelas Zahra hanya tidak ingin membuat orang tuanya kecewa karena sikapnya yang tidak menghargai tamu apalagi tamu itu memiliki niat baik kepadanya.
"Sayang, sini, Nak!"
Ummi Fatimah menghampiri Zahra dengan bersemangat dengan senyum mengembang yang tergambar indah di wajah beliau. Sebuah ekspresi wajah yang menggambarkan kalau beliau memiliki harapan yang sangat besar untuk pertemuan pertama ini.
"Nak, kenapa tidak memakai baju yang Ummi sediakan?" bisik ummi Fatimah lembut namun tidak dihiraukan oleh Zahra.
Ummi Fatimah menggandeng tangan Zahra untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan Abi Abdullah memperkenalkan Zahra sebagai putrinya.
"Perkenalkan Kyai Abidin, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Zahra."
Abi Abdullah memperkenalkan Zahra dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya. Tapi durhakanya Zahra, ia tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali memberikan senyum tipis yang terpaksa. Ya, Zahra melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja Zahra bisa mengelak kalau bersentuhan tangan antara seorang muslim yang tidak muhrim itu tidak diperbolehkan.
Zahra seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemahaman agamanya hanya seujung kuku, tapi bersikap seperti ahli ibadah yang sangat paham dan mengerti agama.
"Nak Zahra, perkenalkan ini Fahri, anak Abi dan Ummi," ucap lembut seorang lelaki separuh baya yang bernama kyai Abidin.
Sekilas, Zahra melihat lelaki yang ada di depannya, wajahnya terlihat bersih bercahaya, sungguh wajah yang memancarkan iman dari dalam hatinya, matanya sipit dengan tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan badan yang menurut Zahra kurus untuk ukuran laki-laki, dan jika dinilai lelaki itu termasuk lelaki sempurna dengan nilai delapan puluh.
Namun, Zahra tidak peduli dengan lelaki yang ada di depannya itu, mau ia seorang ustadz atau preman sekalipun tetap saja lelaki itu tidak membuat hati Zahra bergetar.
Jangankan untuk menikah dengannya, memandang wajahnya saja Zahra sudah tidak mau lagi. Ya, begitulah keegoisan dan kekerasan hati Zahra, jika ia tidak menginginkan seseorang mau sebaik apapun agamanya, se-rupawan apapun wajahnya tidak akan membuat Zahra langsung jatuh cinta kepadanya.
"Zahra, Nak, disapa dong tamunya!" ucap ummi Fatimah yang mulai merasa malu dengan tingkah sang putri.
Namun, bagi Zahra cinta itu adalah sesuatu yang datang dari hati, jika hatinya bergetar maka ia ingin melanjutkan hubungan ketahap selanjutnya dengan lelaki itu, tetapi jika hati ini tidak merasakan getaran cinta itu, maka ia tidak akan mau melanjutkan hubungan itu ketahap yang lebih serius, meskipun resikonya ia akan berdebat dengan kedua orang tuanya.
"Zahra, maksud kedatangan Ustadz Fahri dan keluarganya ke rumah kita adalah untuk bertaaruf denganmu, Nak," ucap ummi Fatimah begitu antusias.
'Taaruf?'
Setahu Zahra taaruf dilaksanakan oleh dua orang yang sudah bertukar curriculum vitae dengan adanya kesepakatan, tapi kalau yang sekarang ini namanya perjodohan karena Zahra belum menyetujuinya sama sekali.
"Jika Nak Zahra berkenan, silahkan berkenalan dengan Nak Fahri, dan kami berharap semoga kalian berdua berjodoh ya."
Sama halnya dengan ummi Fatimah, ummi Salamah juga terlihat sangat antusias dengan perjodohan ini.
Menurut pengakuan ummi Salamah, beliau tidak ingin proses taaruf berjalan lama, jika sudah sama-sama suka, maka segera saja untuk menikah, kalau perlu bulan depan sudah langsung menikah saja dengan semua persiapan pernikahan akan diurusnya.
'Bulan Depan?' batin Zahra berteriak.
Hati Zahra menolak, ia semakin hancur dan terasa sangat terluka, bagaimana mungkin perkara menikah dibuat terlalu 'sat set, sat set' seperti tidak berarti saja.
Zahra bukan sendal yang dipasangkan dengan sembarangan saja, Zahra bukan barang yang diperjual belikan sesuka hati.
Zahra manusia, punya hati dan perasaan, punya rencana masa depan yang sudah tertata rapi dalam otaknya, apalagi ini adalah perkara ibadah seumur hidup, tentu saja Zahra tidak ingin salah memilih pasangan karena bagi seorang wanita memilih calon suami adalah memilih masa depannya, menentukan surga dan nerakanya. Zahra juga sangat ingin sekali menikah, tetapi kedok ustadz yang disandang oleh ustadz Fahri juga belum menjamin ia akan menerima perjodohan ini, karena ia punya kriteria sendiri untuk calon pasangannya.
"Bagaimana, Zahra? Apakah Abi dan Ummi bisa menunggu jawaban darimu seminggu dari sekarang?" tanya kyai Abidin.
Ustadz Fahri sepertinya sudah menyerah dan pasrah saja dengan apa yang menjadi keinginan orang tuanya, tapi tidak dengan Zahra, ia seperti didesak untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas tidak jawabannya.
"Nak, pikirkanlah terlebih dahulu dengan kepala dingin, salat istikharah, minta petunjuk kepada Allah," bisik ummi Fatimah di telinga Zahra.
Sebenarnya Zahra sangat ingin sekali menolak lelaki itu detik ini juga, namun ia pernah mendengarkan sebuah hadist yang disampaikan oleh seorang ustadz yang berceramah, "Jika seorang wanita dilamar oleh lelaki yang baik agamanya maka hendaknya nikahkanlah karena jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi." Tapi, bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan, ini perkara hati bukan barang dagangan.
Sungguh, cinta memang teramat sangat rumit, apalagi sesuatu yang berhubungan dengan hati dan perasaan yang dipaksakan, karena sejatinya sebuah hubungan sebaiknya dijalankan dengan keikhlasan hati bukan paksaan, sebab menikah adalah ibadah terpanjang dan ibadah seumur hidup yang akan dijalani oleh dua orang insan.
Zahra dilema dan tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang selain diam, walaupun sebenarnya ia ingin segera berlari keluar dari rumah dan berteriak sangat keras kalau ia menolak perjodohan ini.
"Nak, apakah kamu bersedia?" tanya abi Abdullah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Fitray Uni
gimana ya kalo hati udah memilih yg lain, emang susah untuk di ajak kompromi, 🥰👍 semangat kak
2024-02-13
1
Selviana
Taaruf itu lebih indah Zahra di dibandingkan pacaran lalu menikah.
2024-02-11
1