NovelToon NovelToon

Tiba-Tiba Khitbah

Rencana Ummi

"Ara, nanti pulang kerja langsung ke rumah ya, Nak!" ucap ummi terdengar sangat lembut di telinga Zahra.

"Apa ada acara hari ini, Ummi?" tanya Zahra penasaran.

"Nak, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"

Kata-kata Ummi Fatimah selalu terngiang-ngiang di dalam benak Zahra, padahal ada setumpuk pekerjaan di meja kerjanya yang deadline dua jam lagi. Terlebih atasannya sangat mengandalkan Zahra untuk proyek mereka, jadi tumpukan pekerjaan dan kata-kata ummi menjadi beban mental untuk Zahra.

Bahkan, berkali-kali ummi juga menghubungi Zahra, beliau mengingatkan agar sang anak tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, Zahra seperti seorang remaja yang di kekang dengan sikap dan kata-kata yang membuat gadis itu semakin tidak ingin pulang ke rumah.

Zahra mumet, ia menggaruk-garuk kepala yang ditutupi hijab merah muda, meski kepala itu tidak gatal sama sekali. Rasanya pundaknya terasa berat, ia seolah menjunjung gunung di pundaknya.

Zahra Alia sebenarnya mengalami beban mental yang menyesakkan dada, karena ia sangat yakin kalau orang tuanya pasti akan menjodohkannya lagi dengan seseorang. Karena ini tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang orang tuanya kenalkan kepada putri kesayangannya itu.

Memang tidak dipungkiri, usia dua puluh sembilan tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi Zahra tinggal di pelosok kampung yang memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib di dalam keluarga. Ya, usia Zahra adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarnya, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang, wanita yang belum menikah terlihat sangat tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka.

Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri mereka lupa kalau usia sudah tidak lagi muda. Seperti Zahra, ia tergolong sempurna sebagai wanita, bahkan banyak yang ingin menjadi seperti dirinya.

"Bosan ah!"

Zahra meletakkan pulpen dan tumpukan map yang berisi berkas-berkas penting itu. Zahra memilih meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikirannya kembali jernih.

"Ara, Zahra, kok bengong?"

Terdengar oleh Zahra suara yang tidak asing tengah memanggil-manggil namanya.

Alexander, lelaki dua puluh lima tahun yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikat Zahra. Lelaki terbaik yang selalu ada di setiap suka dan duka Zahra. Lelaki hebat yang menjadi sandaran hati, tempat mencurahkan semua isi hati baik senang maupun sedih. Ya, lelaki yang tidak lain adalah seorang pengusaha muda yang berhubungan pekerjaan dengan Zahra.

Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya, dengan penampilan rapi dan gagah rupawan itu adalah seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat.

"Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Alex sembari mencubit hidung Zahra yang sangat jauh dari kata mancung.

Tetesan air mata yang sedari tadi Zahra tahan akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Alex malah membuat Zahra semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Zahra ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah ia tanggung kepada lelaki yang ada di depannya. Ia ingin bersandar di bahu lelaki itu dan Zahra ingin lelaki itu membantunya keluar dari masalahnya.

"Pak Bos, sepertinya Ummi akan menjodohkan ku lagi," ucap Zahra dalam isak tangisan.

"Paling nanti gagal lagi, Jelek."

Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghibur Zahra, hingga gadis cantik itu tertawa di dalam tangisnya.

"Sudah ah, jangan cengeng. Udah waktunya pulang, yuk jalan!"

"Tidak, aku ingin pulang saja," tolak Zahra lembut.

"Biasanya juga pulang menjelang magrib," ucap Alex sembari melihat arlojinya. Tentu saja karena ia tidak suka wanita yang selalu ia panggil sekretaris pribadinya itu pulang. Ya, Alex memang sering meminta bantuan Zahra menyelesaikan pekerjaannya di perusahaan jika sang gadis senggang selepas jam dinasnya.

"Aku hanya ingin pulang."

"Sini, biar aku antar!"

Alex menggenggam tangan Zahra dan berniat mengantarkan gadis cantik itu pulang, tapi Zahra menolak, karena ia tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahnya, walaupun lelaki itu adalah sahabat baik dan rekan kerjanya.

Bagi Zahra, Alex seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dari Zahra, tapi kedewasaan sikapnya membuat Zahra merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya. Namun, tetap saja Zahra tidak ingin memperkenalkan Alex kepada keluarganya.

Tapi, Alex memiliki energi luar biasa yang membuat wanita seperti Zahra terhipnotis. Ia seperti magnet yang membuat gadis itu lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajah lelaki itu saja hati Zahra sudah merasa teramat sangat bahagia.

"Aku pulang sendiri saja."

Dengan gerakan sigap, Zahra melepaskan genggaman tangan Alex, berjalan cepat dan langsung mengendarai sepeda motornya agar cepat sampai di rumah.

"Ara, tunggu!" Teriakan Alex tidak Zahra hiraukan, karena gadis cantik itu sudah menyetir dengan kecepatan 60 km/detik agar kedua orang tuanya tidak khawatir.

"Nanti aku telepon," sorak Alex lag yang terdengar samar di telinga Zahra.

Zahra terus melajukan kendaraannya hingga dalam tiga puluh menit sampailah ia di depan rumahnya.

Zahra langsung menuju kamar karena baju kerja yang ia kenakan terasa sangat gerah. Ia ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan kedua orang tuanya, terutama ummi. Tapi, ummi tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol dengan putri sulungnya itu.

Tok ..., Tok ..., Tok ....

Terdengar oleh Zahra sang ummi mengetuk pintu kamarnya, tapi ia bersikap tidak peduli, seolah tidak mendengar.

Zahra hanya bergegas, ia segera membaringkan tubuhnya di ranjang, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, bahkan ia berpura-pura menutup mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuanya itu, agar ia dikira tengah tertidur. Ya, sebuah kebohongan klise yang tidak masuk akal.

Untuk saat ini Zahra tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluarganya, ia hanya ingin mengurung dirinya di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamanya.

'Maafkan, Ara, Ummi."

Ada rasa bersalah di dalam hati Zahra karena telah mengabaikan orang tuanya. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung di diri Zahra, sebuah keyakinan kalau orang tuanya pasti akan membahas masalah perjodohan atau pernikahan yang tidak pernah akan berakhir sampai Zahra benar-benar menikah.

"Zahra, ayo keluar, Sayang!"

Pertemuan Pertama?

"Zahra, Ummi tahu kamu belum tidur, Nak." Ummi Fatimah menjeda ucapannya, mencoba bersabar atas sikap ke kanak-kanakan putri kesayangannya itu.

"Nak, apa kamu bisa keluar? Abi dan Ummi ingin berbicara," ucap ummi Fatimah lembut namun kini terdengar sangat tegas sekali.

Bagaimanapun juga, Zahra adalah seorang anak dan ia tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuat hatinya menjadi batu, jadi ia mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuanya.

Sejam berlalu, ummi Fatimah kembali ke kamar putrinya, dan kali ini beliau memutuskan masuk ke kamar Zahra dengan rasa kecewa yang beliau bawa bersamanya. Sementara Zahra, ia terus diam, mulai menjadi anak yang keras hati, bahkan ia palingkan tubuhnya menghadap ke dinding seolah tidak ingin melihat wajah orang tuanya.

"Ara, Ummi tahu kamu belum tidur, tapi satu hal yang harus kamu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu, bukan si Alex, lelaki yang hanya memberikan harapan dan memanfaatkan mu saja!"

Ucapan yang keluar dari lisan ummi Fatimah membuat darah Zahra mendidih, ia bangkit dari pembaringannya dengan wajah memerah penuh amarah karena tidak terima jika lelaki yang ia anggap malaikat dijelekkan oleh orang tuanya.

"Ummi, dimana Ummi mengenal Alex? Kenapa Ummi bisa beranggapan kalau Alex adalah lelaki yang jahat?" protes Zahra dengan mata memerah dan air mata yang tiba-tiba jatuh membasahi pipinya.

Ya, rasa semu itu membuat seorang anak mampu melawan orang tuanya.

"Nak, tidak penting Ummi tahu dari mana, tapi cobalah berpikir ulang, apa yang kamu harapkan dari Alex? Lelaki itu tidak mencintaimu, bahkan ia mengatakan kalau ia tidak mengenalmu, ia hanya memanfaatkan mu, Nak!"

Dengan suara serak dan mata berkaca-kaca, Ummi Fatimah menyampaikan kata-kata yang bertentangan dengan batin Zahra. Alex bukanlah lelaki jahat seperti yang ummi Fatimah tuduhkan, Alex juga tidak ada niat sedikitpun memanfaatkan Zahra, bahkan Zahra juga merasa kalau Alex tidak pernah mempermainkan perasaannya, ia adalah malaikat yang selama ini selalu ada dalam setiap suka dan duka Zahra.

"Ummi, Alex bukan lelaki seperti itu," ucap Zahra membela Alex dengan keyakinan penuh.

"Nak, lelaki itu tidak mencintaimu, kamu jangan mengharapkan Alex lagi! Ustadz Fahri adalah lelaki yang bisa menjadi imam untukmu, jadi lelaki seperti apa lagi yang kamu cari? Bukankah seseorang dipilih karena agamanya, Nak?"

Dengan nada suara tinggi, ummi Fatimah menumpahkan semua isi hatinya kepada putrinya, karena ini adalah kesekian kalinya Zahra menolak perjodohan dengan laki-laki yang menurut keluarga baik. Sungguh, ummi Fatimah tidak paham lagi dengan sikap putrinya, hingga beliau marah dan emosi kepada anak gadisnya itu sembari memberikan pemahaman agama yang memang benar adanya.

"Nak, seseorang dipilih karena tiga hal yaitu dari agamanya, keluarganya dan kekayaannya, tapi pilihlah pasangan yang baik agamanya agar hidup kita selamat dunia dan akhirat."

Zahra diam dalam kebisuan, tidak ingin membantah apa yang ummi katakan, karena bagaimanapun juga, apa yang  ummi Fatimah sampaikan berdasarkan hadist Rasullullah yang benar adanya.

"Ara, Ummi malu karena kamu selalu menjadi gunjingan tetangga, Ummi malu karena anak gadis kesayangan Ummi belum menikah sementara dua orang adikmu telah menikah. Jadi sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka kamu harus menerima perjodohan ini."

Seolah tidak mengizinkan ada penolakan dari sang putri, ummi Fatimah berbicara tegas.

"Maaf, Ummi, tapi Ara tidak bisa menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenal!"

"Ustadz Fahri adalah lelaki saleh, ia mengajar di pondok pesantren milik orang tuanya, dia lelaki terbaik untukmu, dan tidak ada istilah pacaran sebelum menikah, berkenalan sebelum menikah cukup dengan bertaaruf dengan didampingi, Nak!"

"Tapi Ara tidak mencintai lelaki itu, Ummi, jadi tolong jangan paksa Ara."

"Jangan membahas cinta, cinta akan muncul setelah menikah, karena Allah yang menumbuhkan rasa cinta itu di hati manusia. Ummi dan Abi juga dijodohkan dan bisa hidup bahagia sekarang. Jadi jangan membantah lagi, gantilah bajumu dengan pakaian terbaik karena sebentar lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"

Sebuah ultimatum yang keluar dari lisan ummi Fatimah membuat Zahra merasa sangat hancur dan terluka, dirinya seperti tertusuk panah tepat di hatinya.

"Ummi, Ara tidak ingin bertemu dengan Ustadz Fahri."

Dengan mata melotot dan nada suara tinggi, Zahra membantah. Gadis itu akhirnya berani mengungkapkan isi hatinya, bahwa ia menolak perjodohan ini.

"Ara, apa ada lelaki yang kamu cintai? Jika memang ada bawalah lelaki itu ke rumah, kenalkan sama Ummi dan Abi, karena hanya itu cara supaya Ummi bisa membatalkan perjodohan ini."

Zahra terdiam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan ummi Fatimah. Bagaimana mungkin Zahra akan membawa seorang lelaki ke rumah untuk dikenalkan sebagai calon suaminya, ia bahkan tidak dekat dengan siapapun selama lebih dari lima tahun terakhir kecuali dengan Alex. Entah mengapa, sejak gagal menikah karena sebuah penghianatan membuat hati Zahra mati, ia sulit dekat dan percaya dengan makhluk yang namanya laki-laki. Zahra beranggapan kalau semua lelaki itu sama dan ia benar-benar sangat takut untuk ditinggalkan lagi setelah ia memberikan seluruh hatinya kepada makhluk dengan alias buaya darat itu. Ya, Tuhan memang mencemburui hati yang berharap jika bukan kepadanya, jadi saat ini Zahra hanya menggantungkan hati dan harapannya kepada Tuhan saja, dengan satu keyakinan yang ia pegang erat di dalam dada, kalau semua manusia diciptakan berpasang-pasangan dan jika telah waktunya maka jodoh juga akan datang menghampirinya.

"Jika Alex memang lelaki yang kamu sukai maka berhentilah sekarang, Nak! Lelaki itu tidak mencintaimu."

Ummi Fatimah lagi-lagi mengatakan kata-kata tajam yang membuat hati Zahra hancur. Bagaimana bisa orang tuanya menilai Alex sejelek dan serendah itu, padahal Alex adalah lelaki yang sangat baik kepadanya, bahkan ialah lelaki yang berhasil menyembuhkan luka-luka di dalam hatinya. Alex satu-satunya lelaki membuat Zahra percaya kalau masih ada lelaki baik dan tulus di dunia ini selain ayahnya. Ya, mereka berdua memang tidak berpacaran, hubungan mereka hanya sebatas sahabat dekat yang saling berbagi suka dan duka bersama, karena sebuah rasa nyaman, dan tidak ada orang yang Zahra percaya selain Alex.

"Sekarang cepat ganti pakaian karena lima menit lagi Ustadz Fahri dan keluarganya akan datang!"

Ummi Fatimah meletakkan sebuah gaun berwarna merah muda dengan hijab syar'i yang biasanya dikenakan oleh ustadzah. Ya, Zahra tahu pakaian seperti itulah yang sesuai dengan syariat islam tapi Zahra ingin mengenakan pakaian itu tanpa paksaan.

Taaruf

Ummi Fatimah keluar dari kamar dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajah beliau. Sementara Zahra, terlihat dalam kebingungan dan ketidakberdayaan. Namun pada akhirnya memutuskan mengganti pakaiannya, tapi bukan dengan pakaian terbaik yang ummi Fatimah pilihkan untuknya, namun dengan baju yang sudah ketinggalan zaman yang jarang sekali ia gunakan. Tanpa menggunakan make up, bedak atau pun lipstik, Zahra keluar dari kamarnya dengan menggunakan gamis berwarna abu-abu dan jilbab berwarna merah muda yang menutupi dadanya. Penampilan Zahra tidak seperti anak gadis pada umumnya ketika bertemu dengan pasangannya, tetapi lebih ke ibu-ibu pengajian yang tidak tahu fashion sama sekali, terlihat sangat kampungan, bahkan Zahra sendiri tidak suka dengan gayanya, tapi ini adalah salah satu usaha penolakannya kepada orang tuanya.

"Zahra, sini, Nak!"

Sebuah panggilan yang merupakan kode dari ummi Fatimah, kalau Zahra harus segera keluar dari kamarnya.

Dengan langkah kaki berat, Zahra melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya dengan hati yang berkecamuk. Tidak ikhlas tentu saja, tidak rela apalagi, yang jelas Zahra hanya tidak ingin membuat orang tuanya kecewa karena sikapnya yang tidak menghargai tamu apalagi tamu itu memiliki niat baik kepadanya.

"Sayang, sini, Nak!"

Ummi Fatimah menghampiri Zahra dengan bersemangat dengan senyum mengembang yang tergambar indah di wajah beliau. Sebuah ekspresi wajah yang menggambarkan kalau beliau memiliki harapan yang sangat besar untuk pertemuan pertama ini.

"Nak, kenapa tidak memakai baju yang Ummi sediakan?" bisik ummi Fatimah lembut namun tidak dihiraukan oleh Zahra.

Ummi Fatimah menggandeng tangan Zahra untuk duduk di samping beliau, kemudian dengan sangat ramah dan sopan Abi Abdullah memperkenalkan Zahra sebagai putrinya.

"Perkenalkan Kyai Abidin, Ummi Salamah, Ustadz Fahri, ini anak kami Zahra."

Abi Abdullah memperkenalkan Zahra dengan bangga sebagai anak perempuan kesayangan dan kebanggaannya. Tapi durhakanya Zahra, ia tidak memberikan salam apapun kepada tamu yang datang kecuali memberikan senyum tipis yang terpaksa. Ya, Zahra melihat keluarga yang datang adalah keluarga yang sangat alim dan paham agama, jadi tentu saja Zahra bisa mengelak kalau bersentuhan tangan antara seorang muslim yang tidak muhrim itu tidak diperbolehkan.

Zahra seperti manusia yang sombong dan angkuh, ilmu dan pemahaman agamanya hanya seujung kuku, tapi bersikap seperti ahli ibadah yang sangat paham dan mengerti agama.

"Nak Zahra, perkenalkan ini Fahri, anak Abi dan Ummi," ucap lembut seorang lelaki separuh baya yang bernama kyai Abidin.

Sekilas, Zahra melihat lelaki yang ada di depannya, wajahnya terlihat bersih bercahaya, sungguh wajah yang memancarkan iman dari dalam hatinya, matanya sipit dengan tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat dengan badan yang menurut Zahra kurus untuk ukuran laki-laki, dan jika dinilai lelaki itu termasuk lelaki sempurna dengan nilai delapan puluh.

Namun, Zahra tidak peduli dengan lelaki yang ada di depannya itu, mau ia seorang ustadz atau preman sekalipun tetap saja lelaki itu tidak membuat hati Zahra bergetar.

Jangankan untuk menikah dengannya, memandang wajahnya saja Zahra sudah tidak mau lagi. Ya, begitulah keegoisan dan kekerasan hati Zahra, jika ia tidak menginginkan seseorang mau sebaik apapun agamanya, se-rupawan apapun wajahnya tidak akan membuat Zahra langsung jatuh cinta kepadanya.

"Zahra, Nak, disapa dong tamunya!" ucap ummi Fatimah yang mulai merasa malu dengan tingkah sang putri.

Namun, bagi Zahra cinta itu adalah sesuatu yang datang dari hati, jika hatinya bergetar maka ia ingin melanjutkan hubungan ketahap selanjutnya dengan lelaki itu, tetapi jika hati ini tidak merasakan getaran cinta itu, maka ia tidak akan mau melanjutkan hubungan itu ketahap yang lebih serius, meskipun resikonya ia akan berdebat dengan kedua orang tuanya.

"Zahra, maksud kedatangan Ustadz Fahri dan keluarganya ke rumah kita adalah untuk bertaaruf denganmu, Nak," ucap ummi Fatimah begitu antusias.

'Taaruf?'

Setahu Zahra taaruf dilaksanakan oleh dua orang yang sudah bertukar curriculum vitae dengan adanya kesepakatan, tapi kalau yang sekarang ini namanya perjodohan karena Zahra belum menyetujuinya sama sekali.

"Jika Nak Zahra berkenan, silahkan berkenalan dengan Nak Fahri, dan kami berharap semoga kalian berdua berjodoh ya."

Sama halnya dengan ummi Fatimah, ummi Salamah juga terlihat sangat antusias dengan perjodohan ini.

Menurut pengakuan ummi Salamah, beliau tidak ingin proses taaruf berjalan lama, jika sudah sama-sama suka, maka segera saja untuk menikah, kalau perlu bulan depan sudah langsung menikah saja dengan semua persiapan pernikahan akan diurusnya.

'Bulan Depan?' batin Zahra berteriak.

Hati Zahra menolak, ia semakin hancur dan terasa sangat terluka, bagaimana mungkin perkara menikah dibuat terlalu 'sat set, sat set' seperti tidak berarti saja.

Zahra bukan sendal yang dipasangkan dengan sembarangan saja, Zahra bukan barang yang diperjual belikan sesuka hati.

Zahra manusia, punya hati dan perasaan, punya rencana masa depan yang sudah tertata rapi dalam otaknya, apalagi ini adalah perkara ibadah seumur hidup, tentu saja Zahra tidak ingin salah memilih pasangan karena bagi seorang wanita memilih calon suami adalah memilih masa depannya, menentukan surga dan nerakanya. Zahra juga sangat ingin sekali menikah, tetapi kedok ustadz yang disandang oleh ustadz Fahri juga belum menjamin ia akan menerima perjodohan ini, karena ia punya kriteria sendiri untuk calon pasangannya.

"Bagaimana, Zahra? Apakah Abi dan Ummi bisa menunggu jawaban darimu seminggu dari sekarang?" tanya kyai Abidin.

Ustadz Fahri sepertinya sudah menyerah dan pasrah saja dengan apa yang menjadi keinginan orang tuanya, tapi tidak dengan Zahra, ia seperti didesak untuk menjawab pertanyaan yang sudah jelas tidak jawabannya.

"Nak, pikirkanlah terlebih dahulu dengan kepala dingin, salat istikharah, minta petunjuk kepada Allah," bisik ummi Fatimah di telinga Zahra.

Sebenarnya Zahra sangat ingin sekali menolak lelaki itu detik ini juga, namun ia pernah mendengarkan sebuah hadist yang disampaikan oleh seorang ustadz yang berceramah, "Jika seorang wanita dilamar oleh lelaki yang baik agamanya maka hendaknya nikahkanlah karena jika tidak maka akan terjadi kerusakan di muka bumi." Tapi, bagaimanapun juga cinta tidak bisa dipaksakan, ini perkara hati bukan barang dagangan.

Sungguh, cinta memang teramat sangat rumit, apalagi sesuatu yang berhubungan dengan hati dan perasaan yang dipaksakan, karena sejatinya sebuah hubungan sebaiknya dijalankan dengan keikhlasan hati bukan paksaan, sebab menikah adalah ibadah terpanjang dan ibadah seumur hidup yang akan dijalani oleh dua orang insan.

Zahra dilema dan tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang selain diam, walaupun sebenarnya ia ingin segera berlari keluar dari rumah dan berteriak sangat keras kalau ia menolak perjodohan ini.

"Nak, apakah kamu bersedia?" tanya abi Abdullah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!