Zahra tidak bergeming, walaupun mulutnya ingin berteriak tapi mulut itu tetap tidak bereaksi sama sekali. Ya, walaupun banyak hal yang ingin sekali diungkapkan, bahkan tubuh juga ingin lari dari kenyataan, tapi tetap saja seluruh jiwa raga tidak merespon apa-apa, hingga sebuah kata terasa seperti anak panah yang menembus tepat di hati Zahra, ketika ummi Fatimah berkata, "Diamnya seorang wanita pertanda setuju."
Saat ini juga seluruh tubuh Zahra menjadi kaki, dimana mulutnya terasa seperti dijahit hingga tidak bisa melakukan apa-apa, jangankan untuk menolak atau memberontak, untuk dibuka saja lidah itu terasa sangat kelu dan tidak bisa berkata apa-apa selain menerima dalam diamnya.
"Baiklah, karena kedua belah pihak telah setuju, kalau begitu kami pamit undur diri." Itulah kata-kata terakhir yang sempat terdengar di telinga Zahra.
Ustadz Fahri dan keluarganya berpamitan pulang dengan senyum indah yang tergambar di wajah mereka, tapi tidak dengan Zahra, rasa dongkol dan kesal membuat gadis cantik itu murka hingga hanya wajah cemberut dan masam yang tergambar di wajah.
Zahra bahkan tidak mengantarkan tamu yang datang sampai di depan pintu, tapi lebih memilih diam, duduk di kursi seperti patung yang membisu hingga sang tamu meninggalkan rumah kami.
Sebagai orang tua, kedua orang tua Zahra tentu malu dengan sikap putrinya, tapi memilih untuk mengajak sang putri berdiskusi karena emosi bisa dicairkan jika dibalas dengan kelembutan.
"Zahra, Abi dan Ummi ingin berbicara, Nak," ucap abi Abdullah dengan nada suara lembut.
Zahra tetap diam tertunduk, sebab abi adalah seorang ayah yang sangat Zahra hormati.
"Nak, Abi dan Ummi sudah tidak muda lagi, kami ingin sekali melihatmu menikah dan kami rasa Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk mendampingi mu."
Sebuah harapan dari orang tua yang menginginkan anak perempuannya berumah tangga membuat hati Zahra seperti teriris sembilu. Ia sangat paham, bahkan lebih dari kedua orang tuanya, ia juga sangat ingin sekali menikah dan berumah tangga, tapi apa daya tidak semua keinginan bisa sesuai dengan harapan karena rencana Allah yang terbaik dan Allah punya waktu yang paling tepat untuk hambaNya.
"Nak, terima ya niat baik Ustadz Fahri," ucap ummi Fatimah dengan penuh harap.
Telinga Zahra terasa sangat panas, hingga mulut yang tadinya membisu berubah menjadi bara api yang siap meledak, "Terserah Ummi saja!"
Tanpa sopan santun, Zahra langsung bangkit dari tempat duduknya, ia menatap wajah kedua orang tuanya secara bergantian, ia memasang wajah masam dengan sejuta amarah yang ia bawa bersamanya.
Zahra berjalan cepat dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia mengurung diri di kamar dan tidak ingin menemui siapapun, ia hanya ingin tidur dan memejamkan matanya agar ia bisa melupakan kejadian hari ini, tapi semakin ia menutup mata semakin mata ini tidak ingin dipejamkan. Bahkan sampai satu minggu berlalu Zahra terlihat seperti mayat hidup, antara hidup segan, mati tidak mau. Ia hampir tidak pernah tidur dan juga tidak berselera memakan apapun, hanya air putih secukupnya yang menjadi penyambung hidupnya. Hari-harinya terasa sangat hampa dan tidak berdaya, bahkan ketika berada di kantor pun ia tidak berkonsentrasi sama sekali.
[Jelek, jalan yuk!]
Pesan singkat dari Alex yang selama ini selalu Zahra nantikan dan membuat ia antusias, kini tidak lagi ia pedulikan.
Pandangan Zahra tertuju pada langit yang terlihat mendung, seolah hujan lebat akan turun mengguyur bumi, seperti mata Zahra yang ingin mengalirkan air mata kesedihan.
'Apakah langit mengerti perasaanku?' ucap Zahra di dalam hati seolah ingin ada yang mendukungnya meski hanya langit.
Seketika ia menoleh ke arah jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 Wib, waktu dimana tugasnya sebagai seorang abdi negara telah usai.
Namun, entah mengapa hari ini rasanya hati Zahra lebih tidak tenang dari hari-hari sebelumnya, seolah ada sesuatu yang mengganjal, hingga rasanya terlalu berat melangkahkan kaki kembali lagi ke rumah. Tapi, mau tidak mau suka tidak suka, ia tetap harus pulang karena ia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir, walaupun suasana di rumah saat ini sedang perang dingin.
Dengan langkah kaki berat, Zahra berjalan menuju parkiran, mengambil motor matic kesayangan dengan tenaga yang terasa sangat lemah. Dimana sepanjang jalan pikirannya entah bercabang, seolah jiwa sudah tidak lagi di raga.
Zahra kembali ke rumah dengan sejuta gundah di hatinya, dan sorot mata kaget membuat gadis itu semakin terkejut ketika sampai di depan rumah, karena ia melihat sudah banyak kendaraan berjejeran, terlihat juga famili dan orang-orang yang ia kenal berkumpul sembari bercanda tawa.
'Apakah ada acara hari ini?' ucap Zahra di dalam hati.
Zahra terus melangkah pelan dengan kaki yang terasa goyah dan tubuh yang mulai lunglai.
"Zahra, kamu sudah pulang, Nak?"
Ummi Fatimah menghampiri Zahra yang tengah memarkirkan motornya dengan senyum sumringah yang tergambar jelas di wajah cantik wanita separuh baya itu.
"Ummi, apa ada acara spesial hari ini?" tanya Zahra dengan wajah kebingungan dengan dua bola mata terus melihat sekelilingnya seolah sedang ada perayaan besar di rumahnya.
Ummi Fatimah hanya tersenyum, beliau menggandeng tangan putri kesayangannya itu untuk berjalan menuju kamar dengan sejuta rasa bahagia yang beliau bawa bersamanya.
Zahra semakin heran dan merasa tidak enak hati karena orang-orang tersenyum ramah kepadanya, menyapanya sembari tersenyum malu seolah ia adalah seorang ratu yang sangat dipuja hari ini.
"Nak, bersiaplah, hari ini keluarga Ustadz Fahri akan datang melamar mu secara resmi, kalian berdua akan bertunangan."
"Bertunangan, Ummi? Dengan lelaki yang seminggu yang lalu datang ke rumah kita?"
Zahra kaget dengan seluruh tubuh yang gemetar, Zahra mencoba memastikan kalau lelaki yang akan menjadi tangannya adalah lelaki yang waktu itu datang ke rumahnya. Lelaki yang sama sekali tidak ada di kamus Zahra untuk menjadi suaminya.
"Iya, Sayang, Ustadz Fahri adalah lelaki yang baik dan tepat untuk menjadi suamimu."
Ummi Fatimah tersenyum sembari membelai pipi Zahra dengan lembut. Menandakan betapa bahagianya hati karena putri kesayangan akhirnya akan menikah. Namun tidak dengan Zahra, jiwanya terasa tidak lagi di raga, seolah malaikat izrail datang untuk mencabut nyawanya. Seluruh tubuhnya menggigil dan bergetar sangat luar biasa mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah nyawa akan meninggalkan badannya. Zahra kedinginan seperti berada di kutub utara, mulutnya kaku dan membisu, tidak sanggup mengatakan apa-apa dan tidak sanggup melakukan apa-apa.
"Sayang, setelah isya keluarga calon tunanganmu dan keluarganya akan datang, jadi bersiaplah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Selviana
Jangan Zahra hidup kamu masih panjang.Masa cuma di jodohkan mau mati saja.Apa kamu mau mati gentayangan.😁😁😁
2024-02-20
0