Jodoh Kencan Buta

Jodoh Kencan Buta

Pertemuan Pertama

Azalea jalan dengan sangat hati-hati. Ia mengenakan gaun berwarna dusty pink, memakai sepatu hak setinggi sepuluh senti. Di tangannya membawa tas kecil berwarna hitam yang hanya berisi ponsel saja, sebab dompetnya telah disita oleh sang kakak. Ia telah menolak dengan keras perjodohan ini, tetapi tetap tidak bisa apa-apa selain menurut.

“Biar kamu enggak kabur.” Begitu kata Jasmine sebelum Azalea turun dari mobil tadi.

Jasmine telah berhasil mengubah penampilan Azalea. Dari seorang gadis imut berusia enam belas tahun, kini ia tampil bak gadis dewasa. Ya, walaupun jika diperhatikan dengan seksama, kepolosan yang tersisa dari wajahnya masih dapat terlihat.

Berulang kali Azalea membenahi gaunnya. Ia menarik-narik agar panjang gaun bisa sedikit menutupi kaki jenjangnya. Sejujurnya, Azalea masih belum terbiasa mengenakan pakaian seperti ini. Ia lebih suka mengenakan celana jeans dan kaus saja. Selama ini, ia memang belum pernah mengikuti acara yang mewajibkan mengenakan gaun.

Azalea telah disambut oleh pelayan restoran. Ia diantarkan ke sebuah meja yang telah dipesan dengan seorang lelaki berpakaian rapi nan formal telah duduk di sana menunggu kedatangannya.

Jantung Azalea seakan siap melompat keluar dari sarang. Untuk pertama kalinya ia makan malam hanya berdua saja dengan orang asing di tempat yang sangat mewah ini. Ia berjalan pelan menghampiri lelaki itu yang kini tengah berdiri menyambut kedatangannya.

Di kepala Azalea sibuk mengingat pelajaran kepribadian yang telah diterimanya. Ia tidak ingin membuat malu diri sendiri juga keluarga di hadapan lelaki asing itu.

“Selamat malam ....”

“Azalea. Nama saya Azalea,” sahut Azalea hati-hati. Sepertinya lelaki itu belum mengenal siapa dirinya.

Satu sama. Batin Azalea. Sebab, ia juga tidak mengetahui seluk beluk lelaki itu sama sekali.

“Selamat malam, Azalea.”

“Malam ....” Azalea menggantung kalimatnya.

“Reynand. Panggil aku Rey,” kata lelaki itu sopan.

“Terima kasih, Kak ... eh, Rey.” Azalea menipiskan bibir. Hampir saja ia keceplosan. Sangat tidak sopan jika ia memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Kakak' walaupun, Azalea sangat yakin jika Reynand sangat cocok dipanggil 'Om' olehnya.

Azalea menyambut uluran tangan Reynand. Ia mematung seketika, saat lelaki itu mencium punggung tangannya dengan lembut. Perlakuan itu berhasil membekukan aliran darah di dalam tubuhnya. Sesaat kemudian, Reynand memundurkan kursi dan Azalea pun duduk dengan perasaan kikuk.

Beberapa detik kemudian, hidangan pembuka pun datang. Azalea mulai menyendok makanan di hadapan, menyuapkan ke mulut dengan sangat hati-hati. Saat kepalanya mendongak, menatap Reynand di hadapan, seketika ia pun tersedak karena lelaki itu ternyata juga tengah menatapnya.

“Hati-hati,” kata Reynand sambil memberikan segelas minuman ke arah Azalea. Ia membantu gadis itu minum sampai batuknya reda.

“Terima kasih.” Azalea berujar gugup. Tampaknya, sekuat apa pun ia berusaha agar tidak malu di hadapan Reynand berujung sia-sia. Sebab, ada saja kesalahan yang dilakukannya sejak detik pertama mereka bersama.

“Apa kegiatan kamu sekarang?”

Lagi-lagi, pertanyaan Reynand membuat Azalea terbatuk.

“Apa ada yang salah dengan makanannya? Kamu dari tadi batuk terus. Apa kamu sakit?” Reynand bertanya bertubi-tubi.

Azalea mengakui jika Reynand adalah lelaki yang cukup perhatian. Beberapa menit mereka bertemu, lelaki itu cukup memberikan perlakuan yang baik kepadanya.

Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meminta pelayan untuk mengganti semua menu yang telah terhidang dengan menu yang lain.

“Makanannya membuat pasangan saya batuk,” ujar Reynand serius. Justru, perkataan itulah yang membuat Azalea kembali terbatuk.

Ya Tuhan! Ada apa dengan dirinya malam ini. Kegugupan ini telah berhasil membunuh Azalea secara perlahan.

“Apa kamu alergi sesuatu?” tanya Reynand bingung menatap wajah Azalea yang semerah kepiting rebus itu.

Azalea menggeleng lemah. Ia menenggak segelas air putih. Lupakan dengan table manner yang telah dipelajari juga tata krama yang tidak akan membuat ia dan keluarganya malu.

“Aku tidak alergi makanan apa pun,” sahut Azalea lemah.

Reynand melepaskan jas yang dikenakan. Ia bergerak cepat menutupi bahu Azalea yang terbuka. Ia pikir, gadis itu mungkin kedinginan.

“Mungkin kamu tidak tahan dengan udara dingin,” ujarnya lembut. “Jadi, apa kegiatan kamu sehari-hari?” tanya reynand kemudian setelah kembali ke kursinya.

“Oh ... itu ... aku mahasiswi. Ya, aku masih kuliah di jurusan sastra.” Azalea meremas kedua tangannya di pangkuan.

“Berapa umur kamu sekarang? Aku tidak menyangka kalau kamu adalah seorang mahasiswi karena wajah kamu lebih cocok sebagai anak SMA,” sahut Reynand berkomentar.

Azalea meringis kikuk. “25 tahun,” balasnya lirih.

“Umur kamu sudah cocok untuk menikah. Kamu tahu, ‘kan, kalau pertemuan kita ini bukan sekadar kencan buta yang tidak memiliki tujuan. Aku sudah cukup umur untuk menikah dan kakekku mencari calon menantu, bukan sekedar pacar iseng ....”

Selanjutnya, Azalea seakan tidak bisa lagi mendengar ucapan Reynand. Di dalam hati ia sangat berharap kalau ini adalah pertemuan mereka yang terakhir, tidak ada pertemuan-pertemuan lagi.

“Bagaimana?”

“Ha? Apa?” tanya Azalea bingung.

“Kita pulang sekarang. Atau kamu mau ke mana dulu ... gitu.” Reynand berdiri, bersiap untuk pergi dari sana.

“Oh, enggak. Aku mau pulang.” Azalea berkata cepat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pergi dari sini.

“Aku antar kamu pulang,” kata Reynand saat keduanya berjalan keluar dari restoran.

“Oh, sebenarnya aku dijemput oleh Kakak ....”

Azalea langsung menutup mulutnya menggunakan punggung tangan. Dia keceplosan.

“Kamu punya seorang Kakak?” Siapa yang menyangka jika Reynand justru bertanya dengan antusias.

“Ah iya. Jasmine namanya. Dia sedang pergi dengan calon suaminya dan berencana untuk menjemputku.” Saat membicarakan sang kakak, tidak terlihat kegugupan di wajah Azalea.

“Aku yang akan mengantarmu, Azalea.” Reynand berkata sungguh-sungguh. Tatapannya yang lembut penuh ketegasan, menunjukkan jika ia tidak mau dibantah.

Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengawali pembicaraan itu. Sampai mobil berhenti di depan pagar rumah Azalea, dan Reynand turun lebih dulu. Lelaki itu memutari bagian depan mobil, membukakan pintu untuk penumpang di samping kemudi.

Satu hal yang tidak diduga oleh Azalea adalah Reynand yang memberikan paper bag kepadanya.

“Untuk kamu. Tadi enggak sempat makan dengan baik,” ucap lelaki itu. Keduanya saling saling berdiri berhadapan.

“Oh, terima kasih.” Azalea mengangguk kikuk. Ia mendekap paper bag di dadanya dengan kedua tangan.

Di detik berikutnya, Reynand mencuri ciuman pertamanya dengan cepat. “Sampai ketemu lagi, Azalea,” kata lelaki dengan senyum miring yang tersungging di bibir.

Betapa bodohnya reaksi yang diberikan Azalea. Ia hanya berdiri terpaku, tanpa mengatakan apa-apa sampai mobil yang dikendarai Reynand pergi dari hadapannya. Tanpa sadar, tangannya bergerak meraba bibir. Rasa itu masih membekas, bahkan sampai Azalea masuk ke kamarnya.

Azalea tidak sadar jika pintu kamarnya telah terbuka. Jasmine masuk dengan senyum lebar terkembang di bibir.

“Kayaknya ada yang lagi seneng ini,” goda wanita berusia dua puluh lima tahun itu.

“Kakak, kalau masuk kamar orang ketuk pintu dulu dong,” keluh Azalea. Ia beranjak duduk sambil membenahi gaunnya.

“Tadi sih, Kakak mau tanya gimana acara kencan kalian malam ini. Ternyata berhasil.” Jasmine duduk di pinggir ranjang.

“Dari mana Kakak tahu?” Azalea bertanya bingung. Ia belum menceritakan kepada siapa pun.

“Tadi Mama yang kasih tahu. Besok pagi, Reynand bakalan ke sini pagi-pagi. Mumpung libur—“

“Ha? Apa?”

Gawat! Bisa-bisa, sandiwara Azalea akan terbongkar di hari kedua pertemuan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!