Kesepakatan

Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam. Azalea menuntaskan tangisnya. Sedangkan Reynand menunggu gadis di hadapannya itu dalam hening. Lantas, menarik tisu di atas meja dan memberikan kepada Azalea. Ia cukup tenang karena istrinya itu mau menerima niat baiknya.

Azalea menghapus air matanya dengan kasar, kemudian membersit hidung. Setelah dirasa agak tenang, ia pun mulai mengutarakan kata dengan suara terbata. Sisa tangisnya, belum sepenuhnya hilang.

"Aku minta maaf karena membohongi kamu di malam pertama pertemuan kita. Aku enggak tahu kalau ... kalau bakal begini kejadiannya." Azalea meremas tisu di tangan.

Sementara itu, Reynand masih menatap gadis di hadapannya dalam diam. Ekspresinya menunjukkan ketenangan. Ia tidak ingin gadis di hadapannya itu tahu kegelisahannya saat ini.

Demi meredakan kegelisahan, Reynand mengubah posisi duduknya. Ia menaikkan satu kaku ke atas kakinya yang lain dengan kedua tangan bertautan di atas lutut. Matanya tajam, menunggu pengakuan Azalea selanjutnya.

"Sejujurnya, aku belum siap untuk menjalin rumah tangga sama kamu ... maupun sama siapa pun. Terutama ... terutama ...." Azalea kesulitan melanjutkan kalimatnya. Matanya mengerjap berulang kali.

"Malam pertama?" tebak Reynand begitu saja.

Azalea seketika mengangguk. Wajahnya memerah karena malu.

"Aku juga belum siap untuk ... untuk sekamar sama orang asing." Saat mendapati Reynand yang melotot tajam, Azalea pun tersadar. "Maafkan aku, Reynand. Tapi bisa tidak kalau kita pisah kamar dulu. Bukankah seharusnya kita menjalani pernikahan ini pelan-pelan?"

"Katanya kamu belum siap berumah tangga? Pernikahan itu artinya menjalin rumah tangga. Dalam hal ini antara aku dan kamu, Azalea." Reynand berkata serius.

"I ... iya, aku tahu. Tapi, aku juga enggak mau mengecewakan orang tuaku. Aku juga enggak bisa menolak permintaan mereka, Reynand." Kali ini, Azalea memberanikan diri untuk berjalan mendekati sofa, lalu duduk di samping lelaki itu dalam jarak yang aman. "Kamu juga enggak mau mengecewakan kakek, kan?"

Detik itu juga Reynand menoleh, menelisik wajah Azalea. Ia mengamati kira-kira apa isi di kelapa gadis itu.

"Aku masih berusia enam belas tahun. Aku juga masih sekolah. Kalau kita sekamar, aku takut kalau kamu menerkamku--"

"Kamu kira aku serigala?" Reynand mendelik tidak terima membuat nyali Azalea menciut.

Azalea menggeser duduknya. Sial. Ia sudah sampai di ujung sofa. Tiba-tiba saja, tubuhnya seolah mengkerut. Tentu saja ia takut sekarang, kalau-kalau Reynand benar-benar akan menerkamnya. Demi apa pun, Azalea belum siap untuk itu.

"Aku juga enggak tertarik dengan anak-anak," ketus Reynand masih dengan tatapan tajam.

Sialnya, tatapan itu justru diartikan berbeda oleh Azalea. Gadis itu merasa bahwa Reynand hendak menerkamnya bulat-bulat. Ia bergidik ngeri. Lantas melompat dari sofa, berlari merapat ke dinding.

"Aaaa!!!" pekik Azalea dengan kedua tangan menyilang di dada. "Kamu pria mesum!"

Herannya, alih-alih tersinggung dengan label buruk yang diberikan Azalea, Reynand justru tertawa terbahak. Sampai-sampai, ia memegang perutnya dengan kedua tangan saking lucunya ekspresi yang ditunjukkan Azalea kepadanya.

"Benar-benar hiburan." Selanjutnya, Reynand bertepuk tangan.

"Heh!" Azalea merasa kesal. Wajahnya merah padam. Kedua tangannya saling mengepal di sisi tubuh. "Emangnya aku badut?" protesnya tidak terima.

"Aku tidak menganggap kamu begitu." Reynand tersenyum miring. "Tapi, kalau kamu merasa begitu. Aku tidak masalah, Badut Kecil."

"Kamu." Azalea geram. Ia mengatupkan rahang, memahan diri untuk tidak menjerit kesal. Bisa-bisa, lelaki itu malah kembali menertawakannya lagi.

"Oke. Sekarang kembali ke topik bahasan." Reynand mengubah rautnya kembali dalam mode serius. "Pertama ...." Ia mengacungkan jari telunjuk ke hadapan. "Kita tidur terpisah. Kedua, kamu harus berlaku selayaknya seorang istri. Kamu harus menurut kepadaku. Ketiga, saat bertemu dengan keluargaku kita harus menunjukkan pernikahan yang bahagia."

Azalea terpaku. Ia mencerna setiap informasi yang baru saja diterimanya. Dalam hati, ia menyetujui apa yang dikatakan Reynand, tetapi rasanya ada yang tidak pas.

"Kenapa aku harus nurut sama kamu? Apa kamu akan menjadi suami yang baik dan memperlakukan aku sebagai istri?" tanya Azalea.

"Tergantung. Menjadi suami dan istri yang baik tentu menyangkut masalah kamar. Apa kamu sudah siap satu ranjang denganku?"

"No, no, no!" Azalea menjawab cepat dengan kepala menggeleng berulang kali. Kedua tangannya menampakkan gestur yang sama. "Aku punya permintaan," ujarnya kemudian.

"Katakan!" Reynand mencondongkan badan, menatap Azalea penuh perhatian.

"Aku ingin kita memulainya dengan berteman. Aku setuju dengan kita yang pisah kamar. Aku belum siap--"

"Berarti deal. Kamu harus menurut padaku." Reynand menyela cepat.

"Ya ... ya ... tapi menurut dalam hal apa? Aku tidak mengerti." Azalea bertanya bingung.

"Kamu cukup tidak membantah ucapanku," sahut Reynand.

Sesaat tatapan keduanya saling bertemu. Reynand selalu merasa terhipnotis dengan netra milik Azalea. Tatapan gadis itu penuh binar dan membuat dadanya bergejolak. Reynand menggeleng pelan. Ia tidak mau Azalea bisa membaca apa yang dirasakannya.

"Bagaimana?" tanya Reynand. Matanya tidak teralihkan oleh ponsel yang bergetar di saku celana.

"Baiklah. Aku setuju." Azalea mengangguk. Ia terlihat imut, seperti kelinci yang sangat lucu.

Reyanand sudah membuka kedua bibirnya hendak mengucapkan kata saat suara Azalea kembali terdengar. Ia pun memutuskan untuk mengatupkan bibir, mendengarkan.

"Kita berteman. Setelah berteman, kita bisa lanjut pacaran kalau cocok. Selama berteman, aku tidak akan mengganggu privasi kamu. Yang penting, jangan sampai ketahuan. Sepakat?" Azalea berjalan mendekati Reynand yang masih menatapnya. Ia menepis keraguan yang menyelimuti dada, meyakinkan diri jika lelaki di hadapan adalah lelaki baik yang tidak akan berbuat macam-macam terhadapnya.

Azalea mengukurkan tangan, mengajak bersalaman. Untuk beberapa saat tangannya hanya menggantung di udara tanpa ada sambutan dari lelaki itu.

Reynand berdiri, menyambut uluran tangan itu. Keduanya bersalaman. Beberapa detik kemudian, tubuh Azalea menegang saat satu tangan Reynand menarik pinggang.

"A ... apa yang mau kamu lakukan?" tanya Azalea gugup. Bibirnya sampai bergetar saking gugupnya.

"Mengunci janji kita." Reynand berkata lirih tepat di depan wajah. Ia bisa merasakan embusan hangat napas Azalea di wajahnya sebelum mendekatkan bibir, mengunci janji yang mereka ucapkan.

"Ki ... kita, kan, berteman. Enggak ... ada ... teman ... yang ... yang ...." Azalea kesulitan bicara. Napasnya ngos-ngosan.

"Kita pacaran. Bukan sekadar temenan," sahut Reynand yakin. Suaranya terdengar berat dengan embusan yang tidak beraturan. Gejolak di dadanya semakin menjadi-jadi.

Sial. Gadis ini berhasil mengikis kesabaranku.

Reynand membatin sebelum kembali merenggut napas Azalea. Katakanlah ia memang pria mesum, seperti yang dikatakan gadis itu. Namun, untuk saat ini saja, biarkan dirinya menikmati malam pengantin mereka walaupun jauh dari bayangan di kepala.

Lelaki dewasa sepertinya harus bisa menahan diri terhadap gadis kecil itu bukan?

Akan tetapi, Reynand salah perkiraan. Tidak ingin semakin tenggelam dalam kabut kegelapan, ia segera meninggalkan gadis itu yang kini tercengang. Ia harus mendinginkan tubuhnya yang terasa terbakar. Tanpa melepaskan pakaian, Reynand berdiri di bawah kucuran shower.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!