Azalea jalan dengan sangat hati-hati. Ia mengenakan gaun berwarna dusty pink, memakai sepatu hak setinggi sepuluh senti. Di tangannya membawa tas kecil berwarna hitam yang hanya berisi ponsel saja, sebab dompetnya telah disita oleh sang kakak. Ia telah menolak dengan keras perjodohan ini, tetapi tetap tidak bisa apa-apa selain menurut.
“Biar kamu enggak kabur.” Begitu kata Jasmine sebelum Azalea turun dari mobil tadi.
Jasmine telah berhasil mengubah penampilan Azalea. Dari seorang gadis imut berusia enam belas tahun, kini ia tampil bak gadis dewasa. Ya, walaupun jika diperhatikan dengan seksama, kepolosan yang tersisa dari wajahnya masih dapat terlihat.
Berulang kali Azalea membenahi gaunnya. Ia menarik-narik agar panjang gaun bisa sedikit menutupi kaki jenjangnya. Sejujurnya, Azalea masih belum terbiasa mengenakan pakaian seperti ini. Ia lebih suka mengenakan celana jeans dan kaus saja. Selama ini, ia memang belum pernah mengikuti acara yang mewajibkan mengenakan gaun.
Azalea telah disambut oleh pelayan restoran. Ia diantarkan ke sebuah meja yang telah dipesan dengan seorang lelaki berpakaian rapi nan formal telah duduk di sana menunggu kedatangannya.
Jantung Azalea seakan siap melompat keluar dari sarang. Untuk pertama kalinya ia makan malam hanya berdua saja dengan orang asing di tempat yang sangat mewah ini. Ia berjalan pelan menghampiri lelaki itu yang kini tengah berdiri menyambut kedatangannya.
Di kepala Azalea sibuk mengingat pelajaran kepribadian yang telah diterimanya. Ia tidak ingin membuat malu diri sendiri juga keluarga di hadapan lelaki asing itu.
“Selamat malam ....”
“Azalea. Nama saya Azalea,” sahut Azalea hati-hati. Sepertinya lelaki itu belum mengenal siapa dirinya.
Satu sama. Batin Azalea. Sebab, ia juga tidak mengetahui seluk beluk lelaki itu sama sekali.
“Selamat malam, Azalea.”
“Malam ....” Azalea menggantung kalimatnya.
“Reynand. Panggil aku Rey,” kata lelaki itu sopan.
“Terima kasih, Kak ... eh, Rey.” Azalea menipiskan bibir. Hampir saja ia keceplosan. Sangat tidak sopan jika ia memanggil lelaki itu dengan sebutan 'Kakak' walaupun, Azalea sangat yakin jika Reynand sangat cocok dipanggil 'Om' olehnya.
Azalea menyambut uluran tangan Reynand. Ia mematung seketika, saat lelaki itu mencium punggung tangannya dengan lembut. Perlakuan itu berhasil membekukan aliran darah di dalam tubuhnya. Sesaat kemudian, Reynand memundurkan kursi dan Azalea pun duduk dengan perasaan kikuk.
Beberapa detik kemudian, hidangan pembuka pun datang. Azalea mulai menyendok makanan di hadapan, menyuapkan ke mulut dengan sangat hati-hati. Saat kepalanya mendongak, menatap Reynand di hadapan, seketika ia pun tersedak karena lelaki itu ternyata juga tengah menatapnya.
“Hati-hati,” kata Reynand sambil memberikan segelas minuman ke arah Azalea. Ia membantu gadis itu minum sampai batuknya reda.
“Terima kasih.” Azalea berujar gugup. Tampaknya, sekuat apa pun ia berusaha agar tidak malu di hadapan Reynand berujung sia-sia. Sebab, ada saja kesalahan yang dilakukannya sejak detik pertama mereka bersama.
“Apa kegiatan kamu sekarang?”
Lagi-lagi, pertanyaan Reynand membuat Azalea terbatuk.
“Apa ada yang salah dengan makanannya? Kamu dari tadi batuk terus. Apa kamu sakit?” Reynand bertanya bertubi-tubi.
Azalea mengakui jika Reynand adalah lelaki yang cukup perhatian. Beberapa menit mereka bertemu, lelaki itu cukup memberikan perlakuan yang baik kepadanya.
Tanpa menunggu jawaban darinya, lelaki itu meminta pelayan untuk mengganti semua menu yang telah terhidang dengan menu yang lain.
“Makanannya membuat pasangan saya batuk,” ujar Reynand serius. Justru, perkataan itulah yang membuat Azalea kembali terbatuk.
Ya Tuhan! Ada apa dengan dirinya malam ini. Kegugupan ini telah berhasil membunuh Azalea secara perlahan.
“Apa kamu alergi sesuatu?” tanya Reynand bingung menatap wajah Azalea yang semerah kepiting rebus itu.
Azalea menggeleng lemah. Ia menenggak segelas air putih. Lupakan dengan table manner yang telah dipelajari juga tata krama yang tidak akan membuat ia dan keluarganya malu.
“Aku tidak alergi makanan apa pun,” sahut Azalea lemah.
Reynand melepaskan jas yang dikenakan. Ia bergerak cepat menutupi bahu Azalea yang terbuka. Ia pikir, gadis itu mungkin kedinginan.
“Mungkin kamu tidak tahan dengan udara dingin,” ujarnya lembut. “Jadi, apa kegiatan kamu sehari-hari?” tanya reynand kemudian setelah kembali ke kursinya.
“Oh ... itu ... aku mahasiswi. Ya, aku masih kuliah di jurusan sastra.” Azalea meremas kedua tangannya di pangkuan.
“Berapa umur kamu sekarang? Aku tidak menyangka kalau kamu adalah seorang mahasiswi karena wajah kamu lebih cocok sebagai anak SMA,” sahut Reynand berkomentar.
Azalea meringis kikuk. “25 tahun,” balasnya lirih.
“Umur kamu sudah cocok untuk menikah. Kamu tahu, ‘kan, kalau pertemuan kita ini bukan sekadar kencan buta yang tidak memiliki tujuan. Aku sudah cukup umur untuk menikah dan kakekku mencari calon menantu, bukan sekedar pacar iseng ....”
Selanjutnya, Azalea seakan tidak bisa lagi mendengar ucapan Reynand. Di dalam hati ia sangat berharap kalau ini adalah pertemuan mereka yang terakhir, tidak ada pertemuan-pertemuan lagi.
“Bagaimana?”
“Ha? Apa?” tanya Azalea bingung.
“Kita pulang sekarang. Atau kamu mau ke mana dulu ... gitu.” Reynand berdiri, bersiap untuk pergi dari sana.
“Oh, enggak. Aku mau pulang.” Azalea berkata cepat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pergi dari sini.
“Aku antar kamu pulang,” kata Reynand saat keduanya berjalan keluar dari restoran.
“Oh, sebenarnya aku dijemput oleh Kakak ....”
Azalea langsung menutup mulutnya menggunakan punggung tangan. Dia keceplosan.
“Kamu punya seorang Kakak?” Siapa yang menyangka jika Reynand justru bertanya dengan antusias.
“Ah iya. Jasmine namanya. Dia sedang pergi dengan calon suaminya dan berencana untuk menjemputku.” Saat membicarakan sang kakak, tidak terlihat kegugupan di wajah Azalea.
“Aku yang akan mengantarmu, Azalea.” Reynand berkata sungguh-sungguh. Tatapannya yang lembut penuh ketegasan, menunjukkan jika ia tidak mau dibantah.
Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang mengawali pembicaraan itu. Sampai mobil berhenti di depan pagar rumah Azalea, dan Reynand turun lebih dulu. Lelaki itu memutari bagian depan mobil, membukakan pintu untuk penumpang di samping kemudi.
Satu hal yang tidak diduga oleh Azalea adalah Reynand yang memberikan paper bag kepadanya.
“Untuk kamu. Tadi enggak sempat makan dengan baik,” ucap lelaki itu. Keduanya saling saling berdiri berhadapan.
“Oh, terima kasih.” Azalea mengangguk kikuk. Ia mendekap paper bag di dadanya dengan kedua tangan.
Di detik berikutnya, Reynand mencuri ciuman pertamanya dengan cepat. “Sampai ketemu lagi, Azalea,” kata lelaki dengan senyum miring yang tersungging di bibir.
Betapa bodohnya reaksi yang diberikan Azalea. Ia hanya berdiri terpaku, tanpa mengatakan apa-apa sampai mobil yang dikendarai Reynand pergi dari hadapannya. Tanpa sadar, tangannya bergerak meraba bibir. Rasa itu masih membekas, bahkan sampai Azalea masuk ke kamarnya.
Azalea tidak sadar jika pintu kamarnya telah terbuka. Jasmine masuk dengan senyum lebar terkembang di bibir.
“Kayaknya ada yang lagi seneng ini,” goda wanita berusia dua puluh lima tahun itu.
“Kakak, kalau masuk kamar orang ketuk pintu dulu dong,” keluh Azalea. Ia beranjak duduk sambil membenahi gaunnya.
“Tadi sih, Kakak mau tanya gimana acara kencan kalian malam ini. Ternyata berhasil.” Jasmine duduk di pinggir ranjang.
“Dari mana Kakak tahu?” Azalea bertanya bingung. Ia belum menceritakan kepada siapa pun.
“Tadi Mama yang kasih tahu. Besok pagi, Reynand bakalan ke sini pagi-pagi. Mumpung libur—“
“Ha? Apa?”
Gawat! Bisa-bisa, sandiwara Azalea akan terbongkar di hari kedua pertemuan mereka.
Semalam, Azalea tidak bisa tidur dengan nyenyak. Matanya sudah mengantuk, tetapi kepalanya terlalu riuh oleh kemungkinan yang akan terjadi pagi ini.
Pagi-pagi sekali, ponselnya telah berdering, Mona yang menghubungi menanyakan acara kencannya malam tadi. Azalea menjawab dengan lesu. Ia tidak membicarakan tentang sandiwara yang dilakukannya.
“Cowoknya ganteng, ‘kan?”
Pertanyaan itu berhasil mengantarkan ingatan Azalea pada ciuman pertamanya yang tercuri. Tanpa sadar, Azalea tersenyum dengan jari telunjuk meraba bibir.
“Gue yakin sekarang lu lagi senyum membayangkan wajah tampannya,” sahut Mona meledek.
“Sialan, lu. Udah ah, gua mau bangun.”
“Dih, bentaran dong. Enggak asik banget. Cerita yang lengkap.” Mona masih mendesak, tetapi Azalea tidak peduli. Ia memutus sambungan telepon mereka secara sepihak.
Azalea melemparkan ponsel secara asal ke ranjang, lalu beranjak turun untuk menuju kamar mandi mengabaikan panggilan yang kembali berbunyi. Ia sudah tidak bisa tidur lagi.
Usai mencuci wajah, menggosok gigi dan mencepol rambutnya secara asal, Azalea langsung turun ke lantai bawah menuju ruang makan. Perutnya sudah keroncongan minta diisi. Semalam, dirinya benar-benar tidak bisa makan dengan cara yang baik.
“Hei, mandi dulu dong! Calon suami udah datang, udah rapi. Kamunya belum mandi begini.” Maryam, mamanya Azalea geleng-geleng kepala melihat polah putri bungsunya itu. “Reynand di ruang tamu, lagi ngobrol sama Papa. Sana cepet mandi,” ujarnya penuh penekanan yang langsung dipatuhi Azalea.
Tiga puluh menit kemudian, barulah Azalea kembali turun. Ia kebingungan saat mendapati ruang tamu telah kosong.
“Cari siapa? Reynand bentar lagi datang,” kata Samuel, papanya Azalea melewati putrinya yang kini menatap penuh tanya.
“Gimana, Pa?” tanya Maryam sambil menyiapkan sarapan untuk suaminya.
“Tadi pulang karena ditelepon sama Pak Emery,” jawab Samuel sebelum menyeruput kopi di hadapannya.
“Mereka setuju dengan putri kita?” Maryam kembali bertanya. Ia duduk di samping Samuel, tangannya menahan cangkir yang telah sampai di bibir suaminya itu. “Nanti lagi ngopinya, udah, kan tadi sama Reynand.”
Samuel menurut. Ia mengurungkan niat untuk menikmati secangkir kopi lagi. Diletakkannya kembali cangkir itu ke tatakan. Tatapannya kini serius menatap Maryam yang menunggu jawaban.
Sementara itu, Azalea juga tidak ingin ketinggalan berita. Ia ingin mengetahui nasibnya di masa depan yang sedang dipertaruhkan. Ia duduk di hadapan sang mama dalam diam. Jantungnya berdetak kencang, menunggu setiap cerita yang disampaikan.
“Pak Emery meminta pernikahannya dipercepat. Dia enggak mau buang-buang waktu.” Bertepatan dengan itu, asisten rumah tangga datang mengabarkan jika Reynand telah datang. “Kok, cepat banget?”
Ketiganya berjalan keluar menyambut kedatangan sang tamu. Bertapa terkejutnya Azalea mendapati Reynand datang bersama seorang lelaki tua. Bukan itu yang membuat jantungnya seakan terlepas dari sarangnya, melainkan apa yang dibawa di belakang mereka.
Samuel mendatangi Emery, menjabat tangan lelaki itu sebagai bentuk kesopanan. Keduanya tersenyum lebar, ia pun langsung mengajak tamunya duduk di ruang tamu.
“Saya tidak mau berlama-lama. Niat baik sudah sepatutnya dipercepat bukan?” Emery bermonolog yang dibalas dengan anggukan Samuel. “Saya ke sini untuk melamar Azalea, putri kedua keluarga ini. Bagaimana Pak Samuel?”
Keheningan seketika menyelimuti ruangan itu. Azalea bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Ia menyembunyikan wajah dengan menunduk dalam, tidak berani mendongak walaupun sangat penasaran dengan ekspresi Reynand saat ini.
“Kalau saya, sih, setuju saja Pak Emery. Tapi, semua keputusan ada di tangan Azalea.” Suara Samuel sedikit memberikan ketenangan kepada Azalea.
Azalea mendongak, menatap sang papa. Namun, ia juga tidak bisa mencegah rasa ingin tahunya akan ekspresi Reynand. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Reynand juga tengah menatap kepadanya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Detik itu juga, kepala Azalea kembali tertunduk antara malu dan resah kerana kepergok lelaki itu.
“Tapi, seperti yang sama-sama kita ketahui kalau Azalea masih kelas sebelas. Usianya baru enam belas tahun, Pak ....” Detik itu juga terdengar suara batuk Reynand. Sedangkan Azalea memejamkan mata, merasa bersalah sekaligus malu karena sandiwaranya terbongkar. “Saya pikir kalau acara pernikahan mereka dirahasiakan atau kita tunda dulu sampai Azalea lulus sekolah.” Samuel berkata sopan.
“Kakek, bisa kita bicara sebentar.” Suara Reynand terdengar dingin sampai menusuk tulang Azalea.
Hawa dingin menyergap sekujur tubuh Azalea. Seolah, nyawanya telah tercabut dari raga. Darahnya pun membeku seketika.
“Sebentar. Tidak masalah kalau menikah dengan rahasia dulu, untuk pesta bisa kita bicarakan selanjutnya. Sekarang juga kita nikahkan mereka, Pak Samuel—“
“Kakek!” sergah Reynand cepat. Ia merasa tidak terima dengan keputusan ini. Terlebih setelah mengetahui kalau ternyata Azalea telah membohonginya secara mentah-mentah.
“Kakek tahu kamu sudah tidak sabar, ‘kan? Kapan lagi kamu dapat daun muda, ha?” Emery sengaja menggoda sang cucu. Ia benar-benar tidak mengerti dengan penolakan yang dilakukan Reynand.
Riuh tawa para orang tua kini memenuhi ruangan itu. Beberapa saat kemudian, Jasmine datang dan diperkenalkan dengan calon besan mereka. Reynand pun paham jika Azalea menggunakan status dan umur Jasmine untuk menipunya. Bodohnya ia percaya begitu saja dengan rubah kecil Azalea.
“Berarti sudah sepakat ya dengan pernikahan ini?” tanya Emery sedikit mendesak.
Samuel menoleh kepada Azalea yang kini juga tengah menatapnya. “Diamnya anak gadis tandanya setuju, Pak Emery,” katanya salah mengartikan tatapan sang putri.
“Kalau begitu kita langsung nikahkan saja.” Keputusan para orang tua tidak lagi bisa dibatalkan.
Acara sederhana dan penuh hikmah pun diadakan. Pernikahan antara Azalea dan Reynand telah berlangsung seadanya.
“Ayo cium tangan suami kamu, Azalea!” Perinta Maryam langsung dituruti oleh Azalea dengan perasaan takut.
Pikiran dan hati Azalea begitu berkecamuk saat ini. Ia tahu jika Reynand tidak akan mudah melepaskannya. Kebohongan yang dilakukannya tentu sangat berakibat fatal, dan ia tidak akan bisa lari maupun sembunyi di mana pun, sebab hidupnya kini telah berada dalam genggaman seorang Reynand.
Azalea mencium punggung tangan suaminya. Lantas, Reynand meraih pinggangnya dan melabuhkan kecupan di kening. Tidak hanya sampai di sana, lelaki itu juga melabuhkan ciuman lembut di bibir Azalea yang bergetar.
“Siap-siap dengan malam pertama kita, Istriku.” Reynand berbisik tepat di hadapan wajah Azalea usai melepaskan ciumannya.
Tepuk tangan anggota keluarga menjadi penutup acara penuh sakral itu. Setelahnya, berlanjut dengan acara makan-makan.
“Saya akan langsung memboyong istri saya tinggal di apartemen,” kata Reynand di tengah acara makan. Kalimatnya begitu tegas dengan raut yang tegas pula. Ia memastikan setiap anggota keluarga yang ada mendengar apa yang diucapkan, terutama Azalea yang harus mengerti apa yang ia inginkan.
Azalea menghentikan suapannya. Di kepalanya langsung tercetak jelas ucapan yang tadi dikatakan Reynand.
Malam pertama?
Azalea langsung menggeleng berulang kali. Demi apa pun, ia belum siap dengan ritual apa saja setelah sah menjadi istri seorang Reynand Adanu Emery, lelaki asing yang baru dutemuinya dua kali.
Tidak pernah terlintas di dalam pikiran Azalea bahwa ia akan berpisah dengan kedua orang tuanya secepat ini. Enam belas tahun ternyata
menjadi waktu yang amat singkat baginya hidup bersama keluarga.
Hari ini adalah hari pernikahannya, dan menjadi hari perpisahan Azalea dengan keluarga. Air matanya pun terus mengalir tiada mau berhenti,
seolah bendungan yang selama ini dipertahankan jebol. Ia bukanlah gadis yang
cengeng.
Bisa dibilang, dirinya sangat jarang sekali menangis. Namun, hari ini julukan itu pun seakan sirna bak ditelan bumi. Sebab, yang terlihat
kini hanya ada Azalea yang sangat cengeng dan terus merengek agar orang tuanya sudi mempertahankan dirinya tetap berada di dalam rumah ini. Walaupun, pada akhirnya semua bujuk rayu, rengekan serta kekecewaan dari dalam dirinya harus ditelan secara pahit sendirian.
Reynand adalah sosok lelaki yang kaku dan keras
kepala. Betapa menyesalnya Azalea karena melihat orang tuanya tidak berdaya
dengan keputusan yang telah dibuat Reynand untuknya itu.
“Kak ... Kak Jasmine, bawa aku kabur dari sini. Sekarang ....” Kali ini Azalea berusaha merengek kepada kakak semata wayangnya, setelah
tidak berhasil meminta bantuan kedua orang tuanya.
Nahas sekali nasibnya hari ini. Mungkin, Azalea telah memakan sesuatu yang tidak patutu untuk dimakan sehingga nasibnya bisa sial
begini. Bukan pembelaan ataupun kata-kata manis yang keluar dari mulut sang kakak, melainkan sesuatu yang semakin membuat Azalea sedih.
“Sekarang, Reynand yang bertanggung jawab penuh atas hidup kamu, Azalea. Kakak enggak bisa menolong apa pun. Bisa-bisa Kakak malah
dipenjara karena membawa kabur istri Reynand Adanu Emery. Keluarga mereka sangat berkuasa. Kamu harus hati-hati dalam menghadapi suami kamu jangan sampai membuat keluarga kita celaka nantinya.” Jasmine berkata dengan raut khawatir. Ia takut kalau adiknya itu akan membuat ulah di kemudian hari.
Detik itu juga, rasa amarah bercampur kecewa berhasil membakar dada Azalea. Ia langsung berjalan cepat meninggalkan sang kakak
kemudian mendekati Reynand. Tanpa memikirkan pakaian dan peralatan sekolah yang
perlu dibawa, Azalea menarik lengan lelaki tinggi itu.
“Ayo kita pergi sekarang!” ajak Azalea dengan wajah cemberut.
Reynand yang sedang berbincang serius dengan Samuel pun segera menoleh, menatap bingung istri barunya tersebut. Kedua alisnya menukik
tajam dengan tatapan menyipit.
”Kenapa? Kamu enggak mau pergi sekarang atau kita enggak jadi pergi?” Azalea melepaskan cekalan tangannya dengan kasar. Bibirnya semakin
menekuk ke bawah, dalam hati ingin sekali ia menjerit untuk meluapkan kekesalan dan kekecewaan kepada keluarganya.
“Kami pergi dulu, Pa,” ujar Reynand berpamitan.
Tanpa menunggu, Azalea segara melangkah cepat keluar dari rumah itu. Ia mengabaikan panggilan dan ucapan sang papa.
“Kamu enggak mau peluk Papa dulu, Azalea?!” Samuel berseru, tetapi sang putri bungsi terus saja melangkah tanpa menoleh. Di belakangnya,
Maryam menangis sesunggukan lalu berlari masuk ke kamar.
“Kamu kenapa, sih? Tadi ngerengek enggak mau ikut aku. Sekarang malah enggak sabar mau pergi?” Reynand bertanya dengan kesabaran yang
dimiliki. Ia sudah duduk di belakang kemudi, menyalakan mesin dan memastikan penumpang di sampingnya itu telah memasang sabuk pengaman.
“Aku kecewa sama orang dewasa. Kalian egois. Mau seenaknya sendiri,” gerutu Azalea kesal. Ia masih mempertahankan wajah masamnya. Matanya sembab dengan hidung memerah. Walaupun air matanya telah dipakasa berhenti,
tetapi tetap saja mengalir tanpa bisa ditahan.
Mobil melaju keluar dari gerbang rumah, lalu merambat melewati jalanan komplek. Azalea menatap pagar tinggi rumahnya lewat kaca spion
samping. Rumah itu terasa sangat lengang setelah beberapa jam lalu ramai oleh beberapa mobil yang dibawa oleh keluarga Emery.
Azalea bernapas pendek. Ia mengusap wajahnya dengan ujung baju yang dikenakan. Bodoamat dengan rasa malu atau image yang harus dijaga, ia
tidak peduli.
“Di dasboard ada tisu. Kamu enggak perlu mengelap wajah dengan ujung baju,” kata Reynand di sela fokusnya menyetir.
Azalea hanya mencebikkan bibir. Ia sadar betul jika di pertemuan pertama mereka lelaki itu memang banyak bicara. Reynand tidak segan
bertanya ini dan itu kepadanya. Namun, ia tidak menyangka jika lelaki di sampingnya tersebut akan secerewet ini.
Azalea memilih memejamkan mata. Ia enggan bercakap-cakap dengan Reynand. Lebih baik jika dirinya terlelap dan saat bangun tubuhnya itu
berada di dalam kamar. Azalea masih merasa jika kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk belaka yang akan sirna di kala ia membuka mata.
Tepukan di lengan dirasakannya berulang-ulang. Azale menggeliat, tetapi matanya enggan terbuka. Memang, ia tidak tidur nyenyak semalam ditambah kejadian pagi ini yang cukup menguras tenaga membuat tubuhnya pegal. Bukan hanya raganya yang lelah, tetapi juga hati dan pikirannya.
Setelah berulang kali merasakan tepukan di lengan, Azalea pun membuka mata. Ia mengerjap berulang kali, dan mendelik seketika saat
melihat punggung lelaki asing keluar dari sana. Azalea mengedarkan pandangan, ia mulai sadar jika masih berada di dalam mobil.
“Cepat turun! Mau sampai kapan di sana? Kita sudah sampai.” Ucapan Reynand sukses membuat Azalea cepat-cepat melepaskan sabuk pengaman di tubuhnya.
Azalea segera keluar dari mobil. Ia mengikuti langkah Reynand dengan lambat, sampai langkahnya yang kecil tidak bisa mengejar langkah Reynand yang lebar. Tentu saja, tingginya tidak sampai sepundak lelaki itu. Bukan hanya usia mereka yang jauh terentang, tetapi juga tinggi badan.
Azale mengembuskan napas panjang. “Tungguin dong, Rey!” pekiknya jengkel.
“Cepetan! Jalan jangan kayak siput,” sahut Reynand tanpa menghentikan langkah lebarnya.
Apa katanya? Siput. Dasar gorila. Azalea bersungut-sungut dengan bibir mengerucut.
Azalea berlari ketika Reynand menunggunya di depan lift. Tangan lelaki itu sudah menekan beberapa kali tombol si pintu besi itu. Azalea
pun segera menyelinap masuk ke dalam lift melewati lengan panjang Reynand.
“Lantai berapa?” tanya Azalea penasaran.
“Dua puluh.” Reynand menjawab santai kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Saat itu juga keduanya seperti dua orang asing, sibuk dengan acaranya masing-masing.
Reynand yang sibuk dengan ponsel, sedangkan Azalea sibuk dengan lamunannya. Hingga suara denting menginterupsi kegiatan mereka.
Reynand yang lebih dulu keluar dari sana, berjalan santai menuju sebuah unit apartemen. Ia segera mengulurkan ibu jari kanan untuk membuka pintu di hadapannya.
Reynand lebih dulu masuk, tanpa perlu repot-repot menunggu Azalea di belaknagnya. Ia pun segera melesat hilang menuju pantry. Reynand
butuh air dingin guna menyegarkan diri. Ia sadar setelah ini hidupnya tidak akan sama lagi dan akan sangat jauh dari kata tenang.
Sebagai bentuk sopan santun karena menjadi tuan rumah, Reynand membawakan sebotol minuman dingin untuk Azalea. Namun, ia terkejut
karena gadis itu sudah berbaring di sofa dengan mata terpejam.
“Aku mau istirahat sebentar. Ngantuk banget.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Azalea pun sudah terlelap begitu saja.
Reynand melongo dibuatnya. Ia masih berdiri mematung sampai beberapa menit kemudian sebelum memutuskan untuk mandi.
Usai mandi dan berganti pakaian, Reynand keluar untuk memeriksa keadaanAzalea. Sial, pemandangan di hadapan berhasil memantik jiwa
kelakiannya. Baju yang dikenakan Azalea tersingkap sampai batas dada. Detik itu
juga, nasihat yang diberikan mama mertuanya pun terlintas di ingatan.
“Nak Reynand, tolong jangan dibuat hamil dulu ya Azalea-nya. Dia masih sangat kecil.”
Sekarang, apakah Reynand merasa menyesal karena menikahi gadis di bawah umur. Oh, serasa dirinya memiliki kelainan saja kalau begitu. Ia
pun segera berbalik arah, masuk ke kamar dan naik ke ranjang. Ia juga butuh istirahat setelah hari yang sangat melelahkan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!