Hallo, Mantan

Hallo, Mantan

Hallo, Mantan!

Kedai kopi tidak selalu menjadi tempat tujuan utama untuk menyesap nikmatnya si hitam. Banyak yang singgah ke Kedai Kopi Kayu Manis untuk sekedar menikmati pemandangan di sekitar pantai.

Salma tidak pernah merasa keberatan akan hal itu. Kedatangan mereka justru ikut menggerogoti kenangan pahit yang pernah hadir dalam kehidupannya. Perlahan dan pasti waktu berhasil membiasakan segalanya. Salma kini sudah terbiasa dengan kehidupan baru yang dimiliki.

Dear Ody ….

Semangat belajar, Sayang.

Senyum tipis terbit di bibirnya, usai mengamati tulisan tangan yang baru saja digoreskan di atas selembar kertas putih.

Meski Salma sudah bisa melangkah jauh meninggalkan masa lalunya. Kenangan sosok Sabda tak pernah hilang dari ingatan.

Gimana mau lupa, jika sosok Aundy kini semakin mirip dengan pria itu. Tingkahnya, wajahnya, semuanya mirip dengan Sabda. Jujur Salma akui, melupakan Endra jauh lebih mudah ketimbang Sabda.

“Bundaaaa!”

"Yuhuuuu! Bentar, Sayang!" Mendengar teriakan dari Aundy, Salma buru-buru menutup buku di tangannya. Dia bergegas turun untuk mengantar putrinya pergi sekolah.

Tiba di luar rumah, Salma bisa melihat Aundy dengan wajah cemberut. Kecantikan Aundy melebur lima puluh persen saat wajahnya seperti itu. “Sudah siap, Ody?” Salma berusaha meredam amarah putrinya.

Gadis itu menganggukan kepala. "Dari tadi, Bunda!" Aundy menjawab pelan.

"Baiklah, maafkan bundamu ini," ujar Salma, seraya mengambil kunci motornya.

Merasa Aundy sudah siap, Salma segera melajukan motornya menuju SD Negeri Palapa. Di perjalanan, Salma berusaha memperbaiki mood Aundy. Menggodanya dengan ocehan ini itu.

"Bunda, kapan papa datang?" tanya Aundy mengalihkan perintah Salma yang semula memintanya bernyanyi.

"Jangan gangguin papa-mu dia sedang sibuk dengan pekerjaannya."

"Bukankah lusa hari peringatan kematian mama? Apa papa tidak lagi merindukan mama Astrid? sama seperti ayah Sabda yang nggak pernah merindukan kita?"

"Husshhh, kalau ngomong nggak boleh gitu. Ody, kamu nggak bakal tahu seberapa sedih papamu atas kepergian mama-mu. Jadi, jangan bicara sembarangan. Kita doain saja yang terbaik untuk papa Farhan." Salma menelan ludah kasar. "Dan untuk ayah Sabda, mungkin dia sedang menantikan kelahiran adikmu. Bukankah kamu bilang ingin segera memiliki adik laki-laki."

"Aku nggak mau adik yang seperti itu, Bunda!" tolak Aundy, tegas. "Berarti, apa ayah Sabda membohongi Ody?"

"Emh, kurasa tidak begitu—saat kamu dewasa nanti kamu akan tahu kenapa ini semua bisa terjadi dengan kita."

Tragedi besar setahun yang lalu tidak akan pernah hilang dalam ingatan Salma. Kepergian Astrid untuk selamanya turut menambah kesedihan di hati Salma. Teman baiknya itu meninggal saat kecelakaan.

Saat itu hanya Farhan dan Aundy yang selamat. Aundy memang tidak terluka berat. Hanya saja, hingga detik ini Aundy masih trauma menaiki mobil. Dia hanya mau bepergian naik motor ataupun jalan kaki.

Sebenarnya sejak tragedi itu, Aundy tidak pernah merengek, meminta bertemu Sabda. Mengingat kondisinya sendiri yang tidak memungkinkan untuk kembali ke Semarang. Aundy tidak bisa naik mobil ataupun naik transportasi umum. Kejadian hari itu pasti akan terus menghantuinya.

“Nanti bunda jemput, ya!” kata Salma saat Aundy mencium punggung tangannya.

“Jam dua, kan Bunda! Awas jangan telat.”

"Siap, Princess!" Salma mengecup singkat kening Aundy. Kemudian membiarkan putrinya itu memasuki wilayah sekolah.

Salma masih bergeming, menatap kepergian Aundy, hingga anak gadisnya itu menghilang di balik pintu. Setelah merasa cukup puas, Salma kembali mengemudikan motornya menuju kedai kopi Kayu Manis.

Jika ditanya rindu atau tidak pada ayah dan ibunya, tentu saja Salma merindukan semuanya yang ada di Semarang. Tapi, dia juga tidak ingin kembali bertemu dengan mereka yang telah menyakitinya.

“Astaghfirullah ….” Salma tersentak seraya mengusap dadanya pelan, saat mendengar bunyi klakson yang begitu keras melewatinya. Untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. “Dasar enggak tahu sopan santun!” cibirnya melihat mobil minibus itu menjauh darinya.

Salma terus menarik tuas gas, ingin segera sampai untuk mengontrol pekerjaan pegawainya. Saat tiba di kedai seseorang menyapanya. Sapaan halus yang biasa mereka berikan untuk Salma.

Di kedai itu, tidak ada yang namanya atasan ataupun bawahan, mereka adalah tim yang sudah diberikan amanah oleh Astrid untuk mengelola kedai kopi itu.

Sepuluh bulan terakhir ini, Salma berusaha keras untuk membuat kedai itu tetap berdiri tegak, di tengah maraknya kedai kopi yang semakin ngetrend di luar sana. Berharap apa yang ditekuni saat ini tetap bisa dia jalankan dengan baik.

Suara gemerincing lonceng mengundang perhatian Salma. Banyak anak-anak muda masuk untuk sekedar menikmati kopi atau cappucino di tempat itu. Waktu bekerja telah tiba, mereka berpencar untuk melayani pengunjung yang hadir.

Sedangkan Salma sibuk dengan mesin-mesin kopi yang berjajar di atas meja. Sepanjang hari dia terus disibukan dengan membuat kue dan kopi. Dia hanya berhenti ketika jam menjemput Aundy tiba.

Menjelang sore, bunyi telepon kedai berdering nyaring. Salma bergegas menerima, tidak ingin kehilangan pelanggan.

“Hallo, selamat sore, dengan kedai kopi Kayu Manis, ada yang bisa dibantu?” Salma menyapa ramah pelanggannya.

Tiga detik menunggu, tidak ada suara apapun yang bisa ditangkap pendengaran. Salma memutuskan untuk menunggu. Hingga hampir satu menit tak ada respon apapun, Salma mengakhiri panggilan itu secara sepihak.

“Siapa, Mbak Ma?” tanya Aruni.

“Mungkin anak-anak muda yang tadi siang datang, sebenarnya bahaya sih ngasih nomor kita di situ.” Salma menunjuk papan persegi yang bertuliskan nomor untuk via pesan-antar.

Aruni terkekeh pelan. “Ya salah Mbak Ma sendiri sih?” respon Aruni seraya mengelap meja. Menjelang maghrib seperti ini, kedai masih sepi pengunjung, jadi mereka masih bisa sedikit santai. "Eh, Mbak aku lupa ngasih tahu, pak Farhan tadi telepon, dia bilang baru perjalanan ke sini."

"Apa?" Salma terkejut, karena kamar Farhan sama sekali belum dibersihkan.

"Itu, pak Farhan perjalanan. Mungkin sampai sini malam."

"Kapan Mas Farhan telepon?"

"Tadi, pas Mbak Ma jemput Aundy."

Saat Salma hendak naik ke lantai dua berniat membersihkan kamar, telepon di sampingnya kembali berdering. Salma meminta Aruni untuk menerima panggilan itu, tapi langsung ditolak Aruni. "aku takut Mbak Ma!"

"Takut apaan sih, orang sama-sama makan nasi loh!" balas Salma. Mau tidak mau Salma menerima panggilan itu. “Jangan cuma bisa ngerjain aja ya, kalau berani muncul di depan sini!”

“Hallo, Mantan!”

Tubuh Salma membeku, kerutan tipis mulai muncul di keningnya saat mendengar sapaan singkat dari pria di seberang panggilan. Dia ingin meminta si penelpon kembali bersuara tapi—dia bingung harus dengan cara apa.

"Apa kabar, Mantan?"

Salma semakin yakin dengan identitas pria yang kini meneleponnya. "Ah, mungkin hanya memiliki persamaan warna suara," batin Salma.

"Apa benar aku boleh muncul di depanmu?"

Terpopuler

Comments

Khairul Azam

Khairul Azam

ada dua mantan, trs mantan yg mani nih yg tlf?😅🤭🤭

2024-07-22

0

Esther Lestari

Esther Lestari

mantan yg mana nih😀

2023-12-18

1

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

ini nih teka teki..
mantan 2 loh.... 🤣

2023-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!