“Padahal aku sudah berusaha menjauh, supaya dia bisa bahagia dengan kehidupan barunya Kenapa juga harus mencariku dan Ody. Bagaimanapun Sabda sudah memiliki Hani, dan dia tidak pantas melakukan ini. Dia tidak seharusnya mengulangi masalalunya.” Salma meletakan kembali ponselnya, mengabaikan pesan yang dikirim oleh Sabda. Dia merasa, apa yang dilakukan Sabda akan merugikan dirinya sendiri. Jadi, sebelum itu terjadi Salma memilih diam saja.
“Bunda, apa aku boleh tidur dengan papa Farhan?”
Salma menoleh ke arah pintu kamar, di mana Aundy tengah menatapnya dengan raut memohon. “Ody, sebaiknya kamu tidur dengan bunda saja!” tolak Salma, lembut.
“Memangnya kenapa?” Aundy terlihat kebingungan.
“Ody, dengarkan bunda baik-baik. Dan ingat ini sampai kapanpun. Bunda nggak mau nanti kamu jadi terbiasa dengan papa Farhan. Perlu kamu tahu, papa Farhan itu ayah angkat mu. Dan kalian nggak boleh tidur seranjang. Mengerti?”
Helaan napas panjang Aundy lakukan sebagai wujud rasa kecewanya.
Salma hanya ingin menghindarkan Aundy dari kebiasaan yang mungkin akan tercipta ke depannya nanti. "jangan sedih, Ody. Bunda akan menemanimu tidur malam ini," hibur Salma, sambil membawa Aundy ke pelukannya.
“Mbak Ma, kedai aku tutup ya—udah jam sembilan lebih.”
Suara dari luar kamar membuat Salma mengurai pelukannya di tubuh Aundy. Dia harus membantu Aruni menutup kedai dan membereskan kursi-kursi yang ada di bagian luar. “Sebaiknya, Ody lekas cuci kaki dan gosok gigi,” pesan Salma sebelum berlalu dari hadapan Aundy.
Rumah dua lantai itu dihuni oleh empat orang termasuk Aundy. Salma dan Aruni menempati kamar atas, sedangkan di bawah ada seorang pria yang ikut menjaga kedai.
Kalau Farhan datang itu artinya, kamar utama di lantai atas terisi. Dan sepanjang malam pria itu akan menyalakan lampu kamar. Salma sampai ingat dengan jelas mengenai kebiasaan pria itu.
“Mas Farhan udah masuk ya, Run?” tanya Salma.
“Udah, Mbak.”
“Besok kita tutup ya! kita ke makam Astrid sama-sama.”
“Pak Farhan tadi berpesan supaya tetap buka. Terus gimana?”
Salma menggeleng. “Lebih baik kita tutup, hargai mas Farhan yang sedang berkabung. Aku paham besok pasti hari yang berat untuknya.”
Aruni mengangguk pelan. “Jam berapa kita ke makam, Mbak?”
“Lebih baik jangan terlalu siang. Mungkin, setelah aku mengantar Ody sekolah.”
Aruni tampak setuju dengan saran Salma. "Besok aku mau bangun siang, mumpung libur."
"Ya, silakan saja," respon Salma dengan senyum tipis terbit di bibirnya. Dia tidak mungkin membawa Aundy, lantaran anak gadisnya itu tidak bisa naik mobil.
Melihat semua sudah beres, Salma lekas masuk untuk memeriksa Aundy. Dia ingin melihat apakah anak gadisnya itu sudah tidur atau belum. Dan saat tiba di dalam kamar, lampu sudah berganti temaram, putrinya itu sudah terlelap di bawah selimut.
Salma meraih ponselnya. Dia kembali keluar kamar untuk menenangkan diri. Dengan secangkir coklat panas di tangan, Salma duduk di kursi samping rumah, menikmati keindahan bibir pantai di kala malam hari.
Berulangkali Salma mengulangi membaca pesan yang diterima satu jam yang lalu. Tetap saja, pesan itu membuat aliran darahnya berdesir. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, yang semakin dipikirkan membuatnya semakin sesak.
“Belum tidur, Sal?”
Sapaan itu membuat Salma menoleh ke sumber suara. Terlihat Farhan melangkah mendekatinya. Lalu duduk di seberang kursi yang digunakan Salma.
“Mas Farhan sendiri belum tidur?” tanya Salma, balik.
“Sejak kepergian Astrid, aku mengalami gangguan tidur.”
Tak dapat dipungkiri karena Salma pernah berada di posisi itu. Dua tahun pertama, hidup tanpa Sabda, dia cukup kacau karena kehilangan momen yang biasa dilakukan pria itu untuknya. Ucapan selamat tidur, kata cinta yang tak pernah lupa diucapkan—meskipun terkadang hanya melalui pesan singkat. Dan Salma merasa, selama itulah kehidupannya mulai aneh. Sampai seiring berjalannya waktu dia mulai terbiasa dengan semuanya.
“Kamu sendiri, bagaimana? apa sudah benar-benar melupakan semuanya yang ada di Semarang.”
Salma tertawa gamang, rasanya sia-sia melupakan mereka. Karena sekarang Sabda justru merecoki kehidupannya yang mulai tenang.
“Dia hadir lagi?” tanya Farhan mulai curiga dengan sikap Salma yang mendadak diam tanpa kata, hanya senyum yang tidak mampu diartikan.
“Hadir raganya belum tentu hadir juga rasanya, kan?” Salma balik bertanya. “Heran juga, dia sudah menemukan keluarga baru. Tapi kenapa masih berusaha mengecoh kehidupan kami.”
“Dia mengganggumu?”
“Hanya mengirimkan pesan yang membuat konsentrasi ku pecah.” Salma mengakhirinya dengan kekehan kecil.
Setelah itu, keduanya kembali bungkam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga sepuluh menit berjalannya waktu, Farhan mulai bersuara lagi.
“Menikahlah denganku, Sal. Aku bisa melindungi kalian.”
Salma menyambut tawaran Farhan dengan gelak tawa. Seakan tak percaya dengan reaksi yang diberikan Farhan.
“Kenapa? Apa salah dengan tawaranku?” tanya Farhan, keheranan.
“Engh, enggak! tidak salah, Mas! Tapi aku merasa tidak tahu diri saja, jika langsung menjawab ya.” Salma memberanikan diri menatap Farhan lalu menjelaskan alasan kenapa menolak pria itu. “Pernikahanku yang kedua tidak didasari oleh cinta. Aku tidak ingin mengulanginya dan berujung gagal. Rasio kebahagian dan kesedihan dalam pernikahan itu Fifty-Fifty, butuh banyak pertimbangan untuk memutuskan menikah.”
“Kita bisa memulainya, melupakan kisah di masa lalu. Siapa tahu kita bisa saling mengobati.”
Salma menatap tak percaya ke arah Farhan. “Apa aku tipe wanita idaman Mas Farhan?” Salma menoleh ke arah dinding rumah yang ada di ruang bersama. Pandangannya jatuh pada bingkai foto besar yang tertempel di dinding. Terlalu jauh jika dibandingkan dirinya dengan Astrid. “Kalau aku sudah tahu endingnya akan seperti apa. Aku lebih baik tidak, Mas.”
“Apa kamu memilih menyerah sebelum berperang?” tanya Farhan.
“Sebenarnya aku tidak suka dengan kalimat itu, tapi kita juga perlu mengamati hal yang lebih realistis untuk mengambil keputusan.” Salma menarik napas dalam-dalam. “Bisa kan kita tidak membahas ini? aku menghargai Mas Farhan karena Mas adalah suami Astrid, sahabatku.”
“Tujuanku hanya ingin melindungimu, Sal.”
“Terima kasih, untuk semuanya, Mas. Tapi kurasa akan tetap saja. Aku sudah kalah. Sejauh apapun kami pergi, suatu hari nanti aku juga harus siap kalau Ody bakal ninggalin aku.” Salma menjawab pelan, khawatir Aundy tiba-tiba mendengar obrolannya dengan Farhan. Salma cukup tersentak dengan pesan yang dikirim Sabda untuknya. Sesuatu saat nanti Aundy membutuhkan pria itu untuk menikahkannya, jadi rasanya percuma dia menghindari Sabda. Lebih baik dia mulai berdamai lagi, seperti dulu.
Ponsel di tangan Salma berdering nyaring memecah keheningan yang baru saja tercipta. Salma hanya mengamati dengan seksama layar ponselnya. Sebelum akhirnya, dengan kasar Farhan mengambil ponsel itu dari tangan Salma. Dengan lancang, pria itu menerima panggilan dari Sabda, lalu menempelkan di samping telinganya.
“Hallo—siapa di sana?” tanya Farhan lembut, berusaha tenang meski rasanya tidak rela jika pria itu terus menghubungi Salma.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
salah strategi apa ya si sabda?
koq nyolot trus??
ato.... hanya memancing Salma ya??
2023-10-08
1
Fa
oko gelem Ma, mengko balikan wae mbi mas mantan🤭🤭
2023-09-23
0
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Wahhhh mas Farhan ngajak nikah ke Salma.... belum lagi ada dua mantan yang akan ngejar² Salma...
2023-07-26
1