Farhan mengembalikan ponsel di tangannya kepada Salma, setelah panggilan itu mati. Dia tidak mendengar apapun dari seberang panggilan. Mungkin sosok tersangka yang menghubungi Salma sungkan saat tahu dialah yang mengangkat panggilan itu.
“Jadi?” Farhan ingin tahu lebih detail. “Itu Endra atau Sabda?” sambungnya penasaran.
“Sepertinya Mas Sabda.” Salma sengaja menyembunyikan kedatangan Sabda tadi sore yang menempati meja atas, tepatnya di meja rooftop.
Farhan mengangguk. “Lantas, apa pendapatmu?”
“Pendapat? Apa mungkin aku menginginkan pria beristri? Dia sudah membina keluarga baru. Tidak seharusnya dia seperti ini—aku justru khawatir dituduh perusak rumah tangga orang.” Salma menjawab tegas.
“Salma, kalian punya Aundy. Wajar kalau kalian masih memilik hubungan.”
“Masalahnya—
Ucapan Salma tertahan, dia menatap Farhan lekat, tidak ingin membebani pria itu dengan masalah yang kini di hadapi. Mengingat setahun terakhir ini, Farhan sudah cukup menderita akibat kepergian Astrid.
“Lupakan, Mas. Karena selamanya aku, Ody dan Mas Sabda tidak akan pernah menjadi kami. Kami akan tetap hidup dengan pilihan masing-masing.”
“Kalau begitu—kenapa kamu tidak ingin mencoba memulainya denganku?” Sepertinya Farhan masih begitu penasaran dengan penolakan yang dilontarkan Salma.
“Seandainya, nih! aku memang tipe wanita yang Mas Farhan cari. Tapi sayang sekali, Mas Farhan bukan tipe pria yang aku inginkan. Jauh dari level pria idamanku!” Salma mengakhirinya dengan tawa riang, seakan candaan nya itu lucu. Dia bungkam setelah Farhan menghadiahinya sentilan di kening. Senyumnya senyap bahkan tak tersisa sedikitpun.
"Aku sayang sama kamu. Tapi jenis sayang yang aku miliki berbeda. Anggap saja cinta kakak pada adiknya yang ingin selalu melindungi. Seandainya, hubungan kita berdua naik tingkat ke jenjang pernikahan, itu artinya, aku siap jatuh cinta sama kamu," balas Farhan.
Salma berusaha mencerna ucapan Farhan, bukankah itu sama dengan dia yang juga menyayangi Panji? “Hidup berdua dengan Ody jauh lebih nyaman—ketimbang aku harus menikah tanpa cinta,” balas Salma, tekadnya sudah bulat untuk tidak menerima pria mana pun di hidupnya.
Keheningan mengambil jeda sesaat. Keduanya tidak peduli jika malam sudah semakin larut. Sesaat mereka berdua menemukan kenyamanan meski tanpa ada kata yang dikeluarkan.
“Ada yang ingin aku sampaikan sama kamu, Sal." Farhan tampak menegakan posisi duduknya, mulai serius. "Pagi itu Astrid menanyakan perasaanku sama kamu.”
“Ma—maksudnya?” Salma cukup terkejut mendengar ucapan Farhan, tidak mungkin pria itu mengkhianati Astrid. Selama ini hubungan Farhan dengan Astrid terlihat baik-baik saja. Bahkan, membuatnya iri karena mereka berdua terlihat sangat romantis.
“Kamu ngerasa nggak sih, di balik kebaikan Astrid dia menyimpan harapan besar untuk kita berdua.”
Jantung Salma berdetak dua kali lebih cepat, dia meletakan secangkir coklat panasnya ke atas meja. Salma tidak merespon, dia menunggu Farhan melanjutkan ucapannya.
“Selama kamu mengenalnya, apa dia tipe wanita seloyal itu? menyerahkan bisnisnya ke kamu, bahkan memberimu beban yang sebenarnya tiga puluh juta itu adalah hal mudah untuk didapatkan.”
Salma nggak suka dengan cara bicara Farhan yang berbelit-belit. “Bisa nggak to the point aja? Hari sudah terlalu malam, kadang-kadang otakku memang tidak begitu cekatan dipakai bekerja terlalu keras.”
“Dia ingin kita berdua menikah."
Mata Salma membulat sempurna. "Bagaimana bisa? Apa Mas Farhan selalu didatangi lewat mimpi?"
Farhan menggeleng pelan. "Dia memiliki alasan besar kenapa memberiku tempat di sini. Astrid ingin membuatmu berhutang budi padanya, hingga suatu hari—kamu terlalu sungkan untuk menolak permintaanya, termasuk meminjamkan rahimmu untuk kami.”
“Apa ini serius?”
Farhan tertawa gamang. “Tapi, sudahlah—toh semuanya sudah berlalu. Semua itu sisa kenangan saja.”
Salma tidak habis pikir, bisa-bisanya Astrid memiliki tujuan di balik semua kebaikan yang pernah diberikan untuknya.
“Hari itu, kami sempat berdebat. Astrid mengungkapkan isi hatinya, dia cemburu saat melihatku menyelimuti tubuhmu dengan kain tebal. Dia tidak ingin aku menaruh rasa padamu. Dan, kecelakaan itu tidak bisa dihindarkan.”
“Ody? apa Ody tahu kalian berdebat?”
Farhan mengangguk. "Dia juga sempat melerai kami, bahkan memintaku untuk menurunkannya di tepi jalan. Tapi, Astrid melarang. Dia masih ingin terlihat seperti malaikat di matamu."
Salma memang melihat Astrid sebagai malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongnya. Astrid selalu ada saat dia terpuruk, tapi dia tidak menyangka kalau ada maksud lain di balik kebaikannya itu. “Tapi Ody tidak pernah bercerita apapun padaku!”
“Bisa saja dia tidak ingin mengingat kenangan buruk itu.” Farhan menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi. Ada rasa lega setelah berhasil menceritakan masalahnya kepada Salma.
“Mas Farhan, apa sebaiknya aku pergi saja? aku tidak nyaman jika terlalu banyak berhutang pada kalian.”
“Itu, kan menurut Astrid, Salma. Kalau kamu pergi siapa yang akan mengurusi kedai? Lupakan mengenai pernikahan yang direncakan Astrid, yang penting kamu dan Aundy nyaman tinggal di sini.”
“Di sini ada Aruni dan lainnya. A—aku siap pergi, kok, Mas.” Salma tidak ingin rasa bersalah terus menghantuinya.
“TIDAK! Aku akan sangat marah kalau sampai kamu melakukannya. Dan ingat, jangan berani coba-coba kabur, karena dengan mudah aku bisa menemukanmu.”
“Pria menyebalkan!” gerutu Salma, dalam hati. Tapi, jika saat ini Astrid masih ada. Dia juga siap melakukan apapun seperti yang dia inginkan.
Tiba-tiba saja, Salma beranjak dari kursi yang ditempati. “Besok jangan lupa kita datang ke makam Astrid, Mas. Rencananya kedai akan tutup satu hari.”
Salma melangkah menuju dapur, meletakan gelas cangkirnya ke wastafel. Lalu menyusul Aundy yang sudah terlelap di dalam kamar.
Setelah berbaring Salma berupaya keras untuk memejamkan mata, tapi sayang hingga pukul dua belas malam dia masih terjaga.
Keesokan harinya, Salma nyaris saja melewatkan waktu mengantar Aundy pergi sekolah. Beruntung ada Farhan yang bersedia mengantar putrinya itu. Jadi, Salma bisa siap-siap untuk pergi ke makam.
Di tengah kesibukan Salma mengganti pakaian, Aruni yang sudah siap pergi, berteriak memanggilnya.
"Mbak Ma, keluar cepat!"
"Iya, bentar, Run!" balas Salma, sudah menjadi rutinitasnya berteriak di pagi hari. Pasti kalau Farhan mendengar, pria itu akan menceramahinya.
"Mbak Ma!"
"Sabar kenapa sih, Run!" Salma kesal karena Aruni tak mau sabar.
"Masalahnya ada orang gila masuk kedai, Mbak!"
Salma paham Aruni sedang mengerjainya. Dengan rambut yang masih terdapat roll. Salma memutuskan keluar kamar, dia menuruni anak tangga untuk memaki Aruni. "Run, mas Farhan aja belum datang. Jadi, jangan bikin gempar kenapa si—
Salma tidak bisa melanjutkan ocehannya saat melihat pria bertopi yang kini berdiri tegap di depan Aruni. Dia sama sekali tidak lupa dengan wajah Sabda Baghaskara. Kali ini, kaki Salma seakan terpaku di anak tangga paling bawah. Dia kesulitan mendekati Sabda yang kini menatapnya tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Fa
nahkan, sebener e kie isih cinta tapi gara" trauma masa lalu jadi ya rasa cinta itu seakan tidak ada
2023-09-23
1
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Orang gilanya pasti mas Sabda😁
2023-07-26
0
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Whaaaatttt😲😲😲
2023-07-26
0