Bab 5

“Maaf, Mbak Ma aku udah bilang sama Mas nya. Tapi ngeyel katanya dia kenal sama Mbak Salma.” Aruni merasa bersalah karena membiarkan Sabda masuk ke dalam kedai, wanita itu tidak tahu saja kalau Sabda adalah mantan suami dari partner kerjanya.

“Aku ingin bicara sama kamu!” sela Sabda, memupus tatapan Salma yang tertuju ke arahnya. Mati-matian Sabda menahan gai rahnya yang ingin segera menarik Salma ke dalam pelukan, demi mengobati rasa rindu yang selama ini menyiksa batin dan raganya.

“Tidak bisa!” Salma langsung menolak permintaan Sabda, lantaran sebentar lagi hendak pergi ke makam Astrid.

“Salma ....” helaan napas panjang terdengar jelas di bibir Sabda.

“Datanglah lain kali, aku sedang ada urusan.” Salma teringat dengan pesan yang dikirimkan Sabda semalam, tidak ada manfaatnya juga dia terus menerus menghindari pria itu. Khawatir suatu hari nanti, akan berakibat pada Aundy yang kesulitan menemuinya.

“Kalau begitu aku akan menunggu di sini sampai urusanmu selesai.”

Salma menarik napas dalam-dalam, dia ingin sekali marah pada Sabda. Tapi rasanya sulit sekali untuk membenci pria itu. “Kedai kopi hari ini tutup! Jadi lebih baik kamu kembali pulang, datanglah lain waktu.”

“Lagian, apa yang ingin kamu bicarakan? Hubungan kita sudah selesai. Jangan datang kalau hanya untuk bicara denganku, aku nggak mau dilabeli pelakor oleh istrimu,” imbuhnya.

Bola mata Sabda membulat sempurna, dalam hatinya membatin, sejak kapan aku memiliki istri? dia masih betah men-duda karena selama ini tidak ada yang bisa sesempurna Amora.

Di saat Sabda hendak meluruskan kesalahpahaman. Terdengar suara klakson sepeda motor. Akibatnya, Sabda terpaksa menunda niatnya itu.

Keduanya kini kompak menoleh ke arah pintu, menyambut kedatangan seorang pria yang baru saja memasuki kedai.

“Mau berangkat sekarang, Mas?” Salma menyapa Farhan yang baru saja memasuki kedai.

Pria itu terlihat bingung, menatap Salma dan Sabda bergantian. “Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya Farhan, rasa penasaran perlahan muncul.

“Ti—tidak, Mas. Ayo kalau mau berangkat!” ajak Salma, mendahului Farhan—bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu pada Sabda.

“Aku akan menunggumu, Sal!” teriak Sabda, ikut keluar saat Arun memaksanya pergi.

“Run, kunci kedainya!”

Teriakan itu mengudara, Salma seakan tidak peduli dengan ucapan Sabda. Dia hanya ingin Sabda pergi. Takut, kalau Sabda akan mengetahui isi hatinya saat ini.

“Ka—kamu Sabda?” tanya Farhan, lirih.

Sabda justru menatap jengah ke arah Farhan.

“Santai saja, Mas.” setelah menepuk pundak Sabda dua kali, Farhan kemudian berlalu, menyusul Salma yang sudah berada di dalam mobil.

Sabda sendiri enggan beranjak dari kedai. Dia seperti pria pengangguran yang berjemur di bawah sinar matahari, berjalan mondar-mandir menunggu kepulangan Salma.

“Salma enggak akan mungkin menikah secepat ini? Tapi, mereka tinggal satu rumah!” beberapa spekulasi muncul di pikiran Sabda, membuat hatinya semakin gelisah tak karuan.

Nyaris tiga jam Sabda menunggu Salma kembali, akhirnya penantiannya tidak sia-sia. Mobil Dakar yang dikemudikan oleh sopir berhenti tepat di depan kedai. Sabda menyambut kedatangan Salma dengan senyuman.

Alih-alih membalas keramahan yang ditunjukan Sabda. Salma justru bertanya dengan nada ketus. “Mau bicara di mana?”

“Di kamar kalau boleh!” sahut sabda cepat. Membuat bola mata Salma membulat sempurna.

“Di kamar itu artinya—aku butuh ruang yang lebih privasi untuk kita berdua, tidak boleh ada siapapun.” Sabda melirik arah kedatangan Farhan. Wajah pria itu tampak begitu pucat.

“Aku tidak memiliki banyak waktu! Apalagi untuk mendengar ocehanmu yang enggak ada manfaatnya.”

“Ya, aku akan langsung bicara denganmu setelah hanya ada kita berdua.” Lalu Sabda manarik pergelangan tangan Salma, menuntunnya menjauh dari kedai.

Salma merasa risih, dia berusaha melepas tautan tangan Sabda, tidak ingin berkontak fisik dengan pria itu.

Sabda membiarkan tangan Salma terlepas. Dia berjalan menuju bibir pantai, membiarkan Salma mengikuti langkahnya.

Tiba di sana, Sabda membiarkan Salma duduk di karang yang ada di pesisir. Sengaja melepas topinya, kemudian memakaikannya di kepala Salma.

“Kita perlu bicara empat mata. Sepertinya, selama ini kamu sudah salah sangka, mengira kau sudah menikah dengan Hani. Perlu kamu tahu, Sal— aku belum menikah dengan Hani. Kami belum jodoh karena Hani lebih memilih kekasihnya, sampai di sini paham?” apapun yang dilakukan Hani untuk membatalkan pernikahan mereka, dia tidak ingin membukanya di depan Salma.

Salma memutar bola matanya, mencerna apa yang baru saja diucapkan Sabda, Apa ucapannya bisa dipercaya? Takutnya Sabda justru sudah bercerai dengan Hani, karena ingin mengejarnya lagi. Melihat sikap Sabda yang begitu patuh pada sang ibu, rasanya tidak mungkin kalau Bu Habibah tidak mengambil jalan lain.

“Masih tidak percaya? Di malam Midodareni, Hani membawa kekasihnya.” Sabda sibuk mengeluarkan dompetnya.

Dompet pertama yang Salma hadiahkan ketika mereka merayakan ulang tahun pertama pernikahan. Rela-rela dia datang ke kurir demi hadiah itu tiba tepat waktu. Dan rupanya, sampai detik ini dompet itu masih dipakai oleh Sabda, meskipun tak jelas lagi bentuknya.

“Lihat kan, KTP aku masih de - u de- a dibaca, DUDA!” napas Sabda tersengal-sengal. “Dan, aku ingin kamu jujur, apa pria itu tadi suamimu?”

“Apaan sih? Enggak usah tanya-tanya! Bukan urusanmu.” Tangan Salma menyingkirkan tangan Sabda.

“Itu urusanku, aku harus tahu bibit, bobot, dan bebet yang menjadi ayah sambung Ody. Dan menurut penilaianku, dia bukan pria yang tepat!”

Salma menertawakan ucapan Sabda. Tawa yang sengaja dibuat-buat. “Lalu, yang tepat seperti apa?”

“Seperti aku!”

Salma menggeleng pelan. “Zaman sudah berubah, Sabda! tapi over PD mu nggak berubah, malah makin jadi.”

“Sal, kalau dia bukan suamimu—berikan aku kesempatan untuk merebut hatimu kembali.” alih-alih merespon ucapan Salma, Sabda kekeh mengatakan niatnya. Menurutnya tidak ada waktu lagi untuk mengambil hati Salma. “Satu tahun aku menggila karenamu, aku mencari-cari informasi tentang kamu. Dan aku bersyukur menemukanmu di sini, dalam kondisi baik-baik saja.”

Salma hanya menatap hamparan laut lepas di depannya. Pikirannya semakin kusut, layaknya benang yang tidak ketemu ujungnya yang mana.

“Aku tidak ingin berjanji yang muluk-muluk. Aku hanya ingin kita melewati sisa waktu kita ber-tiga.”

“Bukannya kamu tahu—aku tidak pernah memberi kesempatan ke dua pada pengkhianat. Saat ini, hidupku sudah bahagia, Sabda! Aku tidak butuh pria sepertimu karena aku bisa melindungi diriku sendiri, sama seperti dulu karena kamu sudah tahu aku berada di sini, kapanpun itu kamu bisa menemui Ody.”

Salma melepas topinya, lalu mengembalikan topi itu kepada Sabda. Dia hendak melangkah meninggalkan Sabda, tapi segera ditahan oleh Sabda. Dengan lancang Sabda memeluknya erat, bahkan sampai Salma kesulitan untuk menarik napas.

“Keras kepala, egois. Sialnya kenapa aku nggak bisa lari dari penjara cintamu. Salma—aku enggak pernah selingkuh, aku hanya berusaha menjadi teman yang baik di saat temanku membutuhkan saran,” lirih Sabda, mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada Salma.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Ternyata..
memaafkan dan memberikan satu kesempatan lg sulit yaaa....
Huffftttt....

2023-10-08

1

Fa

Fa

tapi qm tetep salah Sab, soalnya waktu itu qm udah nikah bukan pria single lagi

2023-09-23

1

Fa

Fa

dompet penuh kenangan indah

2023-09-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!