NovelToon NovelToon

Hallo, Mantan

Hallo, Mantan!

Kedai kopi tidak selalu menjadi tempat tujuan utama untuk menyesap nikmatnya si hitam. Banyak yang singgah ke Kedai Kopi Kayu Manis untuk sekedar menikmati pemandangan di sekitar pantai.

Salma tidak pernah merasa keberatan akan hal itu. Kedatangan mereka justru ikut menggerogoti kenangan pahit yang pernah hadir dalam kehidupannya. Perlahan dan pasti waktu berhasil membiasakan segalanya. Salma kini sudah terbiasa dengan kehidupan baru yang dimiliki.

Dear Ody ….

Semangat belajar, Sayang.

Senyum tipis terbit di bibirnya, usai mengamati tulisan tangan yang baru saja digoreskan di atas selembar kertas putih.

Meski Salma sudah bisa melangkah jauh meninggalkan masa lalunya. Kenangan sosok Sabda tak pernah hilang dari ingatan.

Gimana mau lupa, jika sosok Aundy kini semakin mirip dengan pria itu. Tingkahnya, wajahnya, semuanya mirip dengan Sabda. Jujur Salma akui, melupakan Endra jauh lebih mudah ketimbang Sabda.

“Bundaaaa!”

"Yuhuuuu! Bentar, Sayang!" Mendengar teriakan dari Aundy, Salma buru-buru menutup buku di tangannya. Dia bergegas turun untuk mengantar putrinya pergi sekolah.

Tiba di luar rumah, Salma bisa melihat Aundy dengan wajah cemberut. Kecantikan Aundy melebur lima puluh persen saat wajahnya seperti itu. “Sudah siap, Ody?” Salma berusaha meredam amarah putrinya.

Gadis itu menganggukan kepala. "Dari tadi, Bunda!" Aundy menjawab pelan.

"Baiklah, maafkan bundamu ini," ujar Salma, seraya mengambil kunci motornya.

Merasa Aundy sudah siap, Salma segera melajukan motornya menuju SD Negeri Palapa. Di perjalanan, Salma berusaha memperbaiki mood Aundy. Menggodanya dengan ocehan ini itu.

"Bunda, kapan papa datang?" tanya Aundy mengalihkan perintah Salma yang semula memintanya bernyanyi.

"Jangan gangguin papa-mu dia sedang sibuk dengan pekerjaannya."

"Bukankah lusa hari peringatan kematian mama? Apa papa tidak lagi merindukan mama Astrid? sama seperti ayah Sabda yang nggak pernah merindukan kita?"

"Husshhh, kalau ngomong nggak boleh gitu. Ody, kamu nggak bakal tahu seberapa sedih papamu atas kepergian mama-mu. Jadi, jangan bicara sembarangan. Kita doain saja yang terbaik untuk papa Farhan." Salma menelan ludah kasar. "Dan untuk ayah Sabda, mungkin dia sedang menantikan kelahiran adikmu. Bukankah kamu bilang ingin segera memiliki adik laki-laki."

"Aku nggak mau adik yang seperti itu, Bunda!" tolak Aundy, tegas. "Berarti, apa ayah Sabda membohongi Ody?"

"Emh, kurasa tidak begitu—saat kamu dewasa nanti kamu akan tahu kenapa ini semua bisa terjadi dengan kita."

Tragedi besar setahun yang lalu tidak akan pernah hilang dalam ingatan Salma. Kepergian Astrid untuk selamanya turut menambah kesedihan di hati Salma. Teman baiknya itu meninggal saat kecelakaan.

Saat itu hanya Farhan dan Aundy yang selamat. Aundy memang tidak terluka berat. Hanya saja, hingga detik ini Aundy masih trauma menaiki mobil. Dia hanya mau bepergian naik motor ataupun jalan kaki.

Sebenarnya sejak tragedi itu, Aundy tidak pernah merengek, meminta bertemu Sabda. Mengingat kondisinya sendiri yang tidak memungkinkan untuk kembali ke Semarang. Aundy tidak bisa naik mobil ataupun naik transportasi umum. Kejadian hari itu pasti akan terus menghantuinya.

“Nanti bunda jemput, ya!” kata Salma saat Aundy mencium punggung tangannya.

“Jam dua, kan Bunda! Awas jangan telat.”

"Siap, Princess!" Salma mengecup singkat kening Aundy. Kemudian membiarkan putrinya itu memasuki wilayah sekolah.

Salma masih bergeming, menatap kepergian Aundy, hingga anak gadisnya itu menghilang di balik pintu. Setelah merasa cukup puas, Salma kembali mengemudikan motornya menuju kedai kopi Kayu Manis.

Jika ditanya rindu atau tidak pada ayah dan ibunya, tentu saja Salma merindukan semuanya yang ada di Semarang. Tapi, dia juga tidak ingin kembali bertemu dengan mereka yang telah menyakitinya.

“Astaghfirullah ….” Salma tersentak seraya mengusap dadanya pelan, saat mendengar bunyi klakson yang begitu keras melewatinya. Untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. “Dasar enggak tahu sopan santun!” cibirnya melihat mobil minibus itu menjauh darinya.

Salma terus menarik tuas gas, ingin segera sampai untuk mengontrol pekerjaan pegawainya. Saat tiba di kedai seseorang menyapanya. Sapaan halus yang biasa mereka berikan untuk Salma.

Di kedai itu, tidak ada yang namanya atasan ataupun bawahan, mereka adalah tim yang sudah diberikan amanah oleh Astrid untuk mengelola kedai kopi itu.

Sepuluh bulan terakhir ini, Salma berusaha keras untuk membuat kedai itu tetap berdiri tegak, di tengah maraknya kedai kopi yang semakin ngetrend di luar sana. Berharap apa yang ditekuni saat ini tetap bisa dia jalankan dengan baik.

Suara gemerincing lonceng mengundang perhatian Salma. Banyak anak-anak muda masuk untuk sekedar menikmati kopi atau cappucino di tempat itu. Waktu bekerja telah tiba, mereka berpencar untuk melayani pengunjung yang hadir.

Sedangkan Salma sibuk dengan mesin-mesin kopi yang berjajar di atas meja. Sepanjang hari dia terus disibukan dengan membuat kue dan kopi. Dia hanya berhenti ketika jam menjemput Aundy tiba.

Menjelang sore, bunyi telepon kedai berdering nyaring. Salma bergegas menerima, tidak ingin kehilangan pelanggan.

“Hallo, selamat sore, dengan kedai kopi Kayu Manis, ada yang bisa dibantu?” Salma menyapa ramah pelanggannya.

Tiga detik menunggu, tidak ada suara apapun yang bisa ditangkap pendengaran. Salma memutuskan untuk menunggu. Hingga hampir satu menit tak ada respon apapun, Salma mengakhiri panggilan itu secara sepihak.

“Siapa, Mbak Ma?” tanya Aruni.

“Mungkin anak-anak muda yang tadi siang datang, sebenarnya bahaya sih ngasih nomor kita di situ.” Salma menunjuk papan persegi yang bertuliskan nomor untuk via pesan-antar.

Aruni terkekeh pelan. “Ya salah Mbak Ma sendiri sih?” respon Aruni seraya mengelap meja. Menjelang maghrib seperti ini, kedai masih sepi pengunjung, jadi mereka masih bisa sedikit santai. "Eh, Mbak aku lupa ngasih tahu, pak Farhan tadi telepon, dia bilang baru perjalanan ke sini."

"Apa?" Salma terkejut, karena kamar Farhan sama sekali belum dibersihkan.

"Itu, pak Farhan perjalanan. Mungkin sampai sini malam."

"Kapan Mas Farhan telepon?"

"Tadi, pas Mbak Ma jemput Aundy."

Saat Salma hendak naik ke lantai dua berniat membersihkan kamar, telepon di sampingnya kembali berdering. Salma meminta Aruni untuk menerima panggilan itu, tapi langsung ditolak Aruni. "aku takut Mbak Ma!"

"Takut apaan sih, orang sama-sama makan nasi loh!" balas Salma. Mau tidak mau Salma menerima panggilan itu. “Jangan cuma bisa ngerjain aja ya, kalau berani muncul di depan sini!”

“Hallo, Mantan!”

Tubuh Salma membeku, kerutan tipis mulai muncul di keningnya saat mendengar sapaan singkat dari pria di seberang panggilan. Dia ingin meminta si penelpon kembali bersuara tapi—dia bingung harus dengan cara apa.

"Apa kabar, Mantan?"

Salma semakin yakin dengan identitas pria yang kini meneleponnya. "Ah, mungkin hanya memiliki persamaan warna suara," batin Salma.

"Apa benar aku boleh muncul di depanmu?"

Bab 2

"Bundaaa—

Suara rengekan itu memecah fokus Salma yang tengah menerima telepon. Dia menoleh ke arah tangga, tampak Aundy berdiri di sana seraya menunjuk bukunya.

"Iya, Sayang?" balas Salma, dengan kerutan tipis di dahinya.

"Bantuin ngerjain PR," pinta Aundy.

Salma menyerahkan telepon di tangannya pada Aruni. "Tolong lanjutkan, Run. Mungkin dia hendak memesan kopi!" pesan Salma. Sembari melangkah, Salma berusaha mengontrol debaran jantungnya yang tiba-tiba saja tak mampu dikendalikan dengan baik, kaki dan tangannya masih bergetar dia cukup terkejut mendengar suara Sabda menyapa pendengarannya.

"A—apa, Sayang? Mana yang tidak bisa?" tanya Salma, saat mereka berdua tiba di lantai atas.

"Ody, benci matematika, Bunda!" keluh Aundy.

Salma memejamkan mata rapat, sama halnya dengan dirinya yang sangat membenci matematika. Daya ingatnya dulu sedikit lemah untuk menghafal rumus matematika. Jadi, dia lebih sering meminta bantuan kepada Sabda ketimbang mengerjakan sendiri.

Tapi, dia tidak ingin membuat Aundy sama seperti dirinya. Bagaimanapun dia harus bertanggungjawab menuntun Aundy supaya kelak nasib Aundy jauh lebih baik dari dirinya.

Salma menarik buku itu dari hadapan Aundy, berusaha mempelajari materinya terlebih dahulu. Tapi sayang, suara itu mengecoh pikirannya, seakan mengikutinya dan menghapus semua konsentrasi yang dimiliki Salma.

Ingin sekali rasanya memanggil Aruni meminta wanita itu untuk membimbing Aundy. Tapi setelah dipikir ulang, dia tidak ingin diteror lagi oleh panggilan itu.

"Bentar ya, Sayang—bunda cari rumusnya dulu!" Salma berniat bertanya pada Mbah Gugel, pasti ada jawaban rumus yang valid mengenai soal latihan di buku itu.

Di kala jemari Salma tengah sibuk mencari materi yang sama. Sebuah pesan masuk singkat masuk ke nomornya. Salma tak sengaja membuka pesan itu, dan ternyata informasi dari bank komersil, menerangkan jika baru saja ada uang masuk ke tabungannya sebesar 8 juta rupiah.

Salma bingung saat mendapatkan uang nyasar ke nomor rekeningnya. "Apa ini dari Mas Farhan?" gumam Salam. "Tapi—bukankah dia sudah memberikan uang nya kemarin." Ya, Farhan memang memberinya uang untuk perbaikan WC dan penambahan mushola kecil untuk mereka yang ingin menjalankan ibadah.

Di saat Salma sedang memikirkan asal muasal uang itu, sebuah pesan WA kembali masuk ke nomornya.

0857555xxxx : Apa kabar, Salma?

Salma mengerutkan kening. Dari gaya pesan yang baru saja sampai ke nomornya, mustahil jika itu nomor mas Farhan. Berarti itu adalah nomor Sabda. Pria yang tadi menelepon ke kedai.

0857555xxxx : Salma, ini aku Sabda Baghaskara. Tidakkah kamu mengizinkan aku bertemu Ody.

"Kan, beneran dia?" kata Salma pelan. Dia berpikir, dari mana Sabda tahu nomor ponselnya? tidak mungkin keluarganya membocorkan keberadaanya saat ini. Kecuali kalau memang bapak sudah memberinya restu. Mungkin bisa, ibu dan Panji memberitahu nomornya pada Sabda.

"Bunda! Gimana?" tanya Aundy, lagi-lagi menyadarkan Salma yang sedang asyik memikirkan pesan singkatnya. "Ih bunda enggak fokus ngajarin Ody ya?!" protes Aundy.

"Heh, i—iya. Sabar Sayang. Bunda lagi balas pesan."

0857555xxxx: Sebenarnya salah aku apa sih, Sal! Kenapa kamu jauhin aku dari Ody. Kasih aku alasan yang pas supaya aku bisa jalanin hidup ini tanpa kalian.

Kali ini Salma memantapkan hati untuk membalas pesan Sabda, mungkin supaya pria itu tidak lagi mengejarnya lagi.

Salma : Aku nggak mau jadi orang ketiga di antara kalian.

0857555xxxx memanggil ....

Panggilan masuk dari Sabda sengaja diabaikan oleh Salma. Dia mematikan ponselnya, setelah nada dering itu berakhir. Supaya Sabda tak lagi bisa menganggu ketenangannya. Salma melanjutkan membantu Aundy mengerjakan PR.

"Bunda, apa aku boleh melihat televisi setelah ini?"

"Boleh, tapi jangan lebih dari satu jam. Karena besok Ody harus sekolah."

"Iya."

Aundy terlihat begitu semangat mengerjakan PR nya. Hingga usai adzan isya' dia baru kembali menutup bukunya. Salma yang melihat Aundy sibuk menonton televisi memutuskan untuk kembali ke kedai, membantu Aruni yang sibuk melayani penikmat kopi di kedai tersebut.

"Arun, tadi—siapa? Yang pesan orangnya menginap di mana?" Salma berbisik di samping telinga wanita itu.

"Apa, belagu banget tu cowok. Orang dia nya duduk di atas, Mbak Ma."

Mata Salma membelalak, apa aku tidak salah mendengarnya. batin Salma.

"Dia datang sama teman-temannya mbak. Orang rombongan kok tadi."

"Kamu serius, Run?"

"Yah."

Salma memejamkan mata, dia baru menyadari jika ternyata sedekat ini dekat dengan Sabda. Sejak kapan pria itu tahu keberadaanya? "Mereka sudah pergi, kan?"

Aruni mengangguk. "Sekitar lima belas menit yang lalu," imbuhnya menjelaskan.

Jantung Salma kembali berdegup cepat saat menyadari sorot lampu mobil menyorot ke arah kedai. Dia tidak ingin Sabda menemuinya sekarang, dia belum menyiapkan jawaban tepat untuk menolak pertemuannya dengan Sabda.

"Pak Farhan!" Pekik Aruni, saat menyadari yang datang adalah sosok majikannya. Pria itu keluar dari mobil dengan langkah tertatih-tatih, Salma yang melihat itu lekas mendekati, memapah tubuh Farhan memasuki rumah.

"Papah!" Pekik Aundy, entah sejak kapan gadis itu tiba -tiba muncul di sekitar kedai.

"Ody! Ody, jangan dulu Sayang! Papa Farhan sedang capek!" Salma memperingati Aundy, yang bersikap manja terhadap Farhan.

"Udah nggak papa!" Farhan mengambil duduk di kursi bagian luar. Lebih dulu menyapa Aundy, memberikan pelukan hangat pada anak angkatnya.

"Apa besok papa datang ke makam mama?"

"Ehm ... Gimana ya?" Farhan melirik ke arah Salma, seakan meminta pendapat.

"Iya, dong! Apalagi kalau bukan untuk melihat mama Astrid." Salma mengulas senyuman.

Tak lama kemudian, pandangan mereka bertiga beralih pada mobil yang baru saja meninggalkan kedai. Tampak begitu laju, seakan tidak peduli jika debu bisa menyebar ke meja yang mereka tempati.

"Kedai masih ramai, Sal?" tanya Farhan.

"Alhamdulillah, Mas." Salma menjawab singkat.

"Salma buatin minuman hangat dulu, ya! Supaya kondisi mas Farhan bisa lebih baik."

Pria itu menganggukan kepala. Lalu bermain berdua bersama dengan Aundy. Sedangkan Salma lekas memasuki kedai.

Tak jauh beda dari Aundy, meski sudah ada sopir yang menemaninya. Tragedi besar itu membuat Farhan tak tahan duduk lama-lama di dalam mobil. Dia selalu mabuk berat, jika bepergian jauh.

Setelah menyajikan secangkir minuman hangat untuk Farhan, Salma memutuskan kembali masuk ke kamarnya. Dia penasaran dengan pesan yang hendak di sampaikan Sabda saat melihatnya malam ini. Salma mendadak yakin, kalau mobil yang tadi melaju meninggalkan kedai adalah Sabda.

0857555xxxx : Heran, sama kamu! Sama sekali nggak mikirin perasaanku. Kamu biarin ody ku dekat dengan pria lain. Sedangkan dengan ayah kandungnya sendiri kau mati-matian menjauhkan. Ibu macam apa kamu, tega misahin anak dan ayah kandungnya. Yang diminta menikahkan Ody kelak bukan pria itu, melainkan AKU!

Salma tidak membalas pesan Sabda. Dia membiarkan apapun yang dikatakan Sabda, karena dia merasa menjadi ibu yang buruk.

0857555xxxx: Dosa besar kamu, Sal! Kamu itu egois mikirin perasaanmu saja tanpa mikir Ody. Kamu bisa saja nyari pengganti yang lebih baik dariku. Tapi tidak untuk Ody.

Bab 3

“Padahal aku sudah berusaha menjauh, supaya dia bisa bahagia dengan kehidupan barunya Kenapa juga harus mencariku dan Ody. Bagaimanapun Sabda sudah memiliki Hani, dan dia tidak pantas melakukan ini. Dia tidak seharusnya mengulangi masalalunya.” Salma meletakan kembali ponselnya, mengabaikan pesan yang dikirim oleh Sabda. Dia merasa, apa yang dilakukan Sabda akan merugikan dirinya sendiri. Jadi, sebelum itu terjadi Salma memilih diam saja.

“Bunda, apa aku boleh tidur dengan papa Farhan?”

Salma menoleh ke arah pintu kamar, di mana Aundy tengah menatapnya dengan raut memohon. “Ody, sebaiknya kamu tidur dengan bunda saja!” tolak Salma, lembut.

“Memangnya kenapa?” Aundy terlihat kebingungan.

“Ody, dengarkan bunda baik-baik. Dan ingat ini sampai kapanpun. Bunda nggak mau nanti kamu jadi terbiasa dengan papa Farhan. Perlu kamu tahu, papa Farhan itu ayah angkat mu. Dan kalian nggak boleh tidur seranjang. Mengerti?”

Helaan napas panjang Aundy lakukan sebagai wujud rasa kecewanya.

Salma hanya ingin menghindarkan Aundy dari kebiasaan yang mungkin akan tercipta ke depannya nanti. "jangan sedih, Ody. Bunda akan menemanimu tidur malam ini," hibur Salma, sambil membawa Aundy ke pelukannya.

“Mbak Ma, kedai aku tutup ya—udah jam sembilan lebih.”

Suara dari luar kamar membuat Salma mengurai pelukannya di tubuh Aundy. Dia harus membantu Aruni menutup kedai dan membereskan kursi-kursi yang ada di bagian luar. “Sebaiknya, Ody lekas cuci kaki dan gosok gigi,” pesan Salma sebelum berlalu dari hadapan Aundy.

Rumah dua lantai itu dihuni oleh empat orang termasuk Aundy. Salma dan Aruni menempati kamar atas, sedangkan di bawah ada seorang pria yang ikut menjaga kedai.

Kalau Farhan datang itu artinya, kamar utama di lantai atas terisi. Dan sepanjang malam pria itu akan menyalakan lampu kamar. Salma sampai ingat dengan jelas mengenai kebiasaan pria itu.

“Mas Farhan udah masuk ya, Run?” tanya Salma.

“Udah, Mbak.”

“Besok kita tutup ya! kita ke makam Astrid sama-sama.”

“Pak Farhan tadi berpesan supaya tetap buka. Terus gimana?”

Salma menggeleng. “Lebih baik kita tutup, hargai mas Farhan yang sedang berkabung. Aku paham besok pasti hari yang berat untuknya.”

Aruni mengangguk pelan. “Jam berapa kita ke makam, Mbak?”

“Lebih baik jangan terlalu siang. Mungkin, setelah aku mengantar Ody sekolah.”

Aruni tampak setuju dengan saran Salma. "Besok aku mau bangun siang, mumpung libur."

"Ya, silakan saja," respon Salma dengan senyum tipis terbit di bibirnya. Dia tidak mungkin membawa Aundy, lantaran anak gadisnya itu tidak bisa naik mobil.

Melihat semua sudah beres, Salma lekas masuk untuk memeriksa Aundy. Dia ingin melihat apakah anak gadisnya itu sudah tidur atau belum. Dan saat tiba di dalam kamar, lampu sudah berganti temaram, putrinya itu sudah terlelap di bawah selimut.

Salma meraih ponselnya. Dia kembali keluar kamar untuk menenangkan diri. Dengan secangkir coklat panas di tangan, Salma duduk di kursi samping rumah, menikmati keindahan bibir pantai di kala malam hari.

Berulangkali Salma mengulangi membaca pesan yang diterima satu jam yang lalu. Tetap saja, pesan itu membuat aliran darahnya berdesir. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, yang semakin dipikirkan membuatnya semakin sesak.

“Belum tidur, Sal?”

Sapaan itu membuat Salma menoleh ke sumber suara. Terlihat Farhan melangkah mendekatinya. Lalu duduk di seberang kursi yang digunakan Salma.

“Mas Farhan sendiri belum tidur?” tanya Salma, balik.

“Sejak kepergian Astrid, aku mengalami gangguan tidur.”

Tak dapat dipungkiri karena Salma pernah berada di posisi itu. Dua tahun pertama, hidup tanpa Sabda, dia cukup kacau karena kehilangan momen yang biasa dilakukan pria itu untuknya. Ucapan selamat tidur, kata cinta yang tak pernah lupa diucapkan—meskipun terkadang hanya melalui pesan singkat. Dan Salma merasa, selama itulah kehidupannya mulai aneh. Sampai seiring berjalannya waktu dia mulai terbiasa dengan semuanya.

“Kamu sendiri, bagaimana? apa sudah benar-benar melupakan semuanya yang ada di Semarang.”

Salma tertawa gamang, rasanya sia-sia melupakan mereka. Karena sekarang Sabda justru merecoki kehidupannya yang mulai tenang.

“Dia hadir lagi?” tanya Farhan mulai curiga dengan sikap Salma yang mendadak diam tanpa kata, hanya senyum yang tidak mampu diartikan.

“Hadir raganya belum tentu hadir juga rasanya, kan?” Salma balik bertanya. “Heran juga, dia sudah menemukan keluarga baru. Tapi kenapa masih berusaha mengecoh kehidupan kami.”

“Dia mengganggumu?”

“Hanya mengirimkan pesan yang membuat konsentrasi ku pecah.” Salma mengakhirinya dengan kekehan kecil.

Setelah itu, keduanya kembali bungkam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga sepuluh menit berjalannya waktu, Farhan mulai bersuara lagi.

“Menikahlah denganku, Sal. Aku bisa melindungi kalian.”

Salma menyambut tawaran Farhan dengan gelak tawa. Seakan tak percaya dengan reaksi yang diberikan Farhan.

“Kenapa? Apa salah dengan tawaranku?” tanya Farhan, keheranan.

“Engh, enggak! tidak salah, Mas! Tapi aku merasa tidak tahu diri saja, jika langsung menjawab ya.” Salma memberanikan diri menatap Farhan lalu menjelaskan alasan kenapa menolak pria itu. “Pernikahanku yang kedua tidak didasari oleh cinta. Aku tidak ingin mengulanginya dan berujung gagal. Rasio kebahagian dan kesedihan dalam pernikahan itu Fifty-Fifty, butuh banyak pertimbangan untuk memutuskan menikah.”

“Kita bisa memulainya, melupakan kisah di masa lalu. Siapa tahu kita bisa saling mengobati.”

Salma menatap tak percaya ke arah Farhan. “Apa aku tipe wanita idaman Mas Farhan?” Salma menoleh ke arah dinding rumah yang ada di ruang bersama. Pandangannya jatuh pada bingkai foto besar yang tertempel di dinding. Terlalu jauh jika dibandingkan dirinya dengan Astrid. “Kalau aku sudah tahu endingnya akan seperti apa. Aku lebih baik tidak, Mas.”

“Apa kamu memilih menyerah sebelum berperang?” tanya Farhan.

“Sebenarnya aku tidak suka dengan kalimat itu, tapi kita juga perlu mengamati hal yang lebih realistis untuk mengambil keputusan.” Salma menarik napas dalam-dalam. “Bisa kan kita tidak membahas ini? aku menghargai Mas Farhan karena Mas adalah suami Astrid, sahabatku.”

“Tujuanku hanya ingin melindungimu, Sal.”

“Terima kasih, untuk semuanya, Mas. Tapi kurasa akan tetap saja. Aku sudah kalah. Sejauh apapun kami pergi, suatu hari nanti aku juga harus siap kalau Ody bakal ninggalin aku.” Salma menjawab pelan, khawatir Aundy tiba-tiba mendengar obrolannya dengan Farhan. Salma cukup tersentak dengan pesan yang dikirim Sabda untuknya. Sesuatu saat nanti Aundy membutuhkan pria itu untuk menikahkannya, jadi rasanya percuma dia menghindari Sabda. Lebih baik dia mulai berdamai lagi, seperti dulu.

Ponsel di tangan Salma berdering nyaring memecah keheningan yang baru saja tercipta. Salma hanya mengamati dengan seksama layar ponselnya. Sebelum akhirnya, dengan kasar Farhan mengambil ponsel itu dari tangan Salma. Dengan lancang, pria itu menerima panggilan dari Sabda, lalu menempelkan di samping telinganya.

“Hallo—siapa di sana?” tanya Farhan lembut, berusaha tenang meski rasanya tidak rela jika pria itu terus menghubungi Salma.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!