Terpaksa Menikahi Murid Manjaku

Terpaksa Menikahi Murid Manjaku

Chapter 1

(Arjuna)

“Saaaaaah!” Teriakan para saksi di ruang tamu rumah Kepala dusun menjadi bel panjang pengingat kalau saat ini aku sudah menikahi salah satu murid, yang belum genap seminggu ku kenal.

Duniaku porak-poranda seketika. Masalah yang satu belum selesai, kini masalah lainnya datang. Apa Tuhan sedang menguji kesabaran ku?

“Sekarang, kamu salim tangan suamimu. Ingat, sekarang kalian menikah, meski hanya nikah sirih,” tukas Kadus (Kepala dusun).

Dengan gerakan terpaksa dan berat hati, Aluna menarik tanganku, lalu mencium punggung tanganku. Air matanya sudah berhenti, lelah mungkin setelah reli panjang perdebatan dengan para warga yang mengancam akan mengarak kami keliling desa tanpa busana jika menolak untuk dinikahkan.

Sial bagi kami, terjebak di salah satu dusun yang terpaksa kami lewati setelah perjalanan panjang dan akhirnya buat kami kehilangan arah.

Aku sudah menemukan Aluna yang berlari menembus hutan hingga melihat ada perkampungan warga.

Namun, belum sempat bernapas lega, hujan deras turun dengan petir yang menyambar.

“Kita harus berteduh dulu,” ajak ku melirik pada Aluna yang masih kesal padaku. Tatapannya selalu terlihat membenciku.

Dia tampak ingin menolak, tapi air hujan yang tumpah ke bumi semakin deras, membuat Aluna membatalkan niatnya dan mengikuti langkahku menuju saung yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Kami berteduh di sana, menatap air hujan dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Duduk di atas tumpukan jerami kering.

Satu jam ditunggu, bukan berhenti, hujan justru semakin deras. Akhirnya hujan berhenti, menyisakan gerimis, tapi petir masih terus menyala, saling sambar, terlihat di langit yang kini sudah gelap.

Sekali menggelegar, Aluna menjerit dan tanpa sadar berlari ke arah ku. Aku pun sama kagetnya hingga kehilangan keseimbangan dan akhirnya tubuh Aluna jatuh di atasku. Lama kami saling diam dengan momen akward itu, hingga tanpa sadar tiga orang pria dan dua orang wanita yang lewat dari tempat itu, memergoki kami dengan posisi yang sulit dijelaskan itu.

Kami diinterogasi, tanya ini dan itu. Kami sudah menjelaskan kalau itu hanya salah paham, tapi mereka tidak percaya hingga akhirnya membawa kami ke rumah Kadus.

“Ini sudah adat di kampung ini, siapa yang kedapatan yang bukan muhrimnya berduaan di gelap malam, harus dinikahkan, agar tidak terjadi kesialan di desa ini.”

“Tapi kami benar-benar tidak berbuat yang tidak senonoh, Pak,” aku berusaha menjelaskan, tapi tidak masuk akal bagi satu pun warga yang sedang mengerumuni kami.

Berbagai saran dari mereka yang ada di sana, meminta kami diarak keliling kampung dalam posisi bu*gil, membotak rambut kami berdua, hingga dikerangkeng.

Ancaman yang membuat bulu kuduk merinding itu akhirnya berhasil meluluhkan penolak Aluna.

“Terima aja, Pak. Gua gak mau diarak tanpa pakaian. Rambut gua juga gak mau di-botak!”

Aku hanya bisa diam dan pasrah. Tidak satu pun diantara kami yang membawa ponsel.

Dan begitulah, pernikahan singkat itu terjadi. Kami menikah di depan ustadz yang katanya sudah sering menikahkan pasangan yang berbuat mesum di kampung itu.

“Meski hanya nikah sirih, tapi pernikahan ini sah, terlebih di mata agama!” tukas pak ustadz yang hanya buat kami berdua mengangguk.

Harusnya ini tidak perlu terjadi, kalau kami kembali ke tepat waktu ke daerah perkemahan, tempat acara darma wisata bagi anak kelas tiga, sekaligus acara outdoor terakhir bagi mereka yang diagendakan sebelum tamat dari sekolah itu kelak.

Aluna yang bertengkar lagi dengan Nuka, berlari menjauh memasuki hutan. Bapak kepala sekolah dengan entengnya memerintahkan agar aku saja yang mencari Aluna. Aku pun gak tahu kenapa aku yang dipilih Kepsek itu, padahal jelas-jelas dia tahu Aluna sangat membenciku sejak awal mengajar di kelas mereka.

Pikiranku menerawang sesaat. Aku ingat hari itu, hari dimana tawaran nyeleneh itu datang padaku.

*Flashback

“Jadi, kamu menerima perjodohan ini?” tanya Ibu dengan mata berbinar. Tampaknya kini beliau sudah bisa bernapas dengan lega. Sementara aku hanya bisa diam terduduk merenung di kursiku.

Duniaku terasa porak-poranda. Seorang utusan yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang sudah membiayai sekolahku mulai dari SMA hingga jenjang strata dua, memintaku untuk menemuinya di suatu kamar di hotel berbintang.

Aku yang merasa tidak mengenal beliau secara langsung, tentu saja menolak permintaan pria berjas hitam itu. Oke, aku tahu karena prestasi ku sebagai siswa terpintar se-kota madya, aku mendapatkan beasiswa sekolah di SMA elit. Tidak sampai disitu, melihat nilaiku yang begitu sempurna, aku ditawarkan kembali beasiswa untuk melanjutkan kuliah, tidak tanggung hingga strata dua, dan pada akhirnya bisa lulus dengan predikat cumlaude.

Niat awalku setelah lulus, akan terbang ke Jerman untuk bekerja di perusahaan otomotif terbesar di sana sesuai dengan keinginan impianku. Semua itu aku lakukan demi mengubah hidup kami yang selama ini berada di garis kemiskinan.

Tidak muluk-muluk, aku hanya ingin membahagiakan ibu, satu-satunya keluarga yang aku punya yang sudah berjuang sejauh ini untukku.

Kalau sudah sukses, baru aku akan memikirkan pernikahan.

Setelah awalnya ku abaikan pada pemanggilan pertama, utusan orang kaya itu kembali datang ke gubuk kami, menjelaskan lebih detail bahwa orang yang memintaku menghadap adalah orang yang sudah membiayai ku sekolah selama ini.

“Pergi lah,” kata ibu memberi restu.

Aku bukan kacang lupa kulitnya, oleh karena itu aku memutuskan untuk menerima undangan itu, lagi pula ini hanya ingin bicara, sekaligus aku ingin mengetahui siapa yang sudah mendanai ku selama ini.

“Silakan masuk,” pinta sang utusan membuka pintu kamar hotel VVIP yang sama sekali belum pernah aku lihat sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana mewahnya di dalam sini.

Di tengah ruangan, di sebuah sofa berwarna putih gading, seorang pria tua yang duduk dengan menggenggam ujung tongkat yang dibiarkan berdiri di depannya seperti tertancap, menatap langkah kaku ku dengan tajam. Sumpah aku kikuk!

“Selamat siang, Tuan,” ucapku mengamati wajah keriput pria itu. Sama sekali aku belum pernah bertemu dengannya.

“Akhirnya kau datang juga!” balasnya datar, berbalik dia yang mengamati ku. Ada sedikit rasa gugup menyelinap dalam hatinya, Cuma aku berusaha untuk tetap santai.

“Maaf, Tuan, Aku...”

“Panggil saja Opa Jer!”

“O-pa...” lanjut ku tertahan. Suasana tampak tegang di dalam ruangan ber-AC itu.

“Duduk lah. Opa minta kamu jangan tegang. Setelah bertahun mengetahui namamu, baru ini bisa melihat wajahmu,” ucapnya tersenyum, menarik sudut bibirnya.

Aku menurut apa kata pria tua itu. Memilih kursi single yang ada di depannya. Posisi dan keadaan tegang seperti ini persis saat aku melakukan interview bulan lalu untuk melamar di perusahaan Jerman itu, yang memang seleksinya di tanah air, kalau lolos baru dikirim ke sana.

Ah, mengingat hal itu, membuatku ingin buru-buru pulang dari sini untuk memberitahukan pada Ibu kalau semua berjalan lancar, awal bulan depan aku sudah terbang ke Jerman untuk mengikuti pelatihan.

Eheem...

Suara deheman Opa Jer menarikku dari lamunan gembiraku.

“Aku memanggilmu ke sini, ingin meminta sesuatu padamu. Anggap saja balasan dari kemurahan hatiku selama ini padamu!”

Suaranya tegas, sorot matanya tajam, terlihat seperti menguliti ku. Jujur saja nyaliku sedikit ciut, apa dulu Opa Jer adalah anggota veteran? Seram amat!

“Maksud, Opa?” tanyakan berhati-hati. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya.

“Dengarkan baik-baik apa yang akan Opa sampaikan ini.”

Dia menarik napas berat, seolah besar sekali beban yang dia pikirkan saat ini.

“Opa memiliki seorang cucu yang sangat Opa sayangi. Selama ini Opa dan orang tuanya salah mendidiknya, terlalu memanjakannya. Memberikan semua yang dia minta. Hingga setahun lalu, dia berubah menjadi liar setelah kematian kedua orang tuanya.”

Aku masih mendengarkan dengan saksama. Dalam hati aku bertanya, apa hubungannya dengan ku? Kenapa pria ini memanggilku. Tapi semua itu hanya sebatas dalam hati saja.

“Opa sudah semakin tua dan mungkin tidak bisa mengontrolnya lagi. Dia jadi semakin liar bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Bahkan dia sudah mulai membangkang, tidak menurut pada Opa lagi. Opa takut akan ada orang-orang jahat yang mencoba memanfaatkannya. Opa juga takut kalau pergaulannya itu kebablasan hingga dia hamil. Amit-amit!” serunya mengetuk ujung tongkatnya ke lantai dua kali.

“Opa punya rencana untuk hidupnya. Ingin melihatnya sukses hingga dikemudian hari bisa memimpin perusahaan raksasa dan menjadi ahli warisku.”

“Lantas, apa yang bisa aku bantu, Opa?” tanyaku langsung ke sasaran. Memangnya apa yang bisa aku lakukan pada anak nakal dan manja seperti itu? Minta agar aku berperan sebagai ustadz me-ruqyah cucunya?

“Setelah Opa pikirkan dengan matang-matang, Opa ingin kau menikahinya!”

“Menikah? Dengan cucu Opa?” ulang ku masih belum percaya. Kalau ada suara petir kayak di sinetron-sinetron, pasti kencang banget.

“Iya. Awalnya Opa hanya ingin kau menjadi tutor nya, tapi setelah Opa pikir-pikir, pasti dia gak akan setuju. Jadi lebih baik sekalian aja kalian menikah, jadi kamu punya hak untuk mengatur bahkan memarahinya kalau tidak mau kamu didik. Eh, tapi jangan kencang-kencang marahnya,” tukas Opa dengan sedikit memberi senyum simpul.

Sekilas aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencari kamera yang tersembunyi, barang kali saat ini mereka lagi mengerjai ku. Tahu kan, seperti di Chanel Ucup kenamaan yang senang ngerjain orang, terlebih orang kismin kayak aku.

Namun, setelah menilik lebih jauh, tampaknya sama sekali tidak ada. Bebas kamera.

“Hei, kenapa kamu jadi bengong? Mau tidak?” Suara Opa yang tiba-tiba dan dengan volume on membuatku terpekik kaget sambil mengucap.

“Maaf, Opa, sebenarnya aku sudah punya planning yang lain. Sehabis ini mau ke Jerman untuk bekerja,” ucapku memberanikan diri. Bagiku, mengejar masa depan dan cita-cita lebih penting dari sekedar menikah, apalagi pernikahan ini juga hanya kontrak.

Kadang aku gak habis pikir, kenapa banyak orang suka sekali nikah kontrak, seolah pernikahan itu bukan sesuatu yang sakral.

“Jadi, kamu gak mau balas kebaikan Opa selama ini? Ingat ya, Rifat,”

“Juna, Opa,” sambar ku. Enak saja mengganti-ganti nama anak orang. Apa kakek tua ini tidak tahu nama itu fitrah, sudah di doakan oleh orang tua?

“Oh, iya, Juna. Kamu harus ingat, kalau bukan karena kebaikan Opa, kamu pikir bisa melanjutkan sekolahmu sampai sarjana seperti ini? Apa sulitnya, sih, mengabulkan permintaan pria tua yang sudah renta ini? Lagi pula hanya satu tahun, setelah dia lulus SMA, kalian bisa bercerai, dan kamu dapat uang 1 M!”

Nah, kan, aku jadi dilema. Bukan munafik, ya, siapa yang tidak mau dapat duit 1 M dalam setahun? Bahkan kalau aku bekerja di perusahaan ternama pun dalam setahun belum tentu dapat duit segitu banyak, tapi... Gimana ya, bilangnya.

“Gimana? Kamu tetap gak mau? Kalau begitu, kembalikan semua uang Opa, yang habis membiayai sekolahmu selama ini!”

***

“Kita harus segera pergi dari sini,” ucap Aluna menyikut ku dari lamunan panjang yang membuat kepalaku migren.

Hari sudah pagi, kami diperbolehkan pulang dari rumah Kadus itu. Rasanya seperti mimpi, tapi ini nyata. Aku melirik cincin yang terbuat dari anyaman kain tenun yang dipilin Bu Kadus sebagai cincin pernikahan kami.

Bagaimana aku menyelesaikan masalah ini semua? Aku belum menerima tawaran Opa Jer untuk menikah dengan cucunya yang sampai saat ini belum ku temukan. Sekarang, justru aku sudah menikah dengan salah satu muridku. Rasanya sesak di dadaku.

“Ingat, jangan bilang sama siapapun perihal pernikahan ini. Bersikap seperti biasa, tidak akrab, anggap saja pernikahan ini gak pernah terjadi!” seru Aluna berjalan mendahuluiku.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

TU MURID LO CUCU OPA JER...

2023-12-10

1

Neng Ati

Neng Ati

msh nyimak

2023-07-04

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!