Suasana dalam ruang kelas itu yang pada awalnya tampak gaduh, tiba-tiba berubah senyap setelah Pak Hadi, kepala sekolah SMA Bhineka masuk.
“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, ini guru baru di sekolah kita. Beliau akan mengajar pelajaran matematika. Jadi, Bapak harap kalian bersikap ramah dan juga sopan pada beliau!” pinta Pak Hadi sebelum pamit keluar dari ruang kelas.
Begitu pintu tertutup, suara mulai nyaring terdengar dalam kelas. Satu sama lain saling berbisik. Di sudut ruangan siswa pria yang sedikit bertampang sangar menunjukkan sikap tidak underestimate nya padaku, tapi siswa-siswi yang lain terlihat antusias, kok, terhadap ku.
Satu persatu dengan kejelian aku menyisir siswa yang berjumlah 25 dalam satu kelas. Sangat berbeda memang siswa di sekolah elit. Baik tampilan ataupun kecerdasan mereka, dapat terlihat banyak siswa yang memakai kacamata.
“Selamat pagi, anak-anak. Perkenalkan saya Pak Arjuna, guru matematika kalian yang baru,” sapaku tanpa senyum. Gagal lagi aku menunjukkan sikap ramah yang coba aku bangun.
Kadang aku heran dengan diriku sendiri, kenapa begitu sulit untuk tersenyum pada orang lain.
“Cakep banget, guru matematika kita yang baru, walau gue gak suka matematika, kalau gurunya begini, pasti gue jabanin,” bisik siswi yang duduk di baris tengah.
Sejak masuk dia terus memperhatikan ku, sembari mengirim senyum manisnya.
“Cakep? Cakep-an juga Digo,” timpal gadis yang duduk di sebelahnya. Kalau bisa dibilang mereka bukan berbisik, tapi ngobrol karena baik anak-anak lain di kelas itu pasti mendengar, termasuk aku.
“Cakep, gila! Lihat aja tubuhnya atletis, wajahnya macho, sumpah, gue seketika langsung jatuh cinta,” lanjut gadis yang satunya.
“Lihat aja penampilannya kampungan gitu, iuyuuuh, gak banget. Digo dong, udah cakep, macho, anak geng motor lagi,” timpal gadis cantik itu. “Siapapun yang jadi cewek si bapak norak itu, pasti malu!” lanjutnya sembari tersenyum sini.
Sorot mataku langsung menatap tajam ke arah gadis berambut panjang dan sedikit ikal itu. Cantik. Itu kesan pertama yang aku nilai dari dirinya. Sangat cantik malah, seperti keturunan bule. Mata, bibir, hidung, dan semua yang melekat di wajah itu sangat sempurna. Namun, kembali aku tebak, dia pasti gadis sombong. Mungkin dari semua siswi di kelas itu, dia yang tercantik. Tapi sudahlah, gak penting juga gadis ingusan itu. Aku akan menandai dia, karena sudah mengatai ku norak dan kampungan. Dia belum tahu aja segudang prestasi yang aku punya.
Sekilas wajahnya mengingatkan pada seseorang, tapi aku lupa siapa. Lupakan, gak penting juga.
“Kalau ada yang mau bertanya, silakan,” tawarku malas. Harapanku ya, jangan ada bertanya. Tahu sendiri anak-anak SMA, apa lagi zaman sekarang, ada aja ulahnya agar mendapat perhatian dari guru, bahkan tidak sedikit yang buat kesal.
“Pak!”
Aku menoleh ke sebelah kiri, pada anak yang mengangkat tangan. Gadis jangkung dengan rambut ekor kuda.
“Ya, silakan!”
Lihat nih, dia mau tanya apa. Perasaan ku udah gak enak. Pasti ada aja yang akan ditanya gadis itu, meski hal yang tidak penting.
“Pak Arjuna ada hubungan apa dengan chef Juna?” Benarkan! Insting aku itu kuat!
“Gak ada hubungan, hanya sama-sama pria. Hobby berbeda, dia suka masak, saya suka buat soal matematika, yang akan kalian kerjakan!”
Uuuuuuuu.....
Wooooooooo....
Suasana kelas sudah seperti depan gerbang kantor DPR yang lagi didemo mahasiswa yang menolak kebijakan atau aturan baru pemerintah. Gaduh!
“Pak, kok, langsung kasih soal, sih. Bapak gak mau tanya nama kami satu-satu dulu?” celetuk gadis imut berponi yang duduk paling depan baris sebelah kiri.
“Seiring waktu, pasti saya tahu nama kalian. Sekarang segera kerjakan soal ini!”
Aku mulai menulis di depan white board. Tidak memedulikan protes dari anak-anak yang mulai puber.
Setelah menulis lima soal, aku berbalik menghadap mereka. Aku lihat siswi yang ada pada baris pertama dan kedua, terlihat begitu serius mengerjakan. Hanya mulai dari baris tengah hingga ke belakang, yang terlihat kurang antusias, tapi masih mau mengerjakan, walau tetap masih ngedumel. Namun, gadis yang aku bilang paling cantik tadi, dia justru sibuk dengan ponsel pintarnya.
Aku menatap tajam ke arahnya. Sekilas dia mendongak, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Bahkan volume game dari ponselnya itu sengaja dikeraskan agar membuatku kesal.
Apa dia pikir karena dia cantik, bisa mengabaikan tugas yang aku berikan?
“Nama kamu siapa?” hardik ku tegas. Jangan dikira karena aku guru muda, dan juga hanya guru honorer, dia sepele denganku.
“Saya, Pak?” Justru yang di sebelahnya yang mendongak ke arahku dan menjawab.
“Bukan kamu, di sebelahmu,” sambar ku. Aku ingat, gadis itu yang tadi menghinaku.
“Aluna!” Jawabnya lagi-lagi tanpa sopan dan sangat arogan.
“Berdiri!”
Untuk sesaat dia tetap berdiam di bangkunya. Cuek, dan seolah tidak peduli akan mimik wajah serius yang aku tunjukkan. Paling kesal, dia justru mengumpat kata-kata kasar, dan tidak pantas dikatakan oleh seorang pelajar, dan semua itu dia lontarkan padaku.
“Kamu punya telinga? Saya bilang berdiri!”
Aku berjalan ke arah mejanya. Seketika rungan senyap. Suara kecil yang riuh dari cuitan siswa-siswi, seketika meredam, hanya terdengar dentuman suara sepatu pantofel ku.
“Berdiri!” Bentak ku lantang, hingga membuat gadis di sampingnya dan juga hampir semua siswa di kelas terkejut dan terlihat takut di wajah mereka.
Gadis itu berdiri. Dia kalah. Namun, suara bentakan ku yang terakhir itu mungkin terlalu keras, membuatnya ciut. Terlihat bulir bening menggenang di pelupuk matanya.
Aku membaca badge name di dadanya. Aluna Casey. H.
Tatapanku kembali ke wajahnya. “Kenapa kamu gak mengerjakan soal? Justru bermain game? Kamu gak senang ikut kelas saya?”
Gadis itu masih bertahan mengatupkan bibirnya. Mungkin matanya berkaca-kaca, tapi tetap saja terlihat jelas keras kepalanya yang tetap tidak mau menurunkan egonya untuk mengakui ku sebagai gurunya.
“Jawab Saya!”
“Aku gak suka. Aku gak terima diajar sama guru norak kayak Anda! Ini sekolah elit, kenapa harus ada guru gak asyik kayak Anda!”
“Kalau begitu, setiap saya mengajar di kelas ini, kamu silakan keluar. Besok saya akan memanggil orang tua kamu!”
Mungkin amarahku terlalu besar. Harusnya aku bisa membendungnya. Ini hari pertamaku mengajar. Namun, gadis yang ada di depan ku ini sungguh menguji kesabaran ku.
“Fine!” Pekiknya sembari menyambar tas di atas mejanya lalu keluar dari dalam kelas.
Semua mata tertuju pada gadis itu yang menghantamkan pintu saat keluar. Seketika ruang kelas mendadak hening.
Saat itu lah jadi awal permusuhan ku dengan Aluna. Berharap kelak cucu Opa Jer yang akan aku nikahi itu tidak memiliki sikap menyebalkan dan sombong seperti Aluna. Samar setelah Aluna berlalu, aku mendengar suara pelan salah seorang siswa.
“Pak Arjuna sudah salah mengusir siswa,” decit salah satu siswa menatapku kasihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Neng Ati
sepertinya Aluna lah cucu opa jer,lanjuuuuuut author sayang...
2023-07-04
2