Ibu bertanya padamu, bagaimana? Apa kau menerima perjodohan itu? Kenapa ceritanya setengah-setengah?” hardik Ibu karena aku kembali diam.
Hari ini aku kembali bertemu Opa Jer, beliau menanyakan perihal jawabanku. Aku hitung belum ada seminggu dari ambang batas perjanjian.
Begitu pulang dari pertemuan itu, aku menceritakan semuanya pada Ibu.
“Tentu saja aku tolak, Bu. Tapi ya, itu, Opa Jer tidak senang. Dia minta aku mengembalikan semua beasiswa yang aku terima. Dia mengungkit soal beasiswa yang selama ini dia berikan padaku. Setahuku banyak juga siswa lain yang mendapat beasiswa dari keluarga Hansya,” tukas ku mengambil pisang di atas meja makan. Rasanya manis, dipetik dari kebun di belakang rumah kami.
Aku terus mengunyah pisang hingga habis dan meletakkan kulitnya di depanku di atas meja. Ibu tidak memberikan komentar apapun lagi, melanjutkan melipat kain yang baru diambil dari jemuran.
Emosiku memuncak hanya dengan memikirkan itu. Kenapa harus aku? Apa si kakek itu kurang kerjaan dengan menikahkan cucunya dengan sembarang orang? Dia gak kenal karakter atau sifatku. Bagaimana kalau ternyata aku ini pria jahat?
***
Pukul tujuh pagi aku sudah duduk di meja makan kecil di tengah ruangan yang memisahkan ruang depan dan dapur. Tahu sendiri tipe rumah 54 di kompleks. Hanya ada dua kamar satu kamar mandi dengan tiga bagian ruangan memanjang ke belakang. Ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Potret perumahan minimalis yang dulunya dapat depe subsidi dari pemerintah.
Di atas meja sudah terhidang nasi goreng buatanku. Aku jenis pria mandiri sejak kecil, tuntutan keadaan. Gak kalah sama para anak gadis. Bisa masak, nyuci, menyetrika, pokoknya semua pekerjaan cewek, deh.
Ibuku yang berjualan di pasar pagi, harus sudah berangkat pukul tiga pagi, jadi mau tidak mau, semua pekerjaan rumah aku atasi sendiri.
Namun, sejak aku kuliah, ibu sudah tidak jualan di pasar lagi, karena dapat beasiswa penuh, aku minta ibu untuk jualan di samping rumah. Kami mendirikan kios kecil tempat ibu jualan. Kalau kata orang sini, ‘Kedai sampah’, disebut begitu karena di warung ibu ada semua jenis kebutuhan yang dijual.
“Kau sudah rapi? Pagi sekali?” tanya Ibu mengamati ku. Mungkin beliau pangling, baru ngeh kalau punya anak setampan ini.
Aku belum cerita pada ibu, tentang pernikahan dadakan ku dengan Aluna, bisa mati berdiri ibu. Hal itu buatku tidak bisa tidur selama tiga hari ini, sejak pulang dari darma wisata itu, jadi tentu saja aku keluar dari kamar terlalu pagi, bahkan belum tidur sama sekali.
“Iya, Bu. Ada yang harus aku kerjakan di sekolah pagi ini,” jawabku singkat.
Wanita yang sudah melahirkan ku itu hanya mangut-mangut. Aku bersyukur memiliki ibu seperti beliau. Gambaran ibu yang menghangatkan hati, tapi juga kadang buat kesal. Dia selalu berusaha jadi orang tua yang terbaik, meski kadang berhasil membuatku khawatir kalau aksinya sudah kelewatan.
Dia begitu sederhana. Aku sampai lupa kapan terakhir aku melihat bibirnya berwarna merah. Tunggu, aku ingat kembali. Lupa.
Tiba-tiba aku ingat nasibku nanti yang akan menikah dengan gadis manja keluarga kaya raya itu. Aku membayangkan bagaimana gadis itu nanti bisa tinggal di rumah kecil ini berdampingan dengan ibu yang begitu sederhana. Apa dia akan malu mengakui ibu sebagai mertuanya?
Ya, aku tahu, kalau pun aku menyanggupi menikahi gadis manja itu, ini hanya pernikahan kontrak. Bukan serius. Aku hanya perlu menjaganya tetap perawan hingga nanti lulus SMA, dan setelahnya, Opa Jer akan mengurus perceraian kami. Jadi, sudah seharusnya aku tidak menganggap itu sebuah pernikahan, tapi lebih tepat sebuah pekerjaan. Benar, jadi Bodyguard gadis manja itu.
Lantas bagaimana dengan pernikahan ku dengan Aluna? Apa benar bisa diabaikan begitu saja? Ah, nanti aku akan tanya pada orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih.
“Pamit, Bu,” kataku mencium punggung tangannya. Kulihat dia juga bangkit dari duduknya, mengikuti langkahku hingga ke depan pintu rumah.
“Hati-hati. Ingat, kau harus memikirkan jawaban atas permintaan orang kaya itu, saran Ibu terima saja perjodohan ini. Ibu sudah ingin gendong cucu.”
Aku hanya bisa mendengus kesal, tapi tidak bisa juga terlalu menyalahkan ibu. Semalam, sebelum tidur, aku bertanya pada ibu, alasannya mendukung pernikahan itu.
“Ibu sudah tua, punya anak cuma semata wayang. Kalau kamu sudah menikah, Ibu akan tenang. Kapan pun menghadap Sang pencipta, Ibu sudah tahu apa yang akan Ibu jawab kalau ditanya bapakmu,” tukasnya.
Dan lagi-lagi, aku hanya bisa diam mendengar hal itu. Oh iya, tentu saja akan tidak mengatakan soal pernikahan kontrak itu. Aku gak mau, harapan ibu kandas seketika, layu sebelum berkembang. Jadi, aku putuskan menyimpan sebagian dari isi perjanjianku dengan Opa Jer dari ibu.
**
Langkahku berhenti di depan gerbang gedung yang menjulang tinggi. Tampak megah dan menunjukkan kesan sombong.
Ku tarik napas panjang lalu kembali mengembuskannya. Entah sudah berapa kali aku buat begitu kurun waktu beberapa jam hari ini.
Sebenarnya aku malas kembali ke sekolah ini, terlebih setelah apa yang terjadi antara aku dan Aluna. Walau seperti kayanya tidak perlu menganggap pernikahan itu karena hanya sekedar menjalankan adat kampung setempat, tetap saja, aku akan canggung bertemu dengan Aluna.
Namun, kembali aku ingat perintah Opa Jer yang tidak bisa aku tolak.
Demi menjalankan misi rahasia, Opa Jer memintaku menjadi guru di sekolah elit ini. Benar sekali, sekolah ini milik Opa Jer, dan di sinilah calon istriku bersekolah. Bagaimana ya, tampangnya?
Aku sudah bekerja lima hari di sekolah ini. Hari kedua mengajar, langsung diajak ber-darma wisata, jadi belum sempat mencari tahu kelas betapa cucu Opa Jer. Namanya saja aku lupa menanyakan pada pria tua itu.
Saat itu aku hanya datang ke sekolah, menerima pekerjaan ini, karena kata Opa, selain agar bisa lebih dekat menjaga cucunya dan memantau gerak-gerik gadis itu, aku juga akan menerima gaji jika mengajar di sana, dan gajinya sangat lumayan.
“Anda pasti Bapak Arjuna Weda. Terima kasih sudah mau bergabung jadi tim pengajar di sekolah ini,” sambut Bapak kepala sekolah mengulurkan tangannya padaku saat itu.
Aku tergagap, hanya bisa mengukir senyum di bibir. Kaku. Sangat pas dengan julukanku. Saat kuliah teman-teman ku bahkan memanggilku dengan bangka, alias bang kaku. Mungkin kalau bukan karena wajah tampanku- yang diakui oleh banyak gadis-, mungkin Tania juga tidak akan mau jadi pacarku.
Nah, kan, aku jadi ingat Tania. Aku belum bicara padanya perihal perjanjian itu. Nanti saja lah setelah bubar sekolah.
“Sama-sama, Pak. Saya juga senang bisa diterima jadi guru di sekolah ini,” jawabku masih kaku. Harusnya aku bisa menampilkan kesan yang lebih ramah, bukan sok cool seperti ini. Sungguh, aku bukan ingin menciptakan kesan sebagai pria tampan yang cool, yang digilai banyak wanita, ala-ala CEO dingin dalam novel, sama sekali bukan!
“Mari saya kenalkan. Ini Ibu Ratna, Bu Mutia, Pak Dito, Pak Surya, Pak Mahdi, Bu Dina, dan satu lagi yang paling muda, ibu Iren,” tukasnya menunjuk satu persatu barisan guru yang datang menyambut ku.
Mereka tampak ramah, mungkin aku akan merasa nyaman dan betah bekerja di sini.
“Baiklah, sekarang saya akan mengantarkan bapak ke kelas XII IPA 1, pagi ini jadwal bapak mengajar di sana.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
GeL
makasih kak 🙏
2023-07-19
1
Paulina H. Alamsyah Asir
Nyicil bacanya tante Angel 😍🙏
Semangat 💪💪❤❤❤🙏
Salam APC ❤❤💪🙏🙏🙏
2023-07-18
1