Chapter 4

Berita mengenai aku yang memarahi Aluna sudah tersebar di sekolah, bahkan saat aku melangkah masuk ke ruang guru, beberapa pasang mata menatapku dengan sorot aneh, dan sisanya melihatku dengan tatapan menyedihkan.

Sebelum masuk ke dalam, sempat aku mendengar Bu Mutia dan Pak Surya sedang membahas perihal diriku yang marah pada Aluna.

Memangnya ada yang salah kalau menegur siswi yang gak punya etika seperti gadis itu? Kenapa hal itu terlalu dibesar-besarkan hingga tatapan mereka seolah membenciku? Memangnya dia tidak boleh ditegur? Siapa kali dia, anak pejabat?

Lama aku bergumul dengan isi pikiranku. Hingga di satu titik semakin mengingatkanku atas perkataan Doni yang mengatakan sudah salah memarahi murid.

Ruang guru mendadak sepi, padahal saat aku masuk tadi mereka sedang berbincang serius. Pasti karena aku masuk.

Demi mengalihkan pandangan aneh mereka yang sama sekali tidak ku mengerti, aku memilih untuk keluar dari sana menuju toilet guru.

"Pak Juna," panggil Iren menghentikan langkahku. Dia datang dari arah berlawanan, tampaknya menuju ruang guru, karena memang baru saja bel istirahat berbunyi.

"Ya, Bu?" Aku berhenti hingga sampai wanita itu berdiri di depanku.

"Bapak kemarin marah sama Aluna, ya?" tanya Iren to the point. Nah kan, dibahas lagi. Apa kalau ada siswa tidak sopan dan jelas-jelas bersikap antipati sama gurunya bisa ditegur?

"I-iya, Bu, tapi saya buat gitu punya alasan. Anak itu memang tidak sopan dan jelas-jelas tidak menghargai saya," tukas ku bela diri. Aku hanya coba menjelaskan keadaan kemarin dengan sebenar-benarnya.

"Iya sih, Pak, anaknya memang rada manja dan keras kepala. Tapi saran saya, gak usah digubris, biarin aja dia mau apa di dalam kelas," lanjut Iren melangkah, dan mengambil tempat di kursi yang ada di koridor tempat kami berdiri.

Aku mengikuti langkahnya dan juga ikut duduk. Tetap memberi ruang di antara kami. Selain demi kesopanan juga agar tidak ada pemikiran lain dari yang melihat.

"Apa menurut Ibu aku salah? Sebagai pendidik, kita tidak bisa mentolerir sikap tidak sopan seorang siswa seperti itu meskipun dia anak orang penting sekalipun."

"Aku setuju, Pak. Aku juga kesal sama gadis itu, tapi ya, mau gimana lagi. Semua guru senior sudah memperingatkan saya untuk tidak mencari masalah dengan gadis itu. Jadi, kalau saya pas ngajar di kelas mereka dan dia bertingkah sesukanya, maka saya biarin aja, anggap dia gak ada di sana. Bayangkan aja, Pak, dia bahkan pernah meludah di depan saya, hanya untuk menghina saya," tutur Iren tampak sedih.

Aku semakin tidak menyesal memerahi gadis trouble maker itu. Kalau lain takut, maka aku yang akan memberikan didikan pada gadis itu.

"Pantas, semua guru di ruang guru melihatku dengan tatapan tidak suka. Jadi, mereka marah karena aku menegur bahkan mengusir garis itu dari dalam kelas?"

"Iya, Pak, dan apa bapak tahu, dia tidak masuk hari ini. Sejak bapak suruh keluar kemarin, dia langsung pulang, dan lagi-lagi tanpa izin."

Aku semakin penasaran, kenapa siswa sombong seperti itu tidak dikeluarkan saja dari sekolah. Apa nilai akademik sangat bagus? Atau dia siswi berprestasi yang membawa nama sekolah di ajang kompetisi? Ah, sudahlah. Aku tidak ingin memikirkannya lagi.

***

Sepulang sekolah, aku mendapat telepon dari Sakti, asisten Opa Jer. Memintaku datang malam ini bersama ibu.

Dengan langkah malas aku menemui ibu di warung yang lagi sibuk menimbang gula, dan memasukkan ke dalam plastik bening dengan takaran sekilo, setengah kilo, dan seperempat.

"Bu," panggilku duduk di atas beras yang masih di dalam karung.

"Apa?" tanpa menoleh Ibu menjawab, tangannya begitu terampil menimbang gula dan mengemasnya. Aku semakin bangga pada ibuku yang sederhana ini. Berjuang demi sendiri demi membesarkan ku. Nah,kan perasaan sentimentil ku datang lagi. Intinya aku sayang ibu.

"Mau aku bantu, Bu?"

"Gak usah!" sambar Ibu dengan suara nyablak, khas banget kalau lagi ngomong dengan ku. "Ibu tahu ada yang mau kau katakan. Apa itu?"

"Nanti malam kita pergi datang melamar di anak orang kaya itu."

Seketika ibu menjatuhkan kembali gula yang baru dikemas dalam plastik bening, kembali ke karung tempat gula itu berasal.

"Ibu mau kemana?" Tanyaku mengerutkan kening melihat ibu bangkit dan langsung melangkah meninggalkanku yang bingung.

"Mau keramas. Kau jaga warung, ibu mau ke sebelah, ke salon si Oneng sebentar!"

***

Aku melihat antusias ibu kala memasuki halaman rumah mewah itu. Bukan rumah, lebih tepatnya mansion apa eropa.

Motor NMax yang baru ku ambil dari showroom ku parkiran kan di dekat pos satpam sekaligus menitipkan pada satpam yang bertugas.

Langkahku sempat berhenti sejenak, memandangi rumah mewah itu. Ada keinginan untuk mundur saja.

"Bu, apa sebaiknya kita pulang aja?"

Terpopuler

Comments

Neng Ati

Neng Ati

menunggu detik2 Juna KTM Aluna😁

2023-07-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!