Aku sudah duduk di ruang tamu dengan memandang lurus ke depan. Dari ekor matanya terus mawas, melirik tajam ke sekitar, menunggu kedatangan Opa Jer.
Lima belas menit berlalu, kami hanya dianggurin begitu saja, tuan rumah tak kunjung katang.
Dari lantai atas, samar terdengar teriakan seseorang, samar tapi aku yakin itu suatu seorang gadis.
"Bu, kita pulang saja, ya. Orang kaya ini sama sekali gak menghargai kita. Mereka yang minta kita datang, tapi justru mereka yang gak muncul!"
Aku semakin bosan di sini. Meski disuguhi minuman dingin, tetap membuatnya gak nyaman. Baru akan membuka mulutku guna meminta ibu untuk pulang saja, langkah kaki dari dalam bersamaan dengan dentuman ujung benda tumpul yang saling beradu dengan lantai semakin mendekat.
"Maaf, kalau kalian lama menunggu," ucap Opa Jer ramah, penuh pada ibu sih, perkataannya. Dia mungkin merasa bersalah, karena ibu sudah tua, tapi dibiarkan menunggu lama.
Bisa ditebak reaksi ibu. Senyum cerah mengembang di bibirnya. "Oh, tidak apa-apa, Tuan. Kami mengerti kalau Anda sangat sibuk," jawabnya tampak sangat menjaga sikap, berusaha terlihat tetap tenang, padahal aku tahu betul kalau saat ini dia sangat gugup berhadapan dengan Opa Jer.
Pria tua itu duduk dengan gerakan lues di depan kami, sangat berbeda dengan kamu berdua yang gugup, keringat mengucur di kening dan tanganku berkeringat.
"Terima kasih Ibu mau mengerti, dan terima kasih juga karena sudah mau datang ke rumah ini untuk melamar cucu saya," tukas Opa Jer.
Aku memilih raut wajah Ibu terkejut, begitupun dengan diriku. Opa Jer tidak mengatakan apapun perihal tujuan kedatangan mereka. Asistennya hanya mengatakan kalau aku diminta datang ke kediaman Hansya dengan membawa ibu.
Kami berdua saling adu pandang. Tubuhku semakin gemetar. Aku tahu perihal perjodohan nyeleneh ini, tapi gak menyangka juga kalau malam ini acara lamaran.
Apalagi ibu, mana ada bawa seserahan atau barang apapun.
"Maaf, Tuan, saya gak tahu kalau kedatangan kami ke sini untuk melamar cucu Anda. Juna hanya mengatakan bahwa Anda mengundang kami untuk bertemu," jawab ibu setelah dapat menguasai diri dari keterkejutannya.
"Ini memang salah ku, harusnya aku mengatakan pada Juna kalau tujuanku meminta kalian datang untuk melamar cucu ku, sekaligus membicarakan pernikahan kalian. Aku sudah memikirkan, kalau awal bulan kalian akan menikah!"
Jeng.... Jeng... Jeeeeeng....
Aku hampir pingsan mendengar penuturan Opa Jer yang seenak jidatnya. Apa katanya, menikah bulan depan? itu hanya tinggal empat hari lagi!
Aku meraba dadaku. Jantungku masih belum stabil. Lihat saja wajah ibu, pucat bak baru saja melihat setan.
Sepertinya sejak mengenal Opa Jer, jantungku mulai gak stabil, sering mendapat kejutan yang tampak tidak menyenangkan.
"Bu Salima... Ibu," panggil Opa Jer yang menyeret paksa ibu kembali ke alam nyata.
"Apa Tuan gak salah? Bulan depan itu hanya tinggal empat hari," jawab ibu terlihat merana.
"Benar Bu."
"Tapi waktunya terlalu-,"
"Ibu gak usah khawatir. Semua saya yang atur. Ibu dan Juna hanya tinggal datang ke rumah ini pada tanggal satu bulan depan!"
Aku hanya diam. Kehabisan kata. Aku seperti kerbau yang dicucuk hidung dan juga pan*tat nya, hanya bisa diam saja. Padahal ini yang sedang dibahas adalah hidupku.
Ibu baru akan buka mulut kembali, tapi terlihat urung, karena mendengar suara derap kaki yang terdengar seperti diseret.
"Perkenalkan, ini cucu saya, Aluna Casey, calon menantu Ibu," ucap Opa Jer tanpa beban.
Baru saja aku kembali dari keterkejutan ku perihal lamaran malam ini, sekarang harus kembali mendapat kejut listrik dengan bertemu dengan calon istriku. Gadis itu tetap menunduk, tapi aku bisa lihat wajahnya sangat masam, menunjukkan rasa tidak sukanya dipaksa bertemu kami.
Bocah itu... Gak mungkin. Yang benar saja!
"Al, kemarilah!" perintah Opa Jer tegas. Dia melayangkan pandangan mematikan pada cucunya. Terlihat wajah Opa Jer yang sangat tidak ramah pada cucunya itu, aku tebak pasti mereka baru saja bertengkar.
Aku kembali menoleh pada gadis itu. Mulutku saja masih menganga. Masih belum percaya kalau gadis yang akan ku nikahi empat hari lagi, adalah gadis yang baru aku usir dari kelasku kemarin.
Gadis tengil yang menghina dan memandang rendah padaku.
Ada apa, sih, dengan dunia ini, kenapa semua tampak kacau?
"Kamu gak dengar Opa bilang apa. Duduk di sini!" Opa Jer menepuk sofa empuk di sampingnya. Ku lihat gadis itu menyeret langkahnya dengan paksa. Ajudan berpakaian serba hitam menjaga tepat di belakang Opa Jer.
"Perkenalkan ini calon mertuamu, dan itu Arjuna, calon suamimu!"
Saat itu lah Aluna mengangkat wajahnya. Bola matanya melotot, menatap ku tidak percaya.
"Dia? Opa.... Ini gak mungkin. Opa sudah gila, masa calon suamiku orang miskin ini? Opaaaaa!" Jerit Aluna begitu kencang, hingga memekakkan gendang telinga yang mendengar.
"Diam! Mulai sekarang kamu harus menghargai Arjuna, dia calon suamimu!" Bentak Opa Jer. Keduanya sama-sama menunjukkan sikap keras kepala sekaligus kurang beretika karena bertengkar di depan tamu. Bagaimana pun, kami ini ya, tamu...
"Kau? Kenapa guru brengsek ini ada di sini!"
"Dia akan menikah denganmu. Hargai Juna! Dia calon suami dan juga guru di sekolah mu!"
"Jangan harap! Aku gak sudi menikah dengan gembel ini! Opa sadar, dong! Kenapa sih, menjodohkanku dengan pria macam dia? Opa kalau mau menghukum ku, silakan. Aku juga janji akan jadi gadis penurut. Kalau Opa bilang jangan keluar malam lagi bareng Digo, aku juga akan nurut, tapi jangan dengan menikahkan ku dengan pria aneh ini!" rengeknya menjatuhkan diri di depan kaki Opa Jer yang buang muka.
Pria aneh katanya? Siapa? Aku? Dih, ingin sekali aku jitak ubun-ubunnya, agar gak asal cuap.
"Opa aku mohon. Aku gak sudi menikah dengan gembel ini. Opa gak tahu, dia udah ngusir aku dari kelas!"
Mendengar jeritan Aluna, aku tebak kalau gadis yang tadi menjerit dari lantai dua itu adalah dirinya. Mungkin kedua manusia keras kepala itu saling adu mulut.
Apa mungkin, gadis ini baru saja melakukan kesalahan hingga Opa Jer tiba-tiba saja meminta ku dan Ibu datang ke sini untuk melamar gadis itu?
Aduh, bisa gak aku mati aja? Kalau tahu akan begini nasibku, aku akan menolak beasiswa yang ditawarkan oleh Hansya Corp.
Aku coba menghitung berapa biaya yang sudah ku habiskan selama SMA hingga kuliah. Banyak sih, gak terhitung. Aduh!
Rengekan Aluna diabaikan begitu saja oleh Opa Jer. "Bu Salma, adalah membawa barang, baik berupa perhiasan atau kain untuk menjadi pengikat lamaran ini?"
Opa Jer justru mengajak ibu ngobrol. Tidak memperdulikan rengekan Aluna.
"Saya tidak membawa apapun, Tuan. Hanya ada cincin ini," ucap Ibu lirih sambil membuka cincin emas dari jemarinya dan menyodorkan ke depan Opa Jer.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments