(Arjuna)
“Saaaaaah!” Teriakan para saksi di ruang tamu rumah Kepala dusun menjadi bel panjang pengingat kalau saat ini aku sudah menikahi salah satu murid, yang belum genap seminggu ku kenal.
Duniaku porak-poranda seketika. Masalah yang satu belum selesai, kini masalah lainnya datang. Apa Tuhan sedang menguji kesabaran ku?
“Sekarang, kamu salim tangan suamimu. Ingat, sekarang kalian menikah, meski hanya nikah sirih,” tukas Kadus (Kepala dusun).
Dengan gerakan terpaksa dan berat hati, Aluna menarik tanganku, lalu mencium punggung tanganku. Air matanya sudah berhenti, lelah mungkin setelah reli panjang perdebatan dengan para warga yang mengancam akan mengarak kami keliling desa tanpa busana jika menolak untuk dinikahkan.
Sial bagi kami, terjebak di salah satu dusun yang terpaksa kami lewati setelah perjalanan panjang dan akhirnya buat kami kehilangan arah.
Aku sudah menemukan Aluna yang berlari menembus hutan hingga melihat ada perkampungan warga.
Namun, belum sempat bernapas lega, hujan deras turun dengan petir yang menyambar.
“Kita harus berteduh dulu,” ajak ku melirik pada Aluna yang masih kesal padaku. Tatapannya selalu terlihat membenciku.
Dia tampak ingin menolak, tapi air hujan yang tumpah ke bumi semakin deras, membuat Aluna membatalkan niatnya dan mengikuti langkahku menuju saung yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
Kami berteduh di sana, menatap air hujan dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Duduk di atas tumpukan jerami kering.
Satu jam ditunggu, bukan berhenti, hujan justru semakin deras. Akhirnya hujan berhenti, menyisakan gerimis, tapi petir masih terus menyala, saling sambar, terlihat di langit yang kini sudah gelap.
Sekali menggelegar, Aluna menjerit dan tanpa sadar berlari ke arah ku. Aku pun sama kagetnya hingga kehilangan keseimbangan dan akhirnya tubuh Aluna jatuh di atasku. Lama kami saling diam dengan momen akward itu, hingga tanpa sadar tiga orang pria dan dua orang wanita yang lewat dari tempat itu, memergoki kami dengan posisi yang sulit dijelaskan itu.
Kami diinterogasi, tanya ini dan itu. Kami sudah menjelaskan kalau itu hanya salah paham, tapi mereka tidak percaya hingga akhirnya membawa kami ke rumah Kadus.
“Ini sudah adat di kampung ini, siapa yang kedapatan yang bukan muhrimnya berduaan di gelap malam, harus dinikahkan, agar tidak terjadi kesialan di desa ini.”
“Tapi kami benar-benar tidak berbuat yang tidak senonoh, Pak,” aku berusaha menjelaskan, tapi tidak masuk akal bagi satu pun warga yang sedang mengerumuni kami.
Berbagai saran dari mereka yang ada di sana, meminta kami diarak keliling kampung dalam posisi bu*gil, membotak rambut kami berdua, hingga dikerangkeng.
Ancaman yang membuat bulu kuduk merinding itu akhirnya berhasil meluluhkan penolak Aluna.
“Terima aja, Pak. Gua gak mau diarak tanpa pakaian. Rambut gua juga gak mau di-botak!”
Aku hanya bisa diam dan pasrah. Tidak satu pun diantara kami yang membawa ponsel.
Dan begitulah, pernikahan singkat itu terjadi. Kami menikah di depan ustadz yang katanya sudah sering menikahkan pasangan yang berbuat mesum di kampung itu.
“Meski hanya nikah sirih, tapi pernikahan ini sah, terlebih di mata agama!” tukas pak ustadz yang hanya buat kami berdua mengangguk.
Harusnya ini tidak perlu terjadi, kalau kami kembali ke tepat waktu ke daerah perkemahan, tempat acara darma wisata bagi anak kelas tiga, sekaligus acara outdoor terakhir bagi mereka yang diagendakan sebelum tamat dari sekolah itu kelak.
Aluna yang bertengkar lagi dengan Nuka, berlari menjauh memasuki hutan. Bapak kepala sekolah dengan entengnya memerintahkan agar aku saja yang mencari Aluna. Aku pun gak tahu kenapa aku yang dipilih Kepsek itu, padahal jelas-jelas dia tahu Aluna sangat membenciku sejak awal mengajar di kelas mereka.
Pikiranku menerawang sesaat. Aku ingat hari itu, hari dimana tawaran nyeleneh itu datang padaku.
*Flashback
“Jadi, kamu menerima perjodohan ini?” tanya Ibu dengan mata berbinar. Tampaknya kini beliau sudah bisa bernapas dengan lega. Sementara aku hanya bisa diam terduduk merenung di kursiku.
Duniaku terasa porak-poranda. Seorang utusan yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang sudah membiayai sekolahku mulai dari SMA hingga jenjang strata dua, memintaku untuk menemuinya di suatu kamar di hotel berbintang.
Aku yang merasa tidak mengenal beliau secara langsung, tentu saja menolak permintaan pria berjas hitam itu. Oke, aku tahu karena prestasi ku sebagai siswa terpintar se-kota madya, aku mendapatkan beasiswa sekolah di SMA elit. Tidak sampai disitu, melihat nilaiku yang begitu sempurna, aku ditawarkan kembali beasiswa untuk melanjutkan kuliah, tidak tanggung hingga strata dua, dan pada akhirnya bisa lulus dengan predikat cumlaude.
Niat awalku setelah lulus, akan terbang ke Jerman untuk bekerja di perusahaan otomotif terbesar di sana sesuai dengan keinginan impianku. Semua itu aku lakukan demi mengubah hidup kami yang selama ini berada di garis kemiskinan.
Tidak muluk-muluk, aku hanya ingin membahagiakan ibu, satu-satunya keluarga yang aku punya yang sudah berjuang sejauh ini untukku.
Kalau sudah sukses, baru aku akan memikirkan pernikahan.
Setelah awalnya ku abaikan pada pemanggilan pertama, utusan orang kaya itu kembali datang ke gubuk kami, menjelaskan lebih detail bahwa orang yang memintaku menghadap adalah orang yang sudah membiayai ku sekolah selama ini.
“Pergi lah,” kata ibu memberi restu.
Aku bukan kacang lupa kulitnya, oleh karena itu aku memutuskan untuk menerima undangan itu, lagi pula ini hanya ingin bicara, sekaligus aku ingin mengetahui siapa yang sudah mendanai ku selama ini.
“Silakan masuk,” pinta sang utusan membuka pintu kamar hotel VVIP yang sama sekali belum pernah aku lihat sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana mewahnya di dalam sini.
Di tengah ruangan, di sebuah sofa berwarna putih gading, seorang pria tua yang duduk dengan menggenggam ujung tongkat yang dibiarkan berdiri di depannya seperti tertancap, menatap langkah kaku ku dengan tajam. Sumpah aku kikuk!
“Selamat siang, Tuan,” ucapku mengamati wajah keriput pria itu. Sama sekali aku belum pernah bertemu dengannya.
“Akhirnya kau datang juga!” balasnya datar, berbalik dia yang mengamati ku. Ada sedikit rasa gugup menyelinap dalam hatinya, Cuma aku berusaha untuk tetap santai.
“Maaf, Tuan, Aku...”
“Panggil saja Opa Jer!”
“O-pa...” lanjut ku tertahan. Suasana tampak tegang di dalam ruangan ber-AC itu.
“Duduk lah. Opa minta kamu jangan tegang. Setelah bertahun mengetahui namamu, baru ini bisa melihat wajahmu,” ucapnya tersenyum, menarik sudut bibirnya.
Aku menurut apa kata pria tua itu. Memilih kursi single yang ada di depannya. Posisi dan keadaan tegang seperti ini persis saat aku melakukan interview bulan lalu untuk melamar di perusahaan Jerman itu, yang memang seleksinya di tanah air, kalau lolos baru dikirim ke sana.
Ah, mengingat hal itu, membuatku ingin buru-buru pulang dari sini untuk memberitahukan pada Ibu kalau semua berjalan lancar, awal bulan depan aku sudah terbang ke Jerman untuk mengikuti pelatihan.
Eheem...
Suara deheman Opa Jer menarikku dari lamunan gembiraku.
“Aku memanggilmu ke sini, ingin meminta sesuatu padamu. Anggap saja balasan dari kemurahan hatiku selama ini padamu!”
Suaranya tegas, sorot matanya tajam, terlihat seperti menguliti ku. Jujur saja nyaliku sedikit ciut, apa dulu Opa Jer adalah anggota veteran? Seram amat!
“Maksud, Opa?” tanyakan berhati-hati. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya.
“Dengarkan baik-baik apa yang akan Opa sampaikan ini.”
Dia menarik napas berat, seolah besar sekali beban yang dia pikirkan saat ini.
“Opa memiliki seorang cucu yang sangat Opa sayangi. Selama ini Opa dan orang tuanya salah mendidiknya, terlalu memanjakannya. Memberikan semua yang dia minta. Hingga setahun lalu, dia berubah menjadi liar setelah kematian kedua orang tuanya.”
Aku masih mendengarkan dengan saksama. Dalam hati aku bertanya, apa hubungannya dengan ku? Kenapa pria ini memanggilku. Tapi semua itu hanya sebatas dalam hati saja.
“Opa sudah semakin tua dan mungkin tidak bisa mengontrolnya lagi. Dia jadi semakin liar bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Bahkan dia sudah mulai membangkang, tidak menurut pada Opa lagi. Opa takut akan ada orang-orang jahat yang mencoba memanfaatkannya. Opa juga takut kalau pergaulannya itu kebablasan hingga dia hamil. Amit-amit!” serunya mengetuk ujung tongkatnya ke lantai dua kali.
“Opa punya rencana untuk hidupnya. Ingin melihatnya sukses hingga dikemudian hari bisa memimpin perusahaan raksasa dan menjadi ahli warisku.”
“Lantas, apa yang bisa aku bantu, Opa?” tanyaku langsung ke sasaran. Memangnya apa yang bisa aku lakukan pada anak nakal dan manja seperti itu? Minta agar aku berperan sebagai ustadz me-ruqyah cucunya?
“Setelah Opa pikirkan dengan matang-matang, Opa ingin kau menikahinya!”
“Menikah? Dengan cucu Opa?” ulang ku masih belum percaya. Kalau ada suara petir kayak di sinetron-sinetron, pasti kencang banget.
“Iya. Awalnya Opa hanya ingin kau menjadi tutor nya, tapi setelah Opa pikir-pikir, pasti dia gak akan setuju. Jadi lebih baik sekalian aja kalian menikah, jadi kamu punya hak untuk mengatur bahkan memarahinya kalau tidak mau kamu didik. Eh, tapi jangan kencang-kencang marahnya,” tukas Opa dengan sedikit memberi senyum simpul.
Sekilas aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencari kamera yang tersembunyi, barang kali saat ini mereka lagi mengerjai ku. Tahu kan, seperti di Chanel Ucup kenamaan yang senang ngerjain orang, terlebih orang kismin kayak aku.
Namun, setelah menilik lebih jauh, tampaknya sama sekali tidak ada. Bebas kamera.
“Hei, kenapa kamu jadi bengong? Mau tidak?” Suara Opa yang tiba-tiba dan dengan volume on membuatku terpekik kaget sambil mengucap.
“Maaf, Opa, sebenarnya aku sudah punya planning yang lain. Sehabis ini mau ke Jerman untuk bekerja,” ucapku memberanikan diri. Bagiku, mengejar masa depan dan cita-cita lebih penting dari sekedar menikah, apalagi pernikahan ini juga hanya kontrak.
Kadang aku gak habis pikir, kenapa banyak orang suka sekali nikah kontrak, seolah pernikahan itu bukan sesuatu yang sakral.
“Jadi, kamu gak mau balas kebaikan Opa selama ini? Ingat ya, Rifat,”
“Juna, Opa,” sambar ku. Enak saja mengganti-ganti nama anak orang. Apa kakek tua ini tidak tahu nama itu fitrah, sudah di doakan oleh orang tua?
“Oh, iya, Juna. Kamu harus ingat, kalau bukan karena kebaikan Opa, kamu pikir bisa melanjutkan sekolahmu sampai sarjana seperti ini? Apa sulitnya, sih, mengabulkan permintaan pria tua yang sudah renta ini? Lagi pula hanya satu tahun, setelah dia lulus SMA, kalian bisa bercerai, dan kamu dapat uang 1 M!”
Nah, kan, aku jadi dilema. Bukan munafik, ya, siapa yang tidak mau dapat duit 1 M dalam setahun? Bahkan kalau aku bekerja di perusahaan ternama pun dalam setahun belum tentu dapat duit segitu banyak, tapi... Gimana ya, bilangnya.
“Gimana? Kamu tetap gak mau? Kalau begitu, kembalikan semua uang Opa, yang habis membiayai sekolahmu selama ini!”
***
“Kita harus segera pergi dari sini,” ucap Aluna menyikut ku dari lamunan panjang yang membuat kepalaku migren.
Hari sudah pagi, kami diperbolehkan pulang dari rumah Kadus itu. Rasanya seperti mimpi, tapi ini nyata. Aku melirik cincin yang terbuat dari anyaman kain tenun yang dipilin Bu Kadus sebagai cincin pernikahan kami.
Bagaimana aku menyelesaikan masalah ini semua? Aku belum menerima tawaran Opa Jer untuk menikah dengan cucunya yang sampai saat ini belum ku temukan. Sekarang, justru aku sudah menikah dengan salah satu muridku. Rasanya sesak di dadaku.
“Ingat, jangan bilang sama siapapun perihal pernikahan ini. Bersikap seperti biasa, tidak akrab, anggap saja pernikahan ini gak pernah terjadi!” seru Aluna berjalan mendahuluiku.
Ibu bertanya padamu, bagaimana? Apa kau menerima perjodohan itu? Kenapa ceritanya setengah-setengah?” hardik Ibu karena aku kembali diam.
Hari ini aku kembali bertemu Opa Jer, beliau menanyakan perihal jawabanku. Aku hitung belum ada seminggu dari ambang batas perjanjian.
Begitu pulang dari pertemuan itu, aku menceritakan semuanya pada Ibu.
“Tentu saja aku tolak, Bu. Tapi ya, itu, Opa Jer tidak senang. Dia minta aku mengembalikan semua beasiswa yang aku terima. Dia mengungkit soal beasiswa yang selama ini dia berikan padaku. Setahuku banyak juga siswa lain yang mendapat beasiswa dari keluarga Hansya,” tukas ku mengambil pisang di atas meja makan. Rasanya manis, dipetik dari kebun di belakang rumah kami.
Aku terus mengunyah pisang hingga habis dan meletakkan kulitnya di depanku di atas meja. Ibu tidak memberikan komentar apapun lagi, melanjutkan melipat kain yang baru diambil dari jemuran.
Emosiku memuncak hanya dengan memikirkan itu. Kenapa harus aku? Apa si kakek itu kurang kerjaan dengan menikahkan cucunya dengan sembarang orang? Dia gak kenal karakter atau sifatku. Bagaimana kalau ternyata aku ini pria jahat?
***
Pukul tujuh pagi aku sudah duduk di meja makan kecil di tengah ruangan yang memisahkan ruang depan dan dapur. Tahu sendiri tipe rumah 54 di kompleks. Hanya ada dua kamar satu kamar mandi dengan tiga bagian ruangan memanjang ke belakang. Ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Potret perumahan minimalis yang dulunya dapat depe subsidi dari pemerintah.
Di atas meja sudah terhidang nasi goreng buatanku. Aku jenis pria mandiri sejak kecil, tuntutan keadaan. Gak kalah sama para anak gadis. Bisa masak, nyuci, menyetrika, pokoknya semua pekerjaan cewek, deh.
Ibuku yang berjualan di pasar pagi, harus sudah berangkat pukul tiga pagi, jadi mau tidak mau, semua pekerjaan rumah aku atasi sendiri.
Namun, sejak aku kuliah, ibu sudah tidak jualan di pasar lagi, karena dapat beasiswa penuh, aku minta ibu untuk jualan di samping rumah. Kami mendirikan kios kecil tempat ibu jualan. Kalau kata orang sini, ‘Kedai sampah’, disebut begitu karena di warung ibu ada semua jenis kebutuhan yang dijual.
“Kau sudah rapi? Pagi sekali?” tanya Ibu mengamati ku. Mungkin beliau pangling, baru ngeh kalau punya anak setampan ini.
Aku belum cerita pada ibu, tentang pernikahan dadakan ku dengan Aluna, bisa mati berdiri ibu. Hal itu buatku tidak bisa tidur selama tiga hari ini, sejak pulang dari darma wisata itu, jadi tentu saja aku keluar dari kamar terlalu pagi, bahkan belum tidur sama sekali.
“Iya, Bu. Ada yang harus aku kerjakan di sekolah pagi ini,” jawabku singkat.
Wanita yang sudah melahirkan ku itu hanya mangut-mangut. Aku bersyukur memiliki ibu seperti beliau. Gambaran ibu yang menghangatkan hati, tapi juga kadang buat kesal. Dia selalu berusaha jadi orang tua yang terbaik, meski kadang berhasil membuatku khawatir kalau aksinya sudah kelewatan.
Dia begitu sederhana. Aku sampai lupa kapan terakhir aku melihat bibirnya berwarna merah. Tunggu, aku ingat kembali. Lupa.
Tiba-tiba aku ingat nasibku nanti yang akan menikah dengan gadis manja keluarga kaya raya itu. Aku membayangkan bagaimana gadis itu nanti bisa tinggal di rumah kecil ini berdampingan dengan ibu yang begitu sederhana. Apa dia akan malu mengakui ibu sebagai mertuanya?
Ya, aku tahu, kalau pun aku menyanggupi menikahi gadis manja itu, ini hanya pernikahan kontrak. Bukan serius. Aku hanya perlu menjaganya tetap perawan hingga nanti lulus SMA, dan setelahnya, Opa Jer akan mengurus perceraian kami. Jadi, sudah seharusnya aku tidak menganggap itu sebuah pernikahan, tapi lebih tepat sebuah pekerjaan. Benar, jadi Bodyguard gadis manja itu.
Lantas bagaimana dengan pernikahan ku dengan Aluna? Apa benar bisa diabaikan begitu saja? Ah, nanti aku akan tanya pada orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih.
“Pamit, Bu,” kataku mencium punggung tangannya. Kulihat dia juga bangkit dari duduknya, mengikuti langkahku hingga ke depan pintu rumah.
“Hati-hati. Ingat, kau harus memikirkan jawaban atas permintaan orang kaya itu, saran Ibu terima saja perjodohan ini. Ibu sudah ingin gendong cucu.”
Aku hanya bisa mendengus kesal, tapi tidak bisa juga terlalu menyalahkan ibu. Semalam, sebelum tidur, aku bertanya pada ibu, alasannya mendukung pernikahan itu.
“Ibu sudah tua, punya anak cuma semata wayang. Kalau kamu sudah menikah, Ibu akan tenang. Kapan pun menghadap Sang pencipta, Ibu sudah tahu apa yang akan Ibu jawab kalau ditanya bapakmu,” tukasnya.
Dan lagi-lagi, aku hanya bisa diam mendengar hal itu. Oh iya, tentu saja akan tidak mengatakan soal pernikahan kontrak itu. Aku gak mau, harapan ibu kandas seketika, layu sebelum berkembang. Jadi, aku putuskan menyimpan sebagian dari isi perjanjianku dengan Opa Jer dari ibu.
**
Langkahku berhenti di depan gerbang gedung yang menjulang tinggi. Tampak megah dan menunjukkan kesan sombong.
Ku tarik napas panjang lalu kembali mengembuskannya. Entah sudah berapa kali aku buat begitu kurun waktu beberapa jam hari ini.
Sebenarnya aku malas kembali ke sekolah ini, terlebih setelah apa yang terjadi antara aku dan Aluna. Walau seperti kayanya tidak perlu menganggap pernikahan itu karena hanya sekedar menjalankan adat kampung setempat, tetap saja, aku akan canggung bertemu dengan Aluna.
Namun, kembali aku ingat perintah Opa Jer yang tidak bisa aku tolak.
Demi menjalankan misi rahasia, Opa Jer memintaku menjadi guru di sekolah elit ini. Benar sekali, sekolah ini milik Opa Jer, dan di sinilah calon istriku bersekolah. Bagaimana ya, tampangnya?
Aku sudah bekerja lima hari di sekolah ini. Hari kedua mengajar, langsung diajak ber-darma wisata, jadi belum sempat mencari tahu kelas betapa cucu Opa Jer. Namanya saja aku lupa menanyakan pada pria tua itu.
Saat itu aku hanya datang ke sekolah, menerima pekerjaan ini, karena kata Opa, selain agar bisa lebih dekat menjaga cucunya dan memantau gerak-gerik gadis itu, aku juga akan menerima gaji jika mengajar di sana, dan gajinya sangat lumayan.
“Anda pasti Bapak Arjuna Weda. Terima kasih sudah mau bergabung jadi tim pengajar di sekolah ini,” sambut Bapak kepala sekolah mengulurkan tangannya padaku saat itu.
Aku tergagap, hanya bisa mengukir senyum di bibir. Kaku. Sangat pas dengan julukanku. Saat kuliah teman-teman ku bahkan memanggilku dengan bangka, alias bang kaku. Mungkin kalau bukan karena wajah tampanku- yang diakui oleh banyak gadis-, mungkin Tania juga tidak akan mau jadi pacarku.
Nah, kan, aku jadi ingat Tania. Aku belum bicara padanya perihal perjanjian itu. Nanti saja lah setelah bubar sekolah.
“Sama-sama, Pak. Saya juga senang bisa diterima jadi guru di sekolah ini,” jawabku masih kaku. Harusnya aku bisa menampilkan kesan yang lebih ramah, bukan sok cool seperti ini. Sungguh, aku bukan ingin menciptakan kesan sebagai pria tampan yang cool, yang digilai banyak wanita, ala-ala CEO dingin dalam novel, sama sekali bukan!
“Mari saya kenalkan. Ini Ibu Ratna, Bu Mutia, Pak Dito, Pak Surya, Pak Mahdi, Bu Dina, dan satu lagi yang paling muda, ibu Iren,” tukasnya menunjuk satu persatu barisan guru yang datang menyambut ku.
Mereka tampak ramah, mungkin aku akan merasa nyaman dan betah bekerja di sini.
“Baiklah, sekarang saya akan mengantarkan bapak ke kelas XII IPA 1, pagi ini jadwal bapak mengajar di sana.”
Suasana dalam ruang kelas itu yang pada awalnya tampak gaduh, tiba-tiba berubah senyap setelah Pak Hadi, kepala sekolah SMA Bhineka masuk.
“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, ini guru baru di sekolah kita. Beliau akan mengajar pelajaran matematika. Jadi, Bapak harap kalian bersikap ramah dan juga sopan pada beliau!” pinta Pak Hadi sebelum pamit keluar dari ruang kelas.
Begitu pintu tertutup, suara mulai nyaring terdengar dalam kelas. Satu sama lain saling berbisik. Di sudut ruangan siswa pria yang sedikit bertampang sangar menunjukkan sikap tidak underestimate nya padaku, tapi siswa-siswi yang lain terlihat antusias, kok, terhadap ku.
Satu persatu dengan kejelian aku menyisir siswa yang berjumlah 25 dalam satu kelas. Sangat berbeda memang siswa di sekolah elit. Baik tampilan ataupun kecerdasan mereka, dapat terlihat banyak siswa yang memakai kacamata.
“Selamat pagi, anak-anak. Perkenalkan saya Pak Arjuna, guru matematika kalian yang baru,” sapaku tanpa senyum. Gagal lagi aku menunjukkan sikap ramah yang coba aku bangun.
Kadang aku heran dengan diriku sendiri, kenapa begitu sulit untuk tersenyum pada orang lain.
“Cakep banget, guru matematika kita yang baru, walau gue gak suka matematika, kalau gurunya begini, pasti gue jabanin,” bisik siswi yang duduk di baris tengah.
Sejak masuk dia terus memperhatikan ku, sembari mengirim senyum manisnya.
“Cakep? Cakep-an juga Digo,” timpal gadis yang duduk di sebelahnya. Kalau bisa dibilang mereka bukan berbisik, tapi ngobrol karena baik anak-anak lain di kelas itu pasti mendengar, termasuk aku.
“Cakep, gila! Lihat aja tubuhnya atletis, wajahnya macho, sumpah, gue seketika langsung jatuh cinta,” lanjut gadis yang satunya.
“Lihat aja penampilannya kampungan gitu, iuyuuuh, gak banget. Digo dong, udah cakep, macho, anak geng motor lagi,” timpal gadis cantik itu. “Siapapun yang jadi cewek si bapak norak itu, pasti malu!” lanjutnya sembari tersenyum sini.
Sorot mataku langsung menatap tajam ke arah gadis berambut panjang dan sedikit ikal itu. Cantik. Itu kesan pertama yang aku nilai dari dirinya. Sangat cantik malah, seperti keturunan bule. Mata, bibir, hidung, dan semua yang melekat di wajah itu sangat sempurna. Namun, kembali aku tebak, dia pasti gadis sombong. Mungkin dari semua siswi di kelas itu, dia yang tercantik. Tapi sudahlah, gak penting juga gadis ingusan itu. Aku akan menandai dia, karena sudah mengatai ku norak dan kampungan. Dia belum tahu aja segudang prestasi yang aku punya.
Sekilas wajahnya mengingatkan pada seseorang, tapi aku lupa siapa. Lupakan, gak penting juga.
“Kalau ada yang mau bertanya, silakan,” tawarku malas. Harapanku ya, jangan ada bertanya. Tahu sendiri anak-anak SMA, apa lagi zaman sekarang, ada aja ulahnya agar mendapat perhatian dari guru, bahkan tidak sedikit yang buat kesal.
“Pak!”
Aku menoleh ke sebelah kiri, pada anak yang mengangkat tangan. Gadis jangkung dengan rambut ekor kuda.
“Ya, silakan!”
Lihat nih, dia mau tanya apa. Perasaan ku udah gak enak. Pasti ada aja yang akan ditanya gadis itu, meski hal yang tidak penting.
“Pak Arjuna ada hubungan apa dengan chef Juna?” Benarkan! Insting aku itu kuat!
“Gak ada hubungan, hanya sama-sama pria. Hobby berbeda, dia suka masak, saya suka buat soal matematika, yang akan kalian kerjakan!”
Uuuuuuuu.....
Wooooooooo....
Suasana kelas sudah seperti depan gerbang kantor DPR yang lagi didemo mahasiswa yang menolak kebijakan atau aturan baru pemerintah. Gaduh!
“Pak, kok, langsung kasih soal, sih. Bapak gak mau tanya nama kami satu-satu dulu?” celetuk gadis imut berponi yang duduk paling depan baris sebelah kiri.
“Seiring waktu, pasti saya tahu nama kalian. Sekarang segera kerjakan soal ini!”
Aku mulai menulis di depan white board. Tidak memedulikan protes dari anak-anak yang mulai puber.
Setelah menulis lima soal, aku berbalik menghadap mereka. Aku lihat siswi yang ada pada baris pertama dan kedua, terlihat begitu serius mengerjakan. Hanya mulai dari baris tengah hingga ke belakang, yang terlihat kurang antusias, tapi masih mau mengerjakan, walau tetap masih ngedumel. Namun, gadis yang aku bilang paling cantik tadi, dia justru sibuk dengan ponsel pintarnya.
Aku menatap tajam ke arahnya. Sekilas dia mendongak, lalu kembali fokus pada layar ponselnya. Bahkan volume game dari ponselnya itu sengaja dikeraskan agar membuatku kesal.
Apa dia pikir karena dia cantik, bisa mengabaikan tugas yang aku berikan?
“Nama kamu siapa?” hardik ku tegas. Jangan dikira karena aku guru muda, dan juga hanya guru honorer, dia sepele denganku.
“Saya, Pak?” Justru yang di sebelahnya yang mendongak ke arahku dan menjawab.
“Bukan kamu, di sebelahmu,” sambar ku. Aku ingat, gadis itu yang tadi menghinaku.
“Aluna!” Jawabnya lagi-lagi tanpa sopan dan sangat arogan.
“Berdiri!”
Untuk sesaat dia tetap berdiam di bangkunya. Cuek, dan seolah tidak peduli akan mimik wajah serius yang aku tunjukkan. Paling kesal, dia justru mengumpat kata-kata kasar, dan tidak pantas dikatakan oleh seorang pelajar, dan semua itu dia lontarkan padaku.
“Kamu punya telinga? Saya bilang berdiri!”
Aku berjalan ke arah mejanya. Seketika rungan senyap. Suara kecil yang riuh dari cuitan siswa-siswi, seketika meredam, hanya terdengar dentuman suara sepatu pantofel ku.
“Berdiri!” Bentak ku lantang, hingga membuat gadis di sampingnya dan juga hampir semua siswa di kelas terkejut dan terlihat takut di wajah mereka.
Gadis itu berdiri. Dia kalah. Namun, suara bentakan ku yang terakhir itu mungkin terlalu keras, membuatnya ciut. Terlihat bulir bening menggenang di pelupuk matanya.
Aku membaca badge name di dadanya. Aluna Casey. H.
Tatapanku kembali ke wajahnya. “Kenapa kamu gak mengerjakan soal? Justru bermain game? Kamu gak senang ikut kelas saya?”
Gadis itu masih bertahan mengatupkan bibirnya. Mungkin matanya berkaca-kaca, tapi tetap saja terlihat jelas keras kepalanya yang tetap tidak mau menurunkan egonya untuk mengakui ku sebagai gurunya.
“Jawab Saya!”
“Aku gak suka. Aku gak terima diajar sama guru norak kayak Anda! Ini sekolah elit, kenapa harus ada guru gak asyik kayak Anda!”
“Kalau begitu, setiap saya mengajar di kelas ini, kamu silakan keluar. Besok saya akan memanggil orang tua kamu!”
Mungkin amarahku terlalu besar. Harusnya aku bisa membendungnya. Ini hari pertamaku mengajar. Namun, gadis yang ada di depan ku ini sungguh menguji kesabaran ku.
“Fine!” Pekiknya sembari menyambar tas di atas mejanya lalu keluar dari dalam kelas.
Semua mata tertuju pada gadis itu yang menghantamkan pintu saat keluar. Seketika ruang kelas mendadak hening.
Saat itu lah jadi awal permusuhan ku dengan Aluna. Berharap kelak cucu Opa Jer yang akan aku nikahi itu tidak memiliki sikap menyebalkan dan sombong seperti Aluna. Samar setelah Aluna berlalu, aku mendengar suara pelan salah seorang siswa.
“Pak Arjuna sudah salah mengusir siswa,” decit salah satu siswa menatapku kasihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!