Menantu Cantik Putri Konglomerat
"Dimana cucuku?"
Sepasang mata tua yang masih memancarkan aura intimidasi kini mengabsen setiap sudut ruang pribadinya. Tak menemukan batang hidung salah satu cucunya yang telah ia nanti sejak tadi.
"Masih kerja, Pa," jawab seorang pria paruh baya yang tengah duduk di seberang. Ia adalah Restu Dwi Wiguna, Ayah dari Bagas.
Seorang wanita paruh baya yang juga ada bersama mereka mulai mengernyitkan keningnya.
"Kenapa Pa? Kayaknya penting banget sampai kita kumpul di sini?" Tanyanya dengan nada penasaran.
Chandra Wiguna, pria renta yang menjadi kakek Bagas menatap menantunya dalam diam. Kini matanya pun beralih kepada anak keduanya.
"Gimana kabar perusahaan?" Tanyanya dengan nada tenang serta berpangku tangan. Ditatapnya kopi hitam di hadapannya yang sama sekali belum disentuh.
Restu melirik sang Ayah dengan canggung. Beberapa kali bibirnya sedikit ia basahi.
"Sejauh ini lancar, Pa. Walau sedikit ada kendala, tapi saya percaya Bagas bisa menyelesaikan masalah dengan baik."
Chandra mengangguk seadanya. Kemudian hening kembali menyelimuti mereka, sebelum akhirnya pria tua itu kembali angkat bicara.
"Pekan depan saya mau kalian siapkan acara jamuan keluarga besar kita."
Indah, sang menantu sekaligus Ibu dari Bagas semakin berkerut keningnya. Penasaran ia, apa yang sebenarnya ingin dilakukan mertuanya itu. Bibirnya sejak tadi terbuka dan tertutup secara bergantian, gatal ingin bertanya. Namun rasa segan lebih mendominasi. Meski nyatanya sudah 31 tahun menjadi menantu keluarga Wiguna, Indah masih saja tak berani untuk sekedar membantah titah sang mertua.
"Untuk apa, Pa? Tumben, biasanya kita pesan tempat di luar kalau ada acara makan keluarga?" Tanya Restu yang mewakili rasa penasaran sang istri. Sebagai seorang anak jelas ia merasa sedikit keanehan yang terjadi kepada sang Ayah.
"Ingin memperkenalkan calon menantu kalian," jawabnya dengan tenang dan sedikit tarikan di ujung bibirnya.
Berbeda reaksi dengan Restu dan Indah yang sama-sama terkejut dengan jawaban sang Ayah.
"Pah!" Restu menyuarakan protesnya. "Saya pikir perjodohan itu sudah gak terjadi lagi di generasi anak kami. Kenapa Papa gak kompromi dulu dengan kami sebagai orang tua Bagas?!"
Indah pun ikut mengangguk. Untuk kali ini ia tak ingin berdiam diri.
"Papa gak bisa ambil keputusan sendiri. Untuk sekarang Bagas sudah punya pacar, gak tega rasanya kami harus memisahkan mereka."
Chandra menatap anak dan menantunya dengan tatapan tajam. Kedua tangannya mengepal erat.
"Sejak kapan saya mengumumkan bahwa perjodohan yang sudah turun temurun ini hilang dari keluarga kita?!" Pekiknya tertahan dengan urat leher yang menonjol. "Beraninya kalian menentang perjodohan ini! Apa kalian gak ingat bagaimana kalian bersama sampai sekarang?!"
Restu dan Indah sama-sama terdiam. Tak bisa menampik bahwa keluarga kecil yang mereka bina juga awalnya hasil perjodohan dari masing-masing keluarga. Terjadi karena sebuah perjanjian konyol antara kakek buyut mereka.
"Tapi kami sudah diperkenalkan sejak kecil, Pa. Kami juga sudah menyiapkan diri masing-masing," sahut Restu yang masih membantah ucapan sang Ayah. "Beda sama sekarang. Anak kami tiga-tiganya gak ada yang papa kasih tahu siapa jodoh mereka. Jadi saya ambil kesimpulan kalau mereka bebas mencari pasangan tanpa embel-embel perjodohan."
"Pa," panggil Indah dengan sedikit ragu. Matanya melirik takut-takut pada sang Ayah mertua. "Apa gak bisa Bagas pilih calon istrinya sendiri? Atau kalau memang mau dijodohkan, pasangkan saja dengan Stefanny. Keluarga Stefanny juga dari kalangan atas kok, kita juga sama-sama sudah kenal."
Chandra menggeleng dengan tegas. Ia kemudian menyeruput kopi yang mulai dingin itu dengan tenang. Sedikit pusing kepalanya karena amarahnya tadi meledak tiba-tiba.
"Saya gak terima bantahan dari kalian. Terlebih saya gak suka sama perempuan itu, gak cocok jadi menantu keluarga Wiguna."
"Kalau gitu siapa nama calon istri Bagas, setidaknya kami berhak tahu asal-usulnya sebelum berkenalan secara resmi," pungkas Restu yang berusaha untuk menerima keputusan sang ayah. Berbeda dengan Indah yang sepertinya masih menentang keras perjodohan ini.
Pria tua itu tersenyum simpul, terbayang wajah manis perempuan cantik yang sekarang sudah dewasa.
"Tiyas Della Gayatri, dia cucu salah satu sahabat saya. Anaknya cantik dan yang pasti budi pekertinya sangat baik."
***
"Lo serius?!"
Gebrakan meja itu terdengar nyaring di dalam ruang kerja Direktur Utama seketika menjadi berisik.
Tiyas mendelik pada sahabatnya yang menjadi tersangka keributan. Tak ingin ia bawahannya berpikir bahwa terjadi pertengkaran hebat di dalam ruangan ini.
"Bisa biasa aja gak, Beb? Anak buah lo bisa-bisa grebek kita bentar lagi," gerutu Tiyas dengan decakan kesal sambil melempari kertas yang sudah ia bentuk bulat-bulat ke arah tersangka.
Beby Belvina, sahabat sekaligus Direktur Utama di TD Entertainment itu hanya bisa terkekeh kecil. Posisinya yang tadi berdiri kini mulai duduk kembali.
"Maaf-maaf, gue beneran kaget," sahutnya dengan cengiran tak bersalahnya. Melihat air muka Tiyas yang mulai tenang, setidaknya membuat Beby akhirnya menarik nafas lega. "Gue pikir perjodohan di zaman sekarang sudah gak ada, tahunya keluarga lo masih menganut itu ya."
Tiyas mengangkat bahunya pertanda tidak tahu. Raut wajahnya tampak tenang, seolah perjodohan ini bukanlah masalah apa-apa baginya.
"Mungkin karena keluarga gue konglomerat kali ya," jawabnya dengan seutas senyum jahil.
Beby berdecak, matanya memutar malas.
"Sombong lo! Walaupun memang faktanya begitu sih!" Suasana menjadi hening, kemudian secara tiba-tiba tangannya kembali menggebrak meja. "Tapi bukannya lo belum siap buat nikah ya?"
Anak sulung Adhitama itu mendelik kesal pada sang sahabat. Tak tahu lagi bagaimana memperingatkan Beby untuk tidak terlalu berlebihan pada setiap hal yang membuatnya terkejut.
"Iya emang!" Jawabnya dengan decakan pelan, seakan ingin protes tapi akhirnya pasrah. "Tapi mau gimana lagi, usia gue terbilang cukup tua di keluarga yang sudah melakukan perjodohan. Bahkan mami aja nikah umur 21."
Beby terdiam dengan bola matanya yang membulat. Tatapannya seakan tak percaya dengan apa yang didengarkan dari Tiyas. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat untuk bertepuk tangan.
"Gila! Mami lo kuat mental!"
"Bukan kuat mental, tapi terpaksa!" bantah Tiyas dengan senyum sinisnya. Ia kemudian menyugarkan rambut panjangnya yang sedikit kusut. "Lagian gue gak bakal kenalin papi ke keluarga Wiguna kok!"
"Loh kenapa?!" Tanya Beby yang sudah ancang-ancang ingin kembali memukul meja. Sayangnya pergerakan Tiyas lebih cepat untuk menepis tangan sahabatnya.
Bukan tanpa alasan Tiyas melakukan ini. Ia hanya tidak ingin pernikahan yang seharusnya diselenggarakan dengan mewah dan disaksikan banyak orang, suatu saat akan dihancurkan oleh dirinya sendiri.
Desas-desus tentang seberapa banyak wanita simpanan seorang Bagas tentunya sudah menjadi rahasia umum di kalangan para petinggi perusahaan. Juga bagaimana angkuhnya para menantu di keluarga tersebut membuat Tiyas mau tidak mau melangkah dengan penuh kehati-hatian.
Tak ingin ada duri dalam keluarga harmonisnya. Tak ingin ada orang yang dengan sok merasa paling berkuasa. Tiyas tidak pernah suka dengan modelan orang seperti itu, norak.
Jika bukan karena tradisi yang sudah secara turun temurun dan juga diperkuat dengan permintaan seorang Chandra Wiguna, mungkin Tiyas sudah pergi ke luar negeri demi melarikan diri dari keluarga penuh problematika itu.
"Biar aja. Gue mau lihat gimana reaksi keluarga mereka kalau tahu bahwa calon istri pewaris Industri tekstil cuma seorang guru honorer di sekolah swasta Jakarta."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Flo aja
aku mampir k
2023-11-12
0
Flo aja
ngga ada salahnya dengan perjodohan karena orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan yang terbaik buat anaknya
2023-11-12
0
🍾⃝ᴀͩᴍᷞᴍͧᴀᷠʀͣօƒƒ
Itu fakta minum kopi bisa melarutkan masalah, betul sekali.
2023-10-14
10