NovelToon NovelToon

Menantu Cantik Putri Konglomerat

BAB 1

"Dimana cucuku?" 

Sepasang mata tua yang masih memancarkan aura intimidasi kini mengabsen setiap sudut ruang pribadinya. Tak menemukan batang hidung salah satu cucunya yang telah ia nanti sejak tadi. 

"Masih kerja, Pa," jawab seorang pria paruh baya yang tengah duduk di seberang.  Ia adalah Restu Dwi Wiguna, Ayah dari Bagas. 

Seorang wanita paruh baya yang juga ada bersama mereka mulai mengernyitkan keningnya. 

"Kenapa Pa? Kayaknya penting banget sampai kita kumpul di sini?" Tanyanya dengan nada penasaran. 

Chandra Wiguna, pria renta yang menjadi kakek Bagas menatap menantunya dalam diam. Kini matanya pun beralih kepada anak keduanya. 

"Gimana kabar perusahaan?" Tanyanya dengan nada tenang serta berpangku tangan. Ditatapnya kopi hitam di hadapannya yang sama sekali belum disentuh. 

Restu melirik sang Ayah dengan canggung. Beberapa kali bibirnya sedikit ia basahi. 

"Sejauh ini lancar, Pa. Walau sedikit ada kendala, tapi saya percaya Bagas bisa menyelesaikan masalah dengan baik." 

Chandra mengangguk seadanya. Kemudian hening kembali menyelimuti mereka, sebelum akhirnya pria tua itu kembali angkat bicara. 

"Pekan depan saya mau kalian siapkan acara jamuan keluarga besar kita." 

Indah, sang menantu sekaligus Ibu dari Bagas semakin berkerut keningnya. Penasaran ia, apa yang sebenarnya ingin dilakukan mertuanya itu. Bibirnya sejak tadi terbuka dan tertutup secara bergantian, gatal ingin bertanya. Namun rasa segan lebih mendominasi. Meski nyatanya sudah 31 tahun menjadi menantu keluarga Wiguna, Indah masih saja tak berani untuk sekedar membantah titah sang mertua. 

"Untuk apa, Pa? Tumben, biasanya kita pesan tempat di luar kalau ada acara makan keluarga?" Tanya Restu yang mewakili rasa penasaran sang istri. Sebagai seorang anak jelas ia merasa sedikit keanehan yang terjadi kepada sang Ayah. 

"Ingin memperkenalkan calon menantu kalian," jawabnya dengan tenang dan sedikit tarikan di ujung bibirnya. 

Berbeda reaksi dengan Restu dan Indah yang sama-sama terkejut dengan jawaban sang Ayah. 

"Pah!" Restu menyuarakan protesnya. "Saya pikir perjodohan itu sudah gak terjadi lagi di generasi anak kami. Kenapa Papa gak kompromi dulu dengan kami sebagai orang tua Bagas?!" 

Indah pun ikut mengangguk. Untuk kali ini ia tak ingin berdiam diri. 

"Papa gak bisa ambil keputusan sendiri. Untuk sekarang Bagas sudah punya pacar, gak tega rasanya kami harus memisahkan mereka." 

Chandra menatap anak dan menantunya dengan tatapan tajam. Kedua tangannya mengepal erat. 

"Sejak kapan saya mengumumkan bahwa perjodohan yang sudah turun temurun ini hilang dari keluarga kita?!" Pekiknya tertahan dengan urat leher yang menonjol. "Beraninya kalian menentang perjodohan ini! Apa kalian gak ingat bagaimana kalian bersama sampai sekarang?!" 

Restu dan Indah sama-sama terdiam. Tak bisa menampik bahwa keluarga kecil yang mereka bina juga awalnya hasil perjodohan dari masing-masing keluarga. Terjadi karena sebuah perjanjian konyol antara kakek buyut mereka. 

"Tapi kami sudah diperkenalkan sejak kecil, Pa. Kami juga sudah menyiapkan diri masing-masing," sahut Restu yang masih membantah ucapan sang Ayah. "Beda sama sekarang.  Anak kami tiga-tiganya gak ada yang papa kasih tahu siapa jodoh mereka. Jadi saya ambil kesimpulan kalau mereka bebas mencari pasangan tanpa embel-embel perjodohan." 

"Pa," panggil Indah dengan sedikit ragu. Matanya melirik takut-takut pada sang Ayah mertua. "Apa gak bisa Bagas pilih calon istrinya sendiri? Atau kalau memang mau dijodohkan, pasangkan saja dengan Stefanny. Keluarga Stefanny juga dari kalangan atas kok, kita juga sama-sama sudah kenal." 

Chandra menggeleng dengan tegas. Ia kemudian menyeruput kopi yang mulai dingin itu dengan tenang. Sedikit pusing kepalanya karena amarahnya tadi meledak tiba-tiba. 

"Saya gak terima bantahan dari kalian. Terlebih saya gak suka sama perempuan itu, gak cocok jadi menantu keluarga Wiguna." 

"Kalau gitu siapa nama calon istri Bagas, setidaknya kami berhak tahu asal-usulnya sebelum berkenalan secara resmi," pungkas Restu yang berusaha untuk menerima keputusan sang ayah. Berbeda dengan Indah yang sepertinya masih menentang keras perjodohan ini. 

Pria tua itu tersenyum simpul, terbayang wajah manis perempuan cantik yang sekarang sudah dewasa. 

"Tiyas Della Gayatri, dia cucu salah satu sahabat saya. Anaknya cantik dan yang pasti budi pekertinya sangat baik." 

***

"Lo serius?!" 

Gebrakan meja itu terdengar nyaring di dalam ruang kerja Direktur Utama seketika menjadi berisik. 

Tiyas mendelik pada sahabatnya yang menjadi tersangka keributan. Tak ingin ia bawahannya berpikir bahwa terjadi pertengkaran hebat di dalam ruangan ini. 

"Bisa biasa aja gak, Beb? Anak buah lo bisa-bisa grebek kita bentar lagi," gerutu Tiyas dengan decakan kesal sambil melempari kertas yang sudah ia bentuk bulat-bulat ke arah tersangka.

Beby Belvina, sahabat sekaligus Direktur Utama di TD Entertainment itu hanya bisa terkekeh kecil. Posisinya yang tadi berdiri kini mulai duduk kembali. 

"Maaf-maaf, gue beneran kaget," sahutnya dengan cengiran tak bersalahnya. Melihat air muka Tiyas yang mulai tenang, setidaknya membuat Beby akhirnya menarik nafas lega. "Gue pikir perjodohan di zaman sekarang sudah gak ada, tahunya keluarga lo masih menganut itu ya." 

Tiyas mengangkat bahunya pertanda tidak tahu. Raut wajahnya tampak tenang, seolah perjodohan ini bukanlah masalah apa-apa baginya. 

"Mungkin karena keluarga gue konglomerat kali ya," jawabnya dengan seutas senyum jahil. 

Beby berdecak, matanya memutar malas. 

"Sombong lo! Walaupun memang faktanya begitu sih!" Suasana menjadi hening, kemudian secara tiba-tiba tangannya kembali menggebrak meja. "Tapi bukannya lo belum siap buat nikah ya?" 

Anak sulung Adhitama itu mendelik kesal pada sang sahabat. Tak tahu lagi bagaimana memperingatkan Beby untuk tidak terlalu berlebihan pada setiap hal yang membuatnya terkejut. 

"Iya emang!" Jawabnya dengan decakan pelan, seakan ingin protes tapi akhirnya pasrah. "Tapi mau gimana lagi, usia gue terbilang cukup tua di keluarga yang sudah melakukan perjodohan. Bahkan mami aja nikah umur 21." 

Beby terdiam dengan bola matanya yang membulat. Tatapannya seakan tak percaya dengan apa yang didengarkan dari Tiyas. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat untuk bertepuk tangan. 

"Gila! Mami lo kuat mental!" 

"Bukan kuat mental, tapi terpaksa!" bantah Tiyas dengan senyum sinisnya. Ia kemudian menyugarkan rambut panjangnya yang sedikit kusut. "Lagian gue gak bakal kenalin papi ke keluarga Wiguna kok!" 

"Loh kenapa?!" Tanya Beby yang sudah ancang-ancang ingin kembali memukul meja. Sayangnya pergerakan Tiyas lebih cepat untuk menepis tangan sahabatnya. 

Bukan tanpa alasan Tiyas melakukan ini. Ia hanya tidak ingin pernikahan yang seharusnya diselenggarakan dengan mewah dan disaksikan banyak orang, suatu saat akan dihancurkan oleh dirinya sendiri. 

Desas-desus tentang seberapa banyak wanita simpanan seorang Bagas tentunya sudah menjadi rahasia umum di kalangan para petinggi perusahaan. Juga bagaimana angkuhnya para menantu di keluarga tersebut membuat Tiyas mau tidak mau melangkah dengan penuh kehati-hatian. 

Tak ingin ada duri dalam keluarga harmonisnya. Tak ingin ada orang yang dengan sok merasa paling berkuasa. Tiyas tidak pernah suka dengan modelan orang seperti itu, norak. 

Jika bukan karena tradisi yang sudah secara turun temurun dan juga diperkuat dengan permintaan seorang Chandra Wiguna, mungkin Tiyas sudah pergi ke luar negeri demi melarikan diri dari keluarga penuh problematika itu. 

"Biar aja. Gue mau lihat gimana reaksi keluarga mereka kalau tahu bahwa calon istri pewaris Industri tekstil cuma seorang guru honorer di sekolah swasta Jakarta." 

BAB 2

Mansion mewah dan megah yang dominan cat berwarna putih dengan masing-masing anak tangga luar di sisi kiri dan kanan, terhubung langsung dengan lantai dua bangunan tersebut. Juga tempat acara keluarga akan diberlangsungkan beberapa menit lagi. Di teras lantai dasar, bukan sebuah taman yang akan para tamu temui. Namun sebuah kolam renang luas dengan beberapa kursi panjang di masing-masing sisi. Terlihat begitu indah ketika dilihat pada malam hari. 

Setidaknya itulah gambaran dibenak Tiyas saat kakinya berpijak di kediaman Wiguna. Walau dari luar terlihat begitu nyaman, wanita yang sudah menginjak angka 25 dua bulan yang lalu itu tahu bahwa bangunan megah ini akan menjadi sumber masalahnya mulai sekarang. 

"Dek, kamu yakin mau sama keluarga ini? Gak mau mami kenalin sama keluarga Tanjung atau Pangestu gitu?" Tanya Nirmala seraya berjalan dengan langkah tegas namun penuh keanggunan. Rambut sebahunya yang hitam tampak bersinar terkena pantulan sinar dari kolam renang. 

Memakai dress selutut berwarna putih gading yang memeluk tubuh rampingnya, membuat wanita paruh baya yang sudah memasuki usia 50-an terlihat anggun dan berkelas. Persis seperti gambaran putri konglomerat terdahulu. Memakai aksesoris kalung, anting dan gelang yang terlalu berlebihan, juga beberapa cincin berlian yang melingkar di jari lentiknya. 

Sedangkan tampilan Tiyas juga tak kalah mempesonanya. Wanita itu memakai dress hitam yang menjulur hingga ke mata kaki namun terdapat belahan panjang dari atas lututnya ke bawah pada bagian samping. Sedangkan di bagian bahunya ia biarkan terekspos secara cuma-cuma.  

Walau sejak awal dirinya mengatakan bahwa akan bersandiwara menjadi guru honorer, meski faktanya itulah pekerjaan yang ia lakukan ketika ada waktu senggang. Tiyas tak ingin tampil terlalu sederhana, ia ingin memberikan kesan pertama dan menghormati Chandra Wiguna. 

Lagipula di zaman sekarang, gengsi mengalahkan segalanya. Orang yang uangnya pas-pasan saja ingin berpenampilan cantik dan mewah pada setiap acara yang mereka datangi. 

"Mami, jangan ngomong kuat-kuat dong nanti kedengeran," keluh Tiyas dengan tatapannya yang waspada. "Lagian kan secara garis yang sudah ditentukan, generasi aku kan emang harus bersanding sama keluarga Wiguna." 

Nirmala menghela napasnya pendek. Ditatapnya anak semata wayangnya sekilas, tak rela rasanya jika mereka harus berpisah secepat ini. 

"Dek, kamu dengar kan rumor tentang keluarga ini? Mami gak rela ya kalau kamu diselingkuhin. Kalau sampai mami dengar itu, gak segan-segan mami tarik kamu keluar dari rumah ini." 

Wanita muda itu memejamkan matanya sembari menarik napas. Tak ada yang bisa ia tutupi dari sang Ibu. Bagaimanapun Nirmala adalah wanita independen, sudah biasa ia berhadapan dengan banyaknya orang. Mata dan telinganya ada di mana-mana, mudah baginya untuk mengetahui watak orang dalam sekali obrolan. 

Tiyas menggenggam tangan sang ibu. Membuat wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya, menatap anaknya dengan raut penasaran. 

"Mih, tenang aja," ucapnya dengan segaris senyum lembut. "Mami tahu kan aku ini gimana? Aku pastinya gak akan tinggal diam kalau ada orang yang semena-mena sama aku." 

"Tutup saja mulutnya pakai selotip kek! Atau gak banting aja laki-laki di keluarga ini yang sudah menghina kamu! Jangan sia-siakan sabuk hitam taekwondomu," titah sang ibu dengan tatapannya yang membara. 

Sebenarnya situasi seperti ini harusnya terharu mendengar betapa khawatirnya seorang ibu kepada anaknya, tapi mendengar intonasi Nirmala malah membuat Tiyas meledakkan tawanya. 

"Duh, Mami! Omongan Mami tuh kayak keluarga kita jahat banget sih!" 

Nirmala mendelik kesal pada sang anak. Tiyas memang tidak bisa diajak serius, anaknya ini selalu saja menganggap perkataannya sebagai candaan. Memang dikiranya ia sedang melucu apa?! 

Ingin rasanya ia membalas perkataan sang anak, tetapi suara berat menginterupsi mereka. 

"Nyonya dan Nona, Tuan Besar sudah menunggu anda di dalam. Silakan lewat sini," ucap seorang pria dewasa yang sepertinya penanggung jawab di mansion tersebut. 

Tiyas dan Nirmala mengangguk singkat. Keduanya melangkah mengikuti sang pria tadi untuk masuk kedalam. Sepertinya ibu dan anak ini masih saja memberikan delikan-delikan kesal satu sama lain. 

"Sudah dong, Mami! Yang anggun dikit, masa gak ada papi jiwa tomboynya keluar lagi!" ejek Tiyas dengan senyum yang menyebalkan, membuat Nirmala hanya bisa mencubit pinggang putrinya berkali-kali dan mengisyaratkan untuk diam. 

Setelah akhirnya mereka masuk ke dalam mansion yang sudah disulap sedemikian rupa dan ternyata ada banyak orang di sana, membuat Tiyas dan sang ibu sesaat terdiam kikuk. Untungnya Tuan Besar yang mempunyai acara segera menemukan mereka. 

"Akhirnya kalian sudah datang!" Seru Chandra dengan begitu bahagia. Menyambut dua orang yang begitu ia sayangi, walau kurang satu lagi karena kesepakatannya dengan Tiyas. "Ayo Nirmala dan Tiyas, kita duduk dan mulai makan malamnya." 

Nirmala tersenyum sopan, ia segera mengekori Chandra dengan punggungnya yang tegak. Tak gentar ia walau banyak pasang mata yang menatapnya dengan menilai. Berbeda dengan Tiyas, ia harus bersandiwara menjadi seorang wanita yang sopan dan pemalu. 

"Bagaimana perjalanan kesini? Pasti melelahkan ya, jarak rumah kita sepertinya terlalu jauh jika hanya untuk jamuan kecil seperti ini," kata Chandra yang memulai obrolan ringan setelah semua anggota keluarga duduk. 

Nirmala tersenyum kecil. Betapa merendahnya seorang Chandra Wiguna, sama seperti apa yang diajarkan keluarga Adhitama dan Wijaya. Walau mereka punya materi yang berlebih, tapi sopan santun dan kerendahan hati jelas menjadi pelajaran yang pertama dan utama sebelum terjun bertemu banyak orang. Bahkan keluarga Adhitama sudah diajarkan tata krama sejak taman kanak-kanak. 

"Bapak bisa saja," jawab Nirmala dengan sedikit ringisan. "Terima kasih banyak loh Pak, jamuannya banyak dan terlalu mewah untuk kami." 

Indah yang sejak tadi tak melepaskan pandangan dari anak dan ibu itu lantas membuka suara. 

"Kalau boleh tahu apa kesibukan Tiyas sekarang? Kayaknya Mama Tiyas sampai gak pernah makan-makanan mewah begini ya." 

Tiyas melirik ke arah Indah, ada sedikit jeda lama di sana. Dalam hatinya sedikit menggerutu, tentu bahwa ini tidak mudah. Mempunyai ibu mertua seperti Indah seperti malapetaka untuknya. 

Chandra berdesis keras. Kesal rasanya melihat sikap tak sopan santun Indah, tidak mencerminkan keluarga Wiguna sama sekali. 

Restu yang berada di sebelah istrinya hanya bisa menghela napas panjang. Sudah berusaha ia tegur sang istri, tapi tampaknya Indah malah merajuk. Pria paruh baya itu juga melirik sang anak sulung di sebelahnya, Bagas masih terdiam sejak duduk di meja makan. Tak ada ekspresi berarti dari anaknya itu.

"Saya kerja sebagai guru honorer di sekolah swasta sekitar Jakarta, Tante," jawab Tiyas yang membuat seluruh pasang mata menatap remeh kepadanya. 

Restu mengangkat alisnya seakan tidak percaya. Ia melirik sang Ayah yang hanya diam dengan tenang. 

"Guru honorer?" Tanyanya seakan untuk menegaskan. Dan matanya membola setelah anggukan didapatkan dari Tiyas. 

Bagas yang semula hanya diam, terkesan tidak peduli. Kini menaruh atensi pada Tiyas yang beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Ah, pantas saja perempuan ini menerima perjodohan sang Kakek. Ternyata karena dia ingin menikmati kekayaan keluarga Wiguna. Bagas berdecak pelan dengan asumsi yang ia buat sendiri. 

"Bukannya keluarga Wiguna cuma mau menerima calon pengantin dari keluarga golong atas? Sedangkan dia cuma guru honorer! Bahkan gajinya gak lebih besar dari harga tasku," sahut wanita muda yang penampilannya cukup menyita perhatian. Dia Bella Dwisa Wiguna, adik perempuan Bagas. 

Chandra menghela napas panjang. Pening kepalanya harus menghadapi kloningan dari Indah, yaitu Bella. Menantu dan cucunya yang satu ini benar-benar tidak bisa menjaga adab sopan santun. 

"Sudah, jangan ada lagi yang berbicara sampai menyinggung Tiyas dan keluarganya," titah sang Tuan Besar. Chandra tak mungkin membeberkan bagaimana ada lubang besar dalam keluarga Wiguna yang bisa dilihat oleh Nirmala sebagai perwakilan dari suaminya. 

Pria tua itu melirik Bagas dan Tiyas yang saling menatap satu sama lain dengan sedikit tarikan di ujung bibirnya. 

"Ayo lebih baik kita makan dulu. Sebelum kita mulai bicara bagaimana konsep pernikahan Bagas dan Tiyas yang akan diselenggarakan bulan depan." 

"Saya gak setuju."

BAB 3

"Saya gak setuju." 

Sebuah kalimat penolakan yang sudah terlintar sebanyak dua kali. Kini membuahkan atensi penuh dari orang-orang di sana. Banyak dari mereka menatapnya dengan mata berbinar, berada pada sisi pro untuk mendukung penolakan ini. Termasuk Indah dan Bella yang tersenyum begitu lebar. 

Bagas, pria yang sebentar lagi menginjak kepala tiga adalah tersangka utama. Direktur Utama PT. W Group itu kini menatap Tiyas yang terdiam dengan begitu dalam. 

Sedangkan di sisi lain, Chandra baru saja akan meledak. Ia tidak akan menyetujui upaya Bagas untuk menolak perjodohan ini hanya karena seorang model terkenal. Namun belum sempat pria tua itu menyemburkan amarahnya, Bagas kembali bersuara. 

"Saya gak setuju dengan waktu yang Kakek berikan. Bagaimana kalau kita percepat saja jadi dua minggu?" Sarannya dengan senyum miringnya. Bisa Bagas lihat bagaimana wajah panik Tiyas dihadapannya. Kenyataannya bukan hanya Tiyas, tetapi juga Nirmala dan seluruh pasang mata di sana menatap Bagas tak percaya. 

"Sudah gak waras ya lo!" Pekik Bella dengan suaranya yang keras, bahkan kini ia sudah berdiri dari duduknya. Tidak habis pikir dengan Bagas, bagaimana bisa sang Kakak menerima wanita rendahan itu untuk dijadikan istri. 

Indah selaku sebagai Ibu gelagapan. Ia segera menarik tangan anak keduanya, bermaksud untuk segera duduk dan tidak mengacaukan acara perjamuan malam ini. Indah juga merasa tidak setuju dengan jalan pikiran Bagas, tapi tidak berani rasanya mengungkapkan secara terang-terangan di depan Ayah mertuanya. 

Bagas seakan tuli dengan teriakan sang adik. Tatapannya masih tidak lepas dari Tiyas di hadapannya. Entah apa yang sudah otaknya memproses hingga mengeluarkan pendapatnya malam ini, tapi melihat tingkah Tiyas rasanya wanita ini cukup bisa dimanfaatkan. 

Di sisi sebaliknya, Tiyas menatap Bagas dengan keningnya yang sedikit berkerut. Wanita itu pikir Bagas akan terang-terangan menolak perjodohan ini, sama seperti ibu, adik dan anggota keluarga Wiguna lainnya. Tapi perkiraannya meleset jauh, Tiyas tidak tahu apa yang membuat Bagas dengan senang hati menerimanya. Untuk saat ini Tiyas harus lebih berhati-hati. 

Chandra menatap cucunya dengan tenang walau dalam kepalanya terdapat ratusan pertanyaan. Helaan napasnya terdengar begitu panjang. 

"Oke, kalau memang kamu mau dipercepat. Gak masalah, lebih bagus. Tapi kita juga harus dengar pendapat dari Tiyas, apa dia setuju dengan saranmu?" 

Tiyas menatap kedua Kakek dan cucu itu secara bergantian. Ingin rasanya memaki, dua minggu cepat untuknya. Pekerjaannya bahkan terbengkalai di meja kerjanya, bisa-bisa Beby akan mengamuk mendengar hal ini. 

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tiyas tidak akan berhenti disini, perang bahkan belum dimulai. Sedikit merutuki mendiang kakek buyutnya yang sudah melakukan perjanjian konyol seperti ini. 

Semoga kakek buyut tenang di alam sana. Amin. Batinnya dalam hati. 

"Saya ikut saja, Kek," jawab Tiyas akhirnya dengan setengah ragu. 

Chandra mengangguk singkat, bisa dilihatnya bahwa Tiyas juga terkejut dengan semua hal yang diluar skenario mereka. Tetapi pria tua itu merasa bahagia di sisi lain, menjadikan Tiyas sebagai cucu menantu jelas sebuah pilihan yang tepat. Adhitama yang akan menjadi besan keluarga Wiguna jelas kombinasi yang pas. 

"Yasudah, kamu bisa duduk dulu Gas. Gak capek apa berdiri gitu? Gak bakal kemana-mana juga kok calon istrimu itu," goda Chandra yang berusaha untuk mencairkan suasana. 

Bagas berdehem singkat, sebelum akhirnya kembali duduk pada posisinya. Ia melirik adik dan ibunya dalam diam, tak ingin terlalu ambil pusing dengan tatapan tajam dari keduanya. 

Akhirnya setelah perseteruan yang cukup panas, makan malam sudah dimulai. Perjamuan yang biasanya dihiasi oleh bincang singkat dan sesekali tawa yang hadir menghangatkan suasana, kini semuanya terasa berbanding terbalik. Terlalu tegang dan hening, membuat Tiyas dan Nirmala sedikit merasa tidak nyaman. 

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tiyas dan Nirmala pun akhirnya pamit undur diri. 

"Terima kasih atas jamuannya yang begitu berkesan, Pak. Sepertinya kami harus pulang karena sudah terlalu malam untuk wanita-wanita cantik ini," canda Nirmala dengan tawanya yang canggung. 

Chandra mengangguk senang. 

"Jangan kapok ya, menantu dan cucu saya memang agak sedikit kurang ajar. Mungkin dia harus dimasukkan ke dalam kelas etiket bareng sama keluarga Adhitama." 

Nirmala mendesis pelan, tak ingin statusnya terbongkar disini dan secepat ini. Kepalanya menggeleng pelan dan Chandra terlalu peka untuk mengerti kode tersebut. Pria tua itu kini melirik Tiyas yang terdiam sembari memperhatikan sudut-sudut mansion mewahnya. 

"Kecil kok, gak seberapa ini," celetuk Chandra masih dengan senyum lebarnya. 

Tiyas menoleh, senyum lembut kini menghiasi wajah cantiknya. 

"Kakek suka banget merendah deh, sombong sedikit sesekali gak masalah kok." 

Pria tua itu berdecak pelan. Tahu bahwa Tiyas tengah menyindirnya karena masalah yang disebabkan oleh calon keluarganya sendiri. 

"Kalian pulang naik apa? Dijemput supir?" 

"Iya dijemput sopir taksi online, Kek," jawab wanita muda itu dengan kedua alisnya yang dinaik-turunkan. "Oh iya, aku gak perlu repot-repot kan? Semua yang atur keluarga Wiguna kan? Kerjaan lagi numpuk Kek dan harus cepat diselesaikan. Belum juga minta cuti beberapa hari sama pihak sekolah." 

"Iya tenang aja," jawab Chandra yang mencoba mengerti. "Biar Kakek yang menjadi penanggung jawab disini." 

"Sip." Tiyas memberikan acungan jempol pada Chandra yang membuat gelak tawa diantara keduanya. Benar-benar tampak akrab di mata anggota keluarga Wiguna. 

Nirmala menatap keduanya dengan gelengan tak habis pikir. 

"Ngebanyol aja kerjaannya. Bapak bisa jadi muda kalau sudah sama Tiyas, hidupnya gak pernah serius," adunya dengan decakan pelan. 

"Permisi," ucap seseorang yang menginterupsi obrolan ketiga orang tersebut. 

Tiyas masih tertawa kecil, sebelum akhirnya hilang dari wajah cantiknya saat ia menoleh sampai harus membalikkan tubuhnya. Menatap Bagas sebagai pelaku utama yang menghancurkan suasana hangat yang baru saja terasa sejak ia sampai di tempat ini. 

"Kenapa Gas?" Tanya Chandra yang juga ikut merasa penasaran. Heran rasanya melihat sang cucu yang dengan sukarela menghampirinya, padahal Bagas merupakan tipe pria yang cuek dan terkesan tidak peduli. 

Bagas tak membalas pertanyaan sang Kakek. Matanya kini berpindah pada Tiyas dan juga calon ibu mertuanya. 

"Kalau Tante dan Tiyas gak keberatan, saya dengan senang hati mengantar kalian pulang ke rumah. Pesan taksi online malam seperti ini rawan, bahaya karena kalian dua-duanya perempuan," ungkap Bagas dengan sedikit tarikan di ujung bibirnya, hampir tidak terlihat.

Nirmala hampir saja melompat gugup. Bisa gawat kalau Bagas mengantar mereka pulang. 

"Gak usah repot-repot, Mas," sahut Tiyas dengan nada lembutnya. Senyum kecilnya membuat wajahnya dua kali lipat lebih cantik. "Kami bisa jaga diri kok. Mami kan dulunya anak taekwondo."

"Oh ya?" Chandra ikut menanggapinya dengan terkejut. Pria tua itu baru saja mendapatkan informasi baru. 

Sedangkan Nirmala hanya bisa tertawa gugup. Bisa-bisanya Tiyas lempar batu sembunyi tangan. 

"Iya tapi sudah lama banget itu. Gak apa-apa kok Gas, malah jadi ngerepotin." 

Bagas menggeleng tegas, sepertinya pria itu tidak menerima penolakan. Persis seperti Kakeknya, Chandra Wiguna. Benar-benar darah lebih kental daripada air. 

"Saya merasa terhormat kalau Tante dan Tiyas menerima niat baik saya. Ini sebagai bentuk tanggung jawab saya sebagai calon suami Tiyas," balasnya dengan senyum sedikit kaku. 

Tiyas dan Nirmala sama-sama saling pandang. Ini tidak ada di dalam rencana, gawat!

"Gimana Tante? Tiyas?" 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!