Bagas menatap Tiyas dan Nirmala yang tengah berpandangan satu sama lain. Sepertinya dua orang itu enggan untuk diantar pulang dengannya. Namun Bagas tidak akan menyerah, setidaknya ia harus tahu seberapa reot rumah mereka. Menjadi guru honorer di zaman sekarang benar-benar tidak menjamin sebuah kemakmuran.
Di sisi lain, Chandra juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak mungkin Bagas bertandang ke mansion megah dan mewah lebih daripada miliknya. Bisa-bisa rencana hancur lebur sebelum dimulai.
"Boleh saja kalau Bagas gak keberatan," putus Nirmala dengan sebuah helaan napas panjang guna menutupi kegugupannya. Mengabaikan delikan mata Tiyas yang sepertinya tidak setuju dengan hasil akhir pergulatan batin mereka.
Bagas mengangguk, sedikit merasa senang karena akhirnya ia bisa sedikit melihat kehidupan miris calon istrinya.
"Tapi mobil cuma bisa sampai depan gang saja. Karena jalan rumah kami gak bisa dilewatin sama mobil," sambung Nirmala dengan senyum kecilnya.
Tiyas hanya bisa terdiam dengan bingung. Kalau memang Ibunya berkata seperti itu, lantas rumah siapa yang akan mereka jadikan sebagai penyamaran? Tidak mungkin jika mereka hanya berhenti acak di rumah orang.
"Gak masalah, Tan. Saya bakal antar kalian selamat sampai rumah. Boleh kan?" Tanya Bagas sekali lagi. Tingkah keduanya membuat pria itu penasaran, entah karena malu atau apa.
Nirmala mau tidak mau mengangguk.
"Boleh," katanya dengan cepat. Wanita paruh baya itu menoleh pada Chandra yang masih terdiam, memberikan senyum kecutnya. "Kalau begitu kami pamit ya, Pak. Sampaikan salam saya kepada calon besan, selamat malam."
Chandra mengangguk kaku, ia mempersilahkan Nirmala dan Tiyas untuk mengekori Bagas yang sudah lebih dulu berjalan.
"Semoga Tuhan menjaga kalian," gumamnya dengan hati yang gelisah.
Entah sudah berapa kali ibu dan anak itu berdebat sejak datang ke mansion Wiguna. Tapi baik Tiyas maupun Nirmala tidak bosan dengan pertikaian yang terjadi. Sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa sudah di depan mobil dan Bagas yang dengan senang hati membukakan pintu untuk mereka.
Dengan gumaman terima kasih, Tiyas masuk paling akhir sebelum pintu mobil ditutup oleh Bagas dan pria itu kini sudah duduk di belakang kemudi.
"Jadi dimana alamat rumah Tante?" Tanya Bagas ketika mobil sudah mulai perlahan jalan.
"Jalan saja dulu Gas, nanti Tante yang akan tunjukkan jalannya. Maklum ya namanya orang tua, cuma tahu arah jalan aja tapi nama jalannya gak tau," kilah Nirmala dengan kekehan hambarnya. Setidaknya itulah alasan paling masuk akal sembari memutar otaknya.
Karena Bagas tidak ingin membuat dua tamunya merasa tidak nyaman. Akhirnya pria itu memutuskan untuk tidak lagi bertanya.
Didalam keheningan yang terjadi, ternyata Nirmala dan Tiyas saling mengirimkan pesan satu sama lain. Keduanya berdebat disana, memutuskan harus berhenti di daerah mana. Tetapi karena tidak menemukan solusi, Tiyas akhirnya menyerah. Siapa tahu saja Ibunya punya ide cemerlang di tengah kekalutan keduanya.
Cukup lama mobil tersebut membelah jalan yang masih padat kendaraan, akhirnya Nirmala membuka suara.
"Belok kiri ya Gas. Nanti ada gang kecil, berhenti saja disitu," ucap wanita paruh baya itu mengarahkan. Meminta anaknya untuk tetap diam.
Bagas mengangguk dalam diam. Ia segera memutar setir kemudinya dan berhenti tepat seperti yang Nirmala arahkan.
"Makasih ya Gas, jadi ngerepotin. Kalau begitu kita pulang dulu ya, sekali lagi makasih lho," ucap Nirmala yang cepat-cepat membawa anaknya turun dari mobil.
"Tunggu Tante!" Seru Bagas yang langsung ikut turun dari mobil mewahnya. Pria itu berjalan dengan tergesa. "Mari saya antar sampai depan rumah. Gak sopan rasanya saya turunkan Tante dan Tiyas di depan gang seperti ini."
"Mas Bagas," panggil Tiyas yang sudah tidak tahan dengan sikap Bagas yang menurutnya sudah terlalu jauh. Menurut pengamatan Tiyas, Bagas bukanlah orang yang peduli dengan orang lain. Bisa dilihat sejak pertemuan pertama mereka malam ini. "Bukannya kami menolak, tapi kami yang merasa gak enak. Jalan ke rumah kami cukup rusak, banyak lubang dan genangan air apalagi ini sedang musim hujan. Jadi kayaknya gak sopan kalau kami masih merepotkan Mas kayak begini."
Bagas terdiam. Ia melirik sepasang kakinya yang terbalut sepatu pantofel yang harganya puluhan juta. Mendengar penjelasan Tiyas membuat sedikit ragu.
"Gang kami aman kok, Mas," sambung Tiyas dengan senyum kecilnya. "Yang gak aman malah di luar gang seperti ini. Kami malah takut mobil mas yang terparkir sendirian disini jadi sasaran begal."
Dan Bagas kembali dilema.
Dalam hati Tiyas bersorak gembira setelah melihat kebimbangan Bagas. Ia tak ingin lama-lama dalam situasi tidak nyaman seperti ini, malah akan menjadi boomerang untuknya sendiri.
"Apa benar gak apa-apa? Saya jadi gak enak," sahut Bagas yang masih terjadi dilema.
Tiyas mengangguk, senyumnya terlihat begitu menenangkan walau cahaya nampak remang.
"Beneran gak masalah, Mas. Terima kasih sudah antar kami ya Mas, hati-hati di jalan."
Wanita muda itu tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya menggandeng sang Ibu untuk berjalan bersamanya. Meninggalkan Bagas terdiam di sana, kakinya hampir melangkah saat melihat Tiyas yang hampir jatuh karena jalannya memang benar rusak dan wanita itu menggunakan sepatu hak tinggi.
Untungnya Tiyas segera menoleh pada Bagas dan mengatakan bahwa tidak apa-apa. Membuat pria itu mau tidak mau mengurungkan niatnya. Berbalik tubuhnya dan masuk ke dalam mobil, kemudian segera menginjak pedal gas untuk pulang ke rumahnya.
"Mami!" Pekik Tiyas setelah kepergian Bagas yang sudah tak terlihat lagi. Ia langsung menatap Ibunya dengan napas terengah, merasa lega setelah aura yang tidak mengenakan tadi. "Bisa-bisanya Mamih bilang boleh!"
Nirmala menghembuskan napas panjang, lega rasanya.
"Ya kan gak mungkin Mami bilang gak boleh Dek, gak sopan dong itu."
"Tapi mengancam keselamatan aku, Mih," gerutu Tiyas dengan kesal. Ia kemudian menatap jalan yang memang rusak seperti perkataannya. "Aku gak tahu kalau omonganku tadi benar adanya," sambungnya nelangsa.
Ibu satu anak itu juga ikut berdecak kesal. Ia segera berjalan memasuki gang tersebut, meninggalkan Tiyas yang melamun di sana.
"Tiyas, cepetan!"
"Loh, Mami mau kemana? Arah pulang kita bukan kesitu!"
"Rumah yang ada tanaman banyak itu punya istrinya pak Agus, kita tunggu disana saja. Sekalian kamu telepon pak Agus buat jemput kita," titah sang Ibu yang sudah mulai kelelahan. Pegal rasanya menggunakan sepatu hak di jalan berbatu dan becek ini.
Tiyas tanpa banyak protes mengikuti sang Ibu dengan pertanyaan di dalam kepalanya.
"Mih, bukannya istri pak Agus itu tinggalnya di komplek ya? Waktu itu sempat izin buat pindah rumah kan?"
"Itu istri pertamanya, yang ini istri kedua. Baru dua bulan nikahnya," jawab Nirmala dengan entengnya.
Berbeda dengan Tiyas yang kaget mendengar informasi baru.
"Duh, kuat juga ya pak Agus tua-tua begitu," kekehnya geli dan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Nirmala juga ikut tertawa. Pada awalnya ia juga terkejut mendengar pak Agus meminta cuti untuk beberapa hari karena ingin menikah lagi.
"Dek, Mami dapet informasi sebelum ini kalau Bagas anaknya cuek, bodo amat, tempramental, otoriter juga. Tapi kenapa anak itu beda sama apa yang Mami dapat?" Tanya wanita paruh baya utu yang tiba-tiba saja merasa ada yang aneh.
Tiyas mengangguk merasa satu pendapat dengan sang Ibu.
"Aku juga aneh, Mih. Kira-kira ada apa sama sikapnya dia ke kita?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Flo aja
udh untung ngga ketahuan
2023-11-12
1
Oh_Riandini
harap2 cemas/Joyful/
2023-10-09
0
Noona Kim
relate bgt sma aku dulu, ahh jadi keinget, dulu aku juga sllu sungkan bgni, ntah sma suami ataupun mertua, krn derajat yg berbeda.
2023-09-18
0