Bagas harus pasrah ketika dirinya sudah ditarik masuk ke ruang kerja sang ayah oleh adik perempuannya. Padahal belum lama pria itu menginjakkan kakinya ke dalam mansion, tapi sepertinya ledakan amarah Bella sudah tidak tertahankan.
Kini dihadapan Bagas sudah ada Ayah, Ibu dan Adik perempuannya. Ketiganya duduk bersisian menghadap Bagas, pandangan mereka tajam penuh amarah.
"Kenapa?" Tanya Bagas dengan nada malasnya. Lelah tubuhnya, rasa ingin istirahat lebih mendominasi.
"Kenapa?!" Ulang sang Ibu yang sudah naik pitam. Indah memegangi kepalanya yang mulai pening menghadapi tingkah anak sulungnya. "Kamu udah gak waras ya, Gas? Kamu mau jadi pembangkang kayak adikmu itu?! Sebenarnya apa yang otak pintar kamu itu lakukan, hah?!"
Restu, sang Ayah juga ikut membuka suaranya.
"Kami berniat akan membatalkan perjodohan ini kalau saja kamu juga sama menolaknya. Tapi kamu malah setuju dan minta dipercepat. Kamu gak tuli kan sama status sosial dia? Dia cuma guru honorer Gas. Harusnya kamu itu cari pasangan yang setara denganmu."
"Lo memang udah gila, Kak. Dikasih yang cantik dan dari keluarga berada malah maunya sama gadis kampung kayak gitu!" Hardik Bella dengan bersungut-sungut.
Bagas menghela napas panjang. Menatap secara bergantian anggota keluarganya itu, penting rasanya jika harus berhadapan dengan wanita. Terlebih tipikal Ibunya dan Bella. Bisa-bisa pecah kepalanya menghadapi ocehan tanpa batas.
"Mau aku menolak juga Kakek akan tetap lanjutkan perjodohan ini kan? Jadi apa bedanya? Lebih baik aku menerima dia lebih cepat, biar kami bisa lebih akrab. Aku rasa anaknya juga baik dan sopan begitu," sahut Bagas dengan tenang.
Indah berdecak kesal. Ia segera berdiri dari duduknya dengan mata yang memerah.
"Baik dan sopan saja gak cukup, Bagas. Mau taruh dimana muka Mama kalau teman-teman arisan tahu punya menantu kere dan miskin! Yang ada Mama bakal dijauhin habis-habisan! Padahal Mama selalu cerita kalau istri kamu nanti itu Stefanny!"
"Siapa yang suruh Mama cerita bohong kayak gitu?!" Tanya Bagas dengan nada yang mulai agak tinggi. Seperti kata Nirmala, pria ini mempunyai temperamental buruk yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. "Aku dan Stefanny gak ada hubungan apapun sejak dulu. Yang membuat asumsi macam-macam kan cuma Mama dan Bella."
"Bagas!" Teriak Indah yang amarahnya sebentar lagi akan meledak. "Jawab terus kamu ya! Sudah mulai kurang ajar!"
Restu merasa kondisi ini sudah tidak kondusif memutuskan untuk menjadi penengah. Pria paruh baya itu segera menarik istrinya untuk duduk dan bersikap lebih tenang.
"Sudah, jangan lagi meributkan hal-hal begini," putusnya berusaha untuk bersikap netral. Jika keributan ini sampai terdengar di telinga ayahnya, Restu tidak menjamin istri dan anaknya akan terus mendapatkan fasilitas yang telah mereka pakai hingga saat ini.
"Pah, kamu gimana sih?! Kok malah bela anaknya, sudah tahu Bagas jadi pembangkang sekarang. Sama kayak adiknya yang hidupnya gak ada arah dan tujuan," sahut Indah yang marahnya masih menggebu-gebu.
Restu menghembuskan napas panjang. Tak berdaya ia didepan istrinya, selalu seperti itu.
"Sayang, kalau kamu begini terus bisa-bisa seisi rumah kedengaran. Kalau papa sampai tahu kita masih menentang perjodohan ini, pasti di bakal marah besar."
Indah terdiam dengan napas terengah. Benar perkataan suaminya, jika ayah mertuanya tahu tentang hal ini bisa-bisa mereka didepak dari keluarga Wiguna. Sama seperti kakak iparnya dulu.
"Kalau kamu masih keukeuh sama pendirian kamu. Mama mau pernikahan ini dilakukan secara tertutup. Baik kolegamu, kolega Papa, teman-teman Mama dan siapapun itu gak boleh tahu. Pernikahan ini hanya boleh dihadiri oleh keluarga dekat saja," putus final Indah sebelum akhirnya beranjak pergi keluar dari ruangan tersebut.
Sebelum ikut menyusul sang Ibu, Bella menatap lama sang Kakak yang masih terdiam dengan raut tak terbaca.
"Cepat sembuh deh lo!" Serunya sebelum akhirnya pergi diikuti oleh Restu yang tidak lagi membuka suaranya.
Kini hanya tersisa Bagas yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Untuk kali pertamanya, pria itu menentang keluarganya sendiri hanya demi mempertahankan pilihannya.
***
"Gimana?" Tanya seorang pria paruh baya dengan tablet ditangannya. Melihat bagaimana raut masam dan lelah istri serta anaknya. "Sini, mau dipijat gak?"
"Mau dipeluk saja," kata Nirmala yang langsung masuk kedalam pelukan suaminya. "Capek banget, Mas. Kita hampir ketahuan," bebernya dengan nada yang lesu.
Rudi Putra Adhitama, Ayah dari Tiyas itu mengangguk pelan. Tangannya sibuk memeluk seraya memijat pelan tubuh sang istri. Ia kemudian melirik Tiyas yang sedang memejamkan matanya.
"Begitu ya?"
Tiyas sedikit membuka matanya, mengintip sedikit sebelum akhirnya kembali terpejam.
"Cucu Kakek Chandra itu keukeuh mau antar kami pulang, Pih. Kan gawat kalau gitu, untungnya Mami tahu rumah istri pak Agus. Jadi kita masih bisa selamat."
Rudi terkekeh sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Lagian Dek, ngapain sih pake acara sembunyi begini? Capek tahu, mending kita jujur saja dari awal."
"Papi gak tahu ya gimana watak anak menantu dan cucu Wiguna? Mereka itu OKB, sukanya memandang rendah orang, dan aku mau kasih sedikit pelajaran buat mereka. Aku gak mau ya jadi ratu disana karena mendompleng Adhitama dibelakang namaku."
"Kamu sudah pikirkan baik-baik? Berkas dan segala macamnya gimana? Semua akta kelahiran dan kartu keluarga semuanya ada nama Papa dan Adhitama di sana," jelas Rudi yang berusaha memberikan gambaran pada anak semata wayangnya.
Tiyas membuka matanya, punggungnya tegak dengan segera.
"Papi! Aku lupa soal itu!"
"Sudah, tenang saja. Nama Rudi Adhitama kan banyak di Indonesia, lagipula yang urus berkas-berkas nanti Bapak Chandra. Gak mungkin dia sampai teledor," sahut Nirmala yang menenangkan Tiyas. "Mami juga gak pernah mau untuk tampil di media, identitas Mami cukup sulit untuk media ulik. Jadi gak semudah itu mereka curiga."
Rudi mengangguk pelan, sedikit banyak setuju dengan pendapat sang istri.
"Selama ini kan media gak tahu gimana rupa dan nama istri serta anak Papi. Mami juga bukan wanita yang senang untuk diliput, tenang aja Dek."
"Lagipula kita sudah sepakat untuk dilakukan secara tertutup. Dan kemungkinan besar keluarga Wiguna juga sependapat dengan kita," sambung Nirmala dengan senyum gelinya.
"Benar," gumam Tiyas dengan pelan. "Keluarga Bagas gak mungkin gegabah begitu. Mereka pasti malu kalau kolega bisnis mereka tahu bahwa menantunya cuma orang miskin."
Sang kepala keluarga itu hanya diam memperhatikan. Bagaimana dua wanita yang ia sayangi tengah menjalankan sebuah rencana tanpa dirinya.
"Kalau butuh bantuan kasih tahu Papi saja ya, maaf nih nanti gak bisa hadir dipernikahan kamu," ejek pria paruh baya itu membuat Tiyas merengut kesal. Tetapi kemudian Rudi menatap anaknya sendu. "Padahal kamu satu-satunya anak Papi, tapi malah Papi gak bisa hadiri pernikahan kamu nanti."
Tiyas jadi merasa bersalah melihat raut wajah Rudi yang mulai menua. Tapi mau bagaimana lagi, ini juga demi kewarasan ia sebagai menantu keluarga Wiguna. Bak pepatah harus sedia payung sebelum hujan.
Baik Bagas dan Tiyas mereka belum pernah bertemu, tidak pernah saling kenal. Mereka sama-sama asing. Berbeda seperti saudara mereka yang lain, dimana sudah mengenali pasangannya sejak kecil.
"Gak apa-apa kok, Pih. Nanti kita bikin resepsi part dua ya," canda Tiyas dengan kekehan tipis. Berusaha untuk menyenangkan hati sang Ayah yang tengah bersedih.
"Oh, kayaknya kamu mulai suka sama Bagas ya?" Tebak Nirmala dengan memicingkan mata. Dia curiga.
Tiyas melotot kaget.
"Nggak Mih!" Bantahnya dengan gelengan keras.
Wanita itu tidak mungkin memberitahu Ibunya kalau bisa saja pernikahan ini tidak akan bertahan lama. Entah kenapa Tiyas punya feeling kuat untuk persoalan yang satu ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Flo aja
ayahnya dirias kakek kakek kan bisa dikasih kumis dan rambut palsu kasih tompel 😁😁😁
2023-11-12
1
Oh_Riandini
saya yang guru bacanya agak nyesek/Scowl/
2023-10-09
0
Noona Kim
padahallllllll setaranya pakek banget
2023-09-18
0