Terjerat Benang Merah Kakak Ipar
Musik masih mengalun kencang. Sorakan orang-orang masih terdengar lantang. Di tengah kerumunan, Hanggini Prameswari berdansa bersama sang kekasih, Radhika Oza Giandra yang sudah menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun. Dimulai sejak dia menjadi mahasiswi baru di sebuah perguruan tinggi ternama di Bali. Waktu itu Radhika adalah kakak senior yang mengospeknya.
Bau alkohol begitu kentara. Hanggini turut meneguknya. Entah sudah berapa banyak yang masuk padahal tubuhnya memiliki toleransi rendah pada minuman pemabuk itu.
Gadis yang rambutnya tergerai bebas itu mulai merasa panas. Dia menyingkir, menolak mentah-mentah alkohol yang hendak diberikan Radhika.
Berjalan lunglai, menepuk kepala yang berat. Langkah Hanggini membawanya kembali ke kamar inapnya. Villa tiga lantai yang tengah sepi. Hanya ada suara deburan ombak yang terdengar. Semua keluarganya masih asik berpesta merayakan pernikahan Kakak satu-satunya yang dia miliki, sementara dia memilih menyerah, tidak kuat lagi.
"Happy wedding, Kak." Salam perpisahan sebelum masuk kamar. Salam yang ditunjukkan pada suara dentuman musik yang terbawa angin.
Pintu hendak ditutup, tapi seseorang menyelinap masuk. Hanggini berusaha mengerjapkan matanya, tapi orang itu yang jelas adalah laki-laki berpakaian serba putih langsung membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. Mendorongnya hingga jatuh ke atas kasur.
Hanggini hendak memberontak, namun semakin dia melawan, semakin kuat cengkaraman pada tangannya.
Tidak lagi pada bibir, lelaki itu semakin brutal menghisap bagian intim gadis yang telah pasrah itu, menyobek belahan dress hitam satin panjangnya hingga tubuh bagian depannya terbuka.
Tidak lagi memiliki tenaga. Tidak lagi berada pada kesadaran. Bukan lagi efek alkohol, tapi juga efek sentuhan yang akhirnya membuat Hanggini jatuh pada kungkungan lelaki berpakaian serba putih yang menerobos ke dalam kamar inapnya itu.
***
Tidak diciptakan menjadi perempuan manja. Hanggini prameswari, gadis bermata bulat itu sempat terkejut ketika terbangun dalam keadaan telanjang. Bercak merah pada sprei putih ranjang yang dia tiduri juga menghadirkan frustasi sesaat, sebelum akhirnya dia menarik sprei tersebut hingga terlepas, membuangnya asal dan bergegas membersihkan diri dari sisa semalam.
Hanggini diam terpaku di depan cermin, masih mengenakan bathrobe dan menggenggam segelas air putih. Melihat bekas merah di leher, wanita itu akhirnya terbaring kembali ke atas ranjang. Dia marah, tapi tubuhnya merasa panas. Bukan karena alkohol atau sentuhan, melainkan efek dari kegiatannya semalam.
Suara pintu diketuk, Hanggini tidak mungkin membiarkan orang itu masuk dengan sprei berbecak yang tergeletak di lantai. Tapi bukannya mereda, suara ketukan itu justru semakin keras, membuatnya terpaksa beranjak.
"Nona Hanggini. Ini ada titipan dari Tuan Arik. Silahkan." Hanggini menerima sebuah bingkisan kecil, perempuan yang memakai jas kerja dan earphone HT itu pergi begitu saja setelahnya.
Hanggini mengangkat bahu, membuka bingkisan paperbag coklat itu.
"Maaf atas semalam. Kita harus bicara empat mata. Tapi nanti. Semua orang masih larut dalam pesta semalam."
"Minum obatnya jika tubuh kamu merasa tidak nyaman."
Hanggini menutup mulut usai dia membaca note pesan pada kertas putih. Jadi lekaki yang menerobos masuk dan membuatnya kehilangan keperawanan adalah Arik, Arik Kaivan Bayanaka yang merupakan suami dari Kakaknya, Arabella Prameswari Hartono.
Gila. Apa yang sedang dibicarakan keluarga setelah semalam Arik tidak berada di kamar pengantinnya. Harusnya dia melakukan hubungan itu dengan Arabella, bukan dirinya.
Hanggini segera memakai pakaian, dia harus turun demi melihat kondisi keluarganya sekarang. Apa mereka sedang saling bertanya satu sama lain atau malah sudah menyidang Arik karena tidak ada di kamarnya semalam.
Turun tergesa dari lantai tiga, Hanggini yang akan turun ke lantai satu ditarik oleh seseorang ke dalam kamar yang berada tepat di depan tangga.
"Kak Arik!" kagetnya. Mata bulatnya semakin membulat.
"Mau ke mana?" tanya lelaki itu. Datar dengan sorot mata tajam.
"Apa urusannya sama Kakak!" Balas memberi sorotan tajam, Hanggini tidak mau dianggap lemah.
"Saya tau kamu marah. Tapi bisa kita bicarakan nanti. Semua orang masih terlelap di kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. Lagi pula, saya juga tidak akan membiarkan kamu mengatakannya."
"Jangan rusak pernikahan saya Hanggini. Anggap saja semalam tidak pernah terjadi. Jika kamu nekad, saya akan membuat keluarga kamu jatuh miskin."
"Wow ... anda yang salah tapi anda juga yang mengancam. Anda pikir saya mau semua orang tau dengan berkoar-koar bahwa anda, Arik Kaivan Bayanaka dengan sengaja telah mengamil keperawanan adik iparnya sendiri di malam pesta pernikahannya dengan Arabella. Begitu?" Hanggini tertawa. Sial sekali dirinya sekarang.
"Saya tidak setega itu membuat pernikahan impian Kakak saya hancur meski saya sendiri sudah hancur. Tapi kalau saya hamil, apakah saya harus tetap diam, Tuan Arik?"
"Harus. Kamu harus tetap diam."
"Brengsek!" Hanggini menampar Arik, meludahi wajahnya, "saya juga nggak akan segan-segan menghancurkan hidup anda. Untuk saat ini, anda aman!!"
Arik menyeka ludah yang membasahi wajah. Terkekeh sejenak sebelum melepas Hanggini yang sudah membuka pintu. "Minum pil yang saya berikan. Itu obat pencegah kehamilan. Saja juga tidak bersedia memiliki anak dari kamu karena yang saya inginkan anak itu ada di rahim Arabella, istri tercinta saya," ucapnya membuat Hanggini yang sempat berhenti melangkah kembali, menutup pintu keras-keras.
***
Pukul dua belas siang saat matahari tengah berada di terik-teriknya, Hanggini bersama Radhika sibuk mengatur bagasi, membantu Damar dan Gayatri yang harus kembali ke Denpasar, mengurus pekerjaan yang tidak bisa ditinggal terlalu lama.
"Semuanya sudah?" tanya Gayatri. Dia membawa tentengan lagi di tangan. Gaun pesta yang semalam dipakai.
"Sudah, Mah. Barang-barangku nanti ditaruh kamar aja langsung. Biar aku aja yang beresin," sahut Hanggini.
"Yasudah nanti biar Mamah yang pesen ke Mbok. Punya kamu cuma yang tas biru itu, kan?" Gayatri menunjuk tas biru paling kecil. Hanggini memang tidak membawa barang terlalu banyak karena besok pagi dia juga akan pulang.
"Iya, Mah."
"Ayo, Mah. Ini klien Papah katanya sudah on the way." Damar masih sibuk dengan ponsel. Ya begitulah rutinitasnya. Membangun usaha oleh-oleh yang sudah terkenal pasti memakan banyak waktunya untuk bekerja.
"Iya-iya. Ini juga sudah!" Gayatri menggerutu, membuat tawa Hanggini keluar.
"Mamah pulang dulu, ya. Kamu hati-hati."
"Nak Dhika, tolong jaga Hanggini. Kalau dia rewel, jewer saja."
"Iya, Tan. Tenang aja."
"Papah juga pamit ya, Nggi. Besok ketemu lagi."
"Iya, Pah."
Damar berpamitan dengan terus melihat gawainya. Sepertinya klien dia kali ini cukup ribet. Terlihat dari sorot mata dan kerut dahi. Harusnya jika tidak ada kendala, mereka akan sampai dari Tabanan menuju Denpasar satu jam mendatang.
Klakson berbunyi, mobil melaju pergi. Hanggini cemberut, bersedekap menyenggol Dhika. "Jadi mau jewer aku nih, ceritanya," ujarnya.
Dhika tertawa, mencubit kedua pipi Hanggini. "Ya kalau rewel banget bukan cuma jewer. Tapi aku kurung di kamar, aku cium-cium sampai bibir kamu berdarah." Kecupan mendarat, Radhika mengeluh saat Hanggini memukul lengannya.
"Sakit, Beib."
"Makannya jangan langsung nyosor. Malu kalau diliat, Dhika ...."
"Yaudah ayo ke kamar." Radhika memeluk, menatap intens Hanggini, "tapi ntar dulu, aku mau beli makanan buat temen cuddle. Tunggu, ya," ucapnya lembut.
Hanggini mengangguk, kembali dicuri bibirnya tapi kali ini Radhika sudah berlari lebih dulu.
"Hayooloh ... buruan minta dinikahin!!" Entah sejak kapan, Arabella berada di belakang Hanggini, mengagetkannya.
"Apasih, Kak."
"Apasi-apasi. Nggak usah malu, Nggi. Kalau perlu, mah kasih aja. Kamu belum ngelakuin itu, kan. Takutnya Dhika keburu pergi. Kalian udah tiga tahun pacaran masa cuma cuddle sama ciuman doang."
"Nggak ah, Kak. Takut gue. Nunggu pas kita sah aja."
"Alah... justru kalau kamu hebat. Radhika pasti nggak bakal lepasin kamu."
"Jangan bilang lo sama Kak Arik udah ngelakuin itu sebelum kalian nikah?"
"Sering. Tapi karena Kakak jago, Arik nggak pergi, kan. Mau Kakak kasih tipsnya nggak?"
"Ih ... enggak-enggak. Pokoknya gue harus megang prinsip gue. Enak aja."
"Ngeyel kamu Nggi. Mending Kakak masuk kamar lagi. Masih mau lanjut. Jangan nangis, loh, kalau Dhika nanti pergi gara-gara kamu nggak bisa kasih apa yang dia mau. Padahal kesempatan ada. Mumpung nggak ada Mamah sama Papah!" Arabella diakhir kalimat berteriak karena dia telah masuk kembali, menyisakan Hanggini yang geleng-geleng kepala, heran dengan cara berpikir Arabella.
Pola pikir mereka memang beda. Begitu juga sifat dan kadar kepintaran. Arabella tidak pintar, tapi dia bisa menempatkan diri dan bersikap anggun selayaknya wanita old money. Gayanya juga terbilang berani dengan pakaiannya yang seringkali terbuka. Makannya dia bisa mendapatkan Arik meski statusnya hanya tamat SMA.
Sementara Hanggini, dia cerdas, tapi sedikit pemarah. Dia seringkali bertindak tanpa pikir panjang, sedikit ceroboh pula. Tapi dengan kepintarannya itu, dia bisa masuk ke universitas bergengsi di kotanya lantas mendapatkan cinta Radhika, yang sekarang bekerja sebagai kepala manager di perusahaan properti milik keluarga Arik. Hanggini juga sosok perempuan berprinsip. Salah satunya tentang keperawanan yang dia jaga sebelum dia resmi menikah. Tapi sayangnya prinsipnya itu terlanjur kacau balau karena ulah Arik.
Saat akan masuk, dua bodyguard menghadang Hanggini, menyeretnya masuk ke dalam salah satu ruangan yang mana ada Arik di dalamnya. Dia ditinggalkan berdua saja dengan lelaki itu.
"Tanda tangan Nggi. Jangan membuat semuanya rumit." kata Arik menyerahkan kertas putih delan sebuah pena.
Hanggini membaca isi perjanjian yang tertulis di sana bahwa dia tidak boleh membuka suara kepada siapapun atas kejadian semalam. Apabila dia hamil, dia juga harus tetap bungkam dan tidak boleh menggugurkan. Hanggini harus melahirkan bayi itu dan sisanya Arik yang akan mengurusnya. Dia bisa menghilang satu tahun untuk menyembunyikan kehamilannya jika memang itu benar terjadi nantinya.
Tentu saja Hanggini marah besar. Dia merobek kertas itu menjadi bagian-bagian kecil. Perjanjian itu hanya akan membuatnya rugi jika disetujui.
"Tuan Arik yang terhormat, anda tidak perlu repot-repot membuat surat kembali karena saya tidak akan pernah setuju!"
"Jika hamil, saya akan menggugurkannya saat itu juga. Itu mutlak. Ini tubuh saya, saya berhak melakukan apapun semau saya."
"Semoga pernikahan anda dan Kakak saya tidak bahagia. Semoga Kakak saya segera meminta cerai agar dia bisa terlepas dari lelaki bajingan seperti anda!!" Hanggini melempar potongan kertas ke wajah Arik lantas pergi dengan amarah yang menggebu-nggebu.
Arik terkekeh, menyingkirkan potongan kertas di bahunya seraya menyoroti kepergian adik ipar yang semalam dia tiduri itu. "Coba saja kalau kamu bisa, Nona Hanggini Prameswari."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
이샤
serem
2023-11-04
0
Soraya
permisi numpang duduk dl ya kak
2023-09-13
2
v_cupid
serem
2023-09-12
0