Sial beribu sial. Memang ucapan kerap kali menjadi doa. Tiga minggu lalu Hanggini bersikeras menduga kondisinya yang bisa saja hamil, lantas hari ini, lima testpack yang dia beli menunjukan garis dua, semuanya. Hanya berbeda samar, ada yang buram ada pula yang jelas.
Sudah sejak tiga hari terakhir Hanggini merasakan mual dan tidak enak badan. Dia jelas tidak awam dengan gejala perempuan berbadan dua. Makannya dia buru-buru membeli testpack tersebut.
Seusai dengan rencana awal, dia akan menggugurkannya demi nama baik keluarga dan juga masa depannya sendiri. Satu tahun lagi dia akan lulus. Jika orang tau bahwa dia memiliki skandal di luar nikah, dia bisa di drop out dari kampus.
Tidak ada manusia yang bisa dipercaya, Hanggini mencari sendiri tempat biasa dilakukannya aborsi. Dan dia menemukannya setelah dua jam mencari-cari di salah satu aplikasi sosial media. Membuat janji dan telah siap untuk pergi.
Rumah keluarganya bukan seperti rumah adat yang memiliki banyak ukiran indah, melainkan rumah minimalis dua lantai. Rumah yang tampak sederhana dengan halaman luas. Sesuai dengan selera Gayatri yang memang tidak neko-neko. Lagipun mereka bukan asli orang Bali, melainkan perantau yang sudah bertahun-tahun menetap di sana.
"Mau ke mana, Nggi?" tanya Arabella, tengah duduk menemani Arik yang sedang memakan sandwich buatan istrinya itu. Mereka memutuskan untuk tinggal sementara di sana meski mereka juga sudah memiliki rumah siap huni yang tiga kali lebih besar. Alasannya sepele, Arabella belum siap terpisah dengan keluarganya. Tapi alasan itu juga yang membuat Arik bisa mengawasi gerak-gerik Hanggini dengan mudah.
"Kampus. Mana lagi," santai Hanggini.
"Kata kamu udah mulai libur semester."
"Ada kegiatan tambahan. Biasalah. Anak rajin. Gue pergi dulu ya, Kak. Tolong bilangin ke Mama. Gue buru-buru soalnya."
"Iya, hati-hati."
Tanpa membuat curiga, Hanggini berjalan santai memutar-mutar kunci mobil seperti kebiasannya. Dia mengabaikan Arik, karena memang dari dulu dia selalu menjaga jarak untuk menjaga hati Arabella juga.
***
Menunduk, mendongak, menunduk, mendongak. Hanggini mengaduh kesal. Lehernya pegal karena bolak-balik melihat layar ponsel dan jalanan di depannya. Tempat praktek aborsi yang akan dia kunjungi berada di pelosok, jalannya berblok-blok. Mau bertanya tapi tidak satupun orang lokal melintas.
Tugu merah bata dengan penjor tiga meter. Hanggini masuk ke dalam komplek yang disebutkan oleh orang yang akan menguret dirinya.
Rumah paling pojok bersatpam. Akhirnya Hanggini menemukannya. Kehadirannya sudah ditunggu. Satpam penjaga membantu memarkirkan mobilnya seolah dia juga tau, bahwa Hanggini adalah tamu dari tuannya.
"Nona Hanggini, benar?" tanya satpam, membukakan pintu.
Hanggini mengangguk.
"Silahkan masuk. Sudah ditunggu," kata satpam tersebut, membukakan kembali pintu rumah.
Tidak ada yang aneh. Tempat praktek dokter yang akan melakukan aborsi seperti rumah biasa. Orang juga tidak akan curiga karena dokter tersebut juga memasang plang dokter kandungan.
Begitu masuk ke dalam ruang periksa, ada perawat yang menyuruh Hanggini melakukan administrasi, tentunya dengan keterangan berbeda dari tujuannya ke sana.
"Terakhir kali haid kapan, Kak?" perawat itu bertanya, memastikan usia janin.
Hanggini membuka ponsel. Dia tidak ingat tapi dia mencatat di kalender menstruasinya. "Tangal dua puluh lima." jawabnya, sekaligus menunjukan layar ponsel.
"Jika dihitung dari HPHT, maka janin yang ada di dalam perut Kakak berusia lima minggu. Sebelumnya sudah melakukan pemeriksaan?"
"Belum. Saya baru cek lewat testpack."
"Baik jika begitu, kita lakukan usg terlebih dahulu untuk memastikan ada atau tidaknya janin di dalam rahim. Karena testpack belum tentu benar."
Hanggini manggut-manggut saja. Dia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Dia hanya ingin segera membuang janin itu jika memang ada di dalam rahimnya.
Suster yang mengurus administrasi, suster juga yang melakukan usg. Hanggini bingung apakah suster tersebut juga yang akan melakukan aborsi. Tapi setelah beberapa menit menghilang dengan kondisinya yang terbaring di atas ranjang, tiba-tiba muncul sosok perempuan berusia empat puluhan dengan pakaian dokternya.
Perempuan itu cantik, tersenyum ramah. Rambutnya tergerai bebas. Tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah pembunuh bayi-bayi suci yang harusnya lahir ke dunia. Tidak akan ada yang curiga kalau tangannya begitu dingin, menarik tanpa rasa bersalah janin dari rahim ibu yang tidak menginginkannya.
"Suntik bius dulu, biar sakitnya tidak terlalu." Kata dokter tersebut, menarik suntikan untuk memasukkan cairan bius yang dibawa oleh suster.
Hanggini mengangguk kecil. Tidak ada rasa takut dalam dirinya karena keputusannya ini sudah dia bulatkan sejak di hari di mana keperawannya diambil. Dia tidak mau ambil pusing, karena masa depannya yang sudah dia tata harus sesuai dengan rencana.
Jarum suntik masuk ke dalam kulit. Hanggini tidak bereaksi, diam tertidur seperti sebelumnya.
Lima detik, sepuluh detik, tiga puluh detik, hingga masuk pada menit ke tiga, gadis dengan blouse putih itu merasa berat pada matanya. Pandangannya buram hingga satu menit kemudian, dia tidak sadarkan diri.
Ini di luar kendali Hanggini, padahal dia sebelumnya pernah melakukan pencarian tentang aborsi dan efeknya, namun tidak ada bagian dari banyaknya artikel yang dia baca yang mengatakan bahwa pasien aborsi harus kehilangan kesadarannya.
***
"Dua jam lima belas menit. Buang-buang waktu." Seseorang berceletuk.
Hanggini yang baru terbuka kembali matanya mengerjap sekitar. Mendapati Arik sedang duduk di kursi tepat di depan ranjang besar yang ditiduri gadis itu.
"Kamu nggak akan bisa menggugurkan anak itu, Nggi."
Satu kalimat yang membuat Hanggini segera terduduk, meraba-raba perutnya.
"Pulang. Papa, Mama, Arabella dan tentunya Radhika, mereka semua sudah tau kalau kamu tengah hamil. Kamu ditunggu oleh mereka, Hanggini."
Hanggini terkekeh seperkian detik mendapati takdirnya yang lucu sebelum sorot matanya menatap tajam pada Arik. Dia marah, namun dia enggan meladeni celotehan lelaki bersetelan jas lengkap itu. Dia beranjak, menyambar tasnya yang tergeletak di atas nakas.
Sialnya saat dia hendak pergi sebab enggan meladeni Arik, tangannya justru lebih dulu ditarik, hingga langkah itu mundur kembali dan membuatnya jatuh di atas pangkuan lelaki itu.
Arik balik menyerang, mengangkat tubuh Hanggini lantas dijatuhkan di atas kasur. Dia menindihnya, balik terkekeh sebelum mengunci mata pada sosok gadis yang kini tengah mengandung anaknya itu.
"Jangan katakan siapa ayah dari anak yang kamu kandung. Atau baiknya, kamu tidak perlu kembali. Sembunyi di sini sampai anak itu lahir. Cuti kuliah selama sembilan bulan tidak akan membuat planning hidupmu hancur bukan. Atau, mau saya bantu agar kamu tetap berkuliah, tapi secara online. Bagaimana?"
Hanggini hendak berontak. Tapi tubuhnya terlalu kecil untuk melawan kekuatan Arik yang tiga kali lebih besar. "Gugurkan. Semuanya kelar. Saya punya hak untuk mengatur hidup dan tubuh saya. Anda tidak usah ikut campur!" tegasnya.
"Tapi saya mau anak ini." Arik melirik bagian perut Hanggini yang masih rata, lantas tatapannya naik kembali pada wajah merah padam gadis itu.
Hanggini terkekeh kembali. "Bukannya anda kemarin mengatakan hanya mau anak dari rahim Arabella, istri yang paling anda cintai itu. Kenapa tiba-tiba anda mengatakan ingin anak ini. Omong kosong!"
"Terserah kamu mau mengatakan apa. Saya menginginkan anak ini dan saya mau anak ini lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat sedikitpun. Silahkan jika kamu mau pulang. Tapi yang jelas, hidupmu akan hancur saat itu juga."
"Sejujurnya, saya masih belum melupakan malam itu. Wanna try again?"
Bedebah gila. Amarah Hanggini meluap-luap dibuatnya. Pantas saja Arabella dan Arik berjodoh, pikiran mereka sama-sama tidak jauh-jauh dari ************.
Hanggini menendang ******** Arik tanpa ragu, memberi bogeman mentahnya pada wajah berahang tegas itu sebelum akhirnya dia bisa melarikan diri. Tanpa dikejar meski beberapa bodyguard berjaga di depan pintu kamar maupun di depan pintu gerbang. Dia pergi dengan mobilnya sendiri yang pastinya di bawa oleh salah satu bodyguard Arik yang mengikutinya. Dan jelas, dokter yang tadi Hanggini temui juga pasti sudah bekerja sama dengan lelaki itu.
Hanya satu pertanyaan. Kenapa Arik bisa tau apa yang hendak dia lakukan. Apakah pria itu menyabotase ponsel atau bahkan memasang gps di mobilnya. Atau bahkan ... dia juga memasang CCTV di kamar pribadinya?
Entalah, tapi yang jelas, Hanggini harus bersiap menghadapi amukan orang tuanya. Apalagi, pintu rumah sudah terbuka lebar saat dia pulang.
Dua koper besar muncul di balik pintu. Dibarengi Gayatri, Damar, Arabella dan Radhika.
"Pah," panggil Hanggini.
"Hamil anak siapa kamu?!"
Hanggini menggeleng. "Siapa yang hamil," elaknya.
Damar melempar lima testpack yang tadi pagi Hanggini gunakan. Seingatnya dia sudah membuang ke tong sampah luar, kenapa bisa sekarang ada di tangan lelaki itu.
"Radhika sudah bersumpah tidak pernah melewati batas, jadi anak siapa itu Hanggini!!" pekik Damar.
"Pah, maafin Hanggini, Pah." Hanggini bersimpuh, memegangi kaki Damar, "Hanggini bakal gugurin anak ini," mohonnya.
"Tidak tau malu. Tidak tahu diri. Bisa-bisanya kamu mau menggugurkan anak itu!!"
"Terus Hanggini harus apa. Nggak mungkin Hanggini lahirin anak ini, Kan. Papah juga nggak akan mau, kan. Kenapa Hanggini nggak boleh mengugurkannya!!"
Plak!
Hanggini tersungkur, pipinya merah. "Tidak punya sopan santun. Beraninya kamu teriak di depan saya. Kamu ini benar-benar beda dengan Kakak kamu."
"Jangan bandingin Hanggini. Hanggini nggak suka!! Apa bedanya Hanggini sama Kakak kalau dia juga melakukan hal yang sama sebelum menikah!!"
Kembali ditampar, Hanggini merasakan perihnya berkali-kali lipat. Tak sadar air matanya juga meluruh.
"Dia jelas melakukannya dengan siapa. Tidak seperti kamu. Papah malu, Papah malu punya anak seperti kamu. Pergi kamu, Nggi. Jangan pernah kembali ke rumah ini lagi. Kamu hanya bisa membuat malu saya dengan tingkah kasarmu itu. Teruskan saja hidup menjadi berandalan. Teruskan saja menjadi perempuan murahan. Saya tidak akan peduli!!"
"Pah, Pah ... jangan usir Hanggini, Pah. Yang membuat Hanggini hamil itu Kak Arik. Dia yang menghamili Hanggini, Pah. Dia memperkosa Hanggini!!"
Bukan pembelaan bukan belas kasihan, Hanggini justru kembali ditampar oleh Gayatri. "Kamu iri sama Arabella yang hidupnya bahagia sampai kamu menuduh suaminya, kakak iparmu sendiri. Perempuan macam apa kamu, Hanggini!!"
"Kakak kamu memang tidak sepintar kamu. Tapi dia bisa membawa dirinya sehingga bisa mendapatkan Arik, pewaris tunggal Bayanaka Group. Jika kamu iri, cari laki-laki lain. Tunjukkan value kamu sebagai perempuan yang katanya pintar itu!"
"Dari pada kasihan sama kamu, Mamah lebih kasihan dengan Radhika. Dia lekaki baik, tidak pantas mendapatkan perempuan seperti kamu!"
"Nggi, Kakak benar-benar nggak nyangka kamu bisa menuduh Mas Arik seperti itu. Dia laki-laki bermartabat, tau mana yang benar dan salah!" Arabella berkaca-kaca, pipinya merah menahan marah. Tapi ada Gayatri yang merangkulnya, mengusap lengan memberi tenang.
"Jangan pusingkan dengan omong kosongnya. Lebih baik kita masuk. Biarkan saja dia sendiri. Anak tidak tahu diri!" Damar ikut merangkul Arabella, membawa wanita itu masuk ke dalam rumah bersama Gayatri. Tapi sebelumnya, dia juga sempat merampas kunci mobil yang digengam gadis itu.
"Kita putus. Aku nggak nyangka kalau kamu bisa menjadi perempuan murahan seperti ini, Nggi. Aku selama ini kagum dengan prinsip kamu, tapi sekarang aku menyesal. Kamu bahkan tega menuduh Pak Arik. Dia lelaki berprinsip, tidak mungkin dia mengkhianati istrinya sendiri!" Radhika pergi dengan mobilnya, membuat tangis Hanggini pecah begitu saja.
Gadis itu kira, Radhika akan selalu bersamanya. Dia akan percaya kepadanya lebih dari siapapun. Namun tanpa mau mendengar penjelasan, dia justru meninggalkannya yang telah dibuang oleh keluarganya sendiri.
Hancur. hidup Hanggini, mimpi Hanggini dan angan Hanggini semuanya hancur. Gara-gara janin yang ada di dalam kandungannya, keluarganya tidak mau menerimanya lagi. Bahkan opsi mengugurkan pun tidak disetujui. Mereka membuangnya layaknya barang rusak yang tidak ada gunanya lagi.
"Brengsek!!" Tidak perlu meratapi nasib lagi. Dia memang harus pergi dari rumah yang sudah dia tinggali dua puluh tahun lamanya itu. Kini bersama dua koper besar yang entah isinya apa saja, Hanggini keluar dari pekarangan rumah. Dia harus mencari tempat tinggal sementara, secepatnya sebelum hari menggelap.
Menemukan taxi dengan mudah, Hanggini mencoba mampir di atm terdekat setelah lima belas menit berkendara, sebelum memasuki sebuah penginapan yang telah dia pilih. Niatnya untuk mengambil uang tunai. Tapi ternyata, atmnya telah diblokir. Tiga kartu yang dia miliki sudah tidak berfungsi.
Hanggini merosot, meremas kepala. "Ya Tuhan ... gini banget hidup gue!!"
Hanya ada uang lima ratus lima puluh ribu rupiah di dompet. Untuk menginap semalam dan makan sehari, lantas keesokan harinya pasti Hanggini akan luntang lantung seperti gelandangan.
Keluar dari ruangan dua kali satu meter itu, Hanggini menarik kopernya, berjalan lima meter hingga pasrahnya membuat dia duduk di trotoar, menutup wajah yang beraut campur aduk antara marah dan sedih.
Mobil alphard tiba-tiba berhenti. Pintunya terbuka menghadirkan sosok Sukma, ibu dari Arik. "Masuk, Hanggini. Cucu saya tidak boleh bersedih seperti ibunya," kata wanita itu sontak membawa kaget gadis berkuncir kuda yang masih terduduk lemas di trotoar.
***
***Di part sebelumnya belum ada like, tapi gak papa, aku bakal terus lanjutin cerita ini. Mewehehehehe.
see you***!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arsen Arsenio
menang banyak si arik..udah nyicipin kakaknya plus adek nya
2023-09-20
1
sutar mono
maaf ya Thor AQ suka lupa Klau LG fokus BCA, menarik cerita NY AQ suka, untung diingetin suka dkasih jempol Thor..
2023-09-18
2
Soraya
lanjut thor
2023-09-13
0