Mobil alphard tiba-tiba berhenti. Pintunya terbuka menghadirkan sosok Sukma, ibu dari Arik. "Masuk, Hanggini. Cucu saya tidak boleh diajak mengemper seperti itu," kata wanita berambut pendek itu sontak membawa kaget gadis berkuncir kuda yang masih terduduk lemas di trotoar.
"Hanggini, kok melamun. Itu koper kamu sudah dimasukkan ke dalam mobil, loh." Sukma berceletuk lagi, menyadarkan Hanggini yang bingung karena kedua kopernya sudah tidak ada lagi di sampingnya. Malah berganti dengan sopir yang membantunya berdiri, menuntunya masuk ke dalam mobil.
Hanggini bingung tapi dia juga tidak mau hidup luntang-lantung. Ke mana sekarang dia akan dibawa, dia tidak tau. Dia juga tidak bisa bersikap kasar seperti sikapnya pada Arik. Karena jelas, Sukma usianya jauh lebih tua darinya.
"Maafkan Arik ya, Nggi." Sukma menggenggam tangan Hanggini saat pintu mobil tertutup, "dia tidak mau berdosa hingga dua kali. Makannya dia teguh untuk mempertahankan anak ini. Maaf kalau cara dia membuat kamu harus diusir dari rumah."
"Tapi tenang saja, Nggi. Setelah anak ini lahir, kamu bisa bebas. Bisa kuliah lagi. Saya juga akan memberikan kamu rumah dan fasilitasnya. Atau kamu mau request apapun, pasti saya kasih. Untuk sekarang, kamu dan saya akan tinggal di Gilimanuk. Tidak apa-apa, kan."
"Mas Arik cerita semuanya?" tanya Hanggini.
"Iya. Sejak di malam kalian melakukannya malah." Sukma mengusap kepala Hanggini. Senyumnya begitu tulus, matanya teduh, membuat gadis itu termangu, "Nggi, maaf kalau Arik kasar. Dia cuma bingung harus bersikap bagaimana. Kamu punya prinsip hidup yang kuat. Berbeda dengan Arabella yang mudah dirayu. Tapi saya sudah memarahi dia, kok. Dia salah, saya mengakuinya."
"Kak Ara bagaimana. Apa dia nggak curiga kalau mertuanya tidak ada di rumah?"
"Sudah biasa bukan, jika saya bepergian. Yang dinikahi Ara itu Arik, saya nggak penting-penting amat. Jadi kamu tenang saja."
Bisa dibilang, kalau Hanggini adalah selingkuhan Arik. Dan gadis itu bingung harus menanggapi bagaimana. Dia yang semula punya opsi untuk hidup ke depannya seketika hancur saat dia dihadapkan dengan kemiskinan. Uang lima ratus ribu yang tersisa tidak mungkin bisa untuk menghidupinya. Apalagi ditambah jabang bayi yang pasti membutuhkan vitamin dan makanan sehat yang harganya lumayan.
Tapi di sisi lain, bagaimana keadaan Arabella nantinya jika tahu. Biar bagaimanapun wanita itu adalah saudaranya. Meski tadi dia sempat dimaki, tapi Hanggini yakin bahwa itu reaksi alami dari terkejutnya Arabella mendapati bahwa anak di kandungannya adalah anak Arik. Meskipun juga Arabella menyangkal dan enggan percaya.
"Arik yang salah di sini. Kamu tidak, begitu pula dengan bayi ini. Seperti kamu yang punya hak atas tubuh kamu, bayi ini juga punya hak untuk dilahirkan. Mau ya, Nggi?" Sukma seperti memohon, matanya yang tulus entah kenapa membuat Hanggini spontan mengangguk. Lagi pula dia memang tidak memiliki opsi lain.
"Terima kasih, Nggi. Sekarang kamu tidur saja. Perjalanan kita masih lama." Sukma melepas genggaman tangan, mengambilkan sebuah selimut tipis di kursi belakang, memakaikannya pada Hanggini.
***
Tiga jam lewat dua puluh menit. Perjalanan yang singkat untuk Sukma tapi tidak dengan Hanggini. Gadis itu tertidur tak lama setelah selimut dipakaikan, sementara perempuan berambut pendek dengan blouse merah muda itu sibuk dengan gadgetnya, memantau sejumlah pekerjaan.
Sukma adalah orang tua tunggal. Suaminya telah meninggal sepuluh tahun lalu. Meninggalkannya sejumlah bisnis yang saat ini masih dia jalankan dengan baik.
Bukan perkara mudah sampai akhirnya Sukma bisa mendidik Arik menjadi lelaki tangguh dan bertanggung jawab. Dia pun turut andil memutuskan apa yang harus laki-laki itu lakukan saat dihadapkan masalah dengan Hanggini.
Matahari siang menyapa mata Hanggini yang masih terpejam. Gadis mengerjap-ngerjap, silau.
"Sudah sampai, Nggi. Maaf ya, langsung dibuka. Soalnya dari tadi kamu dipanggil-panggil nggak bangun-bangun."
"Eh ... saya ketiduran lama banget ternyata. Maaf, Tan."
Sukma menepuk paha Hanggini. "Jangan panggil, Tan. Mamah saja biar akrab."
"Tapi ...."
"Tidak perlu tapi-tapian. Ayo turun. Kamu harus istirahat dengan baik di kamar."
Hanggini mengangguk. Karisma Sukma memang membuatnya tidak bisa membantah ucapannya.
Villa dua lantai dengan gerbang tinggi dibagian depan. Sementara bagian belakang langsung menghadap pada pantai dengan ombak biru yang menggulung. Nuansa putih pada tembok dan hijau pada tanaman serta rumput membuat kesan damai pada villa tersebut. Ada kolam renang serta gazebo juga di bagian belakang.
Hanggini sudah disambut oleh pekerja. Dituntun menuju kamarnya yang ada di lantai satu. Sukma sendiri juga langsung memberi arahan pada pekerja yang lain untuk melayani Hanggini yang belum memakan apapun sedari pagi.
"Akhirnya kalah juga, kan. Coba kamu menurut sedari awal, pasti nggak akan ada drama pengusiran. Pasti Ayah kamu taunya sekarang kamu sedang melakukan pertukaran pelajar, study banding atau alasan lain. Ngeyel, sih."
Lihatlah raut tengil Arik. Berbeda jauh sekali dengan wajah teduh berkarisma milik Sukma.
Harus diakui kalau sekarang Hanggini memang kalah, tapi apa perlu lelaki itu memasang wajah tengil, meledeknya. Dia baru sampai, harusnya disambut dengan baik. Mana dia juga tidak bisa marah-marah seperti sebelumnya.
"Arik ... jangan diledekin. Lebih baik kamu bantu Hanggini membereskan kopernya. Mamah mau siapkan makan dulu!!" teriak Sukma. Di luar kamar sudah berisik dengan bunyi sendok dan alat masak lainnya.
"Iya, Mah!!" sahut Arik, berteriak.
Dua koper yang dibawa supir telah masuk. Pekerja rumah tangga yang tadi mengantar Hanggini diperintah Arik untuk keluar. Pintu ditutup, menyisakan lelaki itu dan Hanggini berduaan.
"Saya bisa bereskan sendiri!" ketus Hanggini.
"Ayolah, Nggi. Saya ini Papa dari anak kamu, masa iya diketusin, sih. Nanti anaknya ikut-ikutan loh."
Hanggini melirik Arik sekilas, menarik kopernya yang berat, membukanya sendiri.
"What the ****!" Betapa terkejutnya Hanggini begitu membuka satu kopernya yang berisi pakaian lamanya. Tidak ada pakaiannya yang baru, yang sedang suka-sukanya dia kenakan. Dan di koper yang kedua, hanya ada tumpukan buku kuliah, tidak ada tas, sepatu, make up, atau barang-barang berharganya yang lain. Papanya benar-benar membuatnya miskin dalam sekejap.
"Language. Anak saya tidak boleh mendengar kata-kata kasar," celetuk Arik, "what happened. Saya boleh bantu?" imbuhnya, ikut berjongkok satu kaki di samping Hanggini.
"Nggak ada!" masih ketus, Hanggini menghindar, menjauh ke arah pintu lain yang membuatnya bisa melihat pemandangan lautan biru yang membentang luas.
Arik memejam mata, geregetan. Hanya Hanggini seorang perempuan yang menolak tawarannya. Biasanya perempuan lain justru mencari-cari kesempatan untuk mendapat bantuannya.
"Come on ... kamu mau sampai kapan ketusin saya." Menyusul, berinisiatif merangkul dari belakang pinggang Hanggini. Bukannya kenyamanan, Arik justru disikut, mengenai wajah tampannya pula. Parahnya sampai hidung lekaki itu mimisan.
"Astaga!" kaget Hanggini, khawatir. Sejujurnya jika tidak ada Sukma dia akan bodo amat. Salah sendiri menyentuhnya tanpa ijin.
"Biar saya obati sendiri." Arik pergi buru-buru, keluar kamar dan menutup pintu sedikit kencang. Membuat Hanggini merasa bersalah pun takut akan dikata apa oleh Sukma.
"Nggi ... beberesnya ditunda dulu. Ayo makan," ajak Sukma telah membuka pintunya kembali.
"Itu Mas Arik nggak sengaja kesikut, Tan. Berdarah hidungnya," gugup Hanggini, berjalan cepat-cepat.
"Mamah. Jangan panggil Tante. Itu juga kamu juga pelan-pelan saja jalannya. Arik biarkan, lagian siapa suruh meluk-meluk kamu. Nggak sopan."
"Loh, Tan ...."
Sukma cemberut, Hanggini nyengir.
"Loh, Mah. Mas Arik ngomong lagi?" tanyanya.
"Iya tadi sambil lari. Harusnya ditonjok aja, Nggi. Tuman."
"Mamah nggak marah?"
"Ngapain marah. Orang salah dia, kok. Sudah ayo kita makan duluan."
Sop iga, ikan bakar dan buah-buahan. Makanan luar biasa yang bagi Sukma terlihat biasa. Dia bahkan meminta maaf karena tidak bisa menghidangkan makanan yang lebih mewah.
Nafsu makan Hanggini memang sedang tidak baik, dia hanya memasukkan sedikit nasi dan tidak bisa menghabiskan sup iga yang Sukma tuangkan pada mangkuk kecil. Wajahnya kentara sekali dan untungnya Sukma tidak memaksa, mencoba mengerti.
"Mas Arik baik-baik saja, kan. Kenapa dia belum balik?" tanya Hanggini, sudah lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda lelaki itu muncul.
"Maaf, Nyonya. Tuan Arik kembali ke Denpasar. Katanya Nona Arabella mencari. Jika tidak salah dengar, ditelepon tadi Nona Arabella bilang kalau dia sedang mengandung." Celetuk seorang bodyguard.
"Terima kasih sudah menyampaikan pesan Arik. Kamu istirahat saja. Tidak perlu penjagaan berlebih," kata Sukma dianggukan si bodyguard.
"Mamah tidak mau kembali?" tanya Hanggini. Sejujurnya dia akan lebih senang jika ditinggalkan sendiri. Dia akan merasa bebas tanpa harus bersikap santun terus-terusan.
"Nanti kalau Arik mau, Mamah pasti kembali. Tidak apa, kan?"
"Loh ... nggak papa, Mah. Yang menantu Mamah kan Kak Ara. Dia pasti jauh lebih membutuhkan Mamah. Hanggini nggak perlu dipikirkan."
"Mamah pikirkan nanti. Di sini lebih tenang. Villa ini villa favorite Mamah soalnya."
Memang dilihat dari interior dan kebersihannya, villa yang ditempati Hanggini itu memang sangat terawat. Seperti menjadi tempat tinggal sehari-hari. Atau entah karena yang bekerja banyak makannya terjaga. Tapi suasanya memang berbeda. Ada kehangatan di dalam villa tersebut.
"Kamu istirahat ya, Nggi. Wajah kamu pucat. Nanti kalau sudah sore Mamah bangunkan. Ayo." Memang ajaib setiap kalimat yang diucap Sukma. Hanggini selalu berkata tidak jika dia tidak mau, tapi ketika wanita itu yang mengucapkan, dia manggut-manggut saja. Menurut dituntun padahal dia paling tidak suka dipegang-pegang. Dan yang paling terkesan, Sukma menastikan Hanggini beristirahat dengan tenang. Menutup tirai, menyalakan lilin aromaterapi dan menyelimuti gadis itu sebelum keluar.
Jika begini ceritanya, Hanggini tidak lagi berat hati mengandung anak Arik itu. Toh dia sudah dijanjikan akan bebas. Win-win solution bukan?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
KakBil
Untung mamanya baik
2023-12-03
1
atheina_ARA
punya baby barengan guys ..., kakak adik. lakiknya sama
2023-09-15
0
Heni Yuhaeni
klo bisa si arik bikin menyesal, da hanggininjngn sampe menerima kebaikan arik. biarin dia ngemis" sampe mampus, semoga keluarganya segera tau, bahwa yg di kandung adalah anak nya arik
2023-09-12
0