Perasaan kalut menyelimuti Arik. Lelaki yang hanya mengenakan kaos oblongnya itu tidak bisa duduk tenang. Dia bukan hanya khawatir pada bayinya, namun juga Hanggini.
Wanita itu, dia benar gila, membuat seluruh atensinya hanya tertuju padanya.
Dokter yang memeriksa keluar, tersenyum pada Arik. "Pasien baik-baik saja. Lukanya cukup dalam, tapi tidak sampai menembus hingga rahim," jelasnya.
"Saya boleh masuk, Dok?"
"Silahkan."
Memang gila. Begitu Arik masuk, pemandangan yang dia dapat adalah Hanggini yang sedang bersandar kepala dengan tangan, tersenyum angkuh, memutar bola matanya.
"Kamu!" kesal Arik menunjuk-nunjuk. Namun hanya sebentar, lelaki itu segera menurunkan tangan sebelum Hanggini mencari ancaman lain.
"Let me go. Let this baby go. Your life will return to peace as before," kata Hanggini.
"Why do you hate that baby so much. Sadar, Nggi, sadar. Saya tau itu tubuh kamu dan hak kamu. Tapi bayi itu juga punya hak untuk hidup."
"Kamu bilang saya gila, kan? Apa kamu nggak kasian kalau bayi ini lahir dari perempuan gila? Dan ...." Hanggini menjeda ucapan, bersedekap tangan, "apa untungnya punya bayi ini. Bukannya jika dia lahir, dia akan jadi aib. Mau dengan alasan apa kamu mengakui seorang bayi yang tiba-tiba ada di tengah-tengah keluarga Bayanaka? Adopsi, anak saudara atau ... kamu akan mengakui bahwa anak ini adalah anak dari hasil hubungan gelap kamu dengan adik iparmu?"
"Mas Arik yang terhormat. Bayi ini akan sama sengsaranya dengan saya jika dilahirkan. Dia tidak akan mendapatkan kasih sayang ibunya karena saya tidak akan mengakui anak ini. Paham!"
"Dan saya tidak akan membuat anak itu sengsara." Arik mendekat, mengangkat tangan Hanggini, mencengkramnya kuat-kuat, "begitu juga dengan kamu!" tekannya.
Hanggini tertawa hingga mengeluarkan air mata. "Bagaimana caranya saya bisa hidup baik-baik saja di saat saya dibuang oleh keluarga dan kekasih saya sendiri. Di saat tidak ada lagi hal yang istimewa dari tubuh saya. Laki-laki mana yang mau dengan perempuan kotor yang telah memiliki anak di luar nikah. Kalaupun memang ada, sudah jelas bahwa lelaki itu adalah lelaki brengsek. Sama seperti kamu!"
"Coba sedari awal kamu membiarkan anak ini mati, saya pasti masih berada di tengah-tengah keluarga saya. Saya masih menjalin hubungan baik dengan kekasih saya. Kamu, kamu menghancurkan impian hidup saya. Selamat. Selamat karena keegoisan kamu membuat hidup saya hancur!"
Ini yang Arik tunggu sedari kemarin. Hanggini yang meluapkan emosinya, Hanggini yang menangis seperti perempuan lain saat ditimpa masalah.
Mata merah berlinang air mata. Arik sadar dia memang sejahat itu. Dan dia tidak mau lebih jahat lagi dengan membunuh bayi yang ada di kandungan Hanggini.
Pintu terbuka, sosok Sukma muncul dengan amarah menggebu-gebu. Memukul Arik menggukanan tas tenteng yang dia bawa tanpa henti.
"Dasar kamu. Mamah minta kamu kembali ke sini lebih dulu supaya ada yang menjaga Hanggini, tapi kamu malah membuat dia marah. Apa maksud kamu menyuruh Hanggini mati setelah anak kalian lahir, hah. Dan apa yang kamu lakukan sampai Hanggini mencoba untuk kabur. Ditambah ini!!" Sukma berhenti sejenak untuk mengambil napas sekalian menunjuk bagian perut Hanggini, "apa yang kamu katakan sampai Hanggini nekad begini!!" bentaknya kembali memukul tanpa ampun.
Senang sekali rasanya melihat Arik tidak bisa berkutik. Jangankan melawan, mau berbicara pun dia tidak diberi celah. Hanggini puas melihatnya.
"Mah, sudah, Mah. Sayang tas Mamah nanti lecet," ujar Hanggini membuat Arik melotot. Alih-alih menkhawatirkannya, wanita itu justru lebih khawatir pada tas kulit buaya yang dipakai Sukma untuk memukulinya itu.
"Mau ngapain melototin Hanggini. Bener apa kata dia. Tas ini lebih berharga dari pada kamu!" Mengakhiri pukulan dengan menjewer telinga Arik, Sukma duduk terlentang di sofa, kelelahan.
"Mah," panggil Hanggini.
"Kenapa, Nggi. Ada yang sakit. Maaf ya, Mamah bawa keributan ke sini." Sukma masih ngos-ngosan, namun dia rela bangkit dan segera mendekat pada Hanggini.
Hanggini menggeleng. "Hanggini mau gugurin anak ini, boleh. Anak ini hanya akan jadi aib jika lahir. Anak ini hanya akan menyusahkan kalian nantinya. Hanggini nggak mau anak ini ada. Dia nggak boleh punya ibu kaya Hanggini."
Arik yang sedang mengusap tubuhnya yang kesakitan sontak marah. "Kamu nggak perlu jadi ibu. Kamu cukup lahirkan anak itu. Sudah, selesai. Setelahnya kamu bisa bebas. Cuma sembilan bulan. Kenapa kamu nggak sabar sih, Nggi!" sentaknya.
"Kamu pikir melahirkan tidak perlu bertaruh nyawa. Kamu pikir kehamilan ini hanya akan merubah bentuk perut saya. Kamu nggak tau apa saja yang akan dialami seorang perempuan ketika hamil. Tubuh saya yang sudah rusak akan semakin rusak. Saya nggak mau mengandung, saya nggak mau melahirkan. Saya nggak mau anak ini!!" sentak balik Hanggini. Dia frustasi, tidak peduli lagi bahwa Sukma ada di sampingnya.
Arik memang tidak akan mengerti karena dia laki-laki. Arik tidak akan mengerti kalau di awal kehamilan ini, Hanggini merasakan beberapa perubahan pada tubuhnya yang dia tidak suka. Entah itu fisik ataupun batin. Yang paling menjengkelkan adalah dia yang seringkali mual tidak jelas sehabis menyentuh makanan.
"Memangnya kamu nanti nggak akan hamil, hah. Hanya karena kamu mendapatkannya di waktu di mana kamu belum siap memiliki bayi itu, bukan berarti kamu boleh membunuhnya. Kamu tau takdir, kan. Anak itu anugerah Tuhan. Pikir, Nggi, pikir. Orang-orang bilang kamu pintar, tapi untuk memikirkan hal seperti ini saja kamu lebih mementingkan ego kamu."
"Kamu bilang saya egois, kamu lebih egois!" tunjuk Arik berapi-api.
"Arik keluar," kata Sukma mencoba tenang dan menenangkan suasana yang tegang itu.
"Mah. Come on. Jangan terlalu baik."
"Mamah memang harus baik. Kamu di sini yang salah. Hanggini adalah korban. Keluar Arik!" tegas Sukma.
Arik mengaduh kesal, namun dia tetap keluar.
Menarik kursi, duduk tenang dengan menggenggam tangan Hanggini. Sukma tersenyum, menepuk-nepuk genggaman itu. "Menerima takdir yang tidak diinginkan memang sulit, Nggi. Mamah tidak mendukung Arik, tapi apa yang dikatakan dia memang ada benarnya. Anak ini anugerah, anak ini adalah takdir yang harus diterima meski sulit sekali untuk menerimanya."
"Mamah nggak setuju dengan pilihan kamu. Anak ini harus tetap lahir. Setelah dia lahir, Mamah pastikan pendidikan dan karir kamu terjamin. Kamu mau bekerja di mana, Mamah akan bantu. Tentang keluarga, kamu secara tidak langsung sudah menjadi bagian dari keluarga Bayanaka. Mamah ini Mamah kamu."
"Dan nanti, jika bentuk tubuh kamu berubah, Mamah juga akan membiayai semuanya sampai tubuh kamu menjadi seperti semula. Kamu jangan khawatir tentang jodoh kamu, kamu tinggal bilang bagaimana tipe kamu atau siapa dia, Mamah pasti akan bantu mendekatkan kalian berdua."
"Kalau Hanggini mau Mas Arik yang menikahi Hanggini, apa Mamah akan menyetujuinya." Sukma terdiam dengan celetukkan Hanggini yang tiba-tiba.
"Dia yang merusak Hanggini, dia yang juga harus tanggung jawab." Imbuh wanita itu membuat Sukma semakin bingung. Dia gelagapan, memilih keluar dari ruangan yang ditempati Hanggini.
Hanggini memejamkan matanya. Like mother like son. Apa bedanya Sukma dan Arik jika keduanya berada di satu pikiran yang sama. Bagi Hanggini, membiarkan anak itu lahir tanpa kasih sayang darinya jauh lebih berdosa.
"Kalau kamu bisa membuat saya jatuh cinta sama kamu, saya pastikan setelah anak itu lahir kita akan menikah. Saya juga akan menceraikan Arabella jika kamu menginginkannya." Suara Arik yang lantang membuka mata Hanggini. Penawaran yang bagus bukan? Tapi dia tidak meminta lelaki itu untuk menceraikan Arabella. Kenapa dia mengatakannya lebih dulu, dengan entengnya pula.
"Semudah itu? Kamu sudah tidak mencintai Arabella?" tanya Hanggini.
"Masih sangat mencintai dia. Tapi jika saya bisa mencintai kamu, itu artinya cinta saya pada Ara tidak sebesar itu. Saya juga tidak bisa berbagi cinta dengan dua perempuan sekaligus."
"Kamu memang brengsek!" Hanggini tertawa. Dia tidak sejahat itu untuk mengambil laki-laki dari tangan pasangannya sendiri apalagi Arabella adalah saudara kandungnya. Dia hanya memancing, tapi malah diiyakan. Belum tentu juga akan benar diwujudkan. Bisa saja itu hanyalah kata pemanis agar anak itu tetap dipertahankan. Lantas jika sudah lahir, dia akan dibuang layaknya sampah. Jangankan harta, pakaian pun mungkin tidak akan diberi.
"Mah, Mamah masih di luar, kan. Hanggini tarik permintaan Hanggini yang terakhir. Hanggini cuma mau Mamah ke sini. Peluk Hanggini. Mamah, Mamahnya Hanggini, kan!" teriak wanita itu, mengabaikan Arik yang berkerut dahi.
"Nggi." bingung Sukma berhenti di ambang pintu.
"Mah." sahut Hanggini mengangkat tangannya, meminta dipeluk.
Arik memutar bola matanya, malas. Selain gila, Hanggini juga pandai berdrama.
"Nggi, sepertinya kamu tertekan dengan takdir kamu. Bagaimana kalau Mamah panggilkan psikolog ya, buat bantu kamu. Mamah nggak ada maksud mengatai kamu. Mamah cuma khawatir kamu kenapa-napa. Apa kamu mau melukat saja, nanti Arik ikut juga. Jiwa dia juga harus dibersihkan sepertinya. Banyak setannya."
"Kayanya kalau psikolog jangan dulu deh, Mah. Meskipun Mas Arik mengatai Hanggini gila, tapi Hanggini masih baik-baik saja, kok."
"Mana ada orang baik-baik saja yang tengah malam berdiri di tepi pantai, nyeburin diri ke kolam renang, nusuk perut berharap anaknya mati. Kamu tuh gila. Kalau orang waras akan nerima anaknya tanpa memandang gimana dia bisa ada!" seloroh Arik, terkekeh. Kalau berhadapan dengan Sukma, wanita itu seperti ibu peri, berbeda sekali jika berhadapan dengannya.
"Melukat saja deh, Mah. Mas Arik ikut. Oh, ya, Haggini juga mau Mas Arik minta maaf sama Hanggini, tapi pakai syarat. Boleh nggak, Mah?" Siapa suruh mengatai, Hanggini jelas akan membalasnya. Dia memohon pada Sukma, tapi matanya melirik pada Arik yang melotot padanya.
"Boleh. Apa syaratnya," sahut Sukma tanpa berpikir lebih dulu atau setidaknya berdiskusi seperti saat Hanggini berceletuk meminta lelaki itu untuk menjadi suaminya.
"Mah," keluh Arik. Firasatnya buruk.
"Diam kamu Arik. Wajar jika Hanggini meminta ini dan itu. Hidupnya hancur gara-gara kamu!"
"Apa syaratnya, Nggi?" Sukma bertutur lembut, mengusap kepala wanita yang masih terbaring itu.
"Selama seminggu, Mas Arik tetap tinggal di villa ya. Hanggini mau, Mas Arik menuruti apa yang Hanggini minta. Tenang, Mah, bukan yang aneh-aneh, kok. Hanggini juga tau batasan."
"Iya, Mamah perbolehkan. Urusa Arabella biar Mamah yang handle."
Arik berdecak. Mana bisa dia membantah. Lihat saja wajah Hanggini, begitu menyebalkan. Kalau tidak ada Sukma, sudah dia kerjai balik wanita itu.
***
Tidak perlu sampai menginap. Di jarum jam yang menunjuk angka satu, Hanggini dan Arik kembali ke villa, sementara Sukma kembali ke Denpasar dengan helikopter pribadinya. Dia yang akan menenangkan Arabella dan mengatakan bahwa Arik harus melakukan pekerjaan selama satu minggu di luar kota.
Menggunakan kursi roda, Hanggini menahan tawa karena Arik yang mendorongnya. Sebagai tugas pertama, lelaki itu sebenarnya santai saja. Hanggini juga tidak terlalu berat. Tapi, firasat buruknya sedari tadi masih belum sirna juga.
Masuk ke dalam kamar yang jauh lebih rapi dibandingkan tadi pagi, di mana banyak beling berserakan, Hanggini menghirup dalam-dalam aromaterapi juga angin laut yang masuk dari ventilasi. Dia suka suasananya, tapi tidak dengan alasan kenapa dia harus berada di sana.
"Mas Arik," panggil Hanggini mendayu.
Arik menghela napas, dia harus tabah dan ikhlas melakukan apapun yang Hanggini perintahkan. Karena jika tidak, wanita itu akan mengadu pada Sukma yang mengancam akan memecat dia dari jabatan CEO of Bayanaka Group jika dia membuat marah Hanggini lagi.
"Apa, Nggi," sahutnya begitu lembut.
"Saya mau minum. Boleh minta tolong ambilin air putih?"
"Hmm. Saya ambilkan."
Langkah lebar pun dipercepat, Arik kembali dalam sekejap dengan membawa segelas air putih. "Nih." ujarnya menyodorkan gelas itu.
"Kok nggak dingin?"
"Kamu nggak minta yang dingin. Udah minum aja yang ada."
"Tapi saya maunya yang dingin, Mas."
Arik menghembuskan napas yang membuat pipinya menggelembung, dia pergi, mengganti isi dari gelas itu seraya menggerutu. "Nih." ucapnya kembali menyodorkan gelas.
"Makasih, Mas. Oh, ya. Boleh minta tolong lagi, copotin sendal saya, perut saya masih sakit. Saya mau rebahan di kasur."
"Iya!"
Berjongkok dengan satu kaki. Sandal jepit berwarna hitam itu dilepas dengan hati-hati. Tapi bukan Hanggini kalau dia tidak jahil. Wanita itu menahan kaki kiri yang hendak diambil sandalnya, tak lama dia renggangkan, namun dia juga berpura-pura oleng hingga gelas itu bergoyang dan menumpakan isinya ke kepala Arik.
"Yah, Mas ...."
"Hanggini ... nggak usah pura-pura. Kamu sengaja, kan!" sentak Arik meraup wajahnya.
"Ih nggak seru. Kok tau, sih."
"Kamu!!" unjuk Arik tak lama ditarik. Ingatan akan ancaman Sukma terlintas di kepala.
"Sudah sana rebahan. Kalau ada apa-apa panggil saja."
Hanggini tertawa, manggut-manggut. Dia serasa memiliki pelayan baru. "Bantu gendong dong, Mas. Males jalan."
Menaruh gelas ke atas meja, menggendong Hanggini, menidurkannya ke atas ranjang, Arik yang akan melepas tangan justru ditahan. "Tolong tutup gorden, nyalakan lilin aromaterapi yang baru, sama tutup pintunya ya, Mas," kata wanita itu.
"Nggak sekalian suruh saya tidurin kamu!"
Hanggini mendorong Arik, hendak menendang perutnya tapi Arik lebih dulu menghindar. "Baru digituin udah marah. Kurangin makan yang asin-asin biar nggak darah tinggi," ledek lelaki itu.
"Mau saya bilangin ke Mamah!" ancam Hanggini.
"Iya maaf, Nyonya. Saya siap salah. Maafkan saya ya, Nyonya. Saya jangan diadukan. Nyonya tidur saja yang nyenyak. Semua perintah Nyonya akan saya laksanakan!"
"Apasih, nggak jelas!"
"Iya, Nyonya. Saya memang tidak jelas. Permisi. Oh ya, hati-hati ya Nyonya. Katanya villa ini sedikit angker. Kalau ada yang narik-narik selimut, mungkin itu salah satu penghuninya." Arik lari, keluar dari kamar dan menutupnya kencang.
Dia pikir Hanggini akan berteriak ketakutan. Namun yang dia dengar hanyalah kesunyian. "Orang gila seperti dia mana takut hantu. Awas kamu, saya kerjai balik," katanya tersenyum jahil.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Jeffri Fajaruddin
ngakak d buat mereka ber2
2023-09-17
2
Belinda Dayes
Ditunggu cerita baru selanjutnya ya, thor ❤️
2023-07-15
1
Sindi S Mahulauw'Riry
Hebat banget, thor ini pintar bikin pembaca penasaran!
2023-07-15
1