Ingat betul bahwa sebelum tidur tadi, masih ada cahaya yang menyelinap masuk dari tirai. Hanggini kaget mendapati di luar sana telah gelap. Lebih kaget lagi karena jarum jam telah menunjuk angka sembilan.
Bukankah sudah terlalu lama? Tapi kenapa Sukma tidak membangunkannya.
Hanggini mengikat kembali rambutnya, berjalan keluar. Membuka pintu langsung mendapati satu orang bodyguard berjaga.
"Ngapain dijagain?" tanya Hanggini.
"Sesuai perintah Nyonya besar, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
"Namanya siapa?"
"Nama?" Bodyguard itu menunjuk dirinya, "nama saya?"
Hanggini mengangguk.
"Tigor, Nona."
"Oh, Bang Tigor. Nggak usah terlalu formal, Bang. Santai aja kita." kata Hanggini menepuk lengan Tigor," yang lain pada ke mana. Kok udah jam segini saya nggak dibangunin?"
"Anu ... Bu Sukma jam lima tadi harus kembali ke Denpasar. Katanya mau merayakan kehamilan Nona Arabella. Beliau berpesan untuk tidak usah membangunkan Nona Hanggini, jadi tidak ada pegawai yang berani masuk sampai Nona Hanggini keluar sendiri."
Hanggini manggut-manggut. Yang dia mau memang seperti ini. Sendirian, bebas, sopan tapi santai. Bukan sopan yang dibuat-buat.
"Akses ke pantai lewatnya mana, Bang?"
"Pantai? Mau ngapain, sudah malam, Nona. Bu Sukma tidak akan mengijinkan."
"Aduh, Bang Tigor ... nurut banget, sih." Hanggini kembali menepuk, tertawa canggung, "biar saya cari sendiri saja."
Hanggini mengelilingi sudut rumah dengan Tigor yang mencoba mencegah. Karena tidak bisa bersikap kasar, lelaki itu hanya bisa menghadang lantas Hanggini menerobosnya. Terus begitu sampai berkali-kali. Hingga akhirnya, lorong lurus menuju area belakang menjadi jalannya.
Tigor menepuk dahi, segera menghubungi seseorang untuk melapor apa yang dilakukan Hanggini. Wanita itu sudah melewati kolam, bahkan sempat bermain-main kakinya di tepian sebelum akhirnya kaki itu menyentuh jutaan pasir pantai yang membentang luas.
Gelap, cahaya terakhir ada di ujung kolam, itupun temaram dan jaraknya seratus lima puluh meter dari bibir pantai. Namun Hanggini masih bisa melihat buih dari gelombang besar yang menggulung, juga ribuan bintang gemintang di atas laut dan purnama yang bersinar terang.
Angin malam menerpa sangat kencang dan Hanggini tetap pada posisinya untuk mencari tenang.
Sebenarnya jauh dari sikap kerasnya, kepala Hanggini bertanya-tanya kenapa keluarganya begitu tega. Padahal hanya ini satu-satunya kesalahan besar yang dia miliki. Mereka melupakan segala hal baik yang dia lakukan dalam sekejap. Opsi menggugurkan demi nama baik bahkan tidak disetujui, padahal hanya mereka dan keluarga Arik yang tau, juga Radhika.
Hanggini tetap bergeming, mengabaikan Tigor yang frustasi membujuknya. Wajahnya pucat pasi karena dia pasti akan dimarahi.
Detik menit berlalu. Tidak terasa bahwa hampir satu jam Hanggini diam. Tangannya bersedekap menahan dinginnya angin yang semakin menusuk tulang.
"Setidaknya pakai pakaian tebal. Di rahim kamu ada janin yang harus dijaga." Suara Arik kencang, lelaki itu sudah berada tiga meter di belakang Hanggini.
Datang langsung memberikan jas tebalnya, menutupi tubuh bagian belakang perempuan berpakaian putih itu lantas mengancingkan kemeja bagian depan. "Mau sampai kapan di sini?" tanya Arik, tatapannya tajam, mengintimidasi Hanggini. Dia tidak suka jika wanita itu bertindak seenaknya.
"Sampai mati!" ketus Hanggini, dia tidak mau kalah dengan lelaki di depannya itu.
"Tunggu sampai anak saya lahir, baru kamu boleh mati."
Hanggini terkekeh. Melepas jas yang ia kenakan, melemparkannya pada wajah Arik sebelum dia pergi dari tepian pantai. Berjalan cepat menceburkan dirinya ke dalam kolam.
"****!!" Arik berlari, ikut melompat ke dalam kolam, manarik Hanggini, mengangkatnya ke tepian, "kamu gila!" teriaknya.
Hanggini yang telah naik mengabaikan Arik lagi, berjalan cepat menuju kamar, menyambar handuk dari seorang maid yang berlari terburu-buru membawa handuk itu. Maid itupun kaget saat Hanggini menceburkan dirinya. Tidak terkira, padahal tadinya dia hendak menawarkan makan malam.
Arik menyusul kembali, banyak air berceceran di lantai karena lelaki itu mengabaikan handuk yang disodorkan maid.
"Nggi, buka. Atau saya dobrak pintunya!!" teriaknya. Pintu kamar Hanggini dikunci. Arik khawatir gadis itu itu akan melakukan tindakan yang lebih buruk lagi.
"Hanggini!!"
Tidak mau bertele-tele, Arik langsung mendobrak pintu. Dalam dua kali percobaan pintu itupun terbuka. Hanggini telah berganti pakaian, menidurkan dirinya, membelakangi arah datangnya Arik.
"Awasi dia sampai saya kembali." Arik pergi. Dia akan mengganti pakaiannya sebelum masuk ke dalam kamar tersebut.
Dalam waktu kurang dari lima menit Arik kembali. Tigor dan maid diutus untuk pergi. Dia sendiri menutup pintu pelan-pelan, naik ke atas ranjang, masuk ke dalam selimut yang Hanggini pakai hingga menutupi sembilah puluh persen dirinya.
"Sorry," ucap Arik, tangannya melingkar erat pada pinggang rata Hanggini yang memberingsut tidak suka.
Memberontak sekuat tenaga, mencoba lepas, tapi usaha Hanggini berakhir sia-sia. Arik menariknya semakin kuat, mendekapnya erat hingga energi wanita itu habis tak tersiksa.
"Diam, Nggi. Diam!!" teriak lelaki itu. Posisinya berubah menjadi di atas, mengunci tangan dan juga kaki Hanggini.
Senjata terakhir, meludah ke wajah, menendang ********. Tenaga yang digunakan tidak seberapa tapi pada akhirnya Hanggini bisa terlepas walau sia-sia kembali. Meski mengaduh kesakitan pada objek vitalnya, Arik tetap bisa menggapai wanita itu, menguncinya pada salah satu sisi tembok.
"Kamu tidak tau apa itu diam. Apa perlu saya yang mendiamkanmu!" Rahang yang mengeras, sorot mata buas seolah hendak menerkam.
Kedua wajah yang hanya tersekat jarak dua senti itu saling beradu tatap. Hanggini enggan menyerah. Di saat dia hendak meludah kembali, bibirnya sudah lebih dulu dipagut tanpa ampun. Kaki yang memberingsut mencari celah tak bisa bergerak barang sedikitpun setelah Arik menguatkan lagi pertahanannya.
Menggigit kuat-kuat, Hanggini meludah membuang darah dari bibir Arik yang terluka karena perbuatannya. "Brengsek!" marahnya memberi tonjokkan keras.
"Kamu benar-benar membuat saya marah, Nggi!" Cara halus salah, cara kasar salah. Kerasnya Hanggini patutnya memang dibalas lebih keras lagi. Arik menarik Hanggini, menjatuhkan wanita itu ke atas ranjang, merobek pakainnya, menguncinya dengan sentuhan yang membuat Hanggini memberingsut kembali. Namun dia adalah perempuan, sekuat apapun dia, tenaga Arik jauh lebih kuat darinya berkali-kali lipat.
Perempuan yang telah kehilangan tenaganya itu akhirnya menangis. Dia marah, dia lelah, namun di sisi lain dia tidak lagi bisa melawan. Arik menahan kaki, mengunci tangan, memakan bibirnya seperti orang kelaparan. Tidak peduli akan rasa pagutan yang bercampur dengan darah itu.
"Lepas ... saya mohon," rintih Hanggini dalam tangisnya yang meluruh deras usai Arik melepas bibirnya.
Wajah yang ketakutan disertai bercak merah pada pipi, leher bahkan dada yang akhirnya dilihat Arik membuat lelaki itu sadar akan apa yang dia perbuat. Dia menjatuhkan tubuhnya, menarik selimut, memeluk Hanggini erat. "Maaf, Nggi," ucapnya membuat perempuan yang wajahnya tenggelam pada ceruk leher lelaki itu menangis semakin kencang.
Arik menyesal. Dia salah, dia akui itu. Dia ingin berlaku lembut, ingin berbicara baik-baik pada Hanggini. Tapi gadis itu terus tidak terima atas kesalahannya. Sementara cara kasar yang dipilih justru membuatnya semakin dibenci.
Lelah memberontak, lelah menangis, beberapa menit berada dalam dekapan Arik, Hanggini tertidur pulas.
Wajah yang bercecer air mata dan bercak darah itu dibersihkan dengan hati-hati. Tubuh yang hanya mengenakan pakaian dalam itu juga ditutup dengan selimut sampai bagian leher. Arik tadinya hendak beranjak, tapi dia justru berakhir kembali masuk ke dalam selimut. Mendekap erat tubuh yang sempat ia lepas tadi.
Malam ini Arik akan tidur bersama wanita itu. Dia juga yang akan memastikan sendiri kondisi Hanggini besok pagi. Masih terbalut emosi itu pasti, namun Arik lebih takut kalau ada bagian tubuh Hanggini yang terluka. Apalagi jika sampai membahayakan janin yang ada di rahim wanita itu.
***
Bukan hal mudah untuk bisa tidur jika sebelumnya memang tidak berniat tidur. Hanggini beberapa kali terbangun dan dia sadar sedang dalam keadaan bagimana.
Harus diakui bahwa dekapan Arik membuatnya nyaman dan hangat. Aroma maskulin dari tubuh lelaki itu bisa saja membuatnya terlelap. Namun, kepala Hanggini tidak bisa untuk itu. Di otaknya sudah terpikir niatan untuk kabur dan dia sedang menunggu waktu yang tepat.
Hanggini pelan-pelan memberingsut membelakangi Arik. Menggapai gawai yang ada di atas meja untuk melihat sudah pukul berapa.
Angka empat yang di belakangnya ada dua nol itu membuat Hanggini segera memulai pelarian. Beranjak pelan-pelan, mengambil pakaian untuk dikenakan. Harta yang dia punya hanya ponsel dan uang lima ratus ribu, jadi dia hanya membawa itu.
Bukan lari melewati pintu menuju ruang utama, Hanggini keluar dari pintu balkon yang mengarah pada kolam renang.
Melompati pagar besi setinggi dua meter, Hanggini menengok ke kanan dan kiri. Memastikan bahwa tidak ada orang yang berjaga, dia segera berlari ke arah pantai.
Gelap gulita, angin yang cukup kenjang. Hanggini berjalan seorang diri ke arah utara. Sengaja tidak melewati jalan depan karena Hanggini tau pasti ada penjaga yang berjaga ketat di sana.
Napas ngos-ngosan, menengok ke belakang, Hanggini pikir dia sudah cukup jauh untuk keluar dari bibir pantai dan harus memutuskan untuk menuju jalanan beraspal yang harus ditempuh sejauh lima puluh meter dengan jalan setapak yang kebetulan ada di depannya.
Gilimanuk tidak seramai Denpasar. Akses kendaraan juga tidak semudah yang dikira. Apalagi villa milik keluarga Bayanaka itu juga jauh dari pemukiman padat. Ditambah ini masih begitu pagi.
Dari kejauhan ada motor memberi klakson. Hanggini was-was, menyembunyikan ponsel, mengamankan tasnya.
"Mbak, ngapain di sini sendirian?" tanya seorang laki-laki yang memakai pakaian adat. Umurnya kira-kira empat puluhan.
"Bapak warga sini atau?"
"Saya warga sini. Lagi patroli keliling saja. Mbak sendiri jawab pertanyaan saya. Atau enggak saya bawa ke kantor polisi karena mencurigakan."
"Eh, Pak, jangan. Saya ini lagi kabur dari pacar saya yang tinggal di villa sebelah sana. Kita ada sedikit masalah dan dia main tangan. Makannya saya pergi diam-diam. Bantu saya, ya, Pak. Saya harus ke Denpasar secepatnya." Hanggini berbohong. Memang jika dilihat dari pakaian dan wajahnya, laki-laki yang bertanya padanya itu memiliki aura lain. Pikirnya kalau bukan seorang pecalang, laki-laki itu adalah seorang abdi negara.
Melihat penampilan Hanggini yang acak-acakan dan juga bekas merah di tangan akibat dicengkram Arik semalam, laki-laki itu mengangguk, menyuruhnya naik.
"Saya antarkan sampai pangkalan bus. Jam lima sudah ada yang berangkat ke Denpasar."
"Bener, Pak. Makasih, Pak, makasih."
Lega dan mencoba berpikir positif setelah motor itu putar balik. Mungkin memang arah pangkalan bus harus melewati depan villa Bayanaka itu. Namun, Hanggini harus menelan mentah-mentah positif thinknya itu karena motor yang ia tumpangi justru berbelok ke arah Villa.
Dua penjaga yang menunggu di depan gerbang terkaget-kaget mendapati Hanggini ada di atas motor laki-laki itu.
"Loh .... kok!!" kaget Tigor.
"Bawa masuk!" seru Arik dari pintu masuk, lelaki itu panik saat mendapati Hanggini tidak ada di atas ranjang. Dia menghubungi Made, laki-laki yang membonceng Hanggini itu untuk mencarri keberadaan gadis itu dengan menyusuri jalan besar di depan Villa yang memang hanya ada satu-satunya. Made memang biasanya dimintai tolong ketika Arik atau keluarganya sedang berada di Gilimanuk. Bisa dibilang Made adalah orang kepercayaan lelaki itu.
Hanggini hanya pasrah saat Tigor menuntunnya, membawanya masuk ke dalam kamar yang menjadi saksi keributan antara dirinya dan Arik semalam.
Menutup pintu dengan kencang. Arik terkekeh, berkacak pinggang. "Apa susahnya menurut sih, Nggi. Kamu tinggal ongkang kaki selama sembilan bulan ke depan. Uang, pendidikan, apa yang kamu mau akan kamu dapat setelah anak itu lahir. Tidak usah bertingkah konyol terus-terusan," ucapnya frustasi.
"Anak itu nggak salah. Saya yang salah!" sentak Arik. Harus berapa kali Hanggini dijelaskan bahwa Arik tidak ingin berdosa hingga dua kali.
"Keluar. Saya mau istirahat," ucap Hanggini, datar.
"Tidak. Saya tidak akan jauh-jauh dari kamu. Kamu mandi pun akan saya ikuti. Saya nggak akan membiarkan anak saya bersama perempuan gila seperti kamu!"
Hanggini dicaci maki, dikata gila. Arik pikir wanita itu akan menangis? Tentu saja tidak. Hanggini melempar vas bunga ke lantai hingga pecah. Satu dari puluhan kepingan yang berserakan diambil, diarahkannya pada bagian perut. "Iya saya gila. Keluar, atau saya tusuk beling ini ke anak kamu!" ancamnya.
"Silahkan. Kamu pikir kamu bisa mengancam saya," tantang Arik.
Memang salah Arik memberi tantangan. Perempuan sekeras kepala Hanggini tentu saja akan melakukannya. Dia, menusukkan bagian runcing dari beling yang ia genggam ke perutnya. Sekejap darah mengalir dari bawah pusar.
Hanggini tersenyum puas, meremehkan Arik yang terkejut dan segera membopong wanita itu. "Siapkan mobil sekarang juga!!" teriak lelaki itu, panik.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Jeffri Fajaruddin
hangini punya jiwa pemberontak, semakin d kekang semakin ingin bebas
2023-09-17
0
Soraya
suka karakter nya Hanggini smga gak brbh
2023-09-13
0
elf
hebat nggi... !!!!!!! aku suka tindakanmu...
2023-09-03
0