Musik masih mengalun kencang. Sorakan orang-orang masih terdengar lantang. Di tengah kerumunan, Hanggini Prameswari berdansa bersama sang kekasih, Radhika Oza Giandra yang sudah menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun. Dimulai sejak dia menjadi mahasiswi baru di sebuah perguruan tinggi ternama di Bali. Waktu itu Radhika adalah kakak senior yang mengospeknya.
Bau alkohol begitu kentara. Hanggini turut meneguknya. Entah sudah berapa banyak yang masuk padahal tubuhnya memiliki toleransi rendah pada minuman pemabuk itu.
Gadis yang rambutnya tergerai bebas itu mulai merasa panas. Dia menyingkir, menolak mentah-mentah alkohol yang hendak diberikan Radhika.
Berjalan lunglai, menepuk kepala yang berat. Langkah Hanggini membawanya kembali ke kamar inapnya. Villa tiga lantai yang tengah sepi. Hanya ada suara deburan ombak yang terdengar. Semua keluarganya masih asik berpesta merayakan pernikahan Kakak satu-satunya yang dia miliki, sementara dia memilih menyerah, tidak kuat lagi.
"Happy wedding, Kak." Salam perpisahan sebelum masuk kamar. Salam yang ditunjukkan pada suara dentuman musik yang terbawa angin.
Pintu hendak ditutup, tapi seseorang menyelinap masuk. Hanggini berusaha mengerjapkan matanya, tapi orang itu yang jelas adalah laki-laki berpakaian serba putih langsung membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. Mendorongnya hingga jatuh ke atas kasur.
Hanggini hendak memberontak, namun semakin dia melawan, semakin kuat cengkaraman pada tangannya.
Tidak lagi pada bibir, lelaki itu semakin brutal menghisap bagian intim gadis yang telah pasrah itu, menyobek belahan dress hitam satin panjangnya hingga tubuh bagian depannya terbuka.
Tidak lagi memiliki tenaga. Tidak lagi berada pada kesadaran. Bukan lagi efek alkohol, tapi juga efek sentuhan yang akhirnya membuat Hanggini jatuh pada kungkungan lelaki berpakaian serba putih yang menerobos ke dalam kamar inapnya itu.
***
Tidak diciptakan menjadi perempuan manja. Hanggini prameswari, gadis bermata bulat itu sempat terkejut ketika terbangun dalam keadaan telanjang. Bercak merah pada sprei putih ranjang yang dia tiduri juga menghadirkan frustasi sesaat, sebelum akhirnya dia menarik sprei tersebut hingga terlepas, membuangnya asal dan bergegas membersihkan diri dari sisa semalam.
Hanggini diam terpaku di depan cermin, masih mengenakan bathrobe dan menggenggam segelas air putih. Melihat bekas merah di leher, wanita itu akhirnya terbaring kembali ke atas ranjang. Dia marah, tapi tubuhnya merasa panas. Bukan karena alkohol atau sentuhan, melainkan efek dari kegiatannya semalam.
Suara pintu diketuk, Hanggini tidak mungkin membiarkan orang itu masuk dengan sprei berbecak yang tergeletak di lantai. Tapi bukannya mereda, suara ketukan itu justru semakin keras, membuatnya terpaksa beranjak.
"Nona Hanggini. Ini ada titipan dari Tuan Arik. Silahkan." Hanggini menerima sebuah bingkisan kecil, perempuan yang memakai jas kerja dan earphone HT itu pergi begitu saja setelahnya.
Hanggini mengangkat bahu, membuka bingkisan paperbag coklat itu.
"Maaf atas semalam. Kita harus bicara empat mata. Tapi nanti. Semua orang masih larut dalam pesta semalam."
"Minum obatnya jika tubuh kamu merasa tidak nyaman."
Hanggini menutup mulut usai dia membaca note pesan pada kertas putih. Jadi lekaki yang menerobos masuk dan membuatnya kehilangan keperawanan adalah Arik, Arik Kaivan Bayanaka yang merupakan suami dari Kakaknya, Arabella Prameswari Hartono.
Gila. Apa yang sedang dibicarakan keluarga setelah semalam Arik tidak berada di kamar pengantinnya. Harusnya dia melakukan hubungan itu dengan Arabella, bukan dirinya.
Hanggini segera memakai pakaian, dia harus turun demi melihat kondisi keluarganya sekarang. Apa mereka sedang saling bertanya satu sama lain atau malah sudah menyidang Arik karena tidak ada di kamarnya semalam.
Turun tergesa dari lantai tiga, Hanggini yang akan turun ke lantai satu ditarik oleh seseorang ke dalam kamar yang berada tepat di depan tangga.
"Kak Arik!" kagetnya. Mata bulatnya semakin membulat.
"Mau ke mana?" tanya lelaki itu. Datar dengan sorot mata tajam.
"Apa urusannya sama Kakak!" Balas memberi sorotan tajam, Hanggini tidak mau dianggap lemah.
"Saya tau kamu marah. Tapi bisa kita bicarakan nanti. Semua orang masih terlelap di kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. Lagi pula, saya juga tidak akan membiarkan kamu mengatakannya."
"Jangan rusak pernikahan saya Hanggini. Anggap saja semalam tidak pernah terjadi. Jika kamu nekad, saya akan membuat keluarga kamu jatuh miskin."
"Wow ... anda yang salah tapi anda juga yang mengancam. Anda pikir saya mau semua orang tau dengan berkoar-koar bahwa anda, Arik Kaivan Bayanaka dengan sengaja telah mengamil keperawanan adik iparnya sendiri di malam pesta pernikahannya dengan Arabella. Begitu?" Hanggini tertawa. Sial sekali dirinya sekarang.
"Saya tidak setega itu membuat pernikahan impian Kakak saya hancur meski saya sendiri sudah hancur. Tapi kalau saya hamil, apakah saya harus tetap diam, Tuan Arik?"
"Harus. Kamu harus tetap diam."
"Brengsek!" Hanggini menampar Arik, meludahi wajahnya, "saya juga nggak akan segan-segan menghancurkan hidup anda. Untuk saat ini, anda aman!!"
Arik menyeka ludah yang membasahi wajah. Terkekeh sejenak sebelum melepas Hanggini yang sudah membuka pintu. "Minum pil yang saya berikan. Itu obat pencegah kehamilan. Saja juga tidak bersedia memiliki anak dari kamu karena yang saya inginkan anak itu ada di rahim Arabella, istri tercinta saya," ucapnya membuat Hanggini yang sempat berhenti melangkah kembali, menutup pintu keras-keras.
***
Pukul dua belas siang saat matahari tengah berada di terik-teriknya, Hanggini bersama Radhika sibuk mengatur bagasi, membantu Damar dan Gayatri yang harus kembali ke Denpasar, mengurus pekerjaan yang tidak bisa ditinggal terlalu lama.
"Semuanya sudah?" tanya Gayatri. Dia membawa tentengan lagi di tangan. Gaun pesta yang semalam dipakai.
"Sudah, Mah. Barang-barangku nanti ditaruh kamar aja langsung. Biar aku aja yang beresin," sahut Hanggini.
"Yasudah nanti biar Mamah yang pesen ke Mbok. Punya kamu cuma yang tas biru itu, kan?" Gayatri menunjuk tas biru paling kecil. Hanggini memang tidak membawa barang terlalu banyak karena besok pagi dia juga akan pulang.
"Iya, Mah."
"Ayo, Mah. Ini klien Papah katanya sudah on the way." Damar masih sibuk dengan ponsel. Ya begitulah rutinitasnya. Membangun usaha oleh-oleh yang sudah terkenal pasti memakan banyak waktunya untuk bekerja.
"Iya-iya. Ini juga sudah!" Gayatri menggerutu, membuat tawa Hanggini keluar.
"Mamah pulang dulu, ya. Kamu hati-hati."
"Nak Dhika, tolong jaga Hanggini. Kalau dia rewel, jewer saja."
"Iya, Tan. Tenang aja."
"Papah juga pamit ya, Nggi. Besok ketemu lagi."
"Iya, Pah."
Damar berpamitan dengan terus melihat gawainya. Sepertinya klien dia kali ini cukup ribet. Terlihat dari sorot mata dan kerut dahi. Harusnya jika tidak ada kendala, mereka akan sampai dari Tabanan menuju Denpasar satu jam mendatang.
Klakson berbunyi, mobil melaju pergi. Hanggini cemberut, bersedekap menyenggol Dhika. "Jadi mau jewer aku nih, ceritanya," ujarnya.
Dhika tertawa, mencubit kedua pipi Hanggini. "Ya kalau rewel banget bukan cuma jewer. Tapi aku kurung di kamar, aku cium-cium sampai bibir kamu berdarah." Kecupan mendarat, Radhika mengeluh saat Hanggini memukul lengannya.
"Sakit, Beib."
"Makannya jangan langsung nyosor. Malu kalau diliat, Dhika ...."
"Yaudah ayo ke kamar." Radhika memeluk, menatap intens Hanggini, "tapi ntar dulu, aku mau beli makanan buat temen cuddle. Tunggu, ya," ucapnya lembut.
Hanggini mengangguk, kembali dicuri bibirnya tapi kali ini Radhika sudah berlari lebih dulu.
"Hayooloh ... buruan minta dinikahin!!" Entah sejak kapan, Arabella berada di belakang Hanggini, mengagetkannya.
"Apasih, Kak."
"Apasi-apasi. Nggak usah malu, Nggi. Kalau perlu, mah kasih aja. Kamu belum ngelakuin itu, kan. Takutnya Dhika keburu pergi. Kalian udah tiga tahun pacaran masa cuma cuddle sama ciuman doang."
"Nggak ah, Kak. Takut gue. Nunggu pas kita sah aja."
"Alah... justru kalau kamu hebat. Radhika pasti nggak bakal lepasin kamu."
"Jangan bilang lo sama Kak Arik udah ngelakuin itu sebelum kalian nikah?"
"Sering. Tapi karena Kakak jago, Arik nggak pergi, kan. Mau Kakak kasih tipsnya nggak?"
"Ih ... enggak-enggak. Pokoknya gue harus megang prinsip gue. Enak aja."
"Ngeyel kamu Nggi. Mending Kakak masuk kamar lagi. Masih mau lanjut. Jangan nangis, loh, kalau Dhika nanti pergi gara-gara kamu nggak bisa kasih apa yang dia mau. Padahal kesempatan ada. Mumpung nggak ada Mamah sama Papah!" Arabella diakhir kalimat berteriak karena dia telah masuk kembali, menyisakan Hanggini yang geleng-geleng kepala, heran dengan cara berpikir Arabella.
Pola pikir mereka memang beda. Begitu juga sifat dan kadar kepintaran. Arabella tidak pintar, tapi dia bisa menempatkan diri dan bersikap anggun selayaknya wanita old money. Gayanya juga terbilang berani dengan pakaiannya yang seringkali terbuka. Makannya dia bisa mendapatkan Arik meski statusnya hanya tamat SMA.
Sementara Hanggini, dia cerdas, tapi sedikit pemarah. Dia seringkali bertindak tanpa pikir panjang, sedikit ceroboh pula. Tapi dengan kepintarannya itu, dia bisa masuk ke universitas bergengsi di kotanya lantas mendapatkan cinta Radhika, yang sekarang bekerja sebagai kepala manager di perusahaan properti milik keluarga Arik. Hanggini juga sosok perempuan berprinsip. Salah satunya tentang keperawanan yang dia jaga sebelum dia resmi menikah. Tapi sayangnya prinsipnya itu terlanjur kacau balau karena ulah Arik.
Saat akan masuk, dua bodyguard menghadang Hanggini, menyeretnya masuk ke dalam salah satu ruangan yang mana ada Arik di dalamnya. Dia ditinggalkan berdua saja dengan lelaki itu.
"Tanda tangan Nggi. Jangan membuat semuanya rumit." kata Arik menyerahkan kertas putih delan sebuah pena.
Hanggini membaca isi perjanjian yang tertulis di sana bahwa dia tidak boleh membuka suara kepada siapapun atas kejadian semalam. Apabila dia hamil, dia juga harus tetap bungkam dan tidak boleh menggugurkan. Hanggini harus melahirkan bayi itu dan sisanya Arik yang akan mengurusnya. Dia bisa menghilang satu tahun untuk menyembunyikan kehamilannya jika memang itu benar terjadi nantinya.
Tentu saja Hanggini marah besar. Dia merobek kertas itu menjadi bagian-bagian kecil. Perjanjian itu hanya akan membuatnya rugi jika disetujui.
"Tuan Arik yang terhormat, anda tidak perlu repot-repot membuat surat kembali karena saya tidak akan pernah setuju!"
"Jika hamil, saya akan menggugurkannya saat itu juga. Itu mutlak. Ini tubuh saya, saya berhak melakukan apapun semau saya."
"Semoga pernikahan anda dan Kakak saya tidak bahagia. Semoga Kakak saya segera meminta cerai agar dia bisa terlepas dari lelaki bajingan seperti anda!!" Hanggini melempar potongan kertas ke wajah Arik lantas pergi dengan amarah yang menggebu-nggebu.
Arik terkekeh, menyingkirkan potongan kertas di bahunya seraya menyoroti kepergian adik ipar yang semalam dia tiduri itu. "Coba saja kalau kamu bisa, Nona Hanggini Prameswari."
Sial beribu sial. Memang ucapan kerap kali menjadi doa. Tiga minggu lalu Hanggini bersikeras menduga kondisinya yang bisa saja hamil, lantas hari ini, lima testpack yang dia beli menunjukan garis dua, semuanya. Hanya berbeda samar, ada yang buram ada pula yang jelas.
Sudah sejak tiga hari terakhir Hanggini merasakan mual dan tidak enak badan. Dia jelas tidak awam dengan gejala perempuan berbadan dua. Makannya dia buru-buru membeli testpack tersebut.
Seusai dengan rencana awal, dia akan menggugurkannya demi nama baik keluarga dan juga masa depannya sendiri. Satu tahun lagi dia akan lulus. Jika orang tau bahwa dia memiliki skandal di luar nikah, dia bisa di drop out dari kampus.
Tidak ada manusia yang bisa dipercaya, Hanggini mencari sendiri tempat biasa dilakukannya aborsi. Dan dia menemukannya setelah dua jam mencari-cari di salah satu aplikasi sosial media. Membuat janji dan telah siap untuk pergi.
Rumah keluarganya bukan seperti rumah adat yang memiliki banyak ukiran indah, melainkan rumah minimalis dua lantai. Rumah yang tampak sederhana dengan halaman luas. Sesuai dengan selera Gayatri yang memang tidak neko-neko. Lagipun mereka bukan asli orang Bali, melainkan perantau yang sudah bertahun-tahun menetap di sana.
"Mau ke mana, Nggi?" tanya Arabella, tengah duduk menemani Arik yang sedang memakan sandwich buatan istrinya itu. Mereka memutuskan untuk tinggal sementara di sana meski mereka juga sudah memiliki rumah siap huni yang tiga kali lebih besar. Alasannya sepele, Arabella belum siap terpisah dengan keluarganya. Tapi alasan itu juga yang membuat Arik bisa mengawasi gerak-gerik Hanggini dengan mudah.
"Kampus. Mana lagi," santai Hanggini.
"Kata kamu udah mulai libur semester."
"Ada kegiatan tambahan. Biasalah. Anak rajin. Gue pergi dulu ya, Kak. Tolong bilangin ke Mama. Gue buru-buru soalnya."
"Iya, hati-hati."
Tanpa membuat curiga, Hanggini berjalan santai memutar-mutar kunci mobil seperti kebiasannya. Dia mengabaikan Arik, karena memang dari dulu dia selalu menjaga jarak untuk menjaga hati Arabella juga.
***
Menunduk, mendongak, menunduk, mendongak. Hanggini mengaduh kesal. Lehernya pegal karena bolak-balik melihat layar ponsel dan jalanan di depannya. Tempat praktek aborsi yang akan dia kunjungi berada di pelosok, jalannya berblok-blok. Mau bertanya tapi tidak satupun orang lokal melintas.
Tugu merah bata dengan penjor tiga meter. Hanggini masuk ke dalam komplek yang disebutkan oleh orang yang akan menguret dirinya.
Rumah paling pojok bersatpam. Akhirnya Hanggini menemukannya. Kehadirannya sudah ditunggu. Satpam penjaga membantu memarkirkan mobilnya seolah dia juga tau, bahwa Hanggini adalah tamu dari tuannya.
"Nona Hanggini, benar?" tanya satpam, membukakan pintu.
Hanggini mengangguk.
"Silahkan masuk. Sudah ditunggu," kata satpam tersebut, membukakan kembali pintu rumah.
Tidak ada yang aneh. Tempat praktek dokter yang akan melakukan aborsi seperti rumah biasa. Orang juga tidak akan curiga karena dokter tersebut juga memasang plang dokter kandungan.
Begitu masuk ke dalam ruang periksa, ada perawat yang menyuruh Hanggini melakukan administrasi, tentunya dengan keterangan berbeda dari tujuannya ke sana.
"Terakhir kali haid kapan, Kak?" perawat itu bertanya, memastikan usia janin.
Hanggini membuka ponsel. Dia tidak ingat tapi dia mencatat di kalender menstruasinya. "Tangal dua puluh lima." jawabnya, sekaligus menunjukan layar ponsel.
"Jika dihitung dari HPHT, maka janin yang ada di dalam perut Kakak berusia lima minggu. Sebelumnya sudah melakukan pemeriksaan?"
"Belum. Saya baru cek lewat testpack."
"Baik jika begitu, kita lakukan usg terlebih dahulu untuk memastikan ada atau tidaknya janin di dalam rahim. Karena testpack belum tentu benar."
Hanggini manggut-manggut saja. Dia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Dia hanya ingin segera membuang janin itu jika memang ada di dalam rahimnya.
Suster yang mengurus administrasi, suster juga yang melakukan usg. Hanggini bingung apakah suster tersebut juga yang akan melakukan aborsi. Tapi setelah beberapa menit menghilang dengan kondisinya yang terbaring di atas ranjang, tiba-tiba muncul sosok perempuan berusia empat puluhan dengan pakaian dokternya.
Perempuan itu cantik, tersenyum ramah. Rambutnya tergerai bebas. Tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah pembunuh bayi-bayi suci yang harusnya lahir ke dunia. Tidak akan ada yang curiga kalau tangannya begitu dingin, menarik tanpa rasa bersalah janin dari rahim ibu yang tidak menginginkannya.
"Suntik bius dulu, biar sakitnya tidak terlalu." Kata dokter tersebut, menarik suntikan untuk memasukkan cairan bius yang dibawa oleh suster.
Hanggini mengangguk kecil. Tidak ada rasa takut dalam dirinya karena keputusannya ini sudah dia bulatkan sejak di hari di mana keperawannya diambil. Dia tidak mau ambil pusing, karena masa depannya yang sudah dia tata harus sesuai dengan rencana.
Jarum suntik masuk ke dalam kulit. Hanggini tidak bereaksi, diam tertidur seperti sebelumnya.
Lima detik, sepuluh detik, tiga puluh detik, hingga masuk pada menit ke tiga, gadis dengan blouse putih itu merasa berat pada matanya. Pandangannya buram hingga satu menit kemudian, dia tidak sadarkan diri.
Ini di luar kendali Hanggini, padahal dia sebelumnya pernah melakukan pencarian tentang aborsi dan efeknya, namun tidak ada bagian dari banyaknya artikel yang dia baca yang mengatakan bahwa pasien aborsi harus kehilangan kesadarannya.
***
"Dua jam lima belas menit. Buang-buang waktu." Seseorang berceletuk.
Hanggini yang baru terbuka kembali matanya mengerjap sekitar. Mendapati Arik sedang duduk di kursi tepat di depan ranjang besar yang ditiduri gadis itu.
"Kamu nggak akan bisa menggugurkan anak itu, Nggi."
Satu kalimat yang membuat Hanggini segera terduduk, meraba-raba perutnya.
"Pulang. Papa, Mama, Arabella dan tentunya Radhika, mereka semua sudah tau kalau kamu tengah hamil. Kamu ditunggu oleh mereka, Hanggini."
Hanggini terkekeh seperkian detik mendapati takdirnya yang lucu sebelum sorot matanya menatap tajam pada Arik. Dia marah, namun dia enggan meladeni celotehan lelaki bersetelan jas lengkap itu. Dia beranjak, menyambar tasnya yang tergeletak di atas nakas.
Sialnya saat dia hendak pergi sebab enggan meladeni Arik, tangannya justru lebih dulu ditarik, hingga langkah itu mundur kembali dan membuatnya jatuh di atas pangkuan lelaki itu.
Arik balik menyerang, mengangkat tubuh Hanggini lantas dijatuhkan di atas kasur. Dia menindihnya, balik terkekeh sebelum mengunci mata pada sosok gadis yang kini tengah mengandung anaknya itu.
"Jangan katakan siapa ayah dari anak yang kamu kandung. Atau baiknya, kamu tidak perlu kembali. Sembunyi di sini sampai anak itu lahir. Cuti kuliah selama sembilan bulan tidak akan membuat planning hidupmu hancur bukan. Atau, mau saya bantu agar kamu tetap berkuliah, tapi secara online. Bagaimana?"
Hanggini hendak berontak. Tapi tubuhnya terlalu kecil untuk melawan kekuatan Arik yang tiga kali lebih besar. "Gugurkan. Semuanya kelar. Saya punya hak untuk mengatur hidup dan tubuh saya. Anda tidak usah ikut campur!" tegasnya.
"Tapi saya mau anak ini." Arik melirik bagian perut Hanggini yang masih rata, lantas tatapannya naik kembali pada wajah merah padam gadis itu.
Hanggini terkekeh kembali. "Bukannya anda kemarin mengatakan hanya mau anak dari rahim Arabella, istri yang paling anda cintai itu. Kenapa tiba-tiba anda mengatakan ingin anak ini. Omong kosong!"
"Terserah kamu mau mengatakan apa. Saya menginginkan anak ini dan saya mau anak ini lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat sedikitpun. Silahkan jika kamu mau pulang. Tapi yang jelas, hidupmu akan hancur saat itu juga."
"Sejujurnya, saya masih belum melupakan malam itu. Wanna try again?"
Bedebah gila. Amarah Hanggini meluap-luap dibuatnya. Pantas saja Arabella dan Arik berjodoh, pikiran mereka sama-sama tidak jauh-jauh dari ************.
Hanggini menendang ******** Arik tanpa ragu, memberi bogeman mentahnya pada wajah berahang tegas itu sebelum akhirnya dia bisa melarikan diri. Tanpa dikejar meski beberapa bodyguard berjaga di depan pintu kamar maupun di depan pintu gerbang. Dia pergi dengan mobilnya sendiri yang pastinya di bawa oleh salah satu bodyguard Arik yang mengikutinya. Dan jelas, dokter yang tadi Hanggini temui juga pasti sudah bekerja sama dengan lelaki itu.
Hanya satu pertanyaan. Kenapa Arik bisa tau apa yang hendak dia lakukan. Apakah pria itu menyabotase ponsel atau bahkan memasang gps di mobilnya. Atau bahkan ... dia juga memasang CCTV di kamar pribadinya?
Entalah, tapi yang jelas, Hanggini harus bersiap menghadapi amukan orang tuanya. Apalagi, pintu rumah sudah terbuka lebar saat dia pulang.
Dua koper besar muncul di balik pintu. Dibarengi Gayatri, Damar, Arabella dan Radhika.
"Pah," panggil Hanggini.
"Hamil anak siapa kamu?!"
Hanggini menggeleng. "Siapa yang hamil," elaknya.
Damar melempar lima testpack yang tadi pagi Hanggini gunakan. Seingatnya dia sudah membuang ke tong sampah luar, kenapa bisa sekarang ada di tangan lelaki itu.
"Radhika sudah bersumpah tidak pernah melewati batas, jadi anak siapa itu Hanggini!!" pekik Damar.
"Pah, maafin Hanggini, Pah." Hanggini bersimpuh, memegangi kaki Damar, "Hanggini bakal gugurin anak ini," mohonnya.
"Tidak tau malu. Tidak tahu diri. Bisa-bisanya kamu mau menggugurkan anak itu!!"
"Terus Hanggini harus apa. Nggak mungkin Hanggini lahirin anak ini, Kan. Papah juga nggak akan mau, kan. Kenapa Hanggini nggak boleh mengugurkannya!!"
Plak!
Hanggini tersungkur, pipinya merah. "Tidak punya sopan santun. Beraninya kamu teriak di depan saya. Kamu ini benar-benar beda dengan Kakak kamu."
"Jangan bandingin Hanggini. Hanggini nggak suka!! Apa bedanya Hanggini sama Kakak kalau dia juga melakukan hal yang sama sebelum menikah!!"
Kembali ditampar, Hanggini merasakan perihnya berkali-kali lipat. Tak sadar air matanya juga meluruh.
"Dia jelas melakukannya dengan siapa. Tidak seperti kamu. Papah malu, Papah malu punya anak seperti kamu. Pergi kamu, Nggi. Jangan pernah kembali ke rumah ini lagi. Kamu hanya bisa membuat malu saya dengan tingkah kasarmu itu. Teruskan saja hidup menjadi berandalan. Teruskan saja menjadi perempuan murahan. Saya tidak akan peduli!!"
"Pah, Pah ... jangan usir Hanggini, Pah. Yang membuat Hanggini hamil itu Kak Arik. Dia yang menghamili Hanggini, Pah. Dia memperkosa Hanggini!!"
Bukan pembelaan bukan belas kasihan, Hanggini justru kembali ditampar oleh Gayatri. "Kamu iri sama Arabella yang hidupnya bahagia sampai kamu menuduh suaminya, kakak iparmu sendiri. Perempuan macam apa kamu, Hanggini!!"
"Kakak kamu memang tidak sepintar kamu. Tapi dia bisa membawa dirinya sehingga bisa mendapatkan Arik, pewaris tunggal Bayanaka Group. Jika kamu iri, cari laki-laki lain. Tunjukkan value kamu sebagai perempuan yang katanya pintar itu!"
"Dari pada kasihan sama kamu, Mamah lebih kasihan dengan Radhika. Dia lekaki baik, tidak pantas mendapatkan perempuan seperti kamu!"
"Nggi, Kakak benar-benar nggak nyangka kamu bisa menuduh Mas Arik seperti itu. Dia laki-laki bermartabat, tau mana yang benar dan salah!" Arabella berkaca-kaca, pipinya merah menahan marah. Tapi ada Gayatri yang merangkulnya, mengusap lengan memberi tenang.
"Jangan pusingkan dengan omong kosongnya. Lebih baik kita masuk. Biarkan saja dia sendiri. Anak tidak tahu diri!" Damar ikut merangkul Arabella, membawa wanita itu masuk ke dalam rumah bersama Gayatri. Tapi sebelumnya, dia juga sempat merampas kunci mobil yang digengam gadis itu.
"Kita putus. Aku nggak nyangka kalau kamu bisa menjadi perempuan murahan seperti ini, Nggi. Aku selama ini kagum dengan prinsip kamu, tapi sekarang aku menyesal. Kamu bahkan tega menuduh Pak Arik. Dia lelaki berprinsip, tidak mungkin dia mengkhianati istrinya sendiri!" Radhika pergi dengan mobilnya, membuat tangis Hanggini pecah begitu saja.
Gadis itu kira, Radhika akan selalu bersamanya. Dia akan percaya kepadanya lebih dari siapapun. Namun tanpa mau mendengar penjelasan, dia justru meninggalkannya yang telah dibuang oleh keluarganya sendiri.
Hancur. hidup Hanggini, mimpi Hanggini dan angan Hanggini semuanya hancur. Gara-gara janin yang ada di dalam kandungannya, keluarganya tidak mau menerimanya lagi. Bahkan opsi mengugurkan pun tidak disetujui. Mereka membuangnya layaknya barang rusak yang tidak ada gunanya lagi.
"Brengsek!!" Tidak perlu meratapi nasib lagi. Dia memang harus pergi dari rumah yang sudah dia tinggali dua puluh tahun lamanya itu. Kini bersama dua koper besar yang entah isinya apa saja, Hanggini keluar dari pekarangan rumah. Dia harus mencari tempat tinggal sementara, secepatnya sebelum hari menggelap.
Menemukan taxi dengan mudah, Hanggini mencoba mampir di atm terdekat setelah lima belas menit berkendara, sebelum memasuki sebuah penginapan yang telah dia pilih. Niatnya untuk mengambil uang tunai. Tapi ternyata, atmnya telah diblokir. Tiga kartu yang dia miliki sudah tidak berfungsi.
Hanggini merosot, meremas kepala. "Ya Tuhan ... gini banget hidup gue!!"
Hanya ada uang lima ratus lima puluh ribu rupiah di dompet. Untuk menginap semalam dan makan sehari, lantas keesokan harinya pasti Hanggini akan luntang lantung seperti gelandangan.
Keluar dari ruangan dua kali satu meter itu, Hanggini menarik kopernya, berjalan lima meter hingga pasrahnya membuat dia duduk di trotoar, menutup wajah yang beraut campur aduk antara marah dan sedih.
Mobil alphard tiba-tiba berhenti. Pintunya terbuka menghadirkan sosok Sukma, ibu dari Arik. "Masuk, Hanggini. Cucu saya tidak boleh bersedih seperti ibunya," kata wanita itu sontak membawa kaget gadis berkuncir kuda yang masih terduduk lemas di trotoar.
***
***Di part sebelumnya belum ada like, tapi gak papa, aku bakal terus lanjutin cerita ini. Mewehehehehe.
see you***!!
Mobil alphard tiba-tiba berhenti. Pintunya terbuka menghadirkan sosok Sukma, ibu dari Arik. "Masuk, Hanggini. Cucu saya tidak boleh diajak mengemper seperti itu," kata wanita berambut pendek itu sontak membawa kaget gadis berkuncir kuda yang masih terduduk lemas di trotoar.
"Hanggini, kok melamun. Itu koper kamu sudah dimasukkan ke dalam mobil, loh." Sukma berceletuk lagi, menyadarkan Hanggini yang bingung karena kedua kopernya sudah tidak ada lagi di sampingnya. Malah berganti dengan sopir yang membantunya berdiri, menuntunya masuk ke dalam mobil.
Hanggini bingung tapi dia juga tidak mau hidup luntang-lantung. Ke mana sekarang dia akan dibawa, dia tidak tau. Dia juga tidak bisa bersikap kasar seperti sikapnya pada Arik. Karena jelas, Sukma usianya jauh lebih tua darinya.
"Maafkan Arik ya, Nggi." Sukma menggenggam tangan Hanggini saat pintu mobil tertutup, "dia tidak mau berdosa hingga dua kali. Makannya dia teguh untuk mempertahankan anak ini. Maaf kalau cara dia membuat kamu harus diusir dari rumah."
"Tapi tenang saja, Nggi. Setelah anak ini lahir, kamu bisa bebas. Bisa kuliah lagi. Saya juga akan memberikan kamu rumah dan fasilitasnya. Atau kamu mau request apapun, pasti saya kasih. Untuk sekarang, kamu dan saya akan tinggal di Gilimanuk. Tidak apa-apa, kan."
"Mas Arik cerita semuanya?" tanya Hanggini.
"Iya. Sejak di malam kalian melakukannya malah." Sukma mengusap kepala Hanggini. Senyumnya begitu tulus, matanya teduh, membuat gadis itu termangu, "Nggi, maaf kalau Arik kasar. Dia cuma bingung harus bersikap bagaimana. Kamu punya prinsip hidup yang kuat. Berbeda dengan Arabella yang mudah dirayu. Tapi saya sudah memarahi dia, kok. Dia salah, saya mengakuinya."
"Kak Ara bagaimana. Apa dia nggak curiga kalau mertuanya tidak ada di rumah?"
"Sudah biasa bukan, jika saya bepergian. Yang dinikahi Ara itu Arik, saya nggak penting-penting amat. Jadi kamu tenang saja."
Bisa dibilang, kalau Hanggini adalah selingkuhan Arik. Dan gadis itu bingung harus menanggapi bagaimana. Dia yang semula punya opsi untuk hidup ke depannya seketika hancur saat dia dihadapkan dengan kemiskinan. Uang lima ratus ribu yang tersisa tidak mungkin bisa untuk menghidupinya. Apalagi ditambah jabang bayi yang pasti membutuhkan vitamin dan makanan sehat yang harganya lumayan.
Tapi di sisi lain, bagaimana keadaan Arabella nantinya jika tahu. Biar bagaimanapun wanita itu adalah saudaranya. Meski tadi dia sempat dimaki, tapi Hanggini yakin bahwa itu reaksi alami dari terkejutnya Arabella mendapati bahwa anak di kandungannya adalah anak Arik. Meskipun juga Arabella menyangkal dan enggan percaya.
"Arik yang salah di sini. Kamu tidak, begitu pula dengan bayi ini. Seperti kamu yang punya hak atas tubuh kamu, bayi ini juga punya hak untuk dilahirkan. Mau ya, Nggi?" Sukma seperti memohon, matanya yang tulus entah kenapa membuat Hanggini spontan mengangguk. Lagi pula dia memang tidak memiliki opsi lain.
"Terima kasih, Nggi. Sekarang kamu tidur saja. Perjalanan kita masih lama." Sukma melepas genggaman tangan, mengambilkan sebuah selimut tipis di kursi belakang, memakaikannya pada Hanggini.
***
Tiga jam lewat dua puluh menit. Perjalanan yang singkat untuk Sukma tapi tidak dengan Hanggini. Gadis itu tertidur tak lama setelah selimut dipakaikan, sementara perempuan berambut pendek dengan blouse merah muda itu sibuk dengan gadgetnya, memantau sejumlah pekerjaan.
Sukma adalah orang tua tunggal. Suaminya telah meninggal sepuluh tahun lalu. Meninggalkannya sejumlah bisnis yang saat ini masih dia jalankan dengan baik.
Bukan perkara mudah sampai akhirnya Sukma bisa mendidik Arik menjadi lelaki tangguh dan bertanggung jawab. Dia pun turut andil memutuskan apa yang harus laki-laki itu lakukan saat dihadapkan masalah dengan Hanggini.
Matahari siang menyapa mata Hanggini yang masih terpejam. Gadis mengerjap-ngerjap, silau.
"Sudah sampai, Nggi. Maaf ya, langsung dibuka. Soalnya dari tadi kamu dipanggil-panggil nggak bangun-bangun."
"Eh ... saya ketiduran lama banget ternyata. Maaf, Tan."
Sukma menepuk paha Hanggini. "Jangan panggil, Tan. Mamah saja biar akrab."
"Tapi ...."
"Tidak perlu tapi-tapian. Ayo turun. Kamu harus istirahat dengan baik di kamar."
Hanggini mengangguk. Karisma Sukma memang membuatnya tidak bisa membantah ucapannya.
Villa dua lantai dengan gerbang tinggi dibagian depan. Sementara bagian belakang langsung menghadap pada pantai dengan ombak biru yang menggulung. Nuansa putih pada tembok dan hijau pada tanaman serta rumput membuat kesan damai pada villa tersebut. Ada kolam renang serta gazebo juga di bagian belakang.
Hanggini sudah disambut oleh pekerja. Dituntun menuju kamarnya yang ada di lantai satu. Sukma sendiri juga langsung memberi arahan pada pekerja yang lain untuk melayani Hanggini yang belum memakan apapun sedari pagi.
"Akhirnya kalah juga, kan. Coba kamu menurut sedari awal, pasti nggak akan ada drama pengusiran. Pasti Ayah kamu taunya sekarang kamu sedang melakukan pertukaran pelajar, study banding atau alasan lain. Ngeyel, sih."
Lihatlah raut tengil Arik. Berbeda jauh sekali dengan wajah teduh berkarisma milik Sukma.
Harus diakui kalau sekarang Hanggini memang kalah, tapi apa perlu lelaki itu memasang wajah tengil, meledeknya. Dia baru sampai, harusnya disambut dengan baik. Mana dia juga tidak bisa marah-marah seperti sebelumnya.
"Arik ... jangan diledekin. Lebih baik kamu bantu Hanggini membereskan kopernya. Mamah mau siapkan makan dulu!!" teriak Sukma. Di luar kamar sudah berisik dengan bunyi sendok dan alat masak lainnya.
"Iya, Mah!!" sahut Arik, berteriak.
Dua koper yang dibawa supir telah masuk. Pekerja rumah tangga yang tadi mengantar Hanggini diperintah Arik untuk keluar. Pintu ditutup, menyisakan lelaki itu dan Hanggini berduaan.
"Saya bisa bereskan sendiri!" ketus Hanggini.
"Ayolah, Nggi. Saya ini Papa dari anak kamu, masa iya diketusin, sih. Nanti anaknya ikut-ikutan loh."
Hanggini melirik Arik sekilas, menarik kopernya yang berat, membukanya sendiri.
"What the ****!" Betapa terkejutnya Hanggini begitu membuka satu kopernya yang berisi pakaian lamanya. Tidak ada pakaiannya yang baru, yang sedang suka-sukanya dia kenakan. Dan di koper yang kedua, hanya ada tumpukan buku kuliah, tidak ada tas, sepatu, make up, atau barang-barang berharganya yang lain. Papanya benar-benar membuatnya miskin dalam sekejap.
"Language. Anak saya tidak boleh mendengar kata-kata kasar," celetuk Arik, "what happened. Saya boleh bantu?" imbuhnya, ikut berjongkok satu kaki di samping Hanggini.
"Nggak ada!" masih ketus, Hanggini menghindar, menjauh ke arah pintu lain yang membuatnya bisa melihat pemandangan lautan biru yang membentang luas.
Arik memejam mata, geregetan. Hanya Hanggini seorang perempuan yang menolak tawarannya. Biasanya perempuan lain justru mencari-cari kesempatan untuk mendapat bantuannya.
"Come on ... kamu mau sampai kapan ketusin saya." Menyusul, berinisiatif merangkul dari belakang pinggang Hanggini. Bukannya kenyamanan, Arik justru disikut, mengenai wajah tampannya pula. Parahnya sampai hidung lekaki itu mimisan.
"Astaga!" kaget Hanggini, khawatir. Sejujurnya jika tidak ada Sukma dia akan bodo amat. Salah sendiri menyentuhnya tanpa ijin.
"Biar saya obati sendiri." Arik pergi buru-buru, keluar kamar dan menutup pintu sedikit kencang. Membuat Hanggini merasa bersalah pun takut akan dikata apa oleh Sukma.
"Nggi ... beberesnya ditunda dulu. Ayo makan," ajak Sukma telah membuka pintunya kembali.
"Itu Mas Arik nggak sengaja kesikut, Tan. Berdarah hidungnya," gugup Hanggini, berjalan cepat-cepat.
"Mamah. Jangan panggil Tante. Itu juga kamu juga pelan-pelan saja jalannya. Arik biarkan, lagian siapa suruh meluk-meluk kamu. Nggak sopan."
"Loh, Tan ...."
Sukma cemberut, Hanggini nyengir.
"Loh, Mah. Mas Arik ngomong lagi?" tanyanya.
"Iya tadi sambil lari. Harusnya ditonjok aja, Nggi. Tuman."
"Mamah nggak marah?"
"Ngapain marah. Orang salah dia, kok. Sudah ayo kita makan duluan."
Sop iga, ikan bakar dan buah-buahan. Makanan luar biasa yang bagi Sukma terlihat biasa. Dia bahkan meminta maaf karena tidak bisa menghidangkan makanan yang lebih mewah.
Nafsu makan Hanggini memang sedang tidak baik, dia hanya memasukkan sedikit nasi dan tidak bisa menghabiskan sup iga yang Sukma tuangkan pada mangkuk kecil. Wajahnya kentara sekali dan untungnya Sukma tidak memaksa, mencoba mengerti.
"Mas Arik baik-baik saja, kan. Kenapa dia belum balik?" tanya Hanggini, sudah lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda lelaki itu muncul.
"Maaf, Nyonya. Tuan Arik kembali ke Denpasar. Katanya Nona Arabella mencari. Jika tidak salah dengar, ditelepon tadi Nona Arabella bilang kalau dia sedang mengandung." Celetuk seorang bodyguard.
"Terima kasih sudah menyampaikan pesan Arik. Kamu istirahat saja. Tidak perlu penjagaan berlebih," kata Sukma dianggukan si bodyguard.
"Mamah tidak mau kembali?" tanya Hanggini. Sejujurnya dia akan lebih senang jika ditinggalkan sendiri. Dia akan merasa bebas tanpa harus bersikap santun terus-terusan.
"Nanti kalau Arik mau, Mamah pasti kembali. Tidak apa, kan?"
"Loh ... nggak papa, Mah. Yang menantu Mamah kan Kak Ara. Dia pasti jauh lebih membutuhkan Mamah. Hanggini nggak perlu dipikirkan."
"Mamah pikirkan nanti. Di sini lebih tenang. Villa ini villa favorite Mamah soalnya."
Memang dilihat dari interior dan kebersihannya, villa yang ditempati Hanggini itu memang sangat terawat. Seperti menjadi tempat tinggal sehari-hari. Atau entah karena yang bekerja banyak makannya terjaga. Tapi suasanya memang berbeda. Ada kehangatan di dalam villa tersebut.
"Kamu istirahat ya, Nggi. Wajah kamu pucat. Nanti kalau sudah sore Mamah bangunkan. Ayo." Memang ajaib setiap kalimat yang diucap Sukma. Hanggini selalu berkata tidak jika dia tidak mau, tapi ketika wanita itu yang mengucapkan, dia manggut-manggut saja. Menurut dituntun padahal dia paling tidak suka dipegang-pegang. Dan yang paling terkesan, Sukma menastikan Hanggini beristirahat dengan tenang. Menutup tirai, menyalakan lilin aromaterapi dan menyelimuti gadis itu sebelum keluar.
Jika begini ceritanya, Hanggini tidak lagi berat hati mengandung anak Arik itu. Toh dia sudah dijanjikan akan bebas. Win-win solution bukan?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!