Pengorbanan Nayara
Perlahan aku membuka mataku. Kepalaku terasa sangat pening. Aku juga merasakan sakit yang teramat sangat di bagian perutku, dan aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali, kecuali jari-jariku.
Aku melihat langit-langit putih dan seketika aku sadar bahwa aku sedang berada di sebuah ruangan.
Sayup-sayup terdengar seseorang mengatakan, "Dokter! Pasien sudah sadar!" tapi aku tak bisa mendengarnya terlalu jelas.
Tidak lama dokter datang menghampiriku, dan memeriksa keadaanku.
"Bu Nayara? Anda bisa mendengar saya?"Sekarang aku bisa mendengar suara dengan sangat jelas.
Aku mengangguk pelan sekali, menjawab pertanyaan dokter tadi.
Seketika terbersit sebuah ingatan di dalam benakku.
Anakku!
"Syukurlah kalau Bu Nayara bisa mendengar saya. Ibu sudah selama seminggu terbaring koma pasca melahirkan. Ibu jangan khawatir karena putra ibu dalam keadaan sehat sekarang."
Putra...?
Seakan teraliri sebuah energi mendengar Dokter menyinggung mengenai putraku, perasaanku seketika menghangat.
Terimakasih, Tuhan. Aku memiliki seorang putra sekarang. Diam-diam aku begitu bersyukur karena kejadian yang menimpaku waktu itu tidak sampai merenggut bayi yang aku kandung.
Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Aku dibawa dari ruang ICU ke ruang rawat inap. Beberapa jam kemudian keadaanku sudah jauh membaik.
"Saya... mau lihat anak saya, Suster..." ucapku lemah.
Perawat itu menghampiriku, "Saya tanya dokter dulu ya, Bu."
Tepat saat perawat meninggalkan ruangan, Kak Deon dengan jas dan wajah tampannya menghampiriku dengan tergesa.
"Nay, kamu udah sadar?" Ia segera membelai pipiku. Kedua maniknya menatap mataku penuh syukur. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Ada apa dengannya? "Syukurlah. Kakak dikabarin sama dokter kalau kamu udah siuman dan Kakak langsung kesini."
Aku bergeming. Aku sama sekali tidak menggubrisnya.
"Maafin Kakak, Nay. Semua salah kakak kamu jadi seperti ini sekarang." Sebutir air mata meleleh dari mata Kak Deon. Dipeluknya kepalaku di dadanya. "Kakak takut banget kehilangan kamu. Tapi sekarang kakak lega, liat kamu udah sadar."
Ia menjauhkan tubuhnya dariku. Tangannya meraih puncak kepalaku, mengelusnya lembut. Lalu ia dekatkan bibirnya ke dahiku dan mengecupku pelan.
Aku masih tidak bereaksi, walaupun dalam hati aku merasa sangat marah karena ia berani untuk menyentuhku lagi.
Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dengan membawa brangkar kecil. Sontak aku begitu bersemangat. Namun karena keadaanku masih lemah, aku hanya terbaring tanpa bisa bangkit. Aku hanya mengulurkan tanganku.
"Ini...anak saya, Sus?" lirihku.
Kak Deon meraih bayi mungil yang tertidur di tempat tidur kecil itu, dan mendekatkannya padaku. "Anak kamu sehat, Nay."
Air mataku mengalir begitu saja ke sisi kedua mataku. Bayi mungil yang selama 9 bulan berada di dalam rahimku kini bisa aku lihat.
Syukurlah. Aku kira aku akan kehilangannya, seperti aku kehilangan ayah dari putraku.
Kilasan-kilasan mengenai laki-laki itu bermunculan di benakku. Tubuhnya setinggi 190 cm, berlari mendribel bola di lapangan dengan seragam basketnya. Rambut hitam pendeknya terkibas-kibas seiring tubuhnya yang terus berlari. Wajah kecilnya, hidung mancung, dan senyum yang mempesona. Tergambar jelas di dalam benakku.
'Gian...' tanpa sadar aku menyebut namanya dalam hati.
Seketika tangisku pecah. Bahkan dalam keadaan lemah, isak tangis keluar dari bibirku dengan begitu nyaringnya.
Aku begitu merindukan Gian.
Dan kini aku tahu, aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Ia tak akan pernah tahu bahwa buah hati kami ada di dalam rahimku ketika ia pergi.
***
Beberapa hari kemudian, keadaanku berangsur membaik. Aku sudah bisa duduk dan menggendong bayiku untuk pertama kalinya. Selama beberapa hari ini aku makan dengan lahap, dan semua instruksi dokter aku turuti dengan baik.
Aku harus segera pulih dan merawat putraku.
Siang itu aku kembali menyusui putraku. Aku bersenandung pelan seraya menatap wajah mungil dipangkuanku.
ASIku belum terlalu deras, tapi menurut dokter aku harus terus membiasakan putraku menghisapnya maka dengan sendirinya ASI akan keluar lebih deras.
Tampan sekali kamu, Nak. Kamu mirip sekali dengan ayah kamu. Ujarku dalam hati.
Seketika hatiku kembali terasa perih mengingatnya.
"Nay..."
Aku mendongak. Aku kira aku mendengar Gian memanggilku. Sepersekian detik kemudian aku sadar, Gian tidak akan pernah ada lagi di sampingku sekarang.
"Kak Deon?" tanyaku.
Kak Deon menghampiriku dengan tangan membawa sebuah tas seperti travel bag dengan motif khas bayi.
"Kakak pengen liat kamu sama bayi kamu." Ujarnya sambil menghampiriku.
Aku menatap tajam pada kakak tiri sekaligus suamiku ini, "Bayi kita, Kak. Dia anak kamu."
Kak Deon merasa bersalah, "Iya, Nay. Maaf Kakak hampir lupa." Ia duduk di sisiku. "Anak kita." Lirihnya mengoreksi ucapannya seraya menatap bayi mungil yang digendongku.
Akupun kembali menatap wajah putraku yang tengah asyik meminum ASIku, "Dia akan tumbuh dengan kasih sayang kakak sebagai ayahnya. Jadi kakak jangan sampai lupa lagi. Kakak adalah ayah kandung dia. " Aku kembali memperingatkannya, "Gak ada yang boleh tahu hal yang sebenarnya. Ini adalah rahasia kita. Kakak ngerti?"
Kak Deon menghela nafasnya. "Iya, Nay. Kakak gak akan lupa lagi."
Aku tak akan gentar lagi olehnya. Aku tak akan membiarkannya lagi semena-mena lagi terhadapku.
"Kamu mau kasih nama siapa dia, Nay?"
Aku menantap wajah mungil itu dengan sendu, "Andra.."
"Andra?" ulang Kak Deon.
Aku mengangguk pelan, "Giandra Mahesa."
***
VISUAL TOKOH:
Nayara Salsabila
Giandra Mahesa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Dermata Sari Lamsihar Sibarani
smpe 2x baca 🤭
2024-06-23
1
Dewi Anggya
seruuu ini 😘
2024-05-24
1
Tara
cantiq skali
2024-03-22
1