NovelToon NovelToon

Pengorbanan Nayara

Bab 1: Prolog

Perlahan aku membuka mataku. Kepalaku terasa sangat pening. Aku juga merasakan sakit yang teramat sangat di bagian perutku, dan aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali, kecuali jari-jariku.

Aku melihat langit-langit putih dan seketika aku sadar bahwa aku sedang berada di sebuah ruangan.

Sayup-sayup terdengar seseorang mengatakan, "Dokter! Pasien sudah sadar!" tapi aku tak bisa mendengarnya terlalu jelas.

Tidak lama dokter datang menghampiriku, dan memeriksa keadaanku.

"Bu Nayara? Anda bisa mendengar saya?"Sekarang aku bisa mendengar suara dengan sangat jelas.

Aku mengangguk pelan sekali, menjawab pertanyaan dokter tadi.

Seketika terbersit sebuah ingatan di dalam benakku.

Anakku!

"Syukurlah kalau Bu Nayara bisa mendengar saya. Ibu sudah selama seminggu terbaring koma pasca melahirkan. Ibu jangan khawatir karena putra ibu dalam keadaan sehat sekarang."

Putra...?

Seakan teraliri sebuah energi mendengar Dokter menyinggung mengenai putraku, perasaanku seketika menghangat.

Terimakasih, Tuhan. Aku memiliki seorang putra sekarang. Diam-diam aku begitu bersyukur karena kejadian yang menimpaku waktu itu tidak sampai merenggut bayi yang aku kandung.

Setelah melakukan beberapa pemeriksaan, Aku dibawa dari ruang ICU ke ruang rawat inap. Beberapa jam kemudian keadaanku sudah jauh membaik.

"Saya... mau lihat anak saya, Suster..." ucapku lemah.

Perawat itu menghampiriku, "Saya tanya dokter dulu ya, Bu."

Tepat saat perawat meninggalkan ruangan, Kak Deon dengan jas dan wajah tampannya menghampiriku dengan tergesa.

"Nay, kamu udah sadar?" Ia segera membelai pipiku. Kedua maniknya menatap mataku penuh syukur. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Ada apa dengannya? "Syukurlah. Kakak dikabarin sama dokter kalau kamu udah siuman dan Kakak langsung kesini."

Aku bergeming. Aku sama sekali tidak menggubrisnya.

"Maafin Kakak, Nay. Semua salah kakak kamu jadi seperti ini sekarang." Sebutir air mata meleleh dari mata Kak Deon. Dipeluknya kepalaku di dadanya. "Kakak takut banget kehilangan kamu. Tapi sekarang kakak lega, liat kamu udah sadar."

Ia menjauhkan tubuhnya dariku. Tangannya meraih puncak kepalaku, mengelusnya lembut. Lalu ia dekatkan bibirnya ke dahiku dan mengecupku pelan.

Aku masih tidak bereaksi, walaupun dalam hati aku merasa sangat marah karena ia berani untuk menyentuhku lagi.

Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dengan membawa brangkar kecil. Sontak aku begitu bersemangat. Namun karena keadaanku masih lemah, aku hanya terbaring tanpa bisa bangkit. Aku hanya mengulurkan tanganku.

"Ini...anak saya, Sus?" lirihku.

Kak Deon meraih bayi mungil yang tertidur di tempat tidur kecil itu, dan mendekatkannya padaku. "Anak kamu sehat, Nay."

Air mataku mengalir begitu saja ke sisi kedua mataku. Bayi mungil yang selama 9 bulan berada di dalam rahimku kini bisa aku lihat.

Syukurlah. Aku kira aku akan kehilangannya, seperti aku kehilangan ayah dari putraku.

Kilasan-kilasan mengenai laki-laki itu bermunculan di benakku. Tubuhnya setinggi 190 cm, berlari mendribel bola di lapangan dengan seragam basketnya. Rambut hitam pendeknya terkibas-kibas seiring tubuhnya yang terus berlari. Wajah kecilnya, hidung mancung, dan senyum yang mempesona. Tergambar jelas di dalam benakku.

'Gian...' tanpa sadar aku menyebut namanya dalam hati.

Seketika tangisku pecah. Bahkan dalam keadaan lemah, isak tangis keluar dari bibirku dengan begitu nyaringnya.

Aku begitu merindukan Gian.

Dan kini aku tahu, aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Ia tak akan pernah tahu bahwa buah hati kami ada di dalam rahimku ketika ia pergi.

***

Beberapa hari kemudian, keadaanku berangsur membaik. Aku sudah bisa duduk dan menggendong bayiku untuk pertama kalinya. Selama beberapa hari ini aku makan dengan lahap, dan semua instruksi dokter aku turuti dengan baik.

Aku harus segera pulih dan merawat putraku.

Siang itu aku kembali menyusui putraku. Aku bersenandung pelan seraya menatap wajah mungil dipangkuanku.

ASIku belum terlalu deras, tapi menurut dokter aku harus terus membiasakan putraku menghisapnya maka dengan sendirinya ASI akan keluar lebih deras.

Tampan sekali kamu, Nak. Kamu mirip sekali dengan ayah kamu. Ujarku dalam hati.

Seketika hatiku kembali terasa perih mengingatnya.

"Nay..."

Aku mendongak. Aku kira aku mendengar Gian memanggilku. Sepersekian detik kemudian aku sadar, Gian tidak akan pernah ada lagi di sampingku sekarang.

"Kak Deon?" tanyaku.

Kak Deon menghampiriku dengan tangan membawa sebuah tas seperti travel bag dengan motif khas bayi.

"Kakak pengen liat kamu sama bayi kamu." Ujarnya sambil menghampiriku.

Aku menatap tajam pada kakak tiri sekaligus suamiku ini, "Bayi kita, Kak. Dia anak kamu."

Kak Deon merasa bersalah, "Iya, Nay. Maaf Kakak hampir lupa." Ia duduk di sisiku. "Anak kita." Lirihnya mengoreksi ucapannya seraya menatap bayi mungil yang digendongku.

Akupun kembali menatap wajah putraku yang tengah asyik meminum ASIku, "Dia akan tumbuh dengan kasih sayang kakak sebagai ayahnya. Jadi kakak jangan sampai lupa lagi. Kakak adalah ayah kandung dia. " Aku kembali memperingatkannya, "Gak ada yang boleh tahu hal yang sebenarnya. Ini adalah rahasia kita. Kakak ngerti?"

Kak Deon menghela nafasnya. "Iya, Nay. Kakak gak akan lupa lagi."

Aku tak akan gentar lagi olehnya. Aku tak akan membiarkannya lagi semena-mena lagi terhadapku.

"Kamu mau kasih nama siapa dia, Nay?"

Aku menantap wajah mungil itu dengan sendu, "Andra.."

"Andra?" ulang Kak Deon.

Aku mengangguk pelan, "Giandra Mahesa."

***

VISUAL TOKOH:

Nayara Salsabila

Giandra Mahesa

Bab 2: Les Privat

"Silahkan diminum, Teh." ujar seorang perempuan yang sepertinya adalah ART, seraya meletakkan sebuah gelas berisi air berwarna orange di meja di hadapanku.

"Makasih." Sahutku sopan.

Aku duduk di salah satu sofa ruang tamu di rumah seseorang yang kemarin meneleponku dan memintaku untuk mengajar privat putranya yang bersekolah di bangku SMA.

Rumahnya cukup besar. Rumah ini juga berada di sebuah perumahan yang dipenuhi rumah-rumah yang besar. Di luar terdapat carport yang bisa memuat sekitar 6 buah mobil. Dari tempat aku duduk sekarang aku bisa melihat ke teras belakang yang terdapat sebuah kolam renang yang tidak terlalu besar tapi sangat nyaman.

Dari rumah ini aku bisa menyimpulkan bahwa calon murid privatku memiliki orang tua yang lumayan berkecukupan. Semoga saja gaji yang aku dapatkan juga lumayan.

"Nayara? Maaf ya sudah menunggu." Tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari sebuah lorong yang terletak agak dalam di ruang tengah.

Sontak aku berdiri menyambutnya. Sepertinya itu adalah Bu Kirana, yang meneleponku kemarin.

"Gak apa-apa, Bu. Saya belum lama, kok." Aku menjabat tangannya dan ia kembali mempersilahkanku untuk duduk.

"Jadi gimana, kamu bisa mulai hari ini? Maaf ya kalau saya terkesan buru-buru. Tapi ujian kenaikan kelas sudah sekitar satu bulan lagi. Jadi saya ingin Gian belajar intensif dari sekarang." ucapnya agak sungkan.

Aku menggelengkan kepalaku dengan sopan, "Gak apa-apa bu, kebetulan saya juga sudah kosong. Saya baru saja wisuda akhir bulan lalu. Sekarang saya hanya sedang menunggu panggilan setelah saya memasukkan beberapa lamaran ke beberapa sekolah dan juga beberapa platfrom belajar online. Selebihnya saya tidak ada kesibukan apa-apa."

"Kamu tidak ada ngeprivat siswa lain?" Tanyanya.

"Tidak ada, Bu. Sejak saya mulai sibuk mengerjakan skripsi, saya memang tidak menerima panggilan privat. Kebetulan saya dapat dosen pembimbing yang lumayan 'sulit'. Jadi mau tidak mau saya harus fokus pada skripsi saya. Dan baru sekarang saya menerima privat lagi."

"Oh begitu, kalau gitu saya ucapkan selamat ya, Nayara. Saya itu dapet rekomendasi dari temen saya, Bu Sisi, anaknya namanya Bulan. Kamu kenal 'kan?" Aku mengangguk, Bulan memang murid privatku selama 2 tahun saat dia berada di SMP. "Katanya kamu jago ngajarin matematikanya, Bulan juga langsung dapet nilai yang bagus. Makanya saya ingin kamu ngajarin anak saya juga."

"Ah nggak, bu. Saya biasa aja. Saya akan mengusahakan yang terbaik, Bu." ujarku merendah.

"Anak saya ini atlet basket. Dia anak yang pintar sebenarnya, tapi dia sering ketinggalan pelajaran karena sering dispen untuk ikut pertandingan. Ayahnya ingin dia tidak meninggalkan pelajarannya walaupun dia sibuk di basket. Ayahnya memang agak perfeksionis. Maklum anak tunggal, jadi kami sangat berharap banyak Gian bisa unggul di segala bidang."

Saat sedang asyik mengobrol kami mendengar gerbang dibuka oleh ART laki-laki di rumah ini. Aku melihat sebuah mobil mazda merah masuk ke carport.

"Nah itu Gian baru pulang." Ujar Bu Kirana.

Tak lama seorang laki-laki dengan pakaian putih abu khas siswa SMA mulai menaiki tangga di halaman depan menuju ke ruang tamu. Memang, pintu utama rumah ini ada di lantai 2. Dan aku bisa melihatnya dari tempatku duduk.

Jadi itu yang namanya Gian.

Satu kata yang muncul di benakku ketika melihatnya, tinggi. Dia benar-benar memiliki tubuh yang tinggi, mungkin karena dia seorang atlet basket maka dari itu tubuhnya bisa setinggi itu.

Kata berikutnya yang muncul di benakku adalah, tampan. Wajahnya tampan dan imut di saat yang bersamaan. Wajahnya kecil, hidungnya mancung, dan bibirnya juga tipis. Matanya besar, membuat wajahnya terkesan baby face.

"Kok baru pulang sih, Nak? Bunda 'kan udah bilang kamu jangan pulang telat. Mulai hari ini kamu akan les privat. Nih gurunya udah dateng." Tegur Bu Kirana. Lalu beliau melihat ke arahku, "Nayara ini anak saya, Giandra Mahesa. Panggil aja Gian biar lebih simple ya."

Aku mengangguk pada Bu Kirana dan melihat ke arah Gian dan tersenyum sopan padanya. Tapi Gian malah tidak tersenyum padaku. Dia juga tidak menyahuti ucapan Bu Kirana tadi.

Gian malah menatapku lekat.

"Gian, kasih salam dong sama guru kamu. Namanya Kak Nayara." Tegur Bu Kirana.

Gian mengangguk sekilas, "Aku mandi dulu bentar." ujarnya.

Suaranya rendah sekali. Sangat bertolak belakang dengan wajah baby facenya. Aku kira ia akan memiliki suara yang lembut, tapi ternyata ia memiliki suara yang bass.

"Aduh, maaf ya Nayara. Dia emang seperti itu. Irit bicara. Irit senyum. Irit segala-galanya. Saya sudah sering memperingatkannya supaya lebih ramah ke orang, tapi sudah watak jadi sepertinya sulit."

Aku tersenyum pada Bu Kirana, "Gak apa-apa, Bu. Mungkin masih canggung karena baru pertama bertemu. Nanti juga akan terbiasa kalau sudah kenal."

Kemudian sambil menunggu Gian bersiap, aku dan Bu Kirana mengobrol. Berbeda dengan anaknya yang katanya irit bicara, ibunya justru berbicara tiada henti. Ia menceritakan tentang banyak hal. Aku jadi tahu bahwa beliau adalah ibu rumah tangga, sedangkan suaminya adalah seorang manager di sebuah perusahaan swasta. Jabatannya sudah lumayan katanya. Bisa dilihat sih dari rumah mereka ini.

Aku juga menceritakan pada beliau bahwa aku tinggal bersama ayahku berdua saja sejak orang tuaku bercerai ketika aku baru masuk ke SMA.

Ayahku bekerja di luar kota di sebuah pabrik pembuatan spare part motor, di daerah Cikarang. Sejak aku kuliah beliau jarang pulang, karena mungkin sudah menganggapku cukup dewasa untuk ditinggal sendiri di rumah, sedangkan sebelumnya beliau selalu pulang di akhir pekan. Ia tidak membawaku pindah kesana karena menurut beliau, untuk pendidikan lebih baik ada di kota Bandung ini.

"Oh gitu jadi kamu sudah terbiasa mandiri ya." celoteh Bu Kirana, "Eh, sebentar ya, Gian kok lama sih. Gian!" teriaknya memanggil sang putra.

Tak lama Gian muncul dari tangga lantai dua dengan pakaian rumahan dan dengan rambut yang masih basah. "Di atas aja privatnya." ujarnya.

"Ya udah kalau gitu kamu ke atas aja ya, Nayara. Saya akan ambilkan cemilan nanti." ujar Bu Kirana.

Akupun segera pamit dan mulai menaiki tangga ke lantai dua rumah itu. Begitu aku sampai aku melihat Gian berdiri di ambang pintu sebuah kamar.

"Di kamar aja." ujarnya masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Aku mengangguk dan mulai mengekornya memasuki kamar.

Ia terus berjalan ke sebuah meja belajar. Meja belajarnya terletak di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke sebuah balkon.

"Silahkan duduk." Ujarnya. Akupun duduk di kursi putar miliknya, sedangkan ia membawa sebuah kursi dari luar kamar.

Aku mulai mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasku. Ku nyalakan juga tab-ku. Lalu aku menatap ke arah Gian yang duduk di sampingku, "Sebelum mulai kita kenalan dulu ya, Gian. Saya Nayara. Buat sekitar 8 pertemuan ke depan kamu akan kita akan belajar bareng. Saya privat kamu matematika tapi kalau kamu ada masalah di mata pelajaran lain, bisa ditanyain juga. Saya akan coba bantu kamu. Pokoknya, target utama kita kamu harus bisa dapet nilai maksimal di ujian kenaikan kelas nanti. Saya harap kamu memaksimalkan usaha kamu, maka nilai kamu juga akan maksimal nantinya." Ucapku panjang lebar.

Tapi bukannya menanggapi, Gian malah diam saja dengan tangan terlipat di depan dadanya.

Dasar kulkas, dingin sekali anak ini.

Baiklah sebaiknya aku langsung mulai saja. "Nah kamu pasti udah belajar rumus ini di sekolah 'kan? Coba kamu kerjain."

Kembali ia terdiam, kini ia malah menatapku dengan dingin.

"Gian? Kamu dengar saya?" tanyaku ramah.

Ia meraih pensil dan mulai mengerjakan soal yang kuberikan. Kemudian tak lama ia meletakkan pensilnya di tengah buku tulis itu.

"Udah? Coba Saya liat dulu ya." Aku memeriksanya. "Kamu masih keliru, Gian." Kemudian pelan-pelan aku menjelaskan langkah-langkahnya. Sesekali aku menatapnya dan tatapannya masih sama, dingin dan tanpa ekspresi. Dan yang membuatku terganggu, dia tidak memerhatikan penjelasanku, dia malah menatapku lekat.

Seperti yang dilakukannya saat melihatku tadi di ruang tamu.

"Tolong perhatikan ya." tanyaku mencoba sabar.

Iapun mulai memfokuskan perhatiannya pada coretan-coretan yang aku buat di buku itu. Tapi lama-lama ia kembali tidak fokus dan menatapku dengan tatapan itu lagi.

"Gian kamu bisa fokus dulu?" tanyaku mulai tidak sabar.

Gian kembali memfokuskan perhatiannya pada buku yang kucorat-coret. Aku kembali menjelaskannya. Namun sudut mataku kembali menangkap basah ia yang malah menatapku.

"Kamu lagi ada hal yang ganggu fokus kamu, ya? Mau istirahat sebentar?" tanyaku.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Permisi, A, Teh, ini bibi anterin cemilan."

Gian bangkit dari posisinya dan menghampiri ARTnya dan meraih nampan berisi cemilan itu. "Makasih, Bi."

ART itu keluar dan seketika Gian terdiam di depan pintu beberapa saat. Kemudian ia menutup pintunya dan menyimpan nampan itu di nakas tempat tidurnya.

Ia berjalan kembali ke arah meja belajar dan terjadi begitu saja.

Gian meraup kedua pipiku dan tiba-tiba saja aku merasa matanya begitu dekat, aku bisa melihat bulu matanya yang panjang tepat di depan mataku. Ku rasakan sesuatu yang lembut di bibirku.

Apa ini? Apa Gian sedang menciumku?

Bab 3: Pertemuan Kedua

Perlahan Gian menjauh dariku. Kedua manik hitamnya menatap mataku satu persatu bergantian.

Apa yang terjadi barusan? Apakah benar dia baru saja menciumku?

Gian? Anak bau kencur ini menciumku? Murid privatku yang bahkan belum satu jam ini aku kenal? Apa dia sudah gila?!

Tangan Gian masih berada di kedua pipiku, sebelum aku menyingkirkannya Gian kembali menciumku.

Kali ini bibirnya tidak sekedar menempel, tapi bermain di bibirku, semakin lama ia melahapnya dengan kasar. Dan aku tak mengerti mengapa tubuhku malah membeku tak bisa bergerak mendapatkan perlakuan itu dari Gian.

Aku seperti kehilangan kendali akan diriku.

Ciuman Gian begitu memabukkan. Jujur Gian sangat pintar dalam hal ini.

Hingga entah bagaimana, aku malah membalas ciuman yang semakin lama semakin dalam itu. Tanganku meremas kaos pada bagian bahu miliknya. Tangan Gian yang asalnya berada di pipiku, kini meregang dan turun merengkuh pinggangku, dan membuat kami yang asalnya berada di posisi duduk, menjadi berdiri.

Tangan Gian terus merengkuhku hingga tubuhku dan tubuhnya menempel tanpa ada jarak barang sesenti pun.

"Keluarin lidahnya." titahnya di tengah-tengah ciuman yang semakin panas itu.

Dan seperti terhipnotis, aku menurutinya kata-kata bernada s*nsu*l itu. Aku membuka sedikit mulutku, memberikan akses untuk lidah Gian masuk ke dalam mulutku dan membelit lidahku.

Ada apa dengan anak ini?

Terlebih ada apa denganku?!

Rasanya ada sesuatu dalam diri Gian yang membuatku tak bisa menolaknya, yang membuat akal sehatku kalah telak.

Namun seketika aku berhasil membawa akal sehatku kembali ke permukaan. Ku dorong sekuat tenaga tubuh Gian, hingga bibir kami saling menjauh dan ia sedikit terdorong ke belakang.

Nafasku tersengal, aku bisa mendengar detak jantungku yang bergemuruh. Begitu juga dengan anak itu. Ia berdiri di posisinya dengan nafas yang menderu, dan dengan ekspresi yang tak bisa aku artikan.

Aku segera membereskan buku dan tabku kembali ke dalam tasku dan keluar dari kamar Gian dengan tergopoh-gopoh, seperti aku baru saja bertemu dengan hantu.

Aku menuruni tangga dengan terburu sambil merapikan tasku.

"Loh, Nay? Udah selesai?"

Suara Bu Kirana membuat jantungku seperti mau terlepas dari rongganya. Aku seperti tertangkap basah!

"Sa-saya... Maaf..." suaraku bahkan bergetar hebat, dan aku berbicara dengan terbata-bata.

Tanpa berpamitan, aku segera saja berlari menuju pintu keluar dan segera mengendarai motor matic-ku keluar dari gerbang rumah besar itu.

Sepanjang jalan aku terus mengutuk diriku sendiri.

Kamu sudah gila, Nayara!

Harusnya aku menghentikannya saat Gian sudah hanya sekedar menempelkan bibirnya di bibirku. Kenapa aku malah membiarkannya menciumku seperti tadi? Bahkan saat ia memerintahku untuk mengeluarkan lidahku, aku malah menurutinya begitu saja.

Aku harus segera resign. Anak itu benar-benar berbahaya. Aku tidak akan bisa mengajarinya.

Saat tiba di rumah aku segera membasuh mukanya dan masuk ke kamar. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi, panggilan masuk dari Bu Kirana. Aku mengabaikannya.

Rasanya aku butuh waktu untuk menetralkan hatiku.

Hingga pada malam hari, aku menerima notifikasi dari m-bankingku. Seseorang mengirimkan sejumlah uang. Saat aku melihat siapa pengirimnya, ternyata Bu Kirana. Dia mengirimkan uang dengan nominal delapan kali pertemuan dari angka yang sudah kami sepakati.

Padahal saat sedang bernegosiasi ia akan mengatakan akan membayarku perminggu, itu artinya per dua pertemuan. Tapi mengapa tiba-tiba ia membayarku delapan pertemuan sekaligus?

Panggilan itu kembali masuk, aku tak bisa lagi mengabaikannya. "Selamat malam, Bu." sapaku seraya menempelkan benda pipih itu ke salah satu telingaku.

"Nay, saya sudah mengirimkan honor kamu ya. Saya langsung transferkan delapan pertemuan."

"Ta-tapi bu. Saya tidak bisa menerimanya. Saya sebenarnya mau resign." Akhirnya aku katakan juga.

"Resign? Kenapa, Nay? Udah kamu gak usah dipikirin. Gian udah cerita, kok."

Aku terkejut sekali, "Gian cerita apa sama ibu?!" Tanpa sadar suaraku meninggi.

"Iya tadi Gian cerita kamu katanya ada keperluan mendadak, kucing kesayangan kamu mati. Ternyata kamu pecinta kucing juga ya. Saya ikut berduka ya. Sudah dikuburkan?"

Hah? Alasan macam apa itu?

"Su-sudah, Bu." Akhirnya aku tak punya cara lain selain mengikuti sandiwara Gian. "Terimakasih."

"Ya sudah kalau begitu. Lusa kamu datang sesuai jadwal yang sudah kita sepakati waktu itu ya. Gian seneng katanya kamu ngajarinnya jelas banget. Dia jadi minta saya buat bayar kamu delapan pertemuan sekaligus."

Ternyata anak itu biang keroknya?!

"Tapi tadi saya belum banyak mengajarkan Gian, Bu." Jujurku. Memang baru satu rumus yang aku ajarkan padanya.

"Tapi setelah kamu pulang Gian memperlihatkan saya buku catatannya dan dia sudah mengerjakan 20 soal. Saya kira dia ngapain sampai jam makan malam belum juga turun, ternyata dia mengerjakan soal yang kamu berikan. Dia semangat sekali. Biasanya dia akan mendumel dan berkata 'males ah'. Syukurlah baru pertemuan pertama tapi Gian sudah cocok dengan kamu."

Anak itu pintar sekali mencari alasan.

Maksud Gian apa dengan meminta ibunya membayar honorku di muka seperti ini? Apa dia sedang menjebakku agar aku terus bertemu dengannya?

Keesokan lusanya aku kembali ke rumah itu. Kini aku duduk di ruang tamu. Gian juga sudah berada di hadapanku.

"Jadi sekarang privatnya disini?" Tanyanya dengan ekspresi dingin itu lagi.

"Iya." Aku melirik ke arah teras belakang dan melihat Bu Kirana di sana sedang duduk di kursi meja makan yang berada di teras dekat kolam renang. Ia bersama dengan pembantunya yang sedang menyiapkan makan malam.

Melihat Bu Kirana ada dalam jangkauan penglihatanku, membuat aku merasa aman dari serbuan putranya ini.

Sejauh ini semuanya berjalan lancar. Kami bersikap profesional layaknya murid privat dan juga gurunya. Aku akui Gian memang cepat tanggap. Ia bisa memahami instruksiku dengan baik. Mungkin benar ia ketinggalan pelajaran bukan karena ia tidak mampu mengikutinya di sekolah, tapi karena kegiatan basketnya.

Hingga satu jam berlalu. Aku menghela nafas lega, tidak ada lagi serangan tiba-tiba itu.

"Nayara," Bu Kirana menghampiri kami. Beliau sepertinya mau pergi, "Sudah selesai 'kan privatnya? Saya harus pergi sekarang, ada keperluan sebentar."

"Bunda mau kemana?" Tanya Gian seraya duduk di sofa setelah sebelumnya ia duduk di karpet selama les berlangsung.

"Bunda mau nengok temen Bunda. Dia lagi dirawat sekarang. Kamu hati-hati di rumah ya, nanti makan malem gak usah nunggu Bunda. Kalau Ayah udah dateng langsung aja makan."

Gian mengangguk mengerti.

Bersamaan dengan Bu Kirana, aku pun segera memakai sepatuku di teras. Saat aku akan menuruni tangga di halaman depan, Bu Kirana sudah menghilang bersama mobilnya.

Baru saja aku akan menuruni anak tangga pertama, seketika Gian menarikku kembali ke dalam ruang tamu.

"Gi...!" Segera saja ia membungkam mulutku dengan bibirnya.

Dan terjadi lagi. Seketika aku menyesal karena sudah lengah. Kali ini aku tidak membiarkan diriku kehilangan kendali lagi. Aku terus mendorong tubuhnya dan berhasil, Gian melepaskan bibirnya dariku.

"Kamu bener-bener udah gak waras! Lepasin!" Walaupun ia sudah melepaskan bibirnya dariku, tapi sebelah tangannya masih melingkar di pinggangku, dan tangan lainnya memegang tanganku.

"Bi Jumi lagi sibuk di dapur, dia gak akan lihat kita. Bunda dan Ayah juga gak ada. Kak Naya gak perlu khawatir." Itu adalah kalimat terpanjang yang aku dengar sejak aku mengenalnya sejak dua hari yang lalu.

Seketika aku menginjak kakinya dengan kakiku yang sudah menggunakan sepatu. Ia sedikit meringis tapi tak membuatnya melepaskanku.

Ia malah membawa tubuhku ke sofa dan memaksaku duduk disana. Ia berjongkok di depanku dan menarik tengkukku dan kembali, bibirnya menyerangku.

Bagaimana ini?!

Tubuhku terus meronta tapi lama kelamaan entah bagaimana, aku kembali merasakan tubuhku tak berdaya.

Aku tak kuasa menolaknya dan kini bahkan tanganku meraih tengkuknya.

Iya, aku kembali menikmati perlakuan Gian terhadapku. Fix, aku memang sudah gila.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!