Gian menjauh dariku, manik hitamku menatapku dalam. "Cantik..." lirihnya.
Sekujur tubuhku meremang. Mataku tak bisa lepas dari mata besarnya berkilauan. Suaranya yang rendah saat memujiku membuatku semakin kehilangan arah.
Tatapanku tertuju pada bibir tipisnya yang lembab dan berwarna merah muda. Begitu mengundang.
Tanpa sadar aku menciumnya.
Iya. Aku mencium Gian begitu saja. Aku sendiri terus mengutuk perbuatanku ini. Tapi sungguh, aku sangat menginginkan bibirnya menyerangku lagi. Keinginan itu menyeruak begitu saja.
Ciuman Gian sungguh membuatku kecanduan.
Beberapa saat aku begitu menikmatinya, tapi tiba-tiba akhirnya akal sehat menegurku.
Langsung saja aku mendorong tubuhnya dan kembali ke kewarasanku.
Plak!
Seketika kepalanya tertoleh ke arah kanan setelah tanganku menampar pipi sebelah kirinya.
Gian terlihat syok sekali. Begitu juga aku tidak menyangka bisa begitu saja menamparnya.
Biar sajalah! Aku tak peduli.
Semoga itu akan menyadarkannya untuk menghentikan kegilaan ini. Segera aku berlari ke luar, menuruni tangga dan membawa motor matic-ku menjauh dari rumah itu.
Masih enam pertemuan lagi! Dan aku sudah tidak bisa mengatasinya. Aku tidak mengerti mengapa, tapi aku benar-benar tak bisa menghentikan apa yang dilakukannya.
Dia begitu dominan.
Membuat aku seperti merasa sudah lalai jika mengabaikannya. Membuat aku merasa yang dilakukannya adalah sesuatu yang harus aku lakukan dan aku tak boleh menolaknya.
Tatapannya begitu mengintimidasiku.
Ciumannya juga begitu kasar, tapi begitu menghipnotis. Kepalaku serasa berputar dan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutku.
Sebelum akal sehatku tunduk lagi padanya, aku harus benar-benar berhenti dan mengembalikan uang itu pada Bu Kirana.
Saat sampai di rumah, aku membersihkan diri dan kemudian menggoreng sepotong ayam juga merebus beberapa potong wortel dan brokoli. Setelah matang aku menyimpannya di sebuah piring dan membawanya ke kamarku di lantai dua.
Aku duduk di kursi meja belajarku dan menatap ke luar jendela, menatap tetesan hujan di luar sana. Hujan memang sudah turun sejak aku membersihkan tubuhku tadi.
Mulutku sibuk mengunyah, mata dan telingaku sibuk menikmati kehadiran hujan. Namun hati dan pikiranku tertuju pada anak itu.
Bagaimana caranya agar aku bisa berhenti bertemu dengannya? Aku terus memutar otakku, memikirkan alasan apa yang bisa aku pakai agar aku bisa menghentikan semua ini.
Saat seluruh indraku sibuk masing-masing, ponselku berbunyi dan sebuah nomor yang tak ku kenal muncul di layar. Tanpa curiga apapun aku mengangkatnya.
"Halo?" sapaku.
"Kak Naya?"
Seketika hatiku berdesir aneh saat mendengar suara rendah di sambungan telepon itu.
"Gian?"
"Seneng deh, Kak Naya inget sama suara aku." Aku mendengar nada sumringah dari suara indahnya.
"Kamu tahu nomor saya dari mana?" Jawabku ketus.
"Dari Bunda. Kak Naya lagi apa?" Suaranya terdengar begitu ramah. Aku sampai tak percaya ini adalah Gian yang dingin itu, yang irit bicara dan irit tersenyum.
Juga yang seenaknya menempelkan bibirnya di bibirku.
"Kamu ada perlu apa nelepon saya? Kalau tidak ada sesuatu yang penting saya tutup." Aku menjauhkan ponselku dan bersiap menekan tanda merah di layar ponselku.
"Tunggu, aku mau ngomong sesuatu." Ujarnya segera. Aku kembali menempelkan benda pipih itu ke telingaku.
"Kalau gitu cepet ngomong, saya sibuk." ujarku galak.
Aku bisa mendengar dia tersenyum di seberang sana, "Pertemuan ketiga masih empat hari lagi. Aku gak bisa nunggu selama itu buat denger suaranya Kak Naya. Makanya aku nelepon Kak Naya."
Hatiku mencelos. Apa maksud anak ini? Dia mengatakan itu seakan kami berada di dalam suatu hubungan.
"Dengar, ya. Kamu boleh menghubungi saya selama masa les privat kamu dan jika berhubungan dengan pelajaran. Tapi kalau kamu mau ngomong sesuatu gak penting kayak gini saya akan menutup..."
"Aku suka sama Kak Naya." Potongnya, dan dengan lugasnya ia mengatakan itu. "Aku kangen dan terus mikirin Kak Naya kalau lagi gak ketemu kayak gini."
Aku kehabisan kata-kata.
"Dan setelah dua kali ketemu, aku yakin Kak Naya suka juga sama aku." Ucapnya dengan sangat yakin.
"Kamu ngaco."
"Kak Naya balas ciuman aku. Itu tandanya Kak Naya suka juga sama aku. Ya 'kan?" Ia berhipotesis.
Tidak hanya bertindak, dalam berkata pun ia begitu to the point. "Denger baik-baik ya, Gian. Saya akan mengembalikan uang itu kepada ibu kamu. Saya tidak akan datang dan bertemu lagi dengan kamu."
Seketika aku mematikan sambungan teleponku.
Sudah. Aku sudah mengatakannya. Sekarang aku benar-benar akan mengembalikan uang itu pada Bu Kirana. Aku akan mengatakan saja aku sudah diterima di sebuah sekolah dan jadwalku sangat padat, jadi aku tidak bisa lagi mengajari Gian.
Iya itu saja alasan yang akan aku berikan pada Bu Kirana. Biarlah namaku menjadi jelek karena sudah bekerja tidak profesional dan seenaknya memutuskan kesepakatan yang sudah aku buat sedari awal.
Aku membuka m-bankingku dan mulai mengetikkan nominal angka yang akan aku kirimkan kembali pada Bu Kirana. Tiba-tiba sebuah notifikasi dari whatsappku muncul di bagian atas layar. Pesan itu dari nomor Gian dan ia mengirimkan sebuah gambar.
Aku penasaran dan kemudian membukanya.
Mataku membulat sempurna dan tanpa sadar aku menahan nafasku melihat foto itu.
Foto itu adalah foto aku dan Gian sedang berciuman yang diambilnya secara selfie. Kapan ia mengambil foto itu? Mengapa aku tak menyadarinya?
Anak itu benar-benar!
Aku kembali menghubungi Gian, dan saat dering kedua ia mengangkatnya.
"Kamu apa-apaan sih?! Cepet hapus foto itu!!"
Gian malah tertawa, "Seru kayaknya kalau Bunda lihat foto itu." Kata-kata yang Gian katakan barusan begitu mengerikan untuk didengar.
"Maksud kamu? Kamu mau ngeliatin foto itu ke Bu Kirana? Yang ada kamu yang bakal dimarahin!" Ia kira aku akan termakan ancamannya. Lagipula benar 'kan, jika ia memberitahukan itu pada ibunya, yang akan mendapat masalah tidak hanya aku, tapi dia juga."
"Aku gak masalah dimarahin." Nadanya sangat yakin, tak ada nada takut sedikitpun. "Kak Naya sendiri gak masalah kalau bundaku tahu?"
Takutlah! Horror sekali jika Bu Kirana melihat foto itu.
"Mau kamu apa sih?!"
"Aku cuma mau Kak Naya tetep les privat aku sampai akhir, dan harus mau kalau aku cium kak Naya, kayak kemarin lusa ataupun tadi." Ancamnya. Nadanya biasa saja tapi terdengar begitu otoriter.
Sudahlah aku menyerah. Aku akan menjalaninya saja. Hanya tinggal enam pertemuan. Setelah itu aku akan berhenti bertemu dengannya.
Aku tak punya pilihan. Akhirnya aku datang ke rumah itu sesuai jadwal di pertemuan ketiga dan seterusnya. Gian tidak mempermasalahkan saat aku meminta untuk les privatnya dilakukan di ruang tamu. Toh dimanapun sama saja.
Gian selalu saja berhasil mencuri cium padaku. Setiap pertemuan kami selalu melakukannya.
Kali ini aku mengatakan 'kami', karena aku akui aku memang membalas ciumannya itu. Aku sendiri merasa sudah kecanduan dengan caranya bermain di bibirku.
Aku benar-benar sudah terjebak dalam dominasi Gian.
Dan entah mengapa walaupun Bu Kirana selalu ada di teras belakang, perbuatan kami ini tak pernah diketahui olehnya.
Hingga tibalah kami di pertemuan terakhir, pertemuan ke delapan.
Saat itu Bi Jumi, ART di rumah itu sedang membersihkan karpet di ruang tamu saat aku datang.
"Eh Teh Naya udah dateng. Sudah ditunggu sama A Gian di atas, Teh." ujar Bi Jumi ramah.
"Privatnya di atas, Bi?" tanyaku panik.
"Iya, Teh. Punten sekali, ini karpetnya udah kotor. Harus bibi beresin dulu. Kata ibu privatnya di kamar dulu ya, Teh. Ibu sedang ada arisan di tetangga. Sebentar lagi juga pulang." Ujar Bi Jumi.
Tubuhku seketika merinding saat Bi Jumi mengatakan kata 'kamar'. Aku menelan salivaku. Tidak akan terjadi apa-apa 'kan? Masalahnya di ruang tamu yang terbuka, bahkan aku bisa melihat Bu Kirana selalu ada di di teras belakang dan Bi Jumi berlalu lalang di ruang tengah saja, mereka tak pernah mengetahui apa yang kami lakukan.
Apalagi ini, di kamarnya di lantai dua. Hanya ada aku dan dia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dewi Anggya
nahhh loooh dikamar🙄🤭
2024-05-24
1