"Silahkan diminum, Teh." ujar seorang perempuan yang sepertinya adalah ART, seraya meletakkan sebuah gelas berisi air berwarna orange di meja di hadapanku.
"Makasih." Sahutku sopan.
Aku duduk di salah satu sofa ruang tamu di rumah seseorang yang kemarin meneleponku dan memintaku untuk mengajar privat putranya yang bersekolah di bangku SMA.
Rumahnya cukup besar. Rumah ini juga berada di sebuah perumahan yang dipenuhi rumah-rumah yang besar. Di luar terdapat carport yang bisa memuat sekitar 6 buah mobil. Dari tempat aku duduk sekarang aku bisa melihat ke teras belakang yang terdapat sebuah kolam renang yang tidak terlalu besar tapi sangat nyaman.
Dari rumah ini aku bisa menyimpulkan bahwa calon murid privatku memiliki orang tua yang lumayan berkecukupan. Semoga saja gaji yang aku dapatkan juga lumayan.
"Nayara? Maaf ya sudah menunggu." Tiba-tiba muncul seorang perempuan paruh baya dari sebuah lorong yang terletak agak dalam di ruang tengah.
Sontak aku berdiri menyambutnya. Sepertinya itu adalah Bu Kirana, yang meneleponku kemarin.
"Gak apa-apa, Bu. Saya belum lama, kok." Aku menjabat tangannya dan ia kembali mempersilahkanku untuk duduk.
"Jadi gimana, kamu bisa mulai hari ini? Maaf ya kalau saya terkesan buru-buru. Tapi ujian kenaikan kelas sudah sekitar satu bulan lagi. Jadi saya ingin Gian belajar intensif dari sekarang." ucapnya agak sungkan.
Aku menggelengkan kepalaku dengan sopan, "Gak apa-apa bu, kebetulan saya juga sudah kosong. Saya baru saja wisuda akhir bulan lalu. Sekarang saya hanya sedang menunggu panggilan setelah saya memasukkan beberapa lamaran ke beberapa sekolah dan juga beberapa platfrom belajar online. Selebihnya saya tidak ada kesibukan apa-apa."
"Kamu tidak ada ngeprivat siswa lain?" Tanyanya.
"Tidak ada, Bu. Sejak saya mulai sibuk mengerjakan skripsi, saya memang tidak menerima panggilan privat. Kebetulan saya dapat dosen pembimbing yang lumayan 'sulit'. Jadi mau tidak mau saya harus fokus pada skripsi saya. Dan baru sekarang saya menerima privat lagi."
"Oh begitu, kalau gitu saya ucapkan selamat ya, Nayara. Saya itu dapet rekomendasi dari temen saya, Bu Sisi, anaknya namanya Bulan. Kamu kenal 'kan?" Aku mengangguk, Bulan memang murid privatku selama 2 tahun saat dia berada di SMP. "Katanya kamu jago ngajarin matematikanya, Bulan juga langsung dapet nilai yang bagus. Makanya saya ingin kamu ngajarin anak saya juga."
"Ah nggak, bu. Saya biasa aja. Saya akan mengusahakan yang terbaik, Bu." ujarku merendah.
"Anak saya ini atlet basket. Dia anak yang pintar sebenarnya, tapi dia sering ketinggalan pelajaran karena sering dispen untuk ikut pertandingan. Ayahnya ingin dia tidak meninggalkan pelajarannya walaupun dia sibuk di basket. Ayahnya memang agak perfeksionis. Maklum anak tunggal, jadi kami sangat berharap banyak Gian bisa unggul di segala bidang."
Saat sedang asyik mengobrol kami mendengar gerbang dibuka oleh ART laki-laki di rumah ini. Aku melihat sebuah mobil mazda merah masuk ke carport.
"Nah itu Gian baru pulang." Ujar Bu Kirana.
Tak lama seorang laki-laki dengan pakaian putih abu khas siswa SMA mulai menaiki tangga di halaman depan menuju ke ruang tamu. Memang, pintu utama rumah ini ada di lantai 2. Dan aku bisa melihatnya dari tempatku duduk.
Jadi itu yang namanya Gian.
Satu kata yang muncul di benakku ketika melihatnya, tinggi. Dia benar-benar memiliki tubuh yang tinggi, mungkin karena dia seorang atlet basket maka dari itu tubuhnya bisa setinggi itu.
Kata berikutnya yang muncul di benakku adalah, tampan. Wajahnya tampan dan imut di saat yang bersamaan. Wajahnya kecil, hidungnya mancung, dan bibirnya juga tipis. Matanya besar, membuat wajahnya terkesan baby face.
"Kok baru pulang sih, Nak? Bunda 'kan udah bilang kamu jangan pulang telat. Mulai hari ini kamu akan les privat. Nih gurunya udah dateng." Tegur Bu Kirana. Lalu beliau melihat ke arahku, "Nayara ini anak saya, Giandra Mahesa. Panggil aja Gian biar lebih simple ya."
Aku mengangguk pada Bu Kirana dan melihat ke arah Gian dan tersenyum sopan padanya. Tapi Gian malah tidak tersenyum padaku. Dia juga tidak menyahuti ucapan Bu Kirana tadi.
Gian malah menatapku lekat.
"Gian, kasih salam dong sama guru kamu. Namanya Kak Nayara." Tegur Bu Kirana.
Gian mengangguk sekilas, "Aku mandi dulu bentar." ujarnya.
Suaranya rendah sekali. Sangat bertolak belakang dengan wajah baby facenya. Aku kira ia akan memiliki suara yang lembut, tapi ternyata ia memiliki suara yang bass.
"Aduh, maaf ya Nayara. Dia emang seperti itu. Irit bicara. Irit senyum. Irit segala-galanya. Saya sudah sering memperingatkannya supaya lebih ramah ke orang, tapi sudah watak jadi sepertinya sulit."
Aku tersenyum pada Bu Kirana, "Gak apa-apa, Bu. Mungkin masih canggung karena baru pertama bertemu. Nanti juga akan terbiasa kalau sudah kenal."
Kemudian sambil menunggu Gian bersiap, aku dan Bu Kirana mengobrol. Berbeda dengan anaknya yang katanya irit bicara, ibunya justru berbicara tiada henti. Ia menceritakan tentang banyak hal. Aku jadi tahu bahwa beliau adalah ibu rumah tangga, sedangkan suaminya adalah seorang manager di sebuah perusahaan swasta. Jabatannya sudah lumayan katanya. Bisa dilihat sih dari rumah mereka ini.
Aku juga menceritakan pada beliau bahwa aku tinggal bersama ayahku berdua saja sejak orang tuaku bercerai ketika aku baru masuk ke SMA.
Ayahku bekerja di luar kota di sebuah pabrik pembuatan spare part motor, di daerah Cikarang. Sejak aku kuliah beliau jarang pulang, karena mungkin sudah menganggapku cukup dewasa untuk ditinggal sendiri di rumah, sedangkan sebelumnya beliau selalu pulang di akhir pekan. Ia tidak membawaku pindah kesana karena menurut beliau, untuk pendidikan lebih baik ada di kota Bandung ini.
"Oh gitu jadi kamu sudah terbiasa mandiri ya." celoteh Bu Kirana, "Eh, sebentar ya, Gian kok lama sih. Gian!" teriaknya memanggil sang putra.
Tak lama Gian muncul dari tangga lantai dua dengan pakaian rumahan dan dengan rambut yang masih basah. "Di atas aja privatnya." ujarnya.
"Ya udah kalau gitu kamu ke atas aja ya, Nayara. Saya akan ambilkan cemilan nanti." ujar Bu Kirana.
Akupun segera pamit dan mulai menaiki tangga ke lantai dua rumah itu. Begitu aku sampai aku melihat Gian berdiri di ambang pintu sebuah kamar.
"Di kamar aja." ujarnya masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Aku mengangguk dan mulai mengekornya memasuki kamar.
Ia terus berjalan ke sebuah meja belajar. Meja belajarnya terletak di depan sebuah jendela besar yang menghadap ke sebuah balkon.
"Silahkan duduk." Ujarnya. Akupun duduk di kursi putar miliknya, sedangkan ia membawa sebuah kursi dari luar kamar.
Aku mulai mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasku. Ku nyalakan juga tab-ku. Lalu aku menatap ke arah Gian yang duduk di sampingku, "Sebelum mulai kita kenalan dulu ya, Gian. Saya Nayara. Buat sekitar 8 pertemuan ke depan kamu akan kita akan belajar bareng. Saya privat kamu matematika tapi kalau kamu ada masalah di mata pelajaran lain, bisa ditanyain juga. Saya akan coba bantu kamu. Pokoknya, target utama kita kamu harus bisa dapet nilai maksimal di ujian kenaikan kelas nanti. Saya harap kamu memaksimalkan usaha kamu, maka nilai kamu juga akan maksimal nantinya." Ucapku panjang lebar.
Tapi bukannya menanggapi, Gian malah diam saja dengan tangan terlipat di depan dadanya.
Dasar kulkas, dingin sekali anak ini.
Baiklah sebaiknya aku langsung mulai saja. "Nah kamu pasti udah belajar rumus ini di sekolah 'kan? Coba kamu kerjain."
Kembali ia terdiam, kini ia malah menatapku dengan dingin.
"Gian? Kamu dengar saya?" tanyaku ramah.
Ia meraih pensil dan mulai mengerjakan soal yang kuberikan. Kemudian tak lama ia meletakkan pensilnya di tengah buku tulis itu.
"Udah? Coba Saya liat dulu ya." Aku memeriksanya. "Kamu masih keliru, Gian." Kemudian pelan-pelan aku menjelaskan langkah-langkahnya. Sesekali aku menatapnya dan tatapannya masih sama, dingin dan tanpa ekspresi. Dan yang membuatku terganggu, dia tidak memerhatikan penjelasanku, dia malah menatapku lekat.
Seperti yang dilakukannya saat melihatku tadi di ruang tamu.
"Tolong perhatikan ya." tanyaku mencoba sabar.
Iapun mulai memfokuskan perhatiannya pada coretan-coretan yang aku buat di buku itu. Tapi lama-lama ia kembali tidak fokus dan menatapku dengan tatapan itu lagi.
"Gian kamu bisa fokus dulu?" tanyaku mulai tidak sabar.
Gian kembali memfokuskan perhatiannya pada buku yang kucorat-coret. Aku kembali menjelaskannya. Namun sudut mataku kembali menangkap basah ia yang malah menatapku.
"Kamu lagi ada hal yang ganggu fokus kamu, ya? Mau istirahat sebentar?" tanyaku.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Permisi, A, Teh, ini bibi anterin cemilan."
Gian bangkit dari posisinya dan menghampiri ARTnya dan meraih nampan berisi cemilan itu. "Makasih, Bi."
ART itu keluar dan seketika Gian terdiam di depan pintu beberapa saat. Kemudian ia menutup pintunya dan menyimpan nampan itu di nakas tempat tidurnya.
Ia berjalan kembali ke arah meja belajar dan terjadi begitu saja.
Gian meraup kedua pipiku dan tiba-tiba saja aku merasa matanya begitu dekat, aku bisa melihat bulu matanya yang panjang tepat di depan mataku. Ku rasakan sesuatu yang lembut di bibirku.
Apa ini? Apa Gian sedang menciumku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Dewi Anggya
waduuuh si gian
2024-05-24
1