Gian berjalan menuruni tangga. Wajahnya dingin tanpa ekspresi seperti biasa. Ia menatapku tajam yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tab dan buku-buku sudah aku siapkan di meja tengah di depanku.
"Di atas." Titahnya tak menerima bantahan, ketika ia sampai di anak tangga terakhir. Ia membereskan tab dan buku-buku yang sudah aku siapkan.
"Di sini aja." Aku bersih keras.
Seperti biasa, ia tak akan mendengarkanku. Kata-katanya adalah tak terbantahkan.
Ia meraih tanganku dan membawaku menaiki tangga, "Lepas, Gian." lirihku. Khawatir sekali Bi Jumi melihat pemandangan ini. Namun sepertinya tidak, ia sedang sibuk membersihkan ruang tamu sambil sibuk mengobrol dengan Mang Tata, ART laki-laki di rumah itu.
Kami pun sampai di kamar Gian. Ia segera membereskan tab dan buku-bukuku yang dibawanya tadi, lalu duduk di kursi. Tangannya menepuk-nepuk pada kursi putar di sebelahnya.
"Duduk."
Tak ada kata-kata 'silahkan' seperti awal pertemuan kami, dan aku sudah mulai terbiasa. Akupun duduk di kursi itu. Seperti itulah sikapnya setelah selama sebulan ini aku selalu menuruti keinginannya.
"Aku mau liatin sesuatu." Ujarnya. Ia membuka ponselnya dan memberikannya padaku.
Dengan bingung aku meraihnya, dan aku melihat sebuah screenshoot dari aplikasi penilaian yang aku kenal. Terdapat angka 98 disana. Kemudian ia menggeser layar ponsel itu dan aku melihat angka lain, kali ini 100.
Aku tersenyum padanya. "98 dan 100?"
Ia mengangguk dengan senyum tipis, "Berkat Kak Naya. Itu ulangan matematika dan fisika terakhir kemarin."
"Nggak. Ini berkat kamu sendiri. Kamu udah berusaha keras." Ujarku bangga.
"Aku ingin hadiah." ujarnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dan seketika bibir tipis dan merah mudah itu sudah menciumku lagi. Semakin dalam dan semakin dalam.
Aku kira ia tak pernah fokus saat privat bersamaku. Tapi ternyata membiarkannya menciumku sesekali di tengah les privat ini justru membuatnya terkendali.
Kali ini aku sudah semakin terbiasa dan tak mencoba untuk menghindar. Percuma, ia akan semakin beringas jika aku memberontak. Jadi aku biarkan saja.
Dan menikmatinya.
Biarlah, ini adalah pertemuan terakhir. Setelah ini aku tak akan bertemu dengannya lagi.
Setelah cukup lama, aku menjauh. Dan menatap kedua manik hitamnya, "Sekarang kerjain latihan soal buat ujian minggu depan."
Ia tersenyum tipis sambil meraih buku dengan beberapa soal di atasnya, kemudian ia mengerjakannya dengan tenang.
Saat melihatnya begitu serius mengerjakan soal-soal yang aku berikan, aku selalu saja tertegun. Karena ia selalu mengerjakannya dengan begitu serius. Ia fokus sekali dan bahkan seperti menganggapku tidak ada di sana.
Sudah aku katakan bahwa ia menjadi terkendali saat aku membiarkannya menciumku sesuka hatinya.
Setelah sekitar setengah jam, ia selesai. Aku Pun memeriksanya.
Saat inilah aku yang malah tidak fokus. Karena saat aku memeriksanya, ia selalu menatapku. Membuatku merasa sangat terganggu.
Tubuhku tersentak saat ia menarik kursi yang aku duduki mendekat padanya. Kursi itu ada diantara kakinya sekarang.
"Gian, saya lagi meriksa." Protesku.
"Periksa aja. Jangan ngerasa terganggu." Suara rendahnya lirih, tanpa merasa berdosa.
Aku Pun berusaha untuk fokus dan memeriksa hasil pekerjaan Gian. Dan semuanya betul.
"Saya rasa kamu udah siap dengan ujian minggu depan." Pujiku seraya menuliskan angka 100 di sudut kanan lembar itu.
"Baguslah." Ujarnya seraya mengendus leherku.
Seketika tubuhku meremang. "Gian!" Aku mendorongnya menjauh dariku.
Mata besarnya menyelamiku. Ia mendekat padaku dan bersiap menciumku lagi, tapi aku segera menghindar dengan menolehkan kepalaku sehingga bibirnya malah mengenai pipiku.
"Ini adalah pertemuan terakhir. Kita harus berhenti." Ucapku saat ia menjauhkan wajahnya dariku.
"Aku gak ngeliat kenapa kita harus berhenti hanya karena ini pertemuan terakhir." Tangannya menarik pinggangku dan bersiap menciumiku lagi.
Aku terkesiap saat tangan Gian mulai menelusup ke bawah blouse yang aku kenakan. Sepersekian detik kemudian tangannya sudah berada di perutku.
"Stop Gian!" Teriakku marah, "Saya gak akan membiarkan kamu menyentuh saya!" Aku meronta sekuat tenaga dan berhasil. Aku bangkit dari kursi itu dan mulai membereskan tab dan buku-buku ku.
Beberapa detik hening. Semua barang sudah tersimpan di tasku dan aku melangkah menuju pintu kamar Gian yang terbuka.
"Mulai hari ini Kak Naya pacar aku." Ujarnya, kembali dengan nada sewenang-wenangnya.
Sontak aku menghentikan langkahku dan menatap ke arahnya tak percaya. "Saya anggap kamu tidak mengatakan apapun."
Aku berjalan kembali menuju pintu, namun Gian menarik tubuhku dalam pelukannya. "Gi..."
Terdengar suara bu Kirana dari lantai bawah, sepertinya ia sudah pulang dari arisannya. Seketika aku panik dan berontak.
"Jangan berisik. Bunda udah pulang." lirihnya.
"Makanya kamu lepasin saya!" Bisikku sambil terus meronta, namun tubuhku tak bergerak sama sekali. Tubuh tinggi dan kekarnya benar-benar mengunciku.
"Kasih aku satu alasan kenapa Kak Naya gak mau jadi pacar aku." titahnya.
"Kamu masih SMA." ujarku segera.
"Bukan alasan yang cukup bagus. Gak ada yang salah dengan aku masih SMA. Gak ada korelasinya dengan kita gak boleh pacaran."
Pintar sekali jawabannya.
"Saya gak suka sama kamu."
Gian melonggarkan rengkuhan tubuhnya dan menatapku, "Kak Naya udah suka sama aku. Selama ini kita berciuman. Bukan hanya aku yang mencium kak Naya."
Mulutnya benar-benar pintar. Seharusnya dia mengikuti lomba debat atau semacamnya, dia pasti akan menang.
Aku menatapnya dengan penuh keyakinan. "Saya gak ada rasa seperti itu. Saya gak cinta sama kamu. Saya gak mungkin berpacaran dengan cowok yang lebih muda dari saya. Kamu itu 5 tahun lebih muda dari saya, kamu masih anak-anak. Jika saya mencari seseorang untuk jadi pacar saya, saya akan mencari seseorang yang lebih tua dari saya. Karena saya bukan di usia dimana akan jatuh cinta dan kemudian putus. Saya akan berpacaran dengan seseorang yang sudah matang dan mulai memikirkan pernikahan. Dan saya tahu itu bukan kamu."
Sejenak ia terdiam, sepertinya ia mulai paham dengan apa yang aku ucapkan.
Ekspresi dingin itu kembali aku lihat. Aku menjauhkan tubuhku darinya, tapi tak sampai sedetik ia sudah kembali menciumiku.
Ciuman kasar tanpa ampun itu dilakukan lagi oleh Gian.
Selama ini, selama aku menyambutnya, ia selalu menciumiku dengan lembut. Tapi kali ini ia melakukannya seperti awal dia menciumiku dulu untuk pertama kalinya.
Sepenuhnya kendali akan tubuhku hilang seraya bibirnya turun ke leherku. Sekuat tenaga aku menahan bibirku agar tak meloloskan suara apapun.
Segera aku mendorong tubuhnya. Namun tenaganya begitu besar, aku tak mampu keluar dari rengkuhannya.
Gian malah membawaku ke tempat tidurnya. Tubuhnya ada di atasku, ia menatapku lekat.
"Kamu jangan macem-macem ya!" Bentakku dengan suara berbisik, kedua tanganku dikunci olehnya. Aku benar-benar tak bisa bergerak.
Nafas Gian menderu. "Kenapa? Kak Naya harus mengakui kalau Kak Naya juga suka sama aku."
Aku menatapnya lekat. Anak ini sungguh berbahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments