Beberapa hari ini Tony selalu pulang setelah lewat tengah malam. Bajunya selalu tercium bau alkohol tapi aku gak yakin apakah dia minum atau tidak. Karena aku selalu ketiduran sebelum dia pulang dan Tony selalu tidur di sofa. Sebenarnya aku gak keberatan dia minum atau tidak. Hanya saja, aku lebih suka kalau dia lebih berhemat dan tidak menghamburkan gajinya ke minuman-minuman yang tidak bermanfaat.
Seperti biasa, Tony selalu terbangun saat aku lagi masak. Hari ini aku masak semur ayam untuk makan siang dan roti mentega panggang dan telur untuk sarapan. Ini adalah sarapan kesukaannya, karena Tony tidak bisa makan terlalu kenyang untuk sarapan karena sedari kecil dia jarang sarapan. Mungkin karena faktor ekonomi yang membuat dia terpaksa harus begitu, aku tidak pernah tanya.
"Wanginya sampai masuk ke mimpi Gue." Tony memeluk ku dari belakang dan mencium pipi ku.
"Emang kamu lagi mimpi apa tadi?"
"Lagi menyelamatkan dunia, tp gak jadi karena wangi roti bakar memanggil-manggil."
Tony mengambil selembar roti lalu mengopeknya sedikit dan memasukkan ke mulutnya. "tidak ada yang bisa menandingi."
Kami sarapan dengan damai dan bahagia. Aku menatap wajahnya yang makan dengan lahap, ingin sekali waktu berhenti di saat ini. Aku ingin Tony selalu berada di sisiku. Menjadi penjagaku, menjadi penyokongku, menjadi pendampingku, menjadi orang yang kucintai dan mencintaiku selamanya.
Wajah tampannya membuatku candu. Tanpa sadar sudah sepuluh menit aku menatapnya, meneliti setiap lekuk wajahnya, mengamati cara dia makan, melihat setiap helaian rambutnya.
"Jika Lo terus menatap Gue dengan cara begitu, Gue gak akan bisa menahan diri lagi, Lia." ujarnya tiba-tiba dan kontan membuat ku tersentak
"Ma..maaf." aku cepat-cepat memakan roti di piringku sambil menunduk.
Tony berpindah duduk di sebelahku dan melingkari leherku. Wajah kami menjadi sangat dekat.
"Maaf, Gue dah gak sanggup lagi."
Untuk pertama kalinya Tony menciumku dengan sangat-sangat liar. Aku hanya bisa pasrah dan terserah padanya.
***
"Sakit?" tanyanya dan aku mengangguk. "Maaf."
Aku menggeleng dan diam-diam menghapus air mataku. Aku duduk di pinggir tempat tidur sambil menutupi tubuhku dengan selimut. Tony memelukku dari belakang. Punggungku yang polos menjadi hangat karena bersentuhan dengan kulitnya.
"Gue sayang banget ama Lo." bisiknya pelan "Maaf banget kalau Gue tadi terlalu kasar."
"Lain kali bisakah lebih lembut?" isakku.
Tangisku gak bisa di tahan lagi.
"Gue janji. Jangan nangis lagi ya, Sayang."
Akhirnya kami menghabiskan sepanjang hari ini dengan berbaring di tempat tidur sambil saling curhat. Aku menceritakan bagaimana kedua orang tua ku meninggal. Bagaimana reaksiku saat melihat jenazah orang tuaku yang tampak tragis. Masih menjadi trauma dan sering mimpi buruk. Makanya kemunculan Tony di hidupku sangat-sangat berarti. Setidaknya aku sudah tidak pernah bermimpi buruk lagi. Aku sepenuhnya percaya pada Tony, ku serahkan hidupku sepenuhnya untuk dia.
"Aku ingin kita terus begini. Bisakah kamu janji tidak akan meninggalkanku?" tanyaku
"Gue janji. Seumur hidup belum ada yang sayang ama Gue selain Lo. Bahkan nyokap Gue juga gak." ujarnya
"Kenapa?"
"Karena nyokap gue jarang di rumah. Gue bisa sebulan sekali baru jumpa nyokap. Itu pun hanya beberapa jam." katanya lirih
"Mulai sekarang aku akan mengurusmu. Memberimu semua kasih sayang yang bisa ku berikan. Semoga dengan begini bisa mengganti apa yang tidak di berikan Mama kamu."
"Thanks."
Tony mengecup dahiku. "Kenapa Lo gak bertanya mengapa nyokap Gue jarang pulang?"
"Kamu pasti akan cerita jika sudah waktunya."
***
"Amel, Tony ada?" tanya Tante Ain
"Lagi keluar,Tante. Beli nangka." jawab ku sambil mengikat plastik berisi es buah pesanan Bu Pian.
"Tony itu saudara kamu atau siapa. dek Amel?" tanya Bu Pian
Aku memasukkan semua pesanan Bu Pian ke dalam plastik kresek dan menyerahkan padanya. "Pacar saya, Bu." Jawabku sopan seraya mengambil bayaran Bu Pian.
"Rumahnya dimana? Pagi-pagi ku lihat dia sudah duduk di teras main gitar." timpal Tante Ain
"Tony sekarang tinggal di sini, Tante."
"Ih, gak apa-apa tinggal bareng? Nanti kamu hamil loh." tukas Tante Ain
"Iya. Apalagi kasihan kamu uda gak punya orang tua." timpal Bu Pian
"Ngomong-ngomong si Tony itu gak kerja? Kalian hidup hanya mengandalkan warung ini ya?" tanya Tante Ain
"Dek, kamu hati-hati loh, nanti si Tony hanya menumpang hidup. Trus kamu yang kasih dia duit, gt?" Bu Pian menepuk bahu ku seolah-olah khawatir padaku.
"Tony kerja, kok. Dia penyanyi kafe. Uang listrik, air dia yang bayar." jawabku berusaha tetap sopan.
Sebenarnya ini adalah masalah pribadi, gak harus dijelaskan kepada mereka. Tapi aku juga tidak mau Tony di anggap sebagai pengangguran yang hanya menumpang hidup. Yang mereka tidak tahu adalah betapa ekonomi ku terbantu hanya dengan Tony membayar semua tagihan bulanan. Uang hasil jualan hampir tidak tersentuh dan target untuk biaya kuliah juga pasti akan segera tercapai.
"Es serut nenas satu yah." pesan Tante Ain "Jadi kalian sudah mau nikah dong."
"Belum tau tante." jawabku, sudah malas menatap wajahnya.
Aku menyalakan mesin es serut dan suara menggibah mereka tidak terdengar lagi. Disaat aku mengambil keputusan untuk tinggal bersama Tony, aku sudah tahu akan ada gosip-gosip seperti ini. Tapi aku tidak menyangka mereka akan menanyakan langsung dan melakukan asumsi sendiri. Mungkin Tante Ain dan Bu Pian adalah dua orang dari semua tetangga yang bergosip. Tapi aku memilih untuk menebalkan telinga dan mengeraskan hati untuk tidak tersinggung dan terganggu dengan perkataan mereka. Aku akan menjalani hidup ku yang bahagia bersama Tony. Setelah kami lulus kuliah, kami akan menikah. Dan aku tahu ini tidak akan terwujud hanya dalam setahun dua tahun. Tapi jika kita tetap bertahan seperti sekarang, suatu saat kami akan menikah dan mempunyai keluarga kecil. Ini adalah impian jangka panjang dan aku harus bersabar. Gosip-gosip seperti ini tidak akan membuatku berkecil hati.
Aku tersenyum pada Tante Ain dan menyerahkan Cup berisi es serut nenasnya.
"Jam berapa Tony pulang? Lama sekali dia pergi."
"Tante ada apa cari Tony? Nanti biar aku sampaikan kalau dia pulang nanti."
"Aku mau minta tolong pada Tony untuk ajari si buyung main gitar. Biar jangan asik main henpon aja di rumah." ujar tanya Ain malu-malu. Tepatnya pura-pura malu.
"Nanti aku coba tanyakan Tony mau atau tidak." aku tersenyum sopan
"Ihh. Harus mau dong. Kalau siang-siang gini kan Tony gak ada kerjaan. Nanti tante bayar deh." desaknya
"Iya, tante. Tetap harus di tanyakan juga dong."
"Gini aja mel. Kamu langsung nyuruh Tony aja untuk ngajarin si buyung. Kalau kamu yang suruh kan pasti Tony mau-mau aja." bujuknya
"Maaf Tante, Gue gak mau."
Tony tiba-tiba muncul begitu saja sambil menyerahkan sebungkus plastik kresek berisi nangka.
"Ihh Tony sudah pulang. Anakku si buyung baik kok anaknya. Pasti gak akan susah diajari."
"Bukan itu masalahnya, Tante." ujar Tony
"Jadi masalahnya apa?" tante Ain mulai gak sabaran
"Masalahnya Gue gak mau." ketusnya
Tante Ain melihat ke arah ku dengan tatapan geram dan canggung
"Ya sudah kalau gak mau. Sombong amat anak muda jaman sekarang."
Tante Ain hendak berbalik dan di cegat oleh Tony.
"Esnya sudah di bayar?" Tony menunjuk ke bungkusan yang di bawa Tante Ain
Sambil menggeram, Tante Ain mengeluarkan dua lembar uang yang di remasnya lalu di lempar ke atas meja. Sebelum pergi, Tante Ain masih sempat melototi kami sambil mengatupkan bibirnya.
Aku dan Tony saling pandang lalu kami tertawa bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments