Chapter 2

Bahagia bagi ku hanya sesimpel jualan hari ini habis terjual sebelum sore. Aku mengangkat satu persatu toples kaca berisi sirup dan buah yang saat ini sudah kosong masuk ke dalam rumah dan meletakkan semuanya berjejer di wastafel. Puas banget rasanya melihat semua botol kosong ini dan isi tas pinggang ku yang berisikan banyak uang kertas hasil penjualan hari ini. Aku mengambil segelas air putih dan kembali ke teras rumah lalu menghampiri seorang cowok yang duduk di kursi batu. Dia adalah seorang pengamen yang pintar menyanyi dan memainkan gitarnya sampai menarik perhatian warga di lingkunganku. Sampai mereka bersedia mampir dan sambilan membeli es buah yang ku jual sampai habis.

"Makasih yah. Berkat kamu jualan ku hari ini habis lebih cepat dari biasanya." Kataku tulus sambil menyerahkan segelas air putih dingin padanya yang langsung di tegak habis. Sekilas aku melihat dia punya kelopak mata dan bulu mata yang indah. Raut wajahnya yang menyenangkan dan tampak rendah hati membuatku tidak takut padanya. "Siapa namamu?"

 "Tony. Lo?"

"Amelia."

 "Manggilnya Amel atau Lia?" tanyanya sambil menatapku dengan bola mata yang terpantul jelas wajah ku dan langit. Detik itu juga, jantungku berdegup kencang dan hampir tidak bisa bernapas.

 "Terserah." Jawabku yang terkesan ketus karena aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.

 "Tadi Gue dengar orang-orang ~~~~manggil Lo Amel. Kalau gitu Gue manggil Lo Lia."

 Aku hanya sanggup tersenyum dan mengangguk, lalu dia pergi. Aku sempat bertanya, apakah besok dia akan datang lagi dan aku menjanjikan makan siang untuknya kalau bersedia bernyanyi lagi seperti hari ini. Dan dia langsung setuju. Entah kenapa aku senang. Seharusnya aku tidak boleh segampang itu dengan orang asing. Apalagi tampaknya dia bukan orang yang tinggal di dekat lingkungan ini. Setelah di tinggalkan kedua orang tua ku karena kecelakaan dua tahun yang lalu, aku berusaha tegar dengan hidup sendiri dan bekerja dengan menjual minuman es buah di teras rumah.

 Awal-awal tetangga bersimpati denganku, setiap hari selalu ada yang mengantarkan makanan atau obat-obatan untuk ku. Tapi setelah itu mereka mengaku kalau orang tua ku punya hutang kepada mereka dan memintaku untuk membayar dengan asuransi orang tuaku. Tapi untung aku memberitahukan masalah ini kepada Miss Jenny , wali kelasku saat kelas dua belas yang mengunjungiku setelah mengetahui berita meninggalnya kedua orang tuaku. Miss Jenny menyarankan aku untuk tidak membayar apapun kepada orang-orang yang mengaku di hutangi orang tua ku tanpa ada surat-surat yang sah dari notaris. Miss Jenny juga mengajarkan ku untuk lebih berhati-hati terhadap orang asing dan harus punya nomor telepon darurat di handphone.

Saat ini cowok bernama Tony sudah berada di halaman rumah ku lagi. Dia duduk di tempat yang sama seperti semalam, memetik gitar dan mulai menyanyi lagi. Sebagian besar lagu yang dia nyanyikan tampak asing bagiku. Tapi aku tidak sempat menikmati lebih lama karena tetangga-tetangga mulai berdatangan dan memesan es buah ku. Alhasil, beberapa jam kemudian, buah yang padahal ku siapkan lebih banyak dari semalam kini sudah habis terjual. Lelah dan keringat akibat menyiapkan pesanan tanpa henti terbayar oleh tas pinggang yang di penuhi dengan uang-uang kertas.

 Sesuai janji, aku mengajak Tony masuk ke dalam rumah untuk menunggu sembari aku membereskan sisa jualan dan menyiapkan makan siang sederhana untuknya sesuai janjiku padanya semalam. Aku menyuruhnya duduk sofa sambil menyalakan televisi untuknya.

 “Gue suka rumah lo.” Katanya sambil memandang sekeliling.

 Rumah tipe studio yang baru di renovasi ayah setahun sebelum dia meninggal. Awalnya rumah ini sama seperti rumah yang lain, punya ruang-ruang tersendiri. Tapi sejak aku selalu mengurung diri di kamar, ayah marah karena ibu selalu jengkel karena aku selalu mengunci pintu kamar. Akhinya ketika libur kenaikan kelas, ayah menyuruh aku dan ibu untuk menginap di rumah nenek untuk beberapa waktu. Ternyata ayah mengubah rumah ini menjadi rumah tipe studio yang minim sekat.

“Kamu tidak bisa lagi mengurung diri di kamar,” Kata ayah sambil tersenyum puas “sekarang aku dan ibumu sudah bisa lebih sering melihat anak gadis kami.”

 Aku jengkel sekali waktu itu, aku terus-terusan menjelek-jelekkan rumah ini di hadapan ayah dan ibu. Semua privasi ku di rampas. Aku selalu berdoa semoga rumah ini bisa kembali ke sedia kala. Semoga aku mempunyai ruang privasi ku sendiri seperti sebelumnya. Doa ku terkabul dengan kematian kedua orang tua ku. Rumah studio yang awalnya ramai oleh suara ayah dan ibu sekarang senyap. Bahkan suaraku sendiri jarang terdengar lagi di rumah ini. Rumah yang minim sekat sekarang terasa sangat tertutup. Setiap hari aku menyesali, apakah karena doa ku ayah dan ibu meninggal? Aku tidak berani berdoa dan berharap lagi sejak itu.

 Air mataku menetes ke minyak panas yang langsung memercik. Aku kaget dan langsung tersadar dari lamunanku.

 “Lo kenapa?” tanya Tony yang sudah berdiri di sebelahku. Dia mematikan kompor dan meraih tanganku yang terkena percikan minyak. “Ada obat oles gak?”

 “Aku gak apa-apa.” Jawabku sambil menarik tanganku.

 “Lo nangis, Gue jadi gak enak.”

 “Bener, aku gak apa-apa. Hanya teringat masa lalu saja.” Aku kembali menyalakan kompor dan memasukkan sesendok bakwan sayur kedalam minyak.

 “Mantan Lo?” tanyanya

 “Bukan, ayah dan ibu.” Jawabku “Aku gak punya mantan.”

 “Maaf yah kalau Gue membuat Lo teringat ama ayah dan ibu Lo.”

 “Bukan karena kamu kok.” Kali ini aku memaksakan diri untuk tersenyum.

 Tony tampak menikmati sekali makan siang ini. Dia seperti orang kelaparan dan yang lebih takjub lagi, katanya ini pertama kalinya dia makan bakwan sayur. Cara makannya juga sangat kaku dan aneh. Biasanya orang akan refleks mengambil sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Tapi Tony mengambil garpu di tangan kanan dan sendok di tangan kiri. Tebakku, selama ini dia makan hanya pakai tangan saja dan jarang menggunakan alat makan. Kehidupan seperti apa yang dia jalani selama ini. Aku tidak berani menanyakannya karena takut menorehkan luka padanya, atau membuat dia merasa rendah hati.

 “Kamu mau tiap hari makan di sini?” tanyaku tanpa sadar.

 Tony menatapku kaku selama beberapa detik, kemudian tersenyum sambil mengangguk. Detik itu juga aku menyesal. Seharusnya aku tidak boleh menawarkan makan siang setiap hari kepada cowok yang baru ku kenal. Tapi hatiku sangat berterima kasih sekaligus kasihan padanya. Seingatku, semalam dia juga memakai pakaian yang sama dengan hari ini. Aku meyakinkan diriku kalau dia bukanlah orang jahat. Aku tahu dari matanya. Mata orang jahat tidak akan bersinar seperti mata Tony.~~~~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!