My Diary

My Diary

1. Tak Sabar

 Desa Permata Hati sedang sibuk gotong royong membersihkan jalan-jalan pedesaan, selokan dan tempat-tempat umum. Semua orang tanpa terkecuali ikut terlibat dalam aktifitas tersebut. Mereka bahu membahu mengerjakan tugas masing-masing. Para bapak-bapak bertugas membersihkan dan membereskan semuanya. Sementara ibu-ibu dan pemudi bertugas menyiapkan makan untuk mereka semua.

"Sudah dengar belum kalau keponakan kepala desa mau datang?" Tanya salah satu ibu-ibu yang sedang memasak.

"Emang iya?"

"Iya. Anak dari adiknya pak kepala desa."

"Anak pak Hendra?" Tanya Bi Sumi. Ia mengenal keluarga bapak kepala desa karena dulu ia sempat menjadi pembantu untuk keluarga terpandang di desa tersebut.

"Bi Sumi kenal?" Bi Sumi menganggukan kepalanya dengan cepat. Tentu saja ia kenal. Dulu, seseorang bernama Hendra itu sempat tinggal di desa itu. Dan Bi Sumi yang merawatnya.

Kenakalan Hendra tentu saja sulit untuk dilupakan oleh Bi Sumi beserta keluarganya. Wanita paruh baya itu masih ingat betul dengan kenakalan Hendra. Namun, entah kenapa dia justru kangen dengan masa itu. Bi Sumi tersenyum kecil saat teringat akan masa-masa itu.

"Apa itu Hendra yang dulu sempat tinggal disini dan sekarang di luar negeri?" Tanya Bi Ani, salah satu orang yang juga sudah lama tinggal di desa tersebut.

Bi Sumi menganggukan kepalanya. Senyuman kecil di wajahnya mengisyaratkan jika ia seperti rindu dengan masa dulu. "Apa anaknya juga sama badungnya dengan bapaknya?" Gumam Bi Sumi kembali tersenyum kecil.

Alenka, keponakan Bi Sumi menatap Bi Sumi dengan heran. Ia pun segera mendekati bibinya. "Bibi kenapa senyum-senyum gitu?" Tanya Alenka.

"Nggak apa-apa. Bibi cuma mikir, udah segede apa anaknya mas Hendra. Apa dia juga sama badungnya kayak bapaknya, atau dia justru baik dan sholeh kayak pamannya." Ucap Bi Sumi kembali tersenyum.

"Tapi, setelah menikah, mas Hendra kayaknya sudah mulai berubah.." imbuh Bi Sumi.

"Emang pak Hendra itu asli sini?"

"Nggak. Yang asli adiknya pak kepala desa itu istrinya, mbak Nadin. Dulu, mas Hendra itu sempat bikin geger kampung sini. Dia dikejar-kejar polisi karena membakar salah satu toko rivalnya, dia bersembunyi disini. Dan polisi mencari sampai kampung ini. Untung orang tua mbak Nadin selamatin dia dan mengatakan jika dia tidak ada disini." Bi Sumi mengenang masa itu.

"Bapaknya mbak Nadin dan mas Haris kasihan sama dia. Kemudian dia tinggal di kampung ini. Tapi mas Hendra nakalnya bukan main. Dia selalu bikin geger kampung ini dengan kenakalan-kenakalannya. Dia sempat membawa kabur mbak Nadin dan membuatnya harus menikahi mbak Nadin." Imbuh Bi Sumi lagi.

"Apakah anaknya akan sama nakalnya dengan dia? Semoga saja tidak. Setelah menikah, mas Hendra sudah mulai berubah lebih baik. Semoga anak-anaknya juga tidak mengikuti jejak bapaknya dulu." Bi Sumi masih sangat ingat akan masa-masa itu.

Alenka terdiam. Dia juga memikirkan apa kata Bi Sumi. Dan berharap hal yang sama. Bahwa keponakan kepala desa itu tidak sama nakalnya dengan bapaknya. Tapi dia bersikap baik dan menyenangkan.

Selepas makan siang. Semua orang pulang ke rumah masing-masing. Pekerjaan mereka telah selesai dan saatnya beristirahat sejenak. Setelah membersihkan dirinya, Alenka masuk ke kamar mengambil buku diarinya. Buku diari yang selalu menjadi tempat untuk berkeluh kesah.

[ Hari ini aku sangat lelah, hari ini kita semua sibuk gotong royong membersihkan desa. Kata-katanya keponakan kepala desa akan datang dari luar negeri. Aku penasaran seperti apa dia? Kata Bi Sumi, dulu papanya sangat nakal dan sempat bikin geger kampung. Ah, aku berharap dia tak sama dengan masa muda papanya. Aku berharap dia bisa seperti bapak kepala desa yang baik, berwibawa dan sangat sopan. Ah, aku jadi tidak sabar.. Eh, kenapa aku jadi tidak sabar gini ya ingin bertemu dengan dia? ]

Alenka menutup buku diarinya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya diatas kasur. Menatap langit-langit kamarnya. "Gimana ya wajah dia?" Gumamnya.

"Ah,, kenapa aku jadi nggak sabar gini sih?" Gumamnya lagi sembari mengusap-usap wajahnya.

***

Tok. Tok. Tok.

Pintu kamar Alenka di ketuk dari luar. Alenka mengucek matanya dan melihat jam yang ada di atas meja belajarnya. Jam menunjukan pukul 17.00. "Jadi aku ketiduran?" Gumamnya pelan.

"Al, kamu tidur?" Suara Bi Sumi bertanya dari depan pintu kamar Alenka.

"Iya Bi, aku ketiduran." Jawab Alenka.

"Nggak apa, pasti kamu kecapekan." Kata Bi Sumi begitu pengertian. Meskipun ia tak memiliki anak, tapi Bi Sumi begitu sabar menghadapi Alenka yang merupakan anak dari kerabatnya.

Alenka memang tinggal di rumah Bi Sumi sejak ia masuk sekolah menengah atas. Karena lebih dekat dari sekolahnya. Ibunya masih saudaraan dengan Bi Sumi.

"Bi Sumi mau kemana?" Alenka melihat Bi Sumi yang telah berpakaian rapi.

"Bibi sama paman mau ke rumah pak Haris, mbak Nadin dan anaknya sudah sampai.. Kamu mau ikut kesana?" Tanya Bi Sumi kepada Alenka.

"Aku belum mandi. Nanti aku nyusul aja.." Kata Alenka masih dengan mata lengket.

"Kalau gitu bibi sama paman berangkat dulu ya. Buruan mandi terus nyusul!" Pinta Bi Sumi.

"Iya Bi." Jawab Alenka. Sebenarnya ia malas karena ia merasa tubuhnya capek sekali. Namun, demi memberi hormat kepada kepala desa. Alenka terpaksa kesana.

Dengan segera ia pergi ke kamar mandi. Ia kembali mandi supaya lebih segar. Kemudian ia bergegas pergi ke rumah kepala desa. Disana, semua warga berkumpul untuk menyambut kedatangan adik dan keponakan kepala desa setempat.

Rasa penasaran menyergap semua warga. Juga rasa rindu menyergap para tetua yang sudah lama tinggal di desa tersebut. Mereka tak sabar ingin melihat anak si pembuat onar yang telah bertobat setelah menikahi anak dari kepala desa mereka dulu. Kini, jabatan kepala desa itu diemban oleh anak pertama kepala desa yang lama.

Alenka berada di barisan para warga yang menunggu dengan tak sabar. "Seperti apa adik kepala desa kita?" Tanya salah satu warga yang belum lama tinggal di desa tersebut.

"Mbak Nadin itu sangat cantik. Mirip sekali dengan kakak lelakinya. Dia juga baik dan ramah, kata bapak aku gitu." Jawab yang lain.

"Katanya dia juga bunga desa dulu? Aku jadi nggak sabar pengen lihat."

"Memang betul dek Nadin itu sangat cantik, dia juga baik dan lembut.." Jawab Akbar. Dulu, dia salah satu orang yang menyukai Nadin. Namun sayangnya Nadin lebih memilih Hendra, si anak badung yang kesasar.

"Mas Akbar!!" Seru Anisa, istri Akbar.

"Iya dek.. Aku cuma jawab pertanyaan mereka.." Akbar sangat takut dengan istrinya.

Beberapa orang yang berada di dekat Akbar dan Anisa tersenyum melihatnya. Mereka geli dengan tingkah Akbar yang sok tapi ciut di depan istrinya. Apalagi kalau istrinya sudah mengangkat tangan dan hendak mencubitnya. Seketika dia menjadi kucing imut yang awalnya adalah harimau kelaparan.

Terpopuler

Comments

Patrick Khan

Patrick Khan

.hai kakak...😁🥰

2023-06-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!