NovelToon NovelToon

My Diary

1. Tak Sabar

 Desa Permata Hati sedang sibuk gotong royong membersihkan jalan-jalan pedesaan, selokan dan tempat-tempat umum. Semua orang tanpa terkecuali ikut terlibat dalam aktifitas tersebut. Mereka bahu membahu mengerjakan tugas masing-masing. Para bapak-bapak bertugas membersihkan dan membereskan semuanya. Sementara ibu-ibu dan pemudi bertugas menyiapkan makan untuk mereka semua.

"Sudah dengar belum kalau keponakan kepala desa mau datang?" Tanya salah satu ibu-ibu yang sedang memasak.

"Emang iya?"

"Iya. Anak dari adiknya pak kepala desa."

"Anak pak Hendra?" Tanya Bi Sumi. Ia mengenal keluarga bapak kepala desa karena dulu ia sempat menjadi pembantu untuk keluarga terpandang di desa tersebut.

"Bi Sumi kenal?" Bi Sumi menganggukan kepalanya dengan cepat. Tentu saja ia kenal. Dulu, seseorang bernama Hendra itu sempat tinggal di desa itu. Dan Bi Sumi yang merawatnya.

Kenakalan Hendra tentu saja sulit untuk dilupakan oleh Bi Sumi beserta keluarganya. Wanita paruh baya itu masih ingat betul dengan kenakalan Hendra. Namun, entah kenapa dia justru kangen dengan masa itu. Bi Sumi tersenyum kecil saat teringat akan masa-masa itu.

"Apa itu Hendra yang dulu sempat tinggal disini dan sekarang di luar negeri?" Tanya Bi Ani, salah satu orang yang juga sudah lama tinggal di desa tersebut.

Bi Sumi menganggukan kepalanya. Senyuman kecil di wajahnya mengisyaratkan jika ia seperti rindu dengan masa dulu. "Apa anaknya juga sama badungnya dengan bapaknya?" Gumam Bi Sumi kembali tersenyum kecil.

Alenka, keponakan Bi Sumi menatap Bi Sumi dengan heran. Ia pun segera mendekati bibinya. "Bibi kenapa senyum-senyum gitu?" Tanya Alenka.

"Nggak apa-apa. Bibi cuma mikir, udah segede apa anaknya mas Hendra. Apa dia juga sama badungnya kayak bapaknya, atau dia justru baik dan sholeh kayak pamannya." Ucap Bi Sumi kembali tersenyum.

"Tapi, setelah menikah, mas Hendra kayaknya sudah mulai berubah.." imbuh Bi Sumi.

"Emang pak Hendra itu asli sini?"

"Nggak. Yang asli adiknya pak kepala desa itu istrinya, mbak Nadin. Dulu, mas Hendra itu sempat bikin geger kampung sini. Dia dikejar-kejar polisi karena membakar salah satu toko rivalnya, dia bersembunyi disini. Dan polisi mencari sampai kampung ini. Untung orang tua mbak Nadin selamatin dia dan mengatakan jika dia tidak ada disini." Bi Sumi mengenang masa itu.

"Bapaknya mbak Nadin dan mas Haris kasihan sama dia. Kemudian dia tinggal di kampung ini. Tapi mas Hendra nakalnya bukan main. Dia selalu bikin geger kampung ini dengan kenakalan-kenakalannya. Dia sempat membawa kabur mbak Nadin dan membuatnya harus menikahi mbak Nadin." Imbuh Bi Sumi lagi.

"Apakah anaknya akan sama nakalnya dengan dia? Semoga saja tidak. Setelah menikah, mas Hendra sudah mulai berubah lebih baik. Semoga anak-anaknya juga tidak mengikuti jejak bapaknya dulu." Bi Sumi masih sangat ingat akan masa-masa itu.

Alenka terdiam. Dia juga memikirkan apa kata Bi Sumi. Dan berharap hal yang sama. Bahwa keponakan kepala desa itu tidak sama nakalnya dengan bapaknya. Tapi dia bersikap baik dan menyenangkan.

Selepas makan siang. Semua orang pulang ke rumah masing-masing. Pekerjaan mereka telah selesai dan saatnya beristirahat sejenak. Setelah membersihkan dirinya, Alenka masuk ke kamar mengambil buku diarinya. Buku diari yang selalu menjadi tempat untuk berkeluh kesah.

[ Hari ini aku sangat lelah, hari ini kita semua sibuk gotong royong membersihkan desa. Kata-katanya keponakan kepala desa akan datang dari luar negeri. Aku penasaran seperti apa dia? Kata Bi Sumi, dulu papanya sangat nakal dan sempat bikin geger kampung. Ah, aku berharap dia tak sama dengan masa muda papanya. Aku berharap dia bisa seperti bapak kepala desa yang baik, berwibawa dan sangat sopan. Ah, aku jadi tidak sabar.. Eh, kenapa aku jadi tidak sabar gini ya ingin bertemu dengan dia? ]

Alenka menutup buku diarinya. Ia kemudian merebahkan tubuhnya diatas kasur. Menatap langit-langit kamarnya. "Gimana ya wajah dia?" Gumamnya.

"Ah,, kenapa aku jadi nggak sabar gini sih?" Gumamnya lagi sembari mengusap-usap wajahnya.

***

Tok. Tok. Tok.

Pintu kamar Alenka di ketuk dari luar. Alenka mengucek matanya dan melihat jam yang ada di atas meja belajarnya. Jam menunjukan pukul 17.00. "Jadi aku ketiduran?" Gumamnya pelan.

"Al, kamu tidur?" Suara Bi Sumi bertanya dari depan pintu kamar Alenka.

"Iya Bi, aku ketiduran." Jawab Alenka.

"Nggak apa, pasti kamu kecapekan." Kata Bi Sumi begitu pengertian. Meskipun ia tak memiliki anak, tapi Bi Sumi begitu sabar menghadapi Alenka yang merupakan anak dari kerabatnya.

Alenka memang tinggal di rumah Bi Sumi sejak ia masuk sekolah menengah atas. Karena lebih dekat dari sekolahnya. Ibunya masih saudaraan dengan Bi Sumi.

"Bi Sumi mau kemana?" Alenka melihat Bi Sumi yang telah berpakaian rapi.

"Bibi sama paman mau ke rumah pak Haris, mbak Nadin dan anaknya sudah sampai.. Kamu mau ikut kesana?" Tanya Bi Sumi kepada Alenka.

"Aku belum mandi. Nanti aku nyusul aja.." Kata Alenka masih dengan mata lengket.

"Kalau gitu bibi sama paman berangkat dulu ya. Buruan mandi terus nyusul!" Pinta Bi Sumi.

"Iya Bi." Jawab Alenka. Sebenarnya ia malas karena ia merasa tubuhnya capek sekali. Namun, demi memberi hormat kepada kepala desa. Alenka terpaksa kesana.

Dengan segera ia pergi ke kamar mandi. Ia kembali mandi supaya lebih segar. Kemudian ia bergegas pergi ke rumah kepala desa. Disana, semua warga berkumpul untuk menyambut kedatangan adik dan keponakan kepala desa setempat.

Rasa penasaran menyergap semua warga. Juga rasa rindu menyergap para tetua yang sudah lama tinggal di desa tersebut. Mereka tak sabar ingin melihat anak si pembuat onar yang telah bertobat setelah menikahi anak dari kepala desa mereka dulu. Kini, jabatan kepala desa itu diemban oleh anak pertama kepala desa yang lama.

Alenka berada di barisan para warga yang menunggu dengan tak sabar. "Seperti apa adik kepala desa kita?" Tanya salah satu warga yang belum lama tinggal di desa tersebut.

"Mbak Nadin itu sangat cantik. Mirip sekali dengan kakak lelakinya. Dia juga baik dan ramah, kata bapak aku gitu." Jawab yang lain.

"Katanya dia juga bunga desa dulu? Aku jadi nggak sabar pengen lihat."

"Memang betul dek Nadin itu sangat cantik, dia juga baik dan lembut.." Jawab Akbar. Dulu, dia salah satu orang yang menyukai Nadin. Namun sayangnya Nadin lebih memilih Hendra, si anak badung yang kesasar.

"Mas Akbar!!" Seru Anisa, istri Akbar.

"Iya dek.. Aku cuma jawab pertanyaan mereka.." Akbar sangat takut dengan istrinya.

Beberapa orang yang berada di dekat Akbar dan Anisa tersenyum melihatnya. Mereka geli dengan tingkah Akbar yang sok tapi ciut di depan istrinya. Apalagi kalau istrinya sudah mengangkat tangan dan hendak mencubitnya. Seketika dia menjadi kucing imut yang awalnya adalah harimau kelaparan.

2. Kecewa

Sebuah mobil mewah menuju rumah kepala desa. Disana sudah banyak warga yang menunggu kedatangan adik dan keponakan kepala desa. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Haris. Tentu saja kedatangan mobil itu membuat gaduh para warga yang telah lama menunggu. Suara riuh para warga semakin terdengar tatkala seorang wanita berusia sekitar 40 tahun keluar dari mobil tersebut.

"Cantik sekali.." begitu gumam para warga saat Nadin keluar dari dalam mobil.

"Ya Allah dek Nadin, kamu cantik sekali.." Puji Akbar pelan. Ia tak berani berkata keras karena takut di dengar oleh istrinya. Matanya berbinar melihat kecantikan wanita yang dulu ia cintai itu.

"Andai saja dulu kamu nikah sama aku, dek.." gumamnya lagi. Dan itu hanya bisa ia dengar sendiri.

"Matanya mas! Awas aja.." Lirih Anisa. Ia terus memperhatikan suaminya yang tak berkedip saat melihat Nadin.

"Nggak dek.." Jawab Akbar ketakutan.

Nadin nampak bahagia bisa kembali ke kampung halamannya. Ia melihat banyak wajah baru. Itu artinya desa itu sudah semakin banyak penduduknya.

"Apa kabar mbak?" Tanya Nadin kepada kakak iparnya.

"Baik dek.." Nia, kakak iparnya langsung memeluk Nadin. Ia sangat merindukan adik dari suaminya tersebut.

"Apa kabar mas?" Tanya Nadin kepada kakak lelakinya.

"Baik dek.. Gio mana?" Tanya Haris. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan keponakannya yang sudah lama tak bertemu.

Nadin kemudian menengok ke dalam mobil lagi. Ia melihat anak lelakinya yang masih enggan untuk keluar. "Ayo keluar, nak! Sudah ditunggu paman dan bibi kamu!" Ucap Nadin.

"Males ah mom.. Masa iya aku harus tinggal di desa kayak gini? Kita balik aja yuk mom! Atau kita susul papi dan Ghea aja yuk!" Gio tidak mau tinggal di desa seperti itu.

"Turun nak!" Nadin tetap memaksa anaknya untuk keluar dari mobil.

"Papi kamu yang ingin kamu tinggal disini!" Imbuh Nadin.

"Come on moms, i can't stay in here.." Gio tetap menolak untuk turun dari mobil.

Namun, Nadin yang tidak sabar segera menarik tangan Gio. Ia berusaha keras untuk membawa anaknya keluar dari mobil tersebut. Usahanya pun berhasil. Gio dengan terpaksa keluar dari mobil.

"Wow.." kehebohan terjadi saat Gio keluar dari mobil. Ketampanannya menyihir para wanita muda di desa tersebut. Semua memuji ketampanan Gio yang berwajah agak kebulean.

Tak terkecuali Alenka. Ia sampai melongo dan terpukau dengan ketampanan Gio. Ia bahkan tak berhenti menatap Gio. 'Ganteng banget..' gumamnya dalam hati.

Nadin segera memperkenalkan Gio kepada kakaknya dan juga beberapa orang yang ia kenal. "Ini paman dan bibi kamu!" Nadin menunjuk Haris dan juga istrinya.

"Hallo uncle, aunty, i Gio.." sapa Gio.

"Iya nak.. ah, kamu sudah gede ya.." Nia senang melihat keponakannya tumbuh besar dan tampan.

"Ini Edgar, sepupu kamu.." kata Nadin lagi.

"Hai bro.." sapa Gio kepada Edgar.

"Hai bro. Nice to meet you.." kata Edgar. Ia juga senang bertemu dengan sepupunya.

"Yeah, nice to meet you.."

"Ini paman kamu juga, namanya paman Akbar.. Dan itu bibi Anisa, istri paman Akbar." Nadin memperkenalkan Gio kepada Akbar.

"Hallo uncle.. Hallo aunty.."

"Dan ini Bi Sumi sama paman Bejo.." Gio juga menyapa mereka dengan malas-malasan.

"Dan ini pak lek Oman.. Teman papi kamu."

"Hallo Gio.. Pak lek seneng banget ketemu kamu. Papi kamu dulu temen deket pak lek.." kata Oman dengan senang. Melihat Gio, mengingatkan Oman pada sosok Hendra.

"Iya, iya, whatever.." kata Gio. Tapi, dia langsung mendapat teguran dari Nadin. Ia tak suka anaknya bersikap tidak sopan terhadap orang lain.

"Iya mom.. Udah ya aku mau tidur. Aku capek mom.." Keluh Gio. Nada bicaranya juga terdengar masih kebulean. Karena ia memang sudah lama tinggal di luar negeri.

Gio langsung main nyelenong tanpa menyapa semua warga yang sudah menunggunya sejak lama. Tentu saja perilaku Gio tersebut membuat Nadin merasa bersalah. Ia segera meminta maaf kepada para warga atas perilaku tidak sopan anaknya. "Maafin anak aku ya. Mungkin dia masih capek karena perjalanan jauh.. Sekali lagi aku minta maaf." Kata Nadin.

Para warga merasa tak keberatan. Mereka tidak mempersalahkan lagi tindakan Gio tersebut. Mereka semua memaklumi jika Gio mungkin capek.

Setelah itu para warga membubarkan diri masing-masing. Termasuk Alenka yang langsung pulang. Entah kenapa dia merasa kecewa dengan perilaku Gio. Dia menganggap Gio orang yang sombong dan tak tahu sopan santun. Karena kesal, Alenka segera mengambil buku diarinya.

[ Aku nggak nyangka kalau dia ternyata sombong dan tidak tahu sopan santun. Hanya punya wajah ganteng aja. Terus kenapa kalau ganteng? Gio? Namanya cukup bagus. Tapi tidak dengan perilakunya. Ah, kenapa aku begitu sangat kecewa? Aku yang aku harapkan sebenarnya? Ada apa dengan hati ini?]

***

Keesokan paginya.

Alenka berangkat ke sekolah bersama dengan sahabatnya, Yolla. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena sekolah mereka yang tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka. "Al, keponakan pak Haris ganteng banget ya?" Ucap Yolla.

"Nggak ah, biasa aja." Kata Alenka.

"Ah Alenka.. masa biasa sih? Ganteng banget tahu.." puji Yolla lagi.

"Iya terserah.." Alenka melanjutkan langkahnya menuju ke sekolah. Dengan langkah cepat ia meninggalkan Yolla. Entah kenapa ketika nama Gio diucap. Ia merasa sangat kesal. Apalagi saat teringat perilaku Gio semalam.

"Tunggu Al!!" Seru Yolla sembari berlari kecil mengejar Alenka.

"Siuuit.."

Namun tanpa di duga oleh Alenka dan Yolla. Ternyata Gio berdiri di depan gerbang sekolah mereka. Ia sengaja bersiul menggoda Alenka dan Yolla. "Hallo pretty girls.." ucapnya.

"Hallo mas ganteng.." sapa Yolla balik. Namun, dengan cepat Alenka menarik tangan Yolla. Ia tidak mempedulikan godaan Gio. Dengan segera meninggalkan Gio.

"Njir, sombong amat." Gerutu Gio saat Alenka cuekin dia.

"Sombong amat sih? Jangan sok deh! Kalian itu cuma cewek kampung." Seru Gio yang sempat membuat langkah Alenka terhenti. Ia berbalik dan menatap Gio dengan tajam. Namun, Alenka lebih memilih untuk kembali tidak mempedulikan Gio. Anggap aja orang gila yang sedang kumat.

Gio menatap kepergian Alenka sembari tersenyum kecil. Ia tak menyangka jika di tempat kecil di pedesaan juga ada wanita sombong seperti Alenka. Yang sama sekali tidak terpesona dengan ketampananya. Disaat semua wanita menatapnya dengan kagum. Tapi Alenka malah cuek padanya.

"Lihat aja. Lo bakalan bertekuk lutut di depan gue. Karena tidak ada yang bisa menolak ketampanan gue." Ucap Gio dengan percaya diri.

Gio kemudian melanjutkan untuk jalan-jalan. Ia ingin mengenal tempat tersebut. Tempat yang akan menjadi tempat tinggalnya. "Yaelah, masa gue harus stay di tempat seperti ini? Yang bener aja sih?" Gio kembali menggerutu dengan keputusan kedua orang tuanya.

3. Dibawa Kabur

Gio berjalan-jalan berkeliling kampung serta sekolah yang akan ia masuki. Dia masih terus menggerutu dengan keputusan papi dan maminya. "Gue harus sekolah disini?" Gumamnya dengan kesal.

"Tempatnya masih kampungan banget.." Gerutunya lagi. Ia menatap ke sekeliling sekolah. Banyak para gadis yang menatapnya dengan kagum. Dia seorang lelaki tampan dengan wajah agak bule. Tentu saja ketampanan itu menyenangkan bagi kaum hawa.

Edgar tanpa sengaja melihat sepupunya berjalan di dalam lingkungan sekolah. Ia kemudian berlari mendekatinya. "Hello brother.. Kamu disini? Kenapa nggak bilang? Tahu gitu aku ajak kamu keliling sekolahan." Kata Edgar.

"Mami yang suruh gue keliling kampung dan lihat-lihat sekolah." Jawab Gio masih dengan kesal.

"Emang murid-murid disini pada norak kayak gini ya? Belum pernah lihat cowok ganteng?" Tanya Gio yang semakin risi karena mereka terus memandangi dirinya.

"Maklum aja bro, mereka kan nggak terbiasa lihat wajah bule." Ucap Edgar.

"Ikut aku yuk!" Edgar menarik tangan Gio. Ia mengajak Gio untuk berkeliling sekolah dan memperkenalkan sekolah itu kepada Gio, sepupunya.

Edgar begitu sangat senang dan bangga mengajak Gio berkeliling. Apalagi banyak wanita yang menatap mereka. Edgar merasa sangat bangga dan percaya diri.

"Alenka.." Sapa Edgar saat berpapasan dengan Alenka.

"Hai Gar.." Sapa balik Alenka dengan tersenyum kecil. Namun, Alenka melengos saat melihat Gio. Ia kemudian menarik tangan Yolla untuk segera melanjutkan langkahnya.

"Mas ganteng.." Ucap Yolla sembari menatap Gio dengan senang. Ia juga melayangkan ciuman dengan tangan.

"Yolla!!" Seru Alenka dengan kesal. Ia terus menarik tangan Yolla.

Tentu saja perilaku Alenka itu semakin membuat Gio menjadi kesal. Ia segera berlari mendekati Alenka. Kemudian meraih tangannya lalu membawanya lari keluar sekolah.

"Eh Alenka.." Seru Yolla kebingungan.

Para murid yang melihat juga berteriak dan berseru. Namun, Gio tidak mempedulikan mereka semua. Ia terus berlari sembari menarik tangan Alenka. Berlari keluar dari lingkungan sekolah.

"Gio lepasin!!" Seru Alenka berusaha melepaskan tangannya. Namun, kekuatan Gio jauh lebih besar darinya.

"Gio, mau kamu apa?" Seru Alenka lagi.

"Gue mau kita bersenang-senang." Jawab Gio sembari tertawa. Ia memang anak yang sangat usil.

"Ini nggak lucu, Gio!" Seru Alenka menjadi marah.

"Come on baby, this is funny.." Ucap Gio terus mengajak Alenka lari bahkan sampai keluar desa.

Mereka tiba di sebuah pasar di desa sebelah. Gio tertawa senang bahkan merasa tak bersalah sama sekali. Ia juga terus menggenggam tangan Alenka. "Gio, kamu keterlaluan!" Alenka marah karena tindakan Gio. Membuat Alenka jadi tak mengikuti pelajaran.

"Hei, come on. Kita nikmati permainan yang menyenangkan ini!" Kata Gio sama sekali tidak merasa bersalah.

"Ini sama sekali tidak lucu, Gio!" Alenka semakin marah.

Melihat wajah marah Alenka dan air mata Alenka yang hampir menetes. Gio menjadi luluh. "Oke, oke, ini nggak lucu. Kita minum dulu ya! Lo pasti haus kan? Gue juga." Gio kembali menarik Alenka menuju sebuah toko kelontong untuk membeli minuman.

Setelah membayar, Gio memberikan sebotol minuman untuk Alenka. Namun, tanpa mau melepaskan genggaman tangannya sama sekali. Bahkan saat banyak orang yang menatap mereka. Gio seolah tidak peduli.

"Gi, aku mau balik ke sekolah!" Pinta Alenka dengan memelas.

"Sehari aja bolos ya! Temenin gue keliling desa!" Gio memohon.

"Tapi aku nanti ketinggalan pelajaran."

"Nggak akan. Cuma sehari aja. Please!" Gio kembali memohon.

Alenka menghela nafasnya. Kembali ke sekolah pun sama aja. Dia pasti sudah ketinggalan pelajaran dan pasti kena hukuman juga. Akhirnya dia menuruti keinginan Gio.

Alenka menunjukan beberapa tempat penting yang berada di desa tempat tinggalnya. Termasuk wisata terdekat. Karena capek jalan, Gio pun meminjam sepeda milik warga setempat. Dia ngeboncengi Alenka menuju tempat-tempat yang Alenka tunjukin.

"Nah, kalau pasar tadi. Itu sudah beda desa. Bukan termasuk desa Permata Hati." Kata Alenka.

"My Honey, lo laper nggak?" Tanya Gio. Perutnya sudah mulai keroncongan.

Alenka menganggukan kepala serta memegangi perutnya yang sudah berbunyi. Ia juga merasa lapar karena sejak tadi dia belum makan. "Lurus aja nanti ada warung bakso enak, langganan aku." Ucapnya mengarahkan Gio agar pergi kesana.

Gio memarkirkan sepeda di depan warung kecil tersebut. Ia menatap tak percaya kalau ia akan makan di tempat seperti itu. Matanya melebar dan mulutnya melongo. "You serious? Kita eating in here?" Tanya Gio masih tak percaya.

Dengan cepat Alenka menganggukan kepalanya. Ia segera menarik tangan Gio. "Ayo katanya hungry?" Kata Alenka.

"Honey, kita eating in here?" Tanya Gio lagi.

"Iyes. Kalau nggak mau ya udah. Dan lagi, jangan panggil aku honey! Namaku Alenka!" Kata Alenka kemudian meninggalkan Gio yang masih enggan masuk ke dalam warung kecil tersebut.

Mau tak mau Gio menyusul Alenka yang terlebih dulu masuk ke dalam warung kecil itu tapi penuh dengan pengunjung. "Gue suka panggil lo honey, kenapa emangnya?" Tanya Gio mengikuti Alenka.

"Aku nggak suka. Namaku Alenka. Alenka Pratiwi." Alenka menjelaskan nama panjangnya.

"Whatever.." sahut Gio tak peduli. Dia lebih suka memanggil Alenka dengan sebutan my honey.

Tak lama pesanan Alenka datang. Alenka merasa sangat senang. Ia tak sabar melahap bakso dengan kuah panas yang begitu menggiurkan. "Wow.. enak sekali ini.." ucap Alenka.

"Lo cuma pesan satu?" Tanya Gio tak habis pikir dengan Alenka. Masa iya mereka berdua, tapi Alenka cuma pesan satu porsi saja.

"Oh kamu mau? Tadi katanya nggak mau.. Kalau gitu aku pesenin lagi ya!" Alenka hendak berdiri. Tapi dengan cepat Gio menahan tangannya.

"Nggak usah. Aku minta dikit punya lo aja." Ucapnya.

Alenka kemudian mendorong mangkok baksi tersebut ke depan Gio. Biarin lah Gio mencicipi makanan lokal tersebut. "Enak kan?" Tanyanya saat melihat ekspresi wajah Gio setelah mencicipi makanan berbentuk bulat tersebut.

"Lumayan sih.." Gio kembali mencicipi bakso tersebut.

"Habisin aja! Nanti aku pesan lagi." Kata Alenka. Ia tersenyum melihat Gio menikmati makanan tersebut.

Buru-buru Gio mendorong mangkok bakso tersebut ke depan Alenka. "Lo makan aja! Gue udah kenyang. Gue nggak biasa makan makanan kayak gini." Ucapnya. Tapi harus diakui jika makanan berbentuk bulat itu memang sangat lezat. Itu pertama kalinya Gio menikmati makanan lokal tersebut.

Selesai makan. Gio dan Alenka kembali ke sekolahan. Alenka hendak mengambil tas yang sempat ia tinggalkan di dalam kelas. Namun, lagi-lagi Gio menahannya. Gio melihat sebuah taman kecil dan ada pohon besar di tengahnya di belakang sekolah. Ia menarik Alenka ke tempat tersebut.

"Gi, aku mau ambil tas aku." Kata Alenka.

"Gue udah wa Edgar buat bawain tas lo pulang." Jawab Gio. Ia meminta Alenka untuk duduk di ayunan yang ada di bawah pohon tersebut. Dengan pelan Gio mendorong Alenka.

"Pelan-pelan Gio! Aku takut!" Seru Alenka saat Gio mendorongnya lebih kencang.

"Ada gue. Nggak usah takut!" Kata Gio.

Kedua remaja berlawanan jenis tersebut merasa senang. Mereka bahkan saling berkejaran, saling dorong mendorong diayunan. Sampai lupa kalau hari sudah semakin sore.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!