Anxietas
"Gue mau kita Nikah!"
"Menikah!"
Miria menatap benci dan jengkel. Mudah sekali ucapan itu keluar dari mulutnya.
"Cuman setahun!" Ucapnya lagi masih santai tapi, wajahnya sama sekali tak terlihat santai malah wajahnya terlihat sangat serius.
Miria kira ini bercandaan karena Shaka ini sangat suka mengerjainya bahkan Miria sering kesulitan ketika dekat dengannya bahkan bernafas saja Miria sangat salah di hadapannya.
Namanya Shaka, ia memang maha siswa terbaik dulu saat satu sekolah Shaka itu paling aktif dalaam kesibukan organisasi atau kegiatan sekolah sekarang, Miria bertemu lagi dengan dia di kampus di tempat kuliah yang sama yang terkenal dengan asisten dosen paling tampan, kaya juga rajin.
Walaupun rajin dan kaya, Shaka tetap mengambil pekerjaan sampingan.
"Lo pikir setahun Lo, kagak ngapa-ngapain gue! Gak ada otak lo!" Bentaknya sangat kesal bahkan melempar apron masaknya ke wajah Shaka, lalu pergi dengan amarah yang meledak ledak sampai tong sampah saja ia tendang, hingga tumpah berantakan isinya.
Gara-gara menghalangi pandangan matanya yang padahal tong sampah itu diam di samping tak mengganggu siapapun.
"Miria!" Panggilnya dengan keras, percuma saja Shaka berteriak memanggilnya Miria tidak akan menoleh padanya dan tak akan berubah pikiran.
Miria menghilang di balik tikungan sebrang gedung belakang restoran dan tempat mereka bicara itu ada di gang sempit belakang restoran.
***
Pagi itu... "Papa gak mau tau kamu dapet istri atau perempuan bagaimana kelasnya rendah, atau teman kuliah kamu sendiri, cantik atau jelek, yatim piyatu, atau keluarga lengkap terserah, atau dia anak orang miskin gelandangan atau orang kaya, papa gak perduli umur kamu hampir mencapai batas wajib untuk menikah, Shaka!" Shaka terdiam menunduk menunda kunyahan roti isi di mulutnya.
Perkataan sang papa masih terngiang di kepala Shaka.
Ruangan manager yang sekarang ia tepati menggantikan posisi asisten sang papa yang tak bisa mengurus restoran ini karena masih harus mengurus urusan yang ada di luar negeri. tambah banyak dan super sibuk Shaka bahkan pacaran pun sepertinya Shaka tak akan sempat.
Papanya suka sekali bisnis di sana sini dan sudah tua butuh masa pensiun akhirnya Shaka yang mengurusnya karena semua nya sudah sibuk dengan urusan masing masing.
"Haah." Helaan nafasnya sudah ketiga kalinya bahkan sudah lebih dari dua jam lalu Shaka memikirkan Miria yang membuat kepalanya sakit.
Percakapan dengan papanya pagi tadi, membuat Shaka seperti di berikan soal dadakan dari dosen tanpa persiapan belajar sama sekali. Bingung!
"Pokoknya Miria harus mau, ini terpaksa buat dia tapi, gue seneng!" Katanya sambil diam menatap kosong pintu keluar di dalam ruangannya yang tertutup.
Ya, setelah berdebat dengan Miria. Shaka memilih ke ruangannya dan tak perduli tatapan para karyawannya yang didapur. Mungkin mereka mendengar perdebatan menikah dan juga setahun dengan Miria tadi.
Miria, sepertinya dunia Shaka akan segera terisi dengan nama Miria beberapa hari ke depan.
Setelah jam pulang tiba. Shaka segera berkemas untuk menututup restoran.
Semua sudah pulang dan tinggal Shaka seorang dan saatnya menutup dan mengunci pintu Restoran.
Shaka teringat Miria yang sepertinya sangat mebutuhan pekerjaan ini.
Bagaimana jika Shaka menghampirinya beralasan pekerjaan, wah! Shaka satu jawaban berhasil didapatkan ya.
***
Memasuki halaman rumah dengan sistem gerbang yang tertutup otomatis dan terbuka dengan remot dan saat masuk suasana rumah masih terlihat sedikit hidup dengan terlihatnya beberpa pelayan mondar mandir dan pelayan juga tukang kebun membereskan pohon di halaman rumah yang sangat lebat dan hampir tak terlihat rumahnya,
ketika daun dan rantingna lebat di halaman dan samping rumah mereka bekerja sampai malam di bantu dengan lampu sorot yang ada di taman.
Pasti mereka kira hari esok tak akan bisa.
Mobil Shaka berhenti didepan teras, ia keluar lalu pelayan laki-laki keluar dari dalam rumah untuk segera menyambut kepulangan Shaka. Ia menerima kunci dan Shaka pergi begitu saja melangkah masuk kedalam rumah dengan wajah lelah namun, seriusnya.
Shaka menduga jika, Papanya pasti sedang duduk nyaman di depan tv bersama dengan camilannya permen jahe yang tidak ada campuran gula sembarangannya alias asisten rumah tangga yang bahkan sudah puluhan tahun bekerja dengan keluarganya,
dari papanya Shaka muda sampai menikah dengan mamanya dan sampai punya anak lalu sekarang tinggal Shaka dan papanya berdua saja di rumah ini.
Bibi atau nenek biasa Shaka memanggil waktu kecil tapi setelah besar Shaka hanya memanggil bibi,
di ruangan terlihat kalo awal adalah ruang tengah dan ada tangga masuk lalu kedalam itu ada ruangan keluarga dan ruang tamu menjadi satu lalu lurus lagi masuk kedalam ruang tv atau ruang inti keluarga. Papanya disana dan tak sadar kalo Shaka perhatikan.
Shaka memanggil bibi dengan nada rendah takutnya beliau punya masalah penyakit jantung karena kelihatan sudah tua.
"Makan malanya bawa keruangan baca aja bi jangan yang banyak minyak dan berkuah, syuran aja kaya biasa. Air hangat minumnya dan isi juga teko air di ruang baca dan kamarku."
"Baik Tuan muda." Bibi langsung menyiapkannya dan Shaka memilih untuk langsung naik ke lantai dua kamarnya.
Shaka merasa damai jika rumah suasananya sepeti ini membuat Shaka sangat tenang dan senang, karena seharian kemaren tidak ada badai bahkan banjir bandang kenapa tiba-tiba sang papa memintanya menikah biasanya sejauh ini ia hanya diam-diam saja. Sangat memusingkan
Langkah Shaka terus menaiki tangga hingga masuk kedalam kamar dan melepas tas juga kaca mata dan jaket lalu masuk kamar mandi.
***
Di kamar dengan ruangan sempit dan tak terlalu banyak barang atau prabotan kecil besar.
Miria menatap cermin didepannya duduk di lantai dan terus memandangi wajahnya sejenak ia kesal dengan keadaan dimana Shaka yang tidak waras atau ia sedang berhalusinasi mana bisa ia di hari pertama bekerja diajak menikah dan ini pun ia sudah membuat maslah dengan membuat Shaka malu melempar apron masak ke wajah Shaka.
Tapi, bukan salahnya lah.
Miria juga kan, karena kesal dengan Shaka yang tiba-tiba tidak ada banjir bandang bahkan pengungsian di dataran tinggi ia bicara seperti ada tsunami besok.
Dasar lelaki gila!
Langkah kaki dari luar kamar Membuat Miria sedikit terdiam dan menatap pintu kamarnya perlahan hingga tiba-tiba terbuka dan adik laki-laki nya yang datang dan terkekeh karena ia hampir kaget dengan bayangan yang tidak-tidak.
"Kak aku mau makan telur bulat di balado bisa kah?" Miria tersenyum pada Ciko adik laki-lakinya yang baru saja menikmati masa sekolah dasarnya.
"Iya sebentar aku buatkan dan kamu tanya ayah mau makan dengan apa aku akan keluar cari sayuran sekalian dan ya seperti biasa aku akan menginap di rumah sakit kamu jangan begadang ya. Dan seperti biasa..."
"Kalo ayah tidur aku juga ikut tidur saja dari pada aku kesiangan berangkat sekolahnya."
Miria terkekeh dengan ucapan adiknya melanjutkan ucapannya.
Miria keluar kamar, berbalik badan menutup dan mengunci pintunya seketika Miria kembali memudarkan senyumannya saat sang adik menjauh.
Bagaimana ini ia belum mendapatkan tambahannya apa ia harus mencari pekerjaan yang lainnya.
Klunting!
Seketika notif pesan dari nomor tak di simpan, ini nomor orang asing.
"Kau datang lagi lah, bekerja seperti biasa aku akan anggap kau dan aku tak melakukan apapun kemarin dan tentang apron masak kau lempar padaku, aku akan lupakan! Dan aku juga pura-pura tak mengenalmu lagi, jika ada yang bertanya abaikan dan bekerja saja."
Tuhkan ini pasti Shaka laki-laki ini aneh dan pasti ia menggunakan nomor lain nomor barunya sudah Miria belokir masalahnya.
"Dasar bos dan temen aneh!"
Eh.. kapan Miria menganggapnya teman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments