Jodoh Sang CEO Muda

Jodoh Sang CEO Muda

Awal Segalanya

Sebuah jam beker sudah berbunyi berkali-kali, tetapi suara kerasnya tidak mampu membangunkan seorang Letha dari tidurnya. Dia tampak masih betah dalam balutan selimut, suara ketukan di pintu pun tidak membuatnya terganggu.

Anggun, ibunya Letha masuk tanpa izin si empunya kamar, tampak kepalanya geleng-geleng. Kakinya terus melangkah, dibukanya gorden kamar yang menampakan langit yang mulai terang. Tangannya membelai lembut rambut Letha yang masih bergumul dalam balutan selimut.

"Bangun, Nak! Ini sudah siang. Mau sampai kapan kamu tidur? Kamu punya kewajiban sebagai umat muslim," ucap Anggun lembut.

"Nanti aja, Bu. Aku masih ngantuk," jawab Letha dengan suara khas orang bangun tidur.

"Kamu belum salat Subuh, Nak. Anak gadis bangunnya, kok, siang, sih?" ucapnya kembali, berusaha membangunkan putrinya.

Bukannya bangun, Letha malah makin membelitkan tubuhnya di balik selimut. Suara ibunya diabaikan.

"Bagaimana?"

Tidak lama, Bagas masuk menyusul ke dalam kamar. Dia tampak geleng-geleng kepala, tetapi ada senyum simpul terukir dari wajahnya.

"Biar Ayah yang bangunkan, Ibu siapkan saja sarapan," ucapnya tak kalah lembut.

Tidak menunggu lama, Anggun keluar. Dia menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga.

Sementara di kamar, Bagas membelai kepala putrinya yang semakin menggulung tubuhnya di balik selimut. Suaranya lembut penuh kasih sayang.

"Nak, ayo bangun! Salat dulu, keburu siang. Kalau kamu lalai dengan ibadahmu, bagaimana kamu bisa mendoakan Ayah jika suatu hari nanti Ayah pergi?" Mendengar kata-kata itu, sontak Letha bangun, matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa yang Ayah katakan? Ayah gak akan kemana-mana," rengek Letha dengan air mata yang tidak bisa dibendung lagi.

"Tak ada yang tahu kapan kita akan pergi, umur semua orang rahasia Tuhan. Entah Ayah dulu atau Ibu bahkan bisa jadi kamu duluan yang pergi. Selagi kita memiliki waktu, jangan pernah menyianyiakannya."

Arletha Maheswari Natakusuma, seorang putri dari pasangan Bagaskara Natakusuma dan Anggun Maheswari. Pewaris tunggal Natakusuma Group yang bergerak dibidang perhotelan. Saat usia Arletha lima tahun, Anggun harus merelakan rahimnya diangkat karena suatu penyakit. Kesempatan memiliki keturunan lagi hanya memjadi mimpi belaka. Mereka harus puas hanya memiliki satu anak.

Selain kasih sayang yang melimpah, Arletha juga dimanjakan dengan segala fasilitas yang serba mewah. Tidak heran jika dia tumbuh menjadi gadis manja.

"Ayo, sekarang kamu lekas ke kamar mandi. Waktu sudah mulai siang, nanti kamu terlambat salat Subuh," ucap Bagas sebelum keluar dari kamar sang putri.

Keluarga kecil yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Arletha memang manja, tetapi dia anak yang baik. Dia tidak pernah memandang hina orang yang tingkat ekonominya berada di bawah. Terbukti dari semua sahabatnya yang kebanyakan anak-anak orang tidak mampu.

"Pagi, Yah, Bu," sapa Letha saat dia sudah bergabung di meja makan.

"Kamu sebulan lagi ujian, Nak. Jangan begadang terus. Di saat kamu ujian, film yang kamu tonton gak bisa bantu kamu mengerjakan tugas. Film juga gak bisa bantu kamu di akhirat kelak karena kamu telah lalai dalam ibadahmu." Bagas berucap sebelum mereka memulai sarapan.

Letha hanya mengangguk sambil tersenyum, tangannya mengacungkan ibu jari. Menyetujui perintah sang ayah.

"Kamu juga jangan terus manjain Letha, Yah. Dia itu gak mau denger omongan Ibu," keluh Anggun pada sang suami.

"Ayah gak manjain Letha, Ayah cuma berusaha memberikan apa yang dia minta, itu juga kalau Ayah mampu," kilahnya pada sang istri. Selalu itu yang Bagas ucapkan kala Anggun protes pada sang suami yang selalu memanjakan anak semata wayang mereka.

"Tapi, Yah, gak setiap yang Letha minta harus dipenuhi. Belikan yang Letha butuhkan, bukan yang Letha inginkan. Nanti dia jadi anak yang boros." Anggun tidak mau berhenti protes atas sikap sang suami.

Perdebatan-perdebatan kecil menjadi warna kehidupan keluarga Natakusuma, tetapi itu tidak pernah menjadi pemecah keharmonisan keluarga kecil itu.

"Mumpung Ayah masih ada, Bu. Kalau Ayah gak ada, siapa coba yang mau manjain Letha?" ucap Bagas di sela-sela suapannya.

"Ayah bicara apa? Emang Ayah mau pergi ke mana? Kalau Ayah pergi, Ibu mau ikut." Itulah Anggun, tidak pernah mau berjauhan dari sang suami, rasa takut kehilangan membuatnya tidak lepas dari Bagas.

Hidup sebatang kara sedari kecil, dibesarkan di panti asuhan dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Begitulah kehidupan Bagas dan Anggun dulu. Mereka hanya anak yatim yang hidup berdesakan di panti asuhan. Saling menyayangi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumah tangga. Usia mereka terpaut sepuluh tahun.

"Tau, nih, Ayah. Dari tadi yang dibicarakan cuma pergi, pergi, dan pergi." Letha ikut protes dengan mengerucutkan bibirnya. Sedikit kesal dengan sang ayah yang terus membahas masalah pergi.

"Ayah selesai sarapan, kamu mau bareng?" Bagas berdiri dari kursinya sambil melirik Letha yang menyuapkan sarapan terakhirnya.

"Letha juga udah. Ayo!" Letha ikut berdiri. Dia mencium punggung tangan sang ibu kemudian mencium pipi kiri dan kanan.

Anggun ikut berjalan keluar, mengantar suami dan putrinya pergi. Ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya, rasa tidak ingin berpisah, rasa takut kehilangan.

"Baik-baik di rumah. Ibu juga jangan marahi terus Letha. Jika Ayah tak ada di rumah, jaga putri kita." Ucapan sang suami semakin membuatnya tidak karuan, pikiran-pikiran aneh memenuhi kepalanya. Sebisa mungkin dia menghilangkan pikiran buruk itu, diterbitkannya senyuman indah untuk melepas sang suami pergi.

Bagas mengecup lembut kening sang istri, cukup lama mereka saling meresapi perasaan yang saling tidak mau terpisahkan. Mata keduanya saling terpejam.

"Yah, ayo!" teriak Letha membuyarkan keromantisan dua manusia yang sudah tidak muda lagi itu. Mereka tersadar sudah mengabaikan anak semata wayangnya.

"Ambil foto dulu, yuk!" ajak Bagas setelah melepaskan kecupannya dari sang istri.

Letha mengeluarkan ponsel mewah miliknya, hadiah ulang tahun bulan kemarin dari sang ayah.

Beberapa foto dengan gaya yang berbeda sudah tersimpan manis di memori ponsel Letha. Setelah puas berfoto, dia masukan kembali ponsel ke dalam tas, lalu melangkah ke arah parkiran dan mengekori sang ayah.

Selepas kepergian sang suami, Anggun lagi-lagi diterpa kecemasan. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada apa dengan hatinya? Dia pun tidak tahu.

Sementara di mobil, Letha tengah bergelayut manja di tangan kekar Bagas. Bibirnya tak lepas menerbitkan senyuman indahnya. Bagas juga tak henti menghujani Letha dengan ciuman di puncak kepalanya.

"Nak, jika Ayah gak ada, kamu harus jaga Ibu. Buat Ibu nyaman meski Ayah tak di samping kalian. Kamu juga harus patuh pada semua perintahnya. Ingat, surga anak itu di bawah telapak kaki ibunya." Pesan Bagas pada Letha. Dia kecup puncak kepala putrinya.

Arletha mengangguk setuju, meskipun tidak yakin bisa memenuhi pesan ayahnya. Pikiran wanita itu belum begitu dewasa. Bermain dan bersenang-senang adalah hal pertama yang ingin Letha lakukan.

"Langsung pulang, ya! Ayah sepertinya gak bisa jemput kamu," pesan Bagas sebelum pergi. Arletha mengangguk setuju.

Arletha pun masuk dan menemui kelima sahabatnya. Geng rusuh adalah panggilan semua temannya pada mereka. Di mana ada mereka, pasti ada kerusuhan juga kehebohan di dalamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!