Bendera kuning dipasang di pagar sebuah rumah mewah. Orang-orang berdatangan dengan memakai pakaian berwarna hitam, tanda mereka tengah berkabung. Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar dari beberapa orang yang duduk di depan jasad yang sudah tertutup kain kafan. Suara isak tangis dan jeritan memilukan terdengar jelas dari bibir seorang gadis belia, dia adalah Letha. Letha tengah menangisi kepergian sang ayah, sementara Anggun berada di kamarnya. Berkali-kali dia jatuh pingsan karena tidak kuasa menerima kenyataan suami yang sangat dia cintai itu kini telah terbujur kaku berbungkuskan kain kafan.
Ya, Bagaskara Natakusuma pergi untuk selamanya. Serangan jantung menjadi pemicu dia kehilangan nyawanya. Rupanya inilah firasat buruk yang dirasakan Anggun sedari pagi. Tidak mau jauh dari sang suami dan takut kehilangan sang suami. Apa yang diucapkan suaminya tadi pagi adalah wasiat, amanat terakhir darinya.
Setelah mendapat kabar buruk dari kepala sekolahnya, Letha langsung pulang dengan mobil jemputan. Bagai disambar petir di siang bolong, itulah yang Letha rasakan. Kakinya mendadak lemas kala dia sampai di pintu rumah. Dia bahkan harus dibopong beberapa orang pelayat pria.
"Ayah! Letha mau ikut ayah. Jangan tinggalkan Letha!" Jeritan Letha yang begitu menyayat, membuat semua orang tampak iba pada gadis belia itu. Tubuhnya dalam rengkuhan sang asisten rumah tangga. Bibi Romlah namanya. Tangannya tidak henti mengusap kepala anak majikannya itu sembari membimbing Letha untuk beristighfar dan melantunkan ayat-ayat suci.
Tepat jam empat sore, jenazah Bagas selesai dikebumikan. Hanya Letha yang ikut mengantarkan jenazah sang ayah sampai ke peristirahatannya yang terakhir. Anggun belum sadarkan diri setelah berkali-kali hilang kesadarannya.
Menjelang malam, terdengar teriakan dari arah kamar utama. Anggun baru tersadar. Dia tidak mendapati suaminya, hanya Letha dan Bibi Romlah yang berada di kamar utama menemani Anggun.
Sebisa mungkin Letha menenangkan sang ibu. Dia memeluk ibunya. Air mata tidak berhenti jatuh dari keduanya. Isak tangis menjadi pengiring kepiluan atas kepergian sang Raja di rumah itu.
Seminggu berlalu, suasana berkabung masih terasa kental di rumah mewah itu. Hari-hari terasa begitu berbeda tanpa kehadiran Bagas. Tawa juga senyum pria berlesung pipi itu kini tidak akan terlihat lagi.
Sebuah ketukan pintu terdengar jelas, Bi Romlah yang berada tidak jauh dari pintu utama segera membuka pintu.
Tampak dua orang pria bertubuh tegap tengah berdiri menjulang di hadapan Bi Romlah. Tubuhnya dibalut kemeja putih dan jas. Sebuah dasi melingkar rapi di leher keduanya. Salah satunya tidak asing di mata Bi Romlah. Dia adalah Pak Agung, pengacara keluarga Bagas.
"Ibu ada, Bi?" tanya Agung pada Bi Romlah.
"Ada, Pak. Silahkan masuk! Saya panggilkan Ibu dulu," ucap Bi Romlah sambil pamit.
Setelah beberapa saat, Anggun menghampiri tamunya. Wajahnya masih menampakkan kesedihan, ada lingkar hitam dibagian matanya. Terlihat jelas bahwa dia kehilangan waktu tidurnya. Tidak lama, Letha juga ikut bergabung dan duduk di samping sang ibu.
"Maaf, Bu. Saya datang tanpa memberi kabar dulu. Ada hal yang cukup urgent yang harus saya sampaikan." Tampak wajah Agung begitu serius. Anggun dan Letha saling pandang dan saling tanya lewat isyarat.
"Kami masih berkabung. Apa tidak bisa ditunda dulu? Atau Pak Agung yang handle?" ucap Anggun.
"Ini sangat penting, Bu. Ini tentang perusahaan." Agung menjeda kata-katanya.
"Kini perusahaan peninggalan almarhum Pak Bagas beralih kepemilikan," sambung Agung. Tampak wajah kaget di kedua wanita yang kini masih berkabung itu.
"Maksud Pak Agung apa? Beralih bagaimana?" tanya Anggun tidak mengerti.
"Saya juga tidak mengerti bagaimana ceritanya, tapi semua berkas perusahaan dipegang orang lain. Di sana juga ada tanda tangan Bapak yang menyatakan perusahaan kini milik Pak Subagja, pegawai Bapak yang menjabat sebagai manajer di kantor," jelas Agung.
"Hari ini juga Ibu diminta meninggalkan rumah ini dan semua fasilitas yang ada karena semuanya sudah beralih kepemilikan," lanjut Agung.
Agung tidak tega sebenarnya menyampaikan masalah itu, tetapi akan jauh lebih tidak tega lagi jika melihat mereka diusir secara paksa oleh orang suruhan Subagja.
"Apa separah itu? Apa perusahaan punya hutang? Dan ke mana kami harus pergi?" Pecahlah sudah tangis Anggun, semua terasa seperti mimpi buruk. Perusahaan yang dibangun sang suami dari nol kini harus beralih kepemilikan.
"Kami sedang menyelidiki semuanya. Perusahaan selama ini baik-baik saja. Saya yakin ada kecurangan di sini. Saya yakin ini juga ada hubungannya dengan kematian Pak Bagas," jelas pria yang ada di samping Agung, Anton namanya. Dia juga sahabat baik Bagas, seorang intel yang selalu membantu Bagas kalau dalam masalah.
Letha hanya diam, tatapannya kosong tidak terbaca. Tidak ada air mata, hanya kepiluan yang terlihat. Tangannya terkepal kuat, hingga kukunya melukai telapak tangan.
Selepas kepergian Agung dan Anton, dengan dibantu Bi Romlah mereka berkemas. Hanya pakaian yang mereka bawa, tidak ada harta yang bisa mereka bawa. Semua tabungan sudah dibekukan. Mungkin yang tersisa hanya uang gaji para pekerja yang seharusnya minggu lalu diberikan.
Anggun tidak henti-hentinya menangis, bukan karena harta yang dia pikirkan, tetapi nasib yang akan membawa dia dan putrinya tanpa Bagas di sampingnya.
"Nak, kamu sudah siap?" Anggun masuk ke dalam kamar Letha, tetapi dia tidak melihat keberadaan putrinya. Suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi. Anggun mendekat dan mengetuk pintu kamar. Tidak lama Letha keluar, dia hanya diam tidak bersuara.
Semua pekerja sudah berjajar rapi, Anggun akan berpamitan. Tampak wajah-wajah sedih para pegawai.
"Maafkan keluarga kami jika ada kesalahan yang membuat kalian sakit hati. Maaf, saya tak bisa mempekerjakan kalian lagi. Semua harta peninggalan suami saya sudah berpindah tangan termasuk rumah ini dan semua isinya. Ini gaji terakhir kalian, maaf saya tak bisa memberi kalian pesangon," ucap Anggun dengan air mata yang menetes.
Anggun mendatangi para pegawai, dia menyerahkan amplop coklat dan menyalami semua pegawai dan tak henti-hentinya meminta maaf.
"Setelah ini, Ibu mau ke mana? " tanya Agus, supir Bagas.
"Saya tidak tahu. Pak Agus tahu sendiri saya dan almarhum Bapak hidup sebatang kara. Mungkin, kami akan mencari kontrakan dan memulainya dari awal." Anggun mengusap kepala putrinya.
"Saya akan ikut Ibu kemanapun Ibu pergi. Gak digaji juga gak apa-apa." Bi Romlah ikut berbicara. Sebagai pekerja paling lama, tentulah Bi Romlah tahu bagaimana baiknya keluarga Bagas selama ini.
"Gaji saya buat tambah-tambah Ibu cari rumah. Saya sendiri yang akan mencarikan rumah untuk Ibu," ucap Agus sambil menyerahkan amplop yang diberikan Anggun tadi.
Tanpa diperintah, pegawai yang lain ikut memberikan amplop mereka pada Anggun. Mereka rela tidak mendapatkan gaji terakhir demi rasa terima kasih mereka pada kebaikan Bagas semasa hidup. Pegawai yang berjumlah tujuh orang itu memiliki riwayat masa lalu yang kelam. Bagas yang membawa mereka satu persatu pada jalan yang benar, membimbing mereka dan memberikan pekerjaan juga tempat tinggal yang layak.
Anggun hanya bisa menangis saat semua amplop milik pegawainya kini berada di tangannya. Kebaikan yang suaminya berikan pada mereka, kini Anggun mendapatkan balasannya.
"Carilah pekerjaan yang halal. Jika kita berjodoh, Tuhan pasti mempertemukan kita kembali. Mudah-mudahan kita bertemu dalam suasana yang baik. Saya akan anggap ini hutang, suatu hari nanti saya akan menggantinya," ucap Anggun sambil menerima amplop coklat dari para pekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments