Calon Suami

Letha yang tengah minum susu tersedak dan menyemburkan minumannya saat mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya. Ale segera meraih tisu dan memberikannya pada Letha, dengan sigap dia juga mengambil air putih yang ada di meja dan menyerahkannya pada wanita itu.

"Kamu, gak, papa? Kok, bisa kamu tersedak gitu?" Anggun menepuk pundak Letha, mencoba meredakan batuknya. Letha hanya menggeleng sambil meneguk air yang tadi diberikan Ale.

"Seriusan, kamu pernah bilang gitu sama Ibu?" Seolah tidak mengerti situasi, Beno malah bertanya lagi, membuat Letha merasa geram.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Ale jadi salah tingkah. Dia masih mengingat waktu itu, waktu di mana Ale kecil mengutarakan niatnya melamar Letha pada Anggun .

("Kak Letha, cantik. Nanti, kalau aku kembali dari Paris, aku akan menjadikan Kak Letha istriku.")

Sungguh menggelikan, tetapi Ale serius dengan ucapannya. Selama di Paris dia tidak tergoda untuk mencari pacar. Bayangan Letha selalu memenuhi pikirannya.

"Jangan ngaco! Kalian itu masih bau kencur, udah ngomongin menikah," ucap Letha sambil berlalu. Dia tidak habis pikir, anak yang dia panggil bau kencur itu berniat memperistri dirinya. Aneh-aneh saja pikirnya.

Entah apa yang Letha rasakan, tapi jantungnya mendadak berdetak tidak karuan. Ada rasa aneh yang tengah menyelimutinya. Entah rasa apa itu, dia pun tidak tahu.

Waktu beranjak malam, entah mengapa Letha sulit sekali memejamkan matanya. Apa yang dikatakan sang ibu tentang niat Ale terus terngiang di telinganya.

"Dasar, Bocah Tengil! Gara-gara kamu aku jadi gak bisa tidur. Aaahh!"

Sementara di kamar Beno, tampak Ale sudah terlelap ke alam mimpi. Dia memutuskan menginap karena ingin menenangkan pikirannya. Keluarga besarnya menuntut Ale untuk belajar bisnis meneruskan usaha keluarganya, tetapi Ale lebih tertarik pada dunia seni. Menjadi seorang pelukis adalah tujuan hidupnya.

Sementara di kediaman Brata tengah terjadi keributan, sang anak yang dinanti kedatangannya dari siang belum juga sampai. Tampak kecemasan di setiap wajah, takut sesuatu terjadi pada sang penerus tahta.

"Lapor, Pak. Tuan muda sudah sampai dengan selamat dan sekarang Tuan Muda menginap di rumah kawannya." Lapor sang ajudan. Tampak semua orang menghela napas lega.

"Anakmu itu, selalu saja membuat kita jantungan," ucap Alvonso.

"Dia juga anakmu. Keras kepala dan pembangkangnya, kan, menurun darimu." Sang istri tidak mau kalah karena faktanya memang sifat sang anak menurun dari sang suami.

"Ayo sayang, kita ke kamar. Buat adik untuk Saka, yang ini kita buat mirip kamu." Bujuk Alvonso dengan memasang wajah mesumannya. Rasmina hanya menanggapi tingkah suaminya dengan acuh.

Sementara di sebuah kamar kecil dan gelap, seorang wanita terdengar tengah menangis pilu. Sedari siang hari sang mertua terus saja menyiksanya. Alasannya karena menantunya belum juga hamil. Tiga tahun sudah dia menikah, tapi Tuhan belum memberi kepercayaan untuknya memiliki keturunan. Sang suami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa dipungkiri hati kecilnya juga mengharapkan kehadiran anak.

Wanita itu adalah Arneta Wihelmina Brata. Anak pertama dari pasangan Alvonso Brata dan Rasmina Erlitha. Kakak kandung Alehandro Saka Brata.

"Ceraikan aku, Mas! Aku tidak kuat kalau hidup penuh siksaan seperti ini. Setelah kita bercerai, kamu bisa menikah dengan wanita manapun yang kamu mau," pinta Neta lirih. Suaranya bergetar dengan derai air mata sebagai pengiring.

"Aku tidak bisa. Aku mencintaimu, Neta. Hanya kamu wanita yang aku cintai," tolak Rona Senjaya, suaminya Neta.

"Kalau kamu cinta, kamu pasti bela aku. Bukan terus diam saat ibumu menyalahkanku karena ketidakberdayaanku." Itulah Rona, dia begitu tunduk dengan apa yang dikatakan ibunya. Dia hanya bisa diam saja saat Neta dicaci maki sang ibu. Pengecut memang, dan Neta begitu menyayangkan sikap suaminya itu.

*****

Pagi-pagi, Letha sudah terbangun. Dia hendak menyiapkan sarapan pagi. Hari ini Anggun dan Marni pergi ke rumah makan lebih awal. Mereka mendapat pesanan untuk acara pernikahan, sedari pagi buta mereka sudah pergi.

Letha terlonjak kaget saat dia melihat seseorang tengah memasak. Dia tidak bisa melihat dengan jelas siapa itu karena hanya punggungnya yang terlihat.

"Selamat pagi, Bidadariku. Ada yang bisa aku bantu?" sapa Ale. Ya, orang yang berada di dapur itu adalah Ale. Dia tengah membuat nasi goreng untuk sarapan.

"Ck!" Letha hanya berdecak kesal. Rencananya membuat sarapan gagal total karena tamu Beno mendahuluinya. Sungguh tamu tidak berakhlak pikirnya.

Letha memilih kembali ke kamarnya untuk siap-siap pergi ke kantor, hari ini dia ada rapat penting dan harus pergi lebih awal.

Penampilan Letha selalu perpect. Rambut panjangnya selalu dia ikat ekor kuda dengan poni menutupi keningnya. Satu ciri khas seorang Letha, dia selalu memakai celana panjang. Belum pernah sekalipun dia memakai rok saat pergi ke kantor. Walaupun begitu, dia tetap terlihat memukau.

"Ayo, sarapan dulu, Kak. Ale tadi bikin nasi goreng, dari baunya kayaknya enak, nih," ajak Beno saat Letha lewat hendak pergi ke kantor.

"Males! Kamu aja. Kakak gak yakin kalau makanan itu steril. Yang ada nanti Kakak sakit perut," tolak Letha ketus dan jutek. Sementara Ale hanya bersikap santai dengan terus mengumbar senyumnya.

"Tapi, Kak ...." Ucapan Beno hanya menggantung, Letha berlalu begitu saja.

"Gimana, nih? Kakak pasti lupa sarapan," gumam Beno yang masih bisa didengar Ale.

"Kenapa, Ben?" tanya Ale heran.

"Kak Letha itu gak bisa melewatkan sarapannya, penyakit mag-nya pasti kambuh. Terakhir Kakak sampai harus dirawat karena melupakan sarapan. Kalau sudah di kantor dia akan melupakan segalanya," terang Beno cemas. Meski bukan kakak kandungnya, dia begitu menyayangi sosok Letha.

"Antarkan saja sarapannya ke kantor," usul Ale.

"Kamu tahu, kan, pagi ini aku harus menemui dosen. Bisa gak lulus kalau aku gak setor tugas." Beno menekuk mukanya, dia bingung sendiri.

"Biar aku aja yang antar. Di mana Kak Letha kerja?"

"Perusahaan AB Group."

****

Letha baru saja sampai di ruangannya. Dia tampak menghela napas panjang. Hari ini dia cukup kesal dengan ulah tamu Beno. Entah mengapa, bawaannya ingin marah saja kalau mengingat apa yang dibicarakan kemarin antara Ale dan ibunya.

"Ada apa? Pagi-pagi wajah udah ditekuk aja?" Angga masuk tanpa mengetuk pintu, dia langsung duduk berhadapan dengan Letha yang hanya terhalang meja.

"Percaya, gak? Saat kita baru lulus SMA, ada anak bau kencur yang bilang mau melamar aku jadi istrinya sepulang dia dari Paris dan sekarang dia sudah kembali." Angga tertawa dengan lepas membuat Letha merasa kesal.

"Bau kencur?" tanya Angga tidak paham.

"Usia kita beda tujuh tahunan. Konyol. Gara-gara dia, hari ini aku melewatkan sarapan. Aku gak mau sakit perut karena makan makanan buatan dia." Entah mengapa Angga melihat Letha begitu berbeda, tidak seperti Letha yang biasa. Dia memang terlihat kesal, tetapi ada yang aneh dan Angga tidak tahu itu apa.

"Dia bilang sendiri?" tanya Angga.

"Enggak, sih. Tapi dia bilang gitu sama Ibu," jawab Letha.

"Lupakan soal anak bau kencur itu, kita fokus dulu sama rapat. Ada waktu tiga puluh menit lagi buat kamu sarapan, aku gak mau kamu sakit lagi karena melewatkan sarapan." Angga mengingatkan Letha.

"Ok. Aku ke toilet dulu, kamu temenin aku sarapan," ucap Letha sambil berlalu.

Ruang kantor Letha sangat nyaman, segala fasilitas semua tersedia. Dari mulai kamar istirahat, tempat membuat kopi dan toilet.

Tidak lama, pintu ruangan Letha diketuk.

"Maaf, Pak Angga. Ada tamu untuk Bu Letha mengantarkan sarapannya." Angga mengernyitkan alisnya, tampak berpikir. Tidak lama dia mengizinkan tamunya Letha masuk.

"Maaf, Pak. Saya mengantarkan sarapan untuk Kak Letha." Seorang pria muda tampak membungkukkan wajahnya setelah dia membuka topi yang menutupi kepalanya.

"Biar aku berikan nanti," ucap Angga sambil hendak meraih kotak makan.

"Maaf, Pak. Tapi saya sendiri yang harus menyerahkan makanan ini. Saya juga harus memastikan Kak Letha memakannya," ucap pria muda itu yang tidak lain adalah Ale. Dia memegang kuat kotak makan itu. Angga melihat Ale dengan sorot mata menyelidik, dia mencurigai sesuatu. Wajah Ale tidak asing di matanya.

"Kamu siapa? Kenapa harus kamu yang menyerahkannya? Aku sahabatnya, biar ...."

"Tapi saya calon suaminya."

Bugh!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!