Kabar Buruk

"Letha! Cepetan, dong!" teriak Sarah sahabat Letha.

Hari ini hari kelulusan di sekolah Letha, dia dan lima sahabatnya hendak pergi untuk merayakan. Setelah kepergian sang ayah, Letha berubah menjadi gadis yang sulit diatur dan urakan. Di rumah dia seperti anak rumahan yang manis dan pendiam, tetapi saat di luar dia akan berubah sebaliknya. Selama tiga tahun di sekolah menengah atas, entah berapa kali Anggun dipanggil pihak sekolah karena kenakalannya.

Meskipun nakal, Letha tetap menjadi juara kelas. Dia juga banyak menyumbang piala dan medali untuk sekolah saat dia mengikuti beberapa ajang bakat yang mewakili sekolah.

Hari ini jalanan dipenuhi arak-arakan anak sekolah yang tengah merayakan kelulusan. Suara bising knalpot motor terdengar memekakkan telinga. Kemacetan terjadi di mana-mana. Sungguh perbuatan yang tidak patut dicontoh dan sangat merugikan orang lain.

Kondisi jalanan semakin tidak kondusif, pengendara sepeda motor seenaknya melaju di jalur yang salah. Mereka tidak memperdulikan keselamatan, sebagian motor ada yang melawan arus.

Letha terpisah dari para sahabatnya, kebetulan dia hanya sendirian di atas motornya. Saat matanya sibuk mencari keberadaan para sahabatnya, dari arah berlawanan datang motor yang melaju kencang. Letha kehilangan keseimbangan dan motornya lepas kendali. Dia menabrak pengguna motor di depannya.

Duaaar!

Tidak lama terdengar suara keras, terjadi tabrakan antara dua motor yang berlainan arah. Terlihat motor yang dinaiki Letha yang mengalami kecelakaan. Letha terjatuh dan membentur trotoar.

"Letha!" teriak Sarah saat melihat sahabatnya terjatuh dari motor. Terlihat darah menutupi sebagian kepala Letha. Sarah langsung menghentikan laju motornya, dia parkirkan motor dengan sembarangan.

"Letha! Bangun! Jangan tinggalin kita. Bangun, Let!" teriak Sarah sambil menepuk pipi Letha.

"Aku udah panggil ambulans, mereka lagi di jalan," teriak Angga salah satu sahabat Letha yang lain.

Tidak lama, dua mobil ambulans datang. Dua korban kecelakaan itu terlihat tidak sadarkan diri. Mobil ambulans membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Beberapa motor terlihat mengikuti laju mobil, mereka adalah sahabatnya Letha.

Sarah tampak ragu memberitahukan Anggun, ibunya Letha. Berkali-kali dia menekan nomor Anggun lalu dia urungkan.

"Sar, kamu ngapain bengong? Cepetan telpon! Gue takut Letha kenapa-napa. Kita harus kasih tahu Tante Anggun keadaan Letha," ucap Marta.

Tepat di depan pintu ruang IGD, berdiri lima orang anak muda berseragam SMA yang sudah penuh dengan coretan di sana-sini. Mereka adalah Sarah, Angga, Marta, Danu dan Rizal, sahabat baik Letha. Raut wajah mereka menampakkan kecemasan. Satu jam sudah Letha masuk IGD, belum ada satu orang pun yang keluar.

Tidak lama lampu ruang IGD padam, tampak seorang dokter keluar diikuti perawat. Mereka langsung menyerbu ke arah dokter berada.

"Gimana keadaan sahabat kami, Dok? " tanya Angga pada dokter.

"Di mana orang tua pasien?" tanya dokter.

"Masih di perjalanan, Dok. Bicara saja dengan kami dulu," ucap Angga berbohong.

"Pasien mengalami beberapa luka cukup serius di kakinya, tetapi nanti kamu akan melakukan pemeriksaan lebih dalam. Takut ada yang serius, sekarang dia sudah melewati masa kritisnya. Pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, suster akan mengantar kalian ke sana," ucap dokter sebelum berlalu dari hadapan mereka.

Di ruang perawatan, terlihat Letha sudah sadar. Perban terlihat membalut kepalanya. Ada beberapa luka di tangan dan kaki Letha.

"Hei! Gue gak papa. Kenapa wajah kalian murung gitu?" ucap Letha seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ya, ampun, Letha. Lo itu hampir kehilangan nyawa, masih saja bersikap seolah tidak terjadi apa-apa," geram Sarah penuh kesal.

"Lo gak tahu kita khawatir banget tadi. Gimana kalau lo gak tertolong?" Marta ikut-ikutan kesal.

"Kami tadi cemas liat kondisi lo, tapi kini kami bahagia lo baik-baik saja." Danu ikut bicara.

"Ibu?" tanya Letha.

"Kita gak kasih tahu, tepatnya belum kasih tahu," ucap Marta.

Belum selesai Sarah bicara, terdengar suara pintu dibuka. Tampak raut sedih penuh kecemasan di wajah seorang wanita, dia adalah Anggun.

"Letha! Kamu gak papa, 'kan? Mana yang sakit?" Terlihat jelas kecemasan di wajah Anggun. Hal itu yang tidak bisa Letha lihat di wajah sang ibu. Cukup sudah kepergian sang ayah memberi duka yang mendalam di hati ibunya. Dia tidak mau ibunya juga menangis karena dirinya.

"Ibu tahu dari mana aku di sini?" tanya Letha heran.

"Seharusnya kalian kasih tahu Tante, ini malah diem aja. Gimana kalau Letha kenapa-napa? Kalian mau tanggung jawab?" hardik Anggun. Dia menatap satu per satu sahabat Letha.

"Bu!" panggil Letha lembut

"Ibu tahu dari Marni. Dia habis nganterin catering ke kantor dekat kamu kecelakaan. Dan kalian, jangan lakukan hal ini lagi.

***

Satu minggu sudah Letha dirawat, sahabat-sahabatnya selalu datang berkunjung. Hari ini Letha akan pulang, keadaannya sudah membaik. Semua sahabat Letha sibuk membantu membereskan barang-barangnya. Sarah kebagian membantu Letha mengganti pakaian.

"Pagi, Dek," sapa dokter.

"Ibumu di mana?" tanya dokter. Matanya mencari keberadaan Anggun.

"Hari ini Ibu gak ke sini, Dok. Apa ada sesuatu dengan hasil pemeriksaan saya?" Letha melihat wajah dokter yang serius. Pagi tadi Letha baru saja melakukan pemeriksaan terakhir.

"Iya, tapi saya harus bicara dengan orang tuamu atau wali kamu." Kembali dokter bicara.

Letha yakin ada yang serius dengan hasil pemeriksaan terakhirnya. Dia tidak mau Anggun tahu dan membuatnya khawatir.

"Bicara saja dengan saya, Dok." Letha mencoba meyakinkan dokter untuk mengatakan semua padanya.

"Secara keseluruhan kondisi Dek Letha baik, cuma ...." Dokter menggantung kata-katanya.

"Cuma apa, Dok?" tanya Letha penasaran. Yang lain ikut penasaran, lalu mendekat ke arah Letha berada.

Dokter itu tampak ragu, dia menatap setiap wajah yang ada di ruangan.

"Mereka sahabat-sahabat baik saya. Bilang aja, gak papa, kok." Bisa Letha duga, ada yang serius dengan hasilnya.

"Dari hasil lab, rahim Dek Letha bermasalah. Benturan keras di area perut mengakibatkan Adek akan kesulitan untuk punya anak."

Duaar!

Bagai disambar petir di siang bolong, kabar itu sungguh menyakitkan. Usia Letha baru delapan belas tahun, masih jauh pikirannya untuk memiliki anak, tetapi kabar itu mampu meluluhlantakkan mimpinya untuk memiliki keluarga bahagia.

Matanya mulai berkaca-kaca, dia tidak mampu menahan rasa sakit saat tahu kenyataan pahit yang berimbas pada masa depannya.

"Gue gak bisa punya anak. Rahim gue!" Marta dan Sarah memeluk Letha. Mereka ikut merasakan kesedihan sahabatnya.

"Bukan gak bisa, tapi sulit. Berarti kamu masih memiliki kesempatan, sekecil apa pun itu. Kita punya Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya," ucap Angga menenangkan.

"Ini rahasia kita. Gue harap kabar ini gak sampe ke telinga nyokap gue," pinta Letha tegas.

"Tapi Tante Anggun berhak tahu kondisi lo. Dia ...." Belum selesai Marta bicara, Letha sudah memotongnya.

"Kalau kalian gak bisa menyimpannya, lupakan persahabatan kita!" sergah Letha penuh penekanan.

Semua orang tampak bengong dan saling lirik, tidak mengerti jalan pikir sahabatnya.

"Oke, kita jaga rahasia lo." Angga menyetujuinya.

"Anda juga," pinta Letha pada dokter yang masih berdiri mematung di antara para sahabat Letha.

Tidak ingin membantah, dokter pun mengangguk mengiyakan permintaan pasiennya.

Menjelang sore, Letha sudah keluar dari rumah sakit bersama para sahabatnya. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Anggun dan Bi Romlah.

"Selamat datang kembali di rumah, Nak. Maaf, Ibu tidak bisa menjemputmu," ucap Anggun dengan penuh sesal.

"Tak apa, Bu. Ada mereka, kok," balas Letha.

Setelah Anggun dan Letha meninggalkan rumah peninggalan Bagas, Asep mencarikan rumah kecil yang bisa mereka tinggali menggunakan uang gaji para pegawai ditambah hasil penjualan perhiasan yang dimiliki Anggun.

Bi Romlah dengan setia ikut ke mana pun majikannya pergi, bahkan sekarang setelah usaha catering Anggun ramai orderan, putri satu-satunya Bi Romlah pun ikut bekerja bersama Anggun. Marni, namanya.

"Wah, Kak Letha udah sehat? Maafin Beno, ya, gak sempat nengok. Lagi ujian." Seorang anak berseragam SD datang, dia adalah Beno, putra Marni, yang berarti cucunya Bi Romlah.

"Gak, papa. Lagian Kakak ada mereka, tugas kamu belajar aja yang rajin," balas Letha.

Beno tampak berdiri dengan seorang anak yang seumuran dirinya, dia tampak terkesima saat melihat kecantikan Letha.

"Cantiknya!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!