NovelToon NovelToon

Jodoh Sang CEO Muda

Awal Segalanya

Sebuah jam beker sudah berbunyi berkali-kali, tetapi suara kerasnya tidak mampu membangunkan seorang Letha dari tidurnya. Dia tampak masih betah dalam balutan selimut, suara ketukan di pintu pun tidak membuatnya terganggu.

Anggun, ibunya Letha masuk tanpa izin si empunya kamar, tampak kepalanya geleng-geleng. Kakinya terus melangkah, dibukanya gorden kamar yang menampakan langit yang mulai terang. Tangannya membelai lembut rambut Letha yang masih bergumul dalam balutan selimut.

"Bangun, Nak! Ini sudah siang. Mau sampai kapan kamu tidur? Kamu punya kewajiban sebagai umat muslim," ucap Anggun lembut.

"Nanti aja, Bu. Aku masih ngantuk," jawab Letha dengan suara khas orang bangun tidur.

"Kamu belum salat Subuh, Nak. Anak gadis bangunnya, kok, siang, sih?" ucapnya kembali, berusaha membangunkan putrinya.

Bukannya bangun, Letha malah makin membelitkan tubuhnya di balik selimut. Suara ibunya diabaikan.

"Bagaimana?"

Tidak lama, Bagas masuk menyusul ke dalam kamar. Dia tampak geleng-geleng kepala, tetapi ada senyum simpul terukir dari wajahnya.

"Biar Ayah yang bangunkan, Ibu siapkan saja sarapan," ucapnya tak kalah lembut.

Tidak menunggu lama, Anggun keluar. Dia menuju dapur dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga.

Sementara di kamar, Bagas membelai kepala putrinya yang semakin menggulung tubuhnya di balik selimut. Suaranya lembut penuh kasih sayang.

"Nak, ayo bangun! Salat dulu, keburu siang. Kalau kamu lalai dengan ibadahmu, bagaimana kamu bisa mendoakan Ayah jika suatu hari nanti Ayah pergi?" Mendengar kata-kata itu, sontak Letha bangun, matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa yang Ayah katakan? Ayah gak akan kemana-mana," rengek Letha dengan air mata yang tidak bisa dibendung lagi.

"Tak ada yang tahu kapan kita akan pergi, umur semua orang rahasia Tuhan. Entah Ayah dulu atau Ibu bahkan bisa jadi kamu duluan yang pergi. Selagi kita memiliki waktu, jangan pernah menyianyiakannya."

Arletha Maheswari Natakusuma, seorang putri dari pasangan Bagaskara Natakusuma dan Anggun Maheswari. Pewaris tunggal Natakusuma Group yang bergerak dibidang perhotelan. Saat usia Arletha lima tahun, Anggun harus merelakan rahimnya diangkat karena suatu penyakit. Kesempatan memiliki keturunan lagi hanya memjadi mimpi belaka. Mereka harus puas hanya memiliki satu anak.

Selain kasih sayang yang melimpah, Arletha juga dimanjakan dengan segala fasilitas yang serba mewah. Tidak heran jika dia tumbuh menjadi gadis manja.

"Ayo, sekarang kamu lekas ke kamar mandi. Waktu sudah mulai siang, nanti kamu terlambat salat Subuh," ucap Bagas sebelum keluar dari kamar sang putri.

Keluarga kecil yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Arletha memang manja, tetapi dia anak yang baik. Dia tidak pernah memandang hina orang yang tingkat ekonominya berada di bawah. Terbukti dari semua sahabatnya yang kebanyakan anak-anak orang tidak mampu.

"Pagi, Yah, Bu," sapa Letha saat dia sudah bergabung di meja makan.

"Kamu sebulan lagi ujian, Nak. Jangan begadang terus. Di saat kamu ujian, film yang kamu tonton gak bisa bantu kamu mengerjakan tugas. Film juga gak bisa bantu kamu di akhirat kelak karena kamu telah lalai dalam ibadahmu." Bagas berucap sebelum mereka memulai sarapan.

Letha hanya mengangguk sambil tersenyum, tangannya mengacungkan ibu jari. Menyetujui perintah sang ayah.

"Kamu juga jangan terus manjain Letha, Yah. Dia itu gak mau denger omongan Ibu," keluh Anggun pada sang suami.

"Ayah gak manjain Letha, Ayah cuma berusaha memberikan apa yang dia minta, itu juga kalau Ayah mampu," kilahnya pada sang istri. Selalu itu yang Bagas ucapkan kala Anggun protes pada sang suami yang selalu memanjakan anak semata wayang mereka.

"Tapi, Yah, gak setiap yang Letha minta harus dipenuhi. Belikan yang Letha butuhkan, bukan yang Letha inginkan. Nanti dia jadi anak yang boros." Anggun tidak mau berhenti protes atas sikap sang suami.

Perdebatan-perdebatan kecil menjadi warna kehidupan keluarga Natakusuma, tetapi itu tidak pernah menjadi pemecah keharmonisan keluarga kecil itu.

"Mumpung Ayah masih ada, Bu. Kalau Ayah gak ada, siapa coba yang mau manjain Letha?" ucap Bagas di sela-sela suapannya.

"Ayah bicara apa? Emang Ayah mau pergi ke mana? Kalau Ayah pergi, Ibu mau ikut." Itulah Anggun, tidak pernah mau berjauhan dari sang suami, rasa takut kehilangan membuatnya tidak lepas dari Bagas.

Hidup sebatang kara sedari kecil, dibesarkan di panti asuhan dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Begitulah kehidupan Bagas dan Anggun dulu. Mereka hanya anak yatim yang hidup berdesakan di panti asuhan. Saling menyayangi hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membangun rumah tangga. Usia mereka terpaut sepuluh tahun.

"Tau, nih, Ayah. Dari tadi yang dibicarakan cuma pergi, pergi, dan pergi." Letha ikut protes dengan mengerucutkan bibirnya. Sedikit kesal dengan sang ayah yang terus membahas masalah pergi.

"Ayah selesai sarapan, kamu mau bareng?" Bagas berdiri dari kursinya sambil melirik Letha yang menyuapkan sarapan terakhirnya.

"Letha juga udah. Ayo!" Letha ikut berdiri. Dia mencium punggung tangan sang ibu kemudian mencium pipi kiri dan kanan.

Anggun ikut berjalan keluar, mengantar suami dan putrinya pergi. Ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya, rasa tidak ingin berpisah, rasa takut kehilangan.

"Baik-baik di rumah. Ibu juga jangan marahi terus Letha. Jika Ayah tak ada di rumah, jaga putri kita." Ucapan sang suami semakin membuatnya tidak karuan, pikiran-pikiran aneh memenuhi kepalanya. Sebisa mungkin dia menghilangkan pikiran buruk itu, diterbitkannya senyuman indah untuk melepas sang suami pergi.

Bagas mengecup lembut kening sang istri, cukup lama mereka saling meresapi perasaan yang saling tidak mau terpisahkan. Mata keduanya saling terpejam.

"Yah, ayo!" teriak Letha membuyarkan keromantisan dua manusia yang sudah tidak muda lagi itu. Mereka tersadar sudah mengabaikan anak semata wayangnya.

"Ambil foto dulu, yuk!" ajak Bagas setelah melepaskan kecupannya dari sang istri.

Letha mengeluarkan ponsel mewah miliknya, hadiah ulang tahun bulan kemarin dari sang ayah.

Beberapa foto dengan gaya yang berbeda sudah tersimpan manis di memori ponsel Letha. Setelah puas berfoto, dia masukan kembali ponsel ke dalam tas, lalu melangkah ke arah parkiran dan mengekori sang ayah.

Selepas kepergian sang suami, Anggun lagi-lagi diterpa kecemasan. Dia merasakan sesuatu yang aneh. Ada apa dengan hatinya? Dia pun tidak tahu.

Sementara di mobil, Letha tengah bergelayut manja di tangan kekar Bagas. Bibirnya tak lepas menerbitkan senyuman indahnya. Bagas juga tak henti menghujani Letha dengan ciuman di puncak kepalanya.

"Nak, jika Ayah gak ada, kamu harus jaga Ibu. Buat Ibu nyaman meski Ayah tak di samping kalian. Kamu juga harus patuh pada semua perintahnya. Ingat, surga anak itu di bawah telapak kaki ibunya." Pesan Bagas pada Letha. Dia kecup puncak kepala putrinya.

Arletha mengangguk setuju, meskipun tidak yakin bisa memenuhi pesan ayahnya. Pikiran wanita itu belum begitu dewasa. Bermain dan bersenang-senang adalah hal pertama yang ingin Letha lakukan.

"Langsung pulang, ya! Ayah sepertinya gak bisa jemput kamu," pesan Bagas sebelum pergi. Arletha mengangguk setuju.

Arletha pun masuk dan menemui kelima sahabatnya. Geng rusuh adalah panggilan semua temannya pada mereka. Di mana ada mereka, pasti ada kerusuhan juga kehebohan di dalamnya.

Duka Mendalam

Bendera kuning dipasang di pagar sebuah rumah mewah. Orang-orang berdatangan dengan memakai pakaian berwarna hitam, tanda mereka tengah berkabung. Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar dari beberapa orang yang duduk di depan jasad yang sudah tertutup kain kafan. Suara isak tangis dan jeritan memilukan terdengar jelas dari bibir seorang gadis belia, dia adalah Letha. Letha tengah menangisi kepergian sang ayah, sementara Anggun berada di kamarnya. Berkali-kali dia jatuh pingsan karena tidak kuasa menerima kenyataan suami yang sangat dia cintai itu kini telah terbujur kaku berbungkuskan kain kafan.

Ya, Bagaskara Natakusuma pergi untuk selamanya. Serangan jantung menjadi pemicu dia kehilangan nyawanya. Rupanya inilah firasat buruk yang dirasakan Anggun sedari pagi. Tidak mau jauh dari sang suami dan takut kehilangan sang suami. Apa yang diucapkan suaminya tadi pagi adalah wasiat, amanat terakhir darinya.

Setelah mendapat kabar buruk dari kepala sekolahnya, Letha langsung pulang dengan mobil jemputan. Bagai disambar petir di siang bolong, itulah yang Letha rasakan. Kakinya mendadak lemas kala dia sampai di pintu rumah. Dia bahkan harus dibopong beberapa orang pelayat pria.

"Ayah! Letha mau ikut ayah. Jangan tinggalkan Letha!" Jeritan Letha yang begitu menyayat, membuat semua orang tampak iba pada gadis belia itu. Tubuhnya dalam rengkuhan sang asisten rumah tangga. Bibi Romlah namanya. Tangannya tidak henti mengusap kepala anak majikannya itu sembari membimbing Letha untuk beristighfar dan melantunkan ayat-ayat suci.

Tepat jam empat sore, jenazah Bagas selesai dikebumikan. Hanya Letha yang ikut mengantarkan jenazah sang ayah sampai ke peristirahatannya yang terakhir. Anggun belum sadarkan diri setelah berkali-kali hilang kesadarannya.

Menjelang malam, terdengar teriakan dari arah kamar utama. Anggun baru tersadar. Dia tidak mendapati suaminya, hanya Letha dan Bibi Romlah yang berada di kamar utama menemani Anggun.

Sebisa mungkin Letha menenangkan sang ibu. Dia memeluk ibunya. Air mata tidak berhenti jatuh dari keduanya. Isak tangis menjadi pengiring kepiluan atas kepergian sang Raja di rumah itu.

Seminggu berlalu, suasana berkabung masih terasa kental di rumah mewah itu. Hari-hari terasa begitu berbeda tanpa kehadiran Bagas. Tawa juga senyum pria berlesung pipi itu kini tidak akan terlihat lagi.

Sebuah ketukan pintu terdengar jelas, Bi Romlah yang berada tidak jauh dari pintu utama segera membuka pintu.

Tampak dua orang pria bertubuh tegap tengah berdiri menjulang di hadapan Bi Romlah. Tubuhnya dibalut kemeja putih dan jas. Sebuah dasi melingkar rapi di leher keduanya. Salah satunya tidak asing di mata Bi Romlah. Dia adalah Pak Agung, pengacara keluarga Bagas.

"Ibu ada, Bi?" tanya Agung pada Bi Romlah.

"Ada, Pak. Silahkan masuk! Saya panggilkan Ibu dulu," ucap Bi Romlah sambil pamit.

Setelah beberapa saat, Anggun menghampiri tamunya. Wajahnya masih menampakkan kesedihan, ada lingkar hitam dibagian matanya. Terlihat jelas bahwa dia kehilangan waktu tidurnya. Tidak lama, Letha juga ikut bergabung dan duduk di samping sang ibu.

"Maaf, Bu. Saya datang tanpa memberi kabar dulu. Ada hal yang cukup urgent yang harus saya sampaikan." Tampak wajah Agung begitu serius. Anggun dan Letha saling pandang dan saling tanya lewat isyarat.

"Kami masih berkabung. Apa tidak bisa ditunda dulu? Atau Pak Agung yang handle?" ucap Anggun.

"Ini sangat penting, Bu. Ini tentang perusahaan." Agung menjeda kata-katanya.

"Kini perusahaan peninggalan almarhum Pak Bagas beralih kepemilikan," sambung Agung. Tampak wajah kaget di kedua wanita yang kini masih berkabung itu.

"Maksud Pak Agung apa? Beralih bagaimana?" tanya Anggun tidak mengerti.

"Saya juga tidak mengerti bagaimana ceritanya, tapi semua berkas perusahaan dipegang orang lain. Di sana juga ada tanda tangan Bapak yang menyatakan perusahaan kini milik Pak Subagja, pegawai Bapak yang menjabat sebagai manajer di kantor," jelas Agung.

"Hari ini juga Ibu diminta meninggalkan rumah ini dan semua fasilitas yang ada karena semuanya sudah beralih kepemilikan," lanjut Agung. 

Agung tidak tega sebenarnya menyampaikan masalah itu, tetapi akan jauh lebih tidak tega lagi jika melihat mereka diusir secara paksa oleh orang suruhan Subagja.

"Apa separah itu? Apa perusahaan punya hutang? Dan ke mana kami harus pergi?" Pecahlah sudah tangis Anggun, semua terasa seperti mimpi buruk. Perusahaan yang dibangun sang suami dari nol kini harus beralih kepemilikan.

"Kami sedang menyelidiki semuanya. Perusahaan selama ini baik-baik saja. Saya yakin ada kecurangan di sini. Saya yakin ini juga ada hubungannya dengan kematian Pak Bagas," jelas pria yang ada di samping Agung, Anton namanya. Dia juga sahabat baik Bagas, seorang intel yang selalu membantu Bagas kalau dalam masalah.

Letha hanya diam, tatapannya kosong tidak terbaca. Tidak ada air mata, hanya kepiluan yang terlihat. Tangannya terkepal kuat, hingga kukunya melukai telapak tangan.

Selepas kepergian Agung dan Anton, dengan dibantu Bi Romlah mereka berkemas. Hanya pakaian yang mereka bawa, tidak ada harta yang bisa mereka bawa. Semua tabungan sudah dibekukan. Mungkin yang tersisa hanya uang gaji para pekerja yang seharusnya minggu lalu diberikan.

Anggun tidak henti-hentinya menangis, bukan karena harta yang dia pikirkan, tetapi nasib yang akan membawa dia dan putrinya tanpa Bagas di sampingnya.

"Nak, kamu sudah siap?" Anggun masuk ke dalam kamar Letha, tetapi dia tidak melihat keberadaan putrinya. Suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi. Anggun mendekat dan mengetuk pintu kamar. Tidak lama Letha keluar, dia hanya diam tidak bersuara.

Semua pekerja sudah berjajar rapi, Anggun akan berpamitan. Tampak wajah-wajah sedih para pegawai.

"Maafkan keluarga kami jika ada kesalahan yang membuat kalian sakit hati. Maaf, saya tak bisa mempekerjakan kalian lagi. Semua harta peninggalan suami saya sudah berpindah tangan termasuk rumah ini dan semua isinya. Ini gaji terakhir kalian, maaf saya tak bisa memberi kalian pesangon," ucap Anggun dengan air mata yang menetes.

Anggun mendatangi para pegawai, dia menyerahkan amplop coklat dan menyalami semua pegawai dan tak henti-hentinya meminta maaf.

"Setelah ini, Ibu mau ke mana? " tanya Agus, supir Bagas.

"Saya tidak tahu. Pak Agus tahu sendiri saya dan almarhum Bapak hidup sebatang kara. Mungkin, kami akan mencari kontrakan dan memulainya dari awal." Anggun mengusap kepala putrinya.

"Saya akan ikut Ibu kemanapun Ibu pergi. Gak digaji juga gak apa-apa." Bi Romlah ikut berbicara. Sebagai pekerja paling lama, tentulah Bi Romlah tahu bagaimana baiknya keluarga Bagas selama ini.

"Gaji saya buat tambah-tambah Ibu cari rumah. Saya sendiri yang akan mencarikan rumah untuk Ibu," ucap Agus sambil menyerahkan amplop yang diberikan Anggun tadi.

Tanpa diperintah, pegawai yang lain ikut memberikan amplop mereka pada Anggun. Mereka rela tidak mendapatkan gaji terakhir demi rasa terima kasih mereka pada kebaikan Bagas semasa hidup. Pegawai yang berjumlah tujuh orang itu memiliki riwayat masa lalu yang kelam. Bagas yang membawa mereka satu persatu pada jalan yang benar, membimbing mereka dan memberikan pekerjaan juga tempat tinggal yang layak.

Anggun hanya bisa menangis saat semua amplop milik pegawainya kini berada di tangannya. Kebaikan yang suaminya berikan pada mereka, kini Anggun mendapatkan balasannya.

"Carilah pekerjaan yang halal. Jika kita berjodoh, Tuhan pasti mempertemukan kita kembali. Mudah-mudahan kita bertemu dalam suasana yang baik. Saya akan anggap ini hutang, suatu hari nanti saya akan menggantinya," ucap Anggun sambil menerima amplop coklat dari para pekerja.

Kabar Buruk

"Letha! Cepetan, dong!" teriak Sarah sahabat Letha.

Hari ini hari kelulusan di sekolah Letha, dia dan lima sahabatnya hendak pergi untuk merayakan. Setelah kepergian sang ayah, Letha berubah menjadi gadis yang sulit diatur dan urakan. Di rumah dia seperti anak rumahan yang manis dan pendiam, tetapi saat di luar dia akan berubah sebaliknya. Selama tiga tahun di sekolah menengah atas, entah berapa kali Anggun dipanggil pihak sekolah karena kenakalannya.

Meskipun nakal, Letha tetap menjadi juara kelas. Dia juga banyak menyumbang piala dan medali untuk sekolah saat dia mengikuti beberapa ajang bakat yang mewakili sekolah.

Hari ini jalanan dipenuhi arak-arakan anak sekolah yang tengah merayakan kelulusan. Suara bising knalpot motor terdengar memekakkan telinga. Kemacetan terjadi di mana-mana. Sungguh perbuatan yang tidak patut dicontoh dan sangat merugikan orang lain.

Kondisi jalanan semakin tidak kondusif, pengendara sepeda motor seenaknya melaju di jalur yang salah. Mereka tidak memperdulikan keselamatan, sebagian motor ada yang melawan arus.

Letha terpisah dari para sahabatnya, kebetulan dia hanya sendirian di atas motornya. Saat matanya sibuk mencari keberadaan para sahabatnya, dari arah berlawanan datang motor yang melaju kencang. Letha kehilangan keseimbangan dan motornya lepas kendali. Dia menabrak pengguna motor di depannya.

Duaaar!

Tidak lama terdengar suara keras, terjadi tabrakan antara dua motor yang berlainan arah. Terlihat motor yang dinaiki Letha yang mengalami kecelakaan. Letha terjatuh dan membentur trotoar.

"Letha!" teriak Sarah saat melihat sahabatnya terjatuh dari motor. Terlihat darah menutupi sebagian kepala Letha. Sarah langsung menghentikan laju motornya, dia parkirkan motor dengan sembarangan.

"Letha! Bangun! Jangan tinggalin kita. Bangun, Let!" teriak Sarah sambil menepuk pipi Letha.

"Aku udah panggil ambulans, mereka lagi di jalan," teriak Angga salah satu sahabat Letha yang lain.

Tidak lama, dua mobil ambulans datang. Dua korban kecelakaan itu terlihat tidak sadarkan diri. Mobil ambulans membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Beberapa motor terlihat mengikuti laju mobil, mereka adalah sahabatnya Letha.

Sarah tampak ragu memberitahukan Anggun, ibunya Letha. Berkali-kali dia menekan nomor Anggun lalu dia urungkan.

"Sar, kamu ngapain bengong? Cepetan telpon! Gue takut Letha kenapa-napa. Kita harus kasih tahu Tante Anggun keadaan Letha," ucap Marta.

Tepat di depan pintu ruang IGD, berdiri lima orang anak muda berseragam SMA yang sudah penuh dengan coretan di sana-sini. Mereka adalah Sarah, Angga, Marta, Danu dan Rizal, sahabat baik Letha. Raut wajah mereka menampakkan kecemasan. Satu jam sudah Letha masuk IGD, belum ada satu orang pun yang keluar.

Tidak lama lampu ruang IGD padam, tampak seorang dokter keluar diikuti perawat. Mereka langsung menyerbu ke arah dokter berada.

"Gimana keadaan sahabat kami, Dok? " tanya Angga pada dokter.

"Di mana orang tua pasien?" tanya dokter.

"Masih di perjalanan, Dok. Bicara saja dengan kami dulu," ucap Angga berbohong.

"Pasien mengalami beberapa luka cukup serius di kakinya, tetapi nanti kamu akan melakukan pemeriksaan lebih dalam. Takut ada yang serius, sekarang dia sudah melewati masa kritisnya. Pasien akan dipindahkan ke ruang rawat, suster akan mengantar kalian ke sana," ucap dokter sebelum berlalu dari hadapan mereka.

Di ruang perawatan, terlihat Letha sudah sadar. Perban terlihat membalut kepalanya. Ada beberapa luka di tangan dan kaki Letha.

"Hei! Gue gak papa. Kenapa wajah kalian murung gitu?" ucap Letha seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ya, ampun, Letha. Lo itu hampir kehilangan nyawa, masih saja bersikap seolah tidak terjadi apa-apa," geram Sarah penuh kesal.

"Lo gak tahu kita khawatir banget tadi. Gimana kalau lo gak tertolong?" Marta ikut-ikutan kesal.

"Kami tadi cemas liat kondisi lo, tapi kini kami bahagia lo baik-baik saja." Danu ikut bicara.

"Ibu?" tanya Letha.

"Kita gak kasih tahu, tepatnya belum kasih tahu," ucap Marta.

Belum selesai Sarah bicara, terdengar suara pintu dibuka. Tampak raut sedih penuh kecemasan di wajah seorang wanita, dia adalah Anggun.

"Letha! Kamu gak papa, 'kan? Mana yang sakit?" Terlihat jelas kecemasan di wajah Anggun. Hal itu yang tidak bisa Letha lihat di wajah sang ibu. Cukup sudah kepergian sang ayah memberi duka yang mendalam di hati ibunya. Dia tidak mau ibunya juga menangis karena dirinya.

"Ibu tahu dari mana aku di sini?" tanya Letha heran.

"Seharusnya kalian kasih tahu Tante, ini malah diem aja. Gimana kalau Letha kenapa-napa? Kalian mau tanggung jawab?" hardik Anggun. Dia menatap satu per satu sahabat Letha.

"Bu!" panggil Letha lembut

"Ibu tahu dari Marni. Dia habis nganterin catering ke kantor dekat kamu kecelakaan. Dan kalian, jangan lakukan hal ini lagi.

***

Satu minggu sudah Letha dirawat, sahabat-sahabatnya selalu datang berkunjung. Hari ini Letha akan pulang, keadaannya sudah membaik. Semua sahabat Letha sibuk membantu membereskan barang-barangnya. Sarah kebagian membantu Letha mengganti pakaian.

"Pagi, Dek," sapa dokter.

"Ibumu di mana?" tanya dokter. Matanya mencari keberadaan Anggun.

"Hari ini Ibu gak ke sini, Dok. Apa ada sesuatu dengan hasil pemeriksaan saya?" Letha melihat wajah dokter yang serius. Pagi tadi Letha baru saja melakukan pemeriksaan terakhir.

"Iya, tapi saya harus bicara dengan orang tuamu atau wali kamu." Kembali dokter bicara.

Letha yakin ada yang serius dengan hasil pemeriksaan terakhirnya. Dia tidak mau Anggun tahu dan membuatnya khawatir.

"Bicara saja dengan saya, Dok." Letha mencoba meyakinkan dokter untuk mengatakan semua padanya.

"Secara keseluruhan kondisi Dek Letha baik, cuma ...." Dokter menggantung kata-katanya.

"Cuma apa, Dok?" tanya Letha penasaran. Yang lain ikut penasaran, lalu mendekat ke arah Letha berada.

Dokter itu tampak ragu, dia menatap setiap wajah yang ada di ruangan.

"Mereka sahabat-sahabat baik saya. Bilang aja, gak papa, kok." Bisa Letha duga, ada yang serius dengan hasilnya.

"Dari hasil lab, rahim Dek Letha bermasalah. Benturan keras di area perut mengakibatkan Adek akan kesulitan untuk punya anak."

Duaar!

Bagai disambar petir di siang bolong, kabar itu sungguh menyakitkan. Usia Letha baru delapan belas tahun, masih jauh pikirannya untuk memiliki anak, tetapi kabar itu mampu meluluhlantakkan mimpinya untuk memiliki keluarga bahagia.

Matanya mulai berkaca-kaca, dia tidak mampu menahan rasa sakit saat tahu kenyataan pahit yang berimbas pada masa depannya.

"Gue gak bisa punya anak. Rahim gue!" Marta dan Sarah memeluk Letha. Mereka ikut merasakan kesedihan sahabatnya.

"Bukan gak bisa, tapi sulit. Berarti kamu masih memiliki kesempatan, sekecil apa pun itu. Kita punya Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya," ucap Angga menenangkan.

"Ini rahasia kita. Gue harap kabar ini gak sampe ke telinga nyokap gue," pinta Letha tegas.

"Tapi Tante Anggun berhak tahu kondisi lo. Dia ...." Belum selesai Marta bicara, Letha sudah memotongnya.

"Kalau kalian gak bisa menyimpannya, lupakan persahabatan kita!" sergah Letha penuh penekanan.

Semua orang tampak bengong dan saling lirik, tidak mengerti jalan pikir sahabatnya.

"Oke, kita jaga rahasia lo." Angga menyetujuinya.

"Anda juga," pinta Letha pada dokter yang masih berdiri mematung di antara para sahabat Letha.

Tidak ingin membantah, dokter pun mengangguk mengiyakan permintaan pasiennya.

Menjelang sore, Letha sudah keluar dari rumah sakit bersama para sahabatnya. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Anggun dan Bi Romlah.

"Selamat datang kembali di rumah, Nak. Maaf, Ibu tidak bisa menjemputmu," ucap Anggun dengan penuh sesal.

"Tak apa, Bu. Ada mereka, kok," balas Letha.

Setelah Anggun dan Letha meninggalkan rumah peninggalan Bagas, Asep mencarikan rumah kecil yang bisa mereka tinggali menggunakan uang gaji para pegawai ditambah hasil penjualan perhiasan yang dimiliki Anggun.

Bi Romlah dengan setia ikut ke mana pun majikannya pergi, bahkan sekarang setelah usaha catering Anggun ramai orderan, putri satu-satunya Bi Romlah pun ikut bekerja bersama Anggun. Marni, namanya.

"Wah, Kak Letha udah sehat? Maafin Beno, ya, gak sempat nengok. Lagi ujian." Seorang anak berseragam SD datang, dia adalah Beno, putra Marni, yang berarti cucunya Bi Romlah.

"Gak, papa. Lagian Kakak ada mereka, tugas kamu belajar aja yang rajin," balas Letha.

Beno tampak berdiri dengan seorang anak yang seumuran dirinya, dia tampak terkesima saat melihat kecantikan Letha.

"Cantiknya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!