Bercerita Tentang Kita
ƪ(‾.‾“)┐
“Assalamualaikum, Bu, Yah.” Teriakan melengking itu mengagetkan seisi ruang tamu. Pintu utama terbuka lebar dari luar, menampakan manusia berjenis kelamin perempuan berdiri di tengah pintu, menutup mata dan melebarkan tangan nya bak Rose di film Titanic.
“Waalaikumsalam,” sautan serempak dari orang didalam rumah tampak ramai.
Gadis berseragam pramuka, dengan tas besar yang hampir menenggelamkan tubuhnya itu membuka mata. Semua manusia yang berada di ruang tamu menoleh menatap sang gadis dengan wajah kaget masing masing.
Gadis itu tersenyum meringis menampakkan giginya, ia tak tahu bahwa sekarang ruang tamunya sedang ramai dengan segerombol manusia yang entah sedang membicarakan apa. Gadis itu berjalan perlahan mendekati sepasang suami istri yang sangat ia kenal sedang duduk terdiam menatapnya, meraih tangan keduanya untuk disalimi. “Mari Tante, Om.” Ia menyapa sepasang suami istri lain yang asing di matanya, setelahnya berlari kedalam kamar nya. Bodo amat dengan keadaan atau sopan santun, yang terpenting ia menghilang dulu dari ruangan itu daripada menanggung malu.
“Waduh ada apaan sih ini, ya Allah maafkan hamba baru pulang udah bikin malu keluarga.” Setelah menutup pintu dengan rapat, gadis itu menjatuhkan kedua lututnya, mengadahkan kedua tangan nya berdoa agar diampuni dosa yang baru saja ia perbuat.
“Bina, ibu boleh masuk.” Ketukan pintu dan suara dibaliknya membuat gadis itu berdiri terburu, melemparkan tas besarnya ke kasur dengan sembarang. Berdiri tegak bak anak pramuka sejati menghadap pintu.
“Yaaa Buuu.” 'Aduuh ibu tadi denger gak yaah.' Pintu terbuka, menampilkan wanita bernama Lilis dengan senyum manisnya. Gadis bernama Bina itu membalasnya dengan cengiran.
“Tamunya sudah pulang Bu?” Bina bertanya, ia mendapat anggukan sebagai jawaban.
Wanita dengan sebutan ibu itu masuk menutup pintu dan berjalan untuk duduk di kasur Bina.
“Bina kemarin bilang sama ayah ibu, mau sekolah di kota kan?” Tanya nya memulai pembicaraan.
Bina mengangguk, berjalan mendekat dan duduk mengikuti sang ibu. “Iya kemarin Bina ngomong gitu, soalnya Bina mau tinggal di kota.”
“Kenapa?” Wanita itu bertanya.
“Bina pengen ikut ekskul basket bu, biar bisa lomba lagi. Organisasi basket Bina kemaren udah dibubarin, susah cari organisasi baru. Jadi Bina mau ikut ekskul aja, tapi disini juga jarang ada sekolah SMA yang ada ekskul basketnya.” Jelas Bina panjang lebar.
Sang ibu mengangguk, “Ibu sama ayah, semalam juga membicarakan itu. Dan kita sudah dapat solusinya.”
“Iya? Berarti Bina boleh sekolah di kota kan?” Mata Bina tampak berbinar mendengarnya. Ia yang tadinya dibombardir akan rasa malu, kini menampilkan wajah sumringah bak mendapat jackpot.
Lilis mengangguk sebagai jawaban, “iya, tapi malam ini ayah kayanya mau ngomong sesuatu sama kamu, ada sesuatu yang ingin ayah sampaikan ke kamu.”
“Tentang?” Tanya Bina memiringkan kepalanya.
“Yahh ada lah, nanti juga tau. Sekarang kamu mandi gih dah sore, bauuu,” ucap sang ibu menutup hidung seolah kebauan, kemudian bangkit berdiri meninggalkan kamar Bina.
“Iiibuuuu.” Bina memasang wajah kesal. Membaui dirinya sendiri, kemudian mengernyit kan dahi nya, “hihi bau,” ucap Bina menyengir, berdiri dan menggapai handuk untuk mandi.
....
Selesai sholat isya Bina duduk di sebelah kiri sang ayah, menghadap sang ibu yang kini sedang berdiri mengambilkan nasi untuk sang suami, sesekali menoleh meladeni ocehan manusia mini berusia 3 tahun, bernama Apin, adik Bina, yang terduduk di samping wanita itu.
“Kata ibu, Ayah mau ngomong sama Bina,” Bina menolehkan kepalanya pada sang ayah, menatap dengan penuh tanya.
“Makan dulu Ka.” Pria bernama Kardi, yang Bina sebut ayah itu berucap.
Bina mengangguk, kemudian keluarga kecil itu makan diatas meja dengan tenang. Sesekali tertawa, mendengar ocehan manusia mini mereka.
Beberapa saat setelah makan, sang ayah berdiri dari duduknya. Mengambil piring-piring kotor dan membawanya ke wastafel untuk dicuci, Bina ikut berdiri membantu ayahnya. Sedang sang ibu berdiri mengambil adiknya untuk digendong, entah pergi kemana.
“Jadi? Ayah mau ngomong apa?” Tanya Bina, tangannya dengan lincah membilas piring, sedang sang ayah bertugas menyabuninya.
“Selesaikan dulu,” sahutnya, kemudian mencuci tangan. “Selamat menyelesaikan pekerjaan cuaks.” Dan pergi meninggalkan Bina dengan pekerjaannya.
Bina menoleh pada sang ayah. ‘Ya Allah gini amat punya bapak, kenapa dulu hamba memperkenalkan tok-tok pada ayah hamba ya Allah.’ Rasanya ingin sekali Bina memeperkan sisa sabun di tangannya pada wajah sang ayah, jika melakukannya tidak dosa.
Ayahnya itu akan serius ketika ia tidak memahami etika, tidak sopan, berbicara suatu hal yang serius, atau hal yang melanggar aturan lainnya. Selain itu, cuaks terus hidupnya, tak ada hari tanpa cuaks.
Setelah selesai membilas piring yang tersisa, Bina berjalan menuju ruang tamu yang merangkap juga sebagai ruang keluarga. Menemukan ayah nya sedang menonton pertandingan sepak bola, Bina menghampirinya, duduk disebelah sang ayah.
“Jadi, Ayah mau ngomong apa?” Tanya Bina.
Sang ayah menoleh, “tunggu ibumu dulu,” kemudian ia mengalihkan pandangannya kembali pada layar yang menyala menampilkan tayangan kesukaannya.
"Iishh ditunda-tunda mulu,” gerutu Bina.
“Sabar cuaks.” Kan cuaks lagi.
“Apasih?” Suara wanita dari belakang menyapa mereka berdua. Sang ayah langsung mematikan layar yang sedari tadi ia tatap, beralih menatap sang istri yang kini mendudukan dirinya di kursi single samping. Sepertinya ia baru saja menidurkan si Apin.
“Pindah kamu, biar ibu yang duduk disini.” Sang ayah mendorong pelan bahu putri sulungnya, menyuruhnya pindah untuk duduk di kursi lain.
“Ishh Ayah, Ayah aja yang pindah.” Bina tampak tak terima, membalas mendorong tubuh sang ayah.
“Kamu yang pindah.” Sang ayah tak mau kalah, kembali mendorong bahu putrinya.
“Ayah aja sana.” Bina lebih tak mau kalah sepertinya. Adegan saling mendorong itu berlangsung.
“Huuusss.” Ratu dirumah ini pun berdiri, seketika ruangan yang tadinya ramai kini senyap tak bersuara. “Ayah pindah, pindah sini,” ucapnya tegas. Oke kalau sudah begini tak ada yang bisa membantah. Bahkan cuaks sekali pun. Kedua manusia berbeda jenis itu terdiam dan menurut.
Akhirnya kini formasi nya sudah rapi tersusun. Dimana sang ayah sebagai kepala keluarga, duduk di kursi single. Sedang sang ibu dan putrinya kini duduk di kursi yang cukup untuk diduduki berdua.
“Bina, kamu pernah bilang mau sekolah di kota kan?” Kardi, sang kepala keluarga membuka pembicaraan.
“Iya, Bina pengen sekolah di kota,” saut Bina.
“Ayah dan ibu, izinkan.”
Bina bangkit berdiri, menatap pada kedua orang tuanya. “Bener?” Tanyanya antusias.
“Iya, tapi duduk dulu, ada hal lain yang mau ayah bicarakan.” Bina menuruti sang ayah, ia duduk kembali dengan wajah yang masih menampakan bahagia.
“Bina ujian nya kapan?” Tanya sang ibu yang sedari tadi diam mendengarkan.
“Minggu depan bu,” jawab Bina sumringah. “Nanti di kota Bina mau tinggal dimana?” Sang ayah kembali bersuara.
“Ya… ngekos? Emang Ayah sama Ibu punya saudara di kota? Atau gimana?” Tanya Bina.
“Ayah berencana, nanti Bina ayah titipkan ke temannya ayah.”
“Tinggal di rumah nya gitu?” Bina memiringkan kepalanya.
“Iya gitu, demi keamanan Bina juga”
“Gak ah, ngekos aja ya, Yah. Bina malu, masa mumpang sih.” Hening tak ada yang bersuara. “Atau Ayah punya rencana lain yah? Ayah sama Ibu mau jual Bina yah? Atau Bina mau dikasih ke orang? Diadopsi gitu? Iiih jahat.” Bina merengek memeluk sang ibu, yang kini berwajah datar biasa saja. Sudah terdeteksi bahwa ini sudah biasa terjadi pemirsa.
“Hus ngomong apa kamu ini.” Sang ayah menggelepak tangan putrinya pelan.
Lilis melepaskan rangkulan sang putri. “Yah langsung aja lah,” ucapnya.
“Langsung apa? Tuh kan mau dijual kan?” Bina kembali merengek.
“Sebenarnya kamu dijodohin,” ceplos sang ibu tak merasa bersalah sama sekali. Membuat Bina tak bergerak seperti patung.
“WHAT? Yang bener aja dong, Bina masih piyik gini,” ucap Bina tak terima. Lihatlah wajah ibunya, santai sekali rupanya.
“Ya nikahnya gak sekarang, tapi setelah kamu lulus.” Sang ayah.
“Iiih Bina kan udah bilang, Bina gak mau nikah.” Bina merengek.
Sang ibu menoleh, menggeplak pelan paha putrinya. “Huus ngomong apa kamu, nikah itu ibadah."
"Tapi Bina gak mau.” Astaga Bina tak habis pikir dengan kedua orangtuanya, apakah ia benar anak mereka? Kok bisa mereka bersikap begitu pada Bina.
“Calon kamu itu juga sekolah di tempat kamu mau sekolah nanti. Dia kakak kelas kamu, sekarang mau naik kelas dua belas, anak temen ayah, anaknya baik, sopan, aktif organisasi. Kamu udah pernah liat kan? Pas tadi sore?” Ayahnya panjang lebar.
“Mana Bina tau, gak liat, pokoknya Bina gak mau nikah titik.” Bina melipat tangan melengos.
“Bina menikah itu ibadah, pahalanya besar, jaminannya surga,” ibu Bina menasehati.
“Tapi gak mau.”
“Gimana kalo kenalan dulu sama orang nya, nanti hasil akhirnya Bina pilih sendiri, mau lanjut atau gak. Gimana?” ucap sang ayah.
“Ayah sama Ibu mau Bina juga membangun rumah tangga, kaya ayah sama ibu.”
“Bin, takdir itu sudah ditulis dengan rapi oleh yang menuliskan, gak perlu takut akan banyak hal, kita hanya perlu berusaha mengejar dan memilih jalan yang sudah dirancang Nya.” Sang ibu.
“Bina gak boleh nolak, pilihan orang tua itu baik, walau gak semuanya. Setidaknya Ayah kasih pilihan, yang menurut Ayah sebagai orangtua itu baik. Kalau Bina tetap ngak mau, ngak papa asal coba dulu.” Sang ayah tetap membujuk.
Bina sudah berulang kali berkata pada mereka, bahwa ia tak mau menikah. Mungkin menurut Bina menikah itu menakutkan, entah hal apalagi yang bisa mematahkan statement itu dari dalam kepala Bina. Keluarga mereka tak menyakitkan, malah terkesan, kalo bisa dibilang cemara. Keluarga mereka baik-baik saja. Mungkin pengaruh dari luar, terutama mungkin teman, mungkin banyak teman Bina yang tak bisa seberuntung Bina dalam keluarga.
“Bina… oke,” Bina menunduk. Walau bagaimana pun, kebahagiaan mereka adalah cita-cita Bina.
Sepasang suami istri itu tersenyum. Akhirnya.
“Tapi Bina tetep gak mau tinggal bareng mereka Bina tetep pengen ngekos, sekalian belajar mandiri. Ya ya?”
“Okee, ayah pertimbangkan."
“Besok hari sabtu kan?” Tanya sang ibu. “Ayah dan ibu mau kamu ketemu sama keluarga temannya ayah, didiskusikan mau nya kamu apa, dan mereka maunya gimana. Nanti biar dapet jalan tengahnya.”
“Harus ketemu? Gak bisa perwakilan aja gitu?” Tanya Bina.
“Ya nggak bisa, kan walau bagaimanapun harus didiskusikan, nanti disana biar kamu juga aman.” Lanjut sang ibu. “Nanti dicarikan kos yang bagus, aman dan sejahtera.”
“Yaudah,” Bina pasrah. Sebenarnya ia adalah tipe orang yang terima-terima saja akan sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Ibaratnya life goes on, ya berjalan aja dan Bina menerima semuanya dengan lapang dada, kalau terjadi ya sudah, kalau gak terjadi juga ya sudah. Tapi tidak dengan pernikahan, Bina tidak mau dan tak akan pernah mau. Tak tega rasanya melihat anak-anak seumuranya bahkan ada yang lebih muda, mendapat sesuatu yang mereka tidak harus dapatkan, dan sebaliknya sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan, mereka tidak dapatkan.
love
klo ad typo komen yak ( ˘ ³˘)❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments